Di Ujung Diam Aku Menumbuhkan Diriku

“Benih tumbuh dalam diam, bukan keramaian. Maka jika engkau sedang diam-diam memperjuangkan hidupmu, percayalah—itu tanda engkau sedang tumbuh.”

.

Di sebuah desa kecil di lereng Lawu, seorang anak lelaki pernah berkata kepada ibunya, “Bu, aku ingin jadi seperti pohon randu di depan rumah. Diam, tapi selalu memberi.”

Ibunya tak menjawab. Hanya mengelus rambut anak itu dengan tangan yang mulai keriput. Lalu berbisik, “Nak, kamu tidak perlu jadi siapa-siapa. Cukup jadi dirimu sendiri yang tahu kapan harus tumbuh, dan kapan harus diam.”

Anak itu bernama Reksapati. Ia tumbuh dari tanah yang retak, dari surau kecil yang catnya terkelupas, dari suara mesin jahit yang berderik di malam hari.

.

Luka yang Tak Bernama

Reksapati lahir dari keluarga petani. Ayahnya meninggal ketika ia masih di bangku SMP. Ibunya menjadi tulang punggung dengan menjahit seragam sekolah anak-anak desa. Ia belajar tentang kehilangan tanpa perlu dijelaskan; tentang lapar tanpa harus mengeluh. Ia terbiasa melihat ibunya menangis dalam sunyi, menyeka air mata dengan lengan baju, lalu tersenyum agar anaknya tidak patah.

“Dalam hidup, kamu akan mengalami bab yang menyedihkan, membahagiakan, dan mendebarkan. Tapi kamu tak akan tahu bab selanjutnya kalau tidak membalik halaman,” kata Bu Minah, guru Bahasa Indonesia yang diam-diam ia kagumi.

Namun Reksapati tidak segera membalik halaman hidupnya. Ia diam. Terlalu lama diam. Bahkan ketika ditolak kampus negeri, ketika sahabat karibnya—Kerta—direkrut bank nasional, ketika Sekar—gadis yang ia suka—menikahi pemilik toko bangunan, ia tetap diam. Diam yang kerap disalahpahami sebagai kalah.

.

Diam yang Bertumbuh

Tak banyak yang tahu bahwa diamnya Reksapati menyimpan badai. Dalam gelap, ia menulis. Dalam sepi, ia membaca. Dalam sunyi, ia menanam ide—seperti benih yang tak bersuara tetapi tumbuh.

Setiap malam, setelah membantu ibunya menjahit, ia duduk di depan laptop tua peninggalan guru. Ia menulis tentang kemiskinan yang bukan aib, tentang cinta yang tak harus memiliki, tentang manusia yang terlalu sering menyakiti diam.

Tulisannya tak pernah ia publikasikan. Ia menyimpannya seperti rahasia, seperti luka lama yang belum layak disembuhkan. Hingga suatu hari, sebuah lomba menulis diadakan Lembaga Budaya Nusantara. Hadiahnya bukan uang, melainkan beasiswa tiga bulan di Yogyakarta.

Reksapati mengirim naskahnya—tanpa harapan, tanpa pamrih. Nama pena: AnakRandu.

.

Lajur Menuju Kota

Amplop cokelat datang tiga bulan kemudian. Ibunya membuka dengan tangan gemetar. “Selamat! Anda terpilih sebagai penerima Beasiswa Penulis Muda Nusantara.”

“Pergilah, Nak. Sudah waktunya kamu membalik halaman,” ucap ibunya.

Yogyakarta menyambutnya dengan udara hangat, jalanan bersepeda, kopi tubruk yang jujur. Ia belajar bahwa kata-kata bisa menjadi mata uang, kesunyian menjadi komoditas langka. Di kelas, orang-orang berdebat dan berpendapat. Ia tetap pendiam, tetapi matanya menyala.

Di sana ia bertemu Sekar kembali—bukan Sekar yang dulu, melainkan Sekar lain: kurator seni yang tanggap, independen, dan percaya pada suara kecil yang tulus. “Kamu pendiam sekali,” kata Sekar pada malam diskusi. “Tapi naskahmu seperti aku sedang bercermin.”

“Kadang, diam adalah cara paling jujur untuk memahami manusia,” jawab Reksapati.

Sejak itu mereka sering berjalan bersama: melewati deretan warung gudeg sebelum fajar, menyusuri gang-gang dengan dinding yang beraroma cat baru, memotret bayangan pepohonan di tembok. Di sela langkah, tidak ada janji. Hanya pengertian.

.

Duri di Jalan Pulang

Beasiswa usai. Reksapati pulang membawa satu koper berisi buku, ransel berisi naskah, dan hati yang dipenuhi kalimat yang tak sempat diucapkan pada Sekar. Desa tetap sama, tetapi detailnya lebih getir: lahan sawah sedang diukur untuk proyek jalan tol; anak-anak muda menunggu bus jurusan kota dengan mata menyala sementara orang tua menghela napas.

Yang paling menyakitkan adalah kabar bahwa salah satu peserta beasiswa—Adaninggar—menyontek naskahnya. Tema, struktur, bahkan kalimat sunyinya. Naskah itu terbit di majalah nasional, nama Adaninggar melesat. Ia diundang ke talkshow, difoto di kafe estetik dengan cangkir porselen dan bunga kering, dikutip para influencer soal “kekuatan diam”.

Reksapati menatap layar ponsel: jemarinya ingin marah. Tetapi ia hanya menulis catatan kecil: Jangan menabur duri di jalanku. Siapa tahu kamu nanti mencariku… tanpa alas kaki. Catatan itu ia bakar. Asapnya menutup langit beberapa detik—cukup untuk mengubah niat menjadi tekad.

.

Menulis untuk yang Tak Didengar

Ia membuat blog anonim: SuaraYangTakBersuara. Ia menulis tentang petani yang tanahnya diserobot, tentang anak perempuan yang memeluk ibunya di depan puskesmas, tentang perempuan penjahit—ibunya—yang menolak mengeluh karena mengeluh tidak membayar listrik.

Lambat laun, blog itu dibaca puluhan ribu orang. Ia tak tahu bagaimana algoritma bekerja; ia hanya terus menulis, setia seperti randu di halaman rumah.

Suatu malam, komentar masuk:
Tulisanmu menyelamatkanku dari bunuh diri. Aku akan terus hidup karena kata-katamu. Terima kasih, siapa pun kamu.
Reksapati menangis dalam senyap. Tangisan orang yang mengerti: hidupnya tak sia-sia.

Ibunya wafat dua bulan kemudian. Di pelukannya sendiri, tanpa pamit. Reksapati memandikan jenazah dengan tangan gemetar. Seusai tahlil, ia duduk menatap randu. “Bu, aku akan pergi ke kota. Aku ingin suara-suara di desa kita terdengar sampai ke kaca gedung tertinggi.”

Angin menepuk pundaknya seperti tangan tua yang merestui.

.

Jakarta, Kota yang Menguji Nafas

Ia tiba di Jakarta dengan koper yang sama. Kontrakan kecil di Tebet menjadi beranda baru. Pagi hari ia naik KRL, pindah ke MRT di Dukuh Atas, berjalan di bawah jembatan penyeberangan yang sunyinya aneh. Siang hari ia bekerja lepas sebagai penulis konten di agensi milik Wiraraja—seorang pemilik jaringan restoran yang piawai berpose di depan kamera, mulutnya murah janji.

“Konsepnya begini,” kata Wiraraja dalam rapat, “kita jual mimpi, bukan produk. Orang kota mau dibujuk, bukan diberi tahu.”
“Kalau mimpi itu kosong?” tanya Reksapati pelan.
Wiraraja tertawa menepuk bahunya, “Kosong pun bisa terasa penuh kalau dibungkus bagus.”

Di kafe-kafe SCBD, Reksapati melihat orang menimbang hidup dari harga sepatu dan jenis kopi: single origin Ethiopia atau Colombia; flat white atau piccolo. Di lift kaca, seorang rekan—Joko Tole, panggilan akrabnya Joko—berujar, “Kita ini budak deadline yang senang berpura-pura merdeka.”

Reksapati menulis semua itu. Malam setelah kerja, ia mengunggah esai di blog. Ia menulis tentang perempuan yang dipecat karena hamil, tentang bapak yang pulang pukul sebelas dan masih memikirkan cicilan apartemen, tentang petugas kebersihan yang mendengar penghuni mengeluh tisu habis seolah dunia berakhir.

.

Sekolah Bernama Kecewa

Suatu pagi, Adaninggar menghubunginya lewat DM Instagram.
Halo. Kita satu batch dulu. Aku baca blog anon itu. Itu kamu, kan? Keren. Mau gabung writers’ room untuk serial OTT? Fee besar. Credit nama juga ada.
Reksapati menatap layar lama. Ia menimbang marah, dendam, kebutuhan bayar kontrakan, rasa lapar yang sudah akrab.
Boleh, kalau idemu orisinal, tulisnya akhirnya.

Mereka bertemu di sebuah co-working space mewah dekat Senopati. Lampu gantung, sofa beludru, kopi mahal. Adaninggar memaparkan konsep: drama urban tentang “kekuatan diam”. Ia ingin meminjam sebagian kisah di blog.

“Aku ingin orang kota melihat dirinya di cermin,” kata Adaninggar. “Kamu yang menulis, aku yang mengeksekusi. Kita tim.”

Kerta, sahabat lama yang kini manajer bank di Sudirman, kebetulan bergabung sebagai investor kecil. “Ekosistem, Pat. Kita bantu kamu naik kelas,” ujarnya.

Reksapati mengangguk. Ia menyodorkan rancangan naskah, menyusun struktur episode, menyiapkan dialog. Malam ia yakin; pagi ia ragu. Tetapi ia terus menulis—karena di kota, keraguan pun butuh makan.

Sialnya, ketika serial diumumkan, tidak ada namanya di poster. Di press release, konsep disebut “lahir dari pengalaman kreatif Adaninggar.” Di rapat, wiraraja-wiraraja baru memanggilnya “tim”.

“Ini hanya soal branding, bro,” kata Joko Tole mencoba menenangkan. “Namamu nanti naik juga.”
“Kalau aku minta credit yang adil, apakah itu artinya aku serakah?”
“Di kota, adil terdengar serakah jika mengurangi panggung orang berkuasa,” gumam Joko.

Malam itu, Reksapati berjalan sendirian menyusuri trotoar Sudirman. Hujan tipis turun. Lampu kendaraan membias di kaca bangunan. Di layar LED raksasa, iklan serial menampilkan wajah Adaninggar tersenyum dengan tagline: “Diam Bersuara.” Reksapati berhenti. Ia merasakan sesuatu di dadanya: bukan marah, tetapi kejelasan.

Ia membuka ponsel, masuk ke dasbor blog. Menulis tajuk: “Sabar yang Ada Giginya.” Paragraf pertamanya: Kesabaran tanpa gigi hanyalah karpet merah untuk ketidakadilan berjalan anggun.

.

Kesunyian yang Mengguncang

Esai itu meledak. Disalin ratusan akun, dibacakan di Twitter Space, dikutip aktivis, disematkan pada potret buruh harian yang menuntut pesangon. Dalam satu malam, SuaraYangTakBersuara menjadi legenda anonim. Ada yang menuduhnya pencitraan. Ada yang mendoakannya panjang umur. Ada yang mencari siapa dia sebenarnya. Ia membalas dengan beberapa kalimat: Aku tidak penting. Yang penting: siapa yang selama ini kamu tutupi suaranya?

Wiraraja panik. “Ini gawat,” katanya lewat telepon. “Klien kita sponsor serial itu. Kamu jangan bikin gaduh.”

“Aku menulis kebenaran,” jawab Reksapati.

“Kebenaran pun butuh strategi.”
“Strategi yang kau maksud adalah bungkam,” sahut Reksapati, menutup telepon.

Kerta datang ke kontrakan dengan baju kerja yang masih rapi. “Kau melawan sistem, Pat. Sistem bisa mematahkanmu.”

“Kalau pun patah, semoga tumbuhnya lebih benar,” kata Reksapati.
“Dengar, aku bisa bantu lewat jalur legal. Tapi kau tahu, jalur itu panjang.”
“Tak apa. Randu juga tak tumbuh semalam.”

Kerta memeluknya sebelum pulang. “Kalau kau diserang, kabari aku.”

.

Sekar Menyapa Kota

Malam bergeser. Pesan masuk dari Sekar—kurator yang dulu menemani langkahnya di Yogya. Ia kini membuka ruang seni kecil di Pasar Santa, memamerkan karya seniman muda dari kampung dan pinggiran.

“Aku baca esaimu,” tulis Sekar. “Di ruangku ada panggung kecil. Datanglah. Bacakan apa pun yang ingin kau baca. Tak perlu namamu, cukup suaramu.”

Di Pasar Santa, aroma kopi, roti panggang, dan cat akrilik bercampur. Penonton duduk di kursi lipat, sebagian bersandar di dinding. Reksapati berdiri di panggung kayu sederhana. Ia mengenakan kemeja putih, celana hitam, mata yang tak ingin menjadi sorotan.

“Namaku bukan penting,” katanya. “Tapi malam ini aku ingin membacakan tentang diam yang menumbuhkan.”

Ia membaca potongan tulisan tentang ibunya, tentang randu, tentang pekerja cleaning service yang disudutkan karena tisu toilet habis, tentang sopir ojek daring yang tetap mengantar makanan meski hujan. Dalam jeda suaranya, ada ruang yang membuat orang menahan napas. Di akhir bacaan, ruangan tak langsung bertepuk tangan; beberapa orang menangis pelan.

Sekar mendekatinya, menaruh tangan di punggungnya. “Terima kasih sudah datang. Terima kasih sudah tumbuh.”

Di sudut belakang, seorang perempuan merekam diam-diam. Keesokan harinya, potongan pembacaan itu viral. Orang kota—yang biasanya terlatih mengabaikan—mendadak mendengarkan. Ada yang menyebut Reksapati sebagai the quiet one. Ada yang menuduhnya mencari panggung. Ada yang sekadar menuliskan emoji api.

.

Tuduh, Serang, Uji

Serangan datang seperti hujan lebat. Ada akun yang menuduhnya memfitnah industri kreatif. Ada yang mengunggah bukti palsu bahwa ia menerima uang dari kompetitor. Ada yang memotret kontrak kerjanya dengan agensi untuk menunjukkan ia hanyalah “pekerja freelance yang iri.”

Reksapati menahan diri. Ia menemui pengacara kecil yang dikenalkan Kerta, menyiapkan langkah legal seperlunya. Selebihnya, ia menulis. Ia percaya: kalimat yang jernih adalah pelindung, bukan pedang.

Malam paling gelap datang ketika kontrak kost dihentikan pemilik dengan alasan “tak ingin masalah”. Reksapati mengemas barangnya ke dua koper. Sekar menawarkan ruang belakang galeri yang sempit. “Sementara di sini saja,” katanya. Reksapati menerima. Di kasur tipis di antara rak cat dan kanvas, ia tidur nyenyak untuk pertama kali setelah berbulan-bulan.

Pagi, ia terbangun oleh cahaya yang memantul dari gelas bekas kuas. Ia merasa ibunya duduk di tepi kasur, mengelus rambutnya seperti dulu. Nak, tumbuh itu tak selalu terlihat. Kadang hanya terasa oleh hatimu sendiri.

.

Menjadi Randu di Tengah Beton

Beberapa bulan berlalu. Di tengah hiruk-pikuk kota, Reksapati menyusun buku kumpulan esai: Sabar yang Ada Giginya. Ia menolak tawaran penerbit besar yang ingin menempel foto Adaninggar di sampul demi hype. Ia memilih penerbit mandiri yang beroperasi dari ruko kecil di Rawamangun. “Royaltinya tidak seberapa,” kata penerbit. “Tapi buku ini akan hidup lama.”
“Yang lama itulah yang kucari,” jawab Reksapati.

Buku itu diluncurkan di galeri Sekar. Tidak ada baliho. Hanya poster hitam putih dan kopi sachet digelar di meja. Orang datang bukan karena influencer, tetapi karena merasa pernah ditolong kalimat di blog. Ada bapak berseragam biru yang menyelipkan amplop kecil: uang sumbangan dari rekan-rekannya untuk “perpustakaan yang katanya mau dibikin di kampung panjenengan”.

Uang itu membuka jalan: Reksapati mendirikan perpustakaan kecil di desanya. Rak dari kayu bekas, buku sumbangan, tikar anyam. Namanya Randu Baca. Anak-anak duduk lesehan, ibu-ibu tertawa pelan, bapak-bapak mampir setelah magrib. Foto-foto perpustakaan itu tersebar, bukan karena strategi pemasaran, melainkan karena orang merasa ingin ikut menjaga sesuatu yang tumbuh perlahan.

Suatu malam, stasiun televisi menayangkan segmen pendek tentang perpustakaan itu. Wajah Reksapati hanya muncul sekilas—ia menolak diwawancara panjang. Di layar, ia berkata: “Aku hanya ingin jadi randu. Diam, tapi menaungi.”

.

Pertemuan yang Tak Mengikat

Hidup berjalan sederhana, tetapi tidak lagi sepi. Sekar semakin sering memanggil seniman desa; Kerta sesekali datang membawa buku bekas dari kolega; Joko Tole pindah kerja ke perusahaan yang lebih jujur; Wiraraja mengirim pesan singkat, “Maaf.” Reksapati membalas, “Semoga kau mengerti perbedaan antara bungkam dan hening.”

Adaninggar hadir di peluncuran buku dengan topi lebar dan kacamata. Ia menunggu semua orang pulang. “Aku salah,” katanya tanpa preambule. “Aku mencomot suaramu. Aku takut tak punya suara sendiri.”

Reksapati menatapnya lama. “Semoga besok kau menulis kalimat pertamamu yang jujur.”

“Apakah kau bisa memaafkan?”
“Maaf itu bukan stempel. Itu proses. Tapi aku tidak akan memenjarakan diriku di masa lalu.”

Adaninggar menunduk. “Terima kasih sudah menahan gigi sabarmu untuk tidak menggigitku.”
“Gigi sabarku ada, bukan untuk melukai, tetapi untuk mengunyah pahit.”

Mereka berpisah tanpa janji.

.

Di Ujung Diam

Malam di kota merunduk. Dari jendela ruang belakang galeri, Reksapati menatap lampu-lampu kendaraan di jalan; garis putih panjang yang seperti kalimat tak putus-putus. Ia membuka laptop. Kursornya berkedip seperti jantung bayi.

Ia menulis surat untuk ibunya—surat yang tidak akan dikirimkan. Bu, aku masih diam. Tapi diamku sekarang punya akar. Aku masih berjalan pelan, tapi kakiku tahu arah. Aku tidak lagi ingin menjadi siapa-siapa. Aku hanya ingin menjadi randu yang menaungi, meski angin kota kadang terlalu kencang.

Ia menyisipkan satu kalimat untuk dirinya sendiri: Jangan melampaui batas untuk orang-orang yang tak mau menemuimu di tengah jalan. Bertumbuhlah dengan siapa yang mau tumbuh bersamamu.

Ia memejam. Di kepalanya, suara mesin jahit ibunya menyatu dengan suara MRT; aroma randu bercampur kopi kota; tawa anak-anak perpustakaan menempel pada dinding beton. Heningnya bukan lagi ruang kosong, melainkan rumah.

Esok hari, ia akan mengisi workshop menulis untuk pekerja gig, untuk barista, untuk satpam, untuk siapa pun yang ingin suaranya keluar dari sela gigi kehidupan. Ia akan mengajarkan bahwa diam bukan kalah, melainkan cara lain berjalan. Ia akan menunjukkan bahwa sabar adalah pilihan yang memiliki gigi—bukan untuk menggigit orang, tetapi untuk mengunyah kerasnya dunia agar bisa ditelan dengan selamat.

Kota akan terus gaduh. Namun di ujung diamnya, Reksapati tahu: ia menumbuhkan dirinya.

Dan jika suatu hari kau membaca tulisan yang membuatmu menunda marah, menunda menghakimi, lalu memeluk dirimu sendiri—mungkin itu datang dari seorang anak desa bernama Reksapati yang memilih menjadi randu di tengah beton.

.

“Jangan melampaui batas untuk orang-orang yang tak mau menemuimu di tengah jalan. Bertumbuhlah dengan siapa yang mau tumbuh bersamamu.”

.

.

.

Jember, 19 Juli 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#Cerpen #SastraIndonesia #UrbanLife #DiamYangMenumbuhkan #SabarYangBergigi #Jakarta #PasarSanta #SCBD #PerpustakaanDesa #MenakMadura #Storytelling #KisahInspiratif

Leave a Reply