Di Mana Aku Berada

“Tak semua yang setia harus selalu tampak. Kadang, ia adalah angin yang tak terlihat namun setia mengantar rindu pulang.”

.

Ada kalimat yang tidak pernah Natawijaya ucapkan di depan siapa pun: bahwa setiap malam, tepat pukul sebelas lewat sebelas, ia mematikan lampu ruang tamu apartemennya di bilangan Kuningan, berdiri menghadap jendela, dan membayangkan angin dari lereng Lawu menyusup ke celah-celah kaca. Jakarta di bawahnya berkilau seperti papan sirkuit, nadi kendaraan berlari di tol dalam kota, gedung-gedung berkedip, dan layar-layar raksasa memantulkan iklan-iklan tentang hidup yang lekas. Tapi yang didengar Nata selalu sama: sayup suara ibu, Sariyen, memanggil pelan seperti menutup kelambu, “Le… wis wayahe turu. Ojo kesuwen kumecap karo pikirane dewe.”

Nata tertawa hambar pada bayangan dirinya di jendela: kemeja putih, celana kain arang, jam tangan Swiss, bau kopi single origin yang belum habis, dan sepotong hidup yang—kalau dilihat dari Instagram—terlihat sempurna. Ia Creative Strategy Director di sebuah pengembang properti yang membesarkan banyak nama: hotel, residensial, mal, kota mandiri. Di kantor, orang memanggilnya Nata, menunggu idenya seperti menunggu bus terakhir—mendebarkan sekaligus menyelamatkan. Dalam rapat-rapat panjang di ruang kaca, Nata menggerakkan pointer laser, menautkan grafis, memahat kalimat-kalimat singkat yang memikat, dan, tanpa sadar, memahat jarak antara dirinya dan rumah.

Sejak pagi Jakarta menggulungnya: meeting pukul sembilan di Sudirman, jam sebelas pindah ke menara sebelah, makan siang terlambat di SCBD bersama klien yang memesan salad quinoa tapi menghabiskan crème brûlée, lalu sorenya berlari di MRT menuju Lebak Bulus untuk memantau lokasi proyek. Malamnya adalah pendar lampu kota dan email yang tidak pernah usai. Di kalender ponsel, ada baris yang sudah “re-schedule” lebih dari dua puluh kali: “Pulangkan diri — Lereng Lawu.” Di sebelahnya, catatan kecil yang ditulis Nata sendiri: “Selendang Parang Rusak. Rambutan. Radiotua.”

.

Suatu pagi Senin, hujan rintik-rintik jatuh di helipad menara kantor. Jalanan licin, awan rendah menggantung seperti pikiran yang menunda stigma. Zubaedah—dipanggil Zuba—muncul di depan ruang Nata sambil menenteng map warna biru. Rambutnya diikat, blazer hitamnya wangi hujan, sorot matanya tajam. “Deck,” katanya, “presentasi jam sepuluh dimajukan jadi sembilan empat puluh lima. Wira pengin kita datang duluan ke ruang rapat. Dan… ini data demografis terbaru. Kita mesti adjust narasi untuk segmen keluarga muda.”

Zuba—nama yang mengingatkan Nata pada kisah-kisah Menak Madura yang ia dengar dari radio tua di kampung. Dulu Sariyen menyalakan radio itu di sore hari, dan suara wayang cerita mengapung bersama aroma kayu bakar dan teh tubruk. Umar Maya, Umar Madi, Wira Krama, dan Zubaedah adalah tokoh-tokoh yang berpindah dari suarake telinga, dari bayang ke imajinasi. Hari ini, mereka berjalan dalam hidup Nata secara lain: Zuba rekan seperjuangan, keras kepala dan setia pada kerja; Wira—Wirakrama—bos yang selalu menggiring timnya dengan senyum menekan; dan Umar Madi, sopir kantor yang dulu sering menyelipkan cerita-cerita hidup saat menunggu di basement, menyebut Nata “nak muda yang tidak lupa asal-usul,” kalimat yang belakangan justru terasa seperti cermin retak.

“Thanks, Zuba.” Nata menggeser komputer jinjing, membuka slide, dan memindahkan satu-dua kata: dari “elevate living” menjadi “mengangkat cara pulang.” Dari “exclusive residence” menjadi “tempat kembali di dunia yang lekas.” Ia menghapus kalimat-kalimat yang terlalu keras, menyisakan catatan-catatan lirih yang, entah mengapa, terasa lebih benar.

“Boleh aku tambahin satu frame terakhir?” tanya Zuba, menunjuk struktur presentasi.

“Tambahin,” jawab Nata.

Zuba mengetik: “Rumah adalah peristiwa, bukan alamat. Ia terjadi setiap kali seseorang merasa diakui.” Ia menyimpan file, menatap Nata, dan tersenyum tipis. Ada sesuatu dalam senyum itu yang membuat Nata ingin menunda segala rapat, membuka peta, dan menggaris tebal arah ke lereng Lawu.

Mereka melangkah ke ruang rapat. Wira sudah duduk, dasinya rapi, tatapan terukur. “Kita berlomba dengan waktu,” katanya, “dan dengan narasi-narasi yang lebih cepat dari kita. Siapkan alasan kenapa memilih kita terasa seperti memeluk pulang.”

Kalimat itu, “memeluk pulang,” menyelinap ke dada Nata, mengguncang lemari kecil tempat ia menyimpan kenangan: selendang Parang Rusak milik ibu—warnanya pudar tapi motifnya tidak menyerah; suara ibu menawar di pasar; bau rambutan jatuh di halaman; kolam kecil di belakang rumah yang memantulkan langit sore. Nata melanjutkan presentasi. Semua berjalan lancar, lobi-lobi disorot, taman-taman mengilap, tidur kota dipromosikan. Tepuk tangan terjadi, sebagaimana protokol keberhasilan; Wira mengangguk, Zuba menghela napas. Dunia—setidaknya yang ada di ruang kaca—terlihat menyatu.

Namun begitu rapat bubar, telepon Nata bergetar. Nama pengirim: Wijil. Dua huruf yang tiba-tiba menghabiskan udara di sekitar Nata.

Wijil: “Nduk, maaf, aku ngomong lewat WhatsApp. Aku kangen aja bilang. Ibu Sariyen dua hari ini ora gelem mangan. Nganggo selendang Parang terus, lungguh neng teras. Aku wes ngajak puskesmas, tapi dheweke mung ngomong pengin turu. Yen turu, ketemu kowe, kandane. Yen iso, mulih, Le.”

Nata menatap layar yang buram. Ia mengetik: “Aku pulang akhir minggu ini.” Lalu menghapusnya. Ia mengetik lagi: “Aku pulang besok.” Menghapus lagi. Akhirnya ia mengirim satu kalimat yang jujur dan konyol: “Aku takut pulang, Jil.”

Zuba melongok, melihat Nata diam terlalu lama. “Ada apa?”

Nata memutar punggung, menahan sesuatu yang ingin tumpah. “Aku… harus ke Solo. Atau ke Lawu. Aku… Ibu.”

Zuba tidak bertanya lebih. “Pergi sore ini. Presentasi berikutnya aku cover. Kalau perlu, tinggal dulu di sana.” Kalimatnya ringan, seolah menyodorkan segelas air ke orang yang terlalu lama kehausan.

Nata mengangguk. Kadang keputusan paling besar terjadi tanpa iringan musik dramatis, tanpa lampu sorot, tanpa penanda apa pun selain sebuah chat yang datang di sela deadline. Ia mengemasi laptop, memasukkan satu kemeja, sepotong celana, dan—yang penting—sebuah foto kecil: Nata kecil bertopang dagu di pangkuan Sariyen, di belakang mereka sawah dan garis pegunungan, di ujung kiri bawah, radio tua mengintip.

.

Perjalanan naik kereta dari Gambir menuju Solo, lalu mobil sewaan ke kaki Lawu, berlangsung seperti menonton ulang film lama yang pernah disukai: di setiap potongan ada pengetahuan baru, ada sisipan detail yang dulu terlewat. Nata duduk di dekat jendela, menatap sawah-sawah yang berlari mundur, menimbang betapa kontradiktifnya hidup kota: semua ingin bergerak cepat agar bisa pulang lebih cepat, tapi kecepatan sendiri membuat orang lupa pulang.

Di sebelahnya, seorang bapak-bapak berkaus klub sepak bola memeluk kardus besar. “Buat cucu,” katanya kepada kondektur yang lewat. “Katanya pengin sepeda kecil, tapi aku bawain buku. Mungkin, ya, buku itu yang bisa jadi sepeda di kepala.” Nata tersenyum dan mengingat Sariyen: ibu yang selalu menghadiahinya buku bekas dari pasar loak, yang percaya bahwa “anak sing diwenehi dongeng bakal nduwe ndalan nek donya padang utawa peteng.”

Sore menjelang ketika mobil menyusuri jalanan naik. Kabut turun, pohon-pohon pinus menjadi garis-garis hitam di latar langit yang memerah. Rumah-rumah kayu berdiri tenang, suara ayam menggema. Di halaman rumah kecil itu, Wijil berdiri, menunggu. Matanya sembab. Nata memeluknya tanpa kata.

“Ibu?”

Wijil menghela napas seperti menurunkan beban yang tidak pernah berhasil benar-benar diturunkan. “Dheweke turu, Le. Saka wingi. Tenang. Nanging… dokter ngomong, yen isih ana sing arep diomongke, omonga saiki wae.”

Nata masuk pelan. Kamar itu kecil, tirai hijau muda, selimut tipis dengan motif bunga. Sariyen terbaring, sangat ringan, seolah jika angin membuka jendela sedikit, ia akan terbang menjadi benang-benang cahaya. Selendang Parang Rusak membalut bahunya. Nata duduk di tepi ranjang, menatap wajah itu—wajah yang dulu kuat menahan terik, kini sunyi.

“Bu…” Suaranya pecah. “Aku mulih.”

Kelopak mata Sariyen bergetar. “Le…”

“Aku suwe banget,” kata Nata, “aku suwe banget ora mulih. Aku njaluk ngapura.”

Sariyen menoleh pelan. Ada senyum yang hanya milik para ibu: senyum yang tidak mengungkit daftar salah, yang tidak menagih, yang hanya membuka pintu. “Kowe wis mulih saiki.”

Di luar, hujan jatuh pelan, seperti takut membangunkan sesuatu. Radio tua di lemari, entah bagaimana, menyala sendiri. Suara keroncong mengalun, lagu yang dulu sering diputar Sariyen—tentang perjalanan jauh dan sepotong rumah di ujung doa. Nata menunduk, merasakan tangan ibu yang tipis menyentuh pipinya.

“Kowe ora tau ilang, Le,” bisik Sariyen, “mung kowe kerep kesasar neng dalan-pikir, dudu dalan-urip.”

Malam datang seperti selimut biru. Wijil membuatkan teh jahe, menaruhnya di meja, lalu membiarkan mereka berdua. Nata bercerita—tentang pekerjaan, tentang kota yang lambat-lambat memakan hatinya, tentang presentasi yang terasa seperti mengarang puisi tentang air untuk orang yang tidak pernah tahu haus. Sariyen tertawa pelan, lelah, tapi tulus. “Dongenganmu isih apik.”

Pagi sebelum matahari benar-benar rapuh dari kabut, Sariyen berpamitan pada dunia: senyap, sederhana, tanpa drama, hanya dengan genggaman ringan pada jari Nata. Tidak ada kata terakhir, karena semua kata telah lama ia titipkan pada hidup anaknya. Nata memeluk tubuh ibu, menangis tanpa suara, membiarkan air mata menggambar peta pulang di wajahnya.

Pemakaman berlangsung siang itu juga, di bawah pohon asem yang menyaksikan layang-layang masa kecil Nata dulu tersangkut. Orang-orang desa datang, membawa doa, membawa lengan-lengan yang menepuk bahu. Wijil berdiri di samping Nata, meminjamkan keheningan. “Aku ora iso ngganti ibumu,” katanya, “tapi yen kowe butuh, omah iki tetep ana lampune.” Nata mengangguk.

Ada momen ketika tanah pertama dijatuhkan ke liang lahat, saat itu, angin datang dari arah ladang, lembut, membawa aroma rambutan dan wangi kain tua yang lama dijemur matahari. Nata memejamkan mata. Dalam gelap, ia melihat Sariyen duduk di bale bambu, menatapnya sambil tersenyum. Ada kalimat mengambang di udara: “Aku ora banter, Le. Aku ora cedhak, nanging aku ana.”

.

Nata tinggal beberapa hari di rumah itu. Siang membantu Wijil membersihkan gudang, malam menyalakan radio tua, mendengarkan kembali kisah-kisah lama yang entah bagaimana lebih relevan dari semua podcast produktivitas yang ia dengarkan dua tahun terakhir. Nama-nama yang dulu asing kini menjadi wajah: Zubaedah tidak hanya seorang rekan kerja, tapi penolong; Umar Maya bukan hanya legenda, tapi orang-orang yang menepuk bahunya dalam sunyi; Umar Madi, sopir kantor, yang mengirim pesan malam itu: “Mas Nata, kalau butuh saya untuk jemput, kabari ya. Saya doakan ibunya.” Dunia menyambung seperti kain tenun: tiap benang bertemu, tiap simpul menguatkan.

Suatu sore, Nata menemukan kotak kecil berisi surat-surat yang Sariyen simpan. Tidak banyak. Ada struk pembelian buku cerita bergambar untuk Nata kecil. Ada foto hitam putih Sariyen muda berdiri di depan pasar. Ada kalimat di kertas kusam: “Rumah adalah tempat di mana nasihat tak terdengar sebagai kritik.” Tulisan tangan itu tidak rapi, tapi Tuhan, rasanya lebih rapi daripada semua brand guidelines yang pernah Nata susun.

Ia kembali ke Jakarta dengan satu tas tambahan: selendang Parang Rusak, radio tua yang dibersihkan Wijil, dan buku catatan Sariyen yang setengah kosong. Di halaman pertama, Sariyen menulis: “Aja tabuh angin, Le. Disek, rungokno.” Jangan pukul angin; dengarkan dulu.

Kantor menyambut Nata seperti kota menyambut hujan: seolah-olah memang menunggunya. Wira menepuk pundak, Zuba menatap “apa kabar” tanpa mengganggu. Nata mengangguk, mengucap terima kasih singkat, lalu meminta satu hari di ruang kecil di belakang: ia ingin menulis ulang narasi kampanye—bukan merombak, tapi merapikan menuju yang lebih jujur.

Slide terakhir sekarang berbunyi: “Rumah adalah peristiwa di mana seseorang diterima tanpa perlu memenangkan apa pun. Kami membangun tempat agar pulang kembali mungkin.” Wira membaca, diam sesaat, lalu berkata, “Kamu pulang?”

Nata mengangguk. “Sebagian.”

“Sebagian lagi?”

“Sedang belajar pulang setiap hari.”

Di malam yang sama, Nata mengajak Zuba makan di warung tenda pinggir jalan—bukan bistro asing yang memotret piringnya, melainkan tempat di mana wajan berbicara lebih keras dari unggahan. Mereka duduk berdampingan, jalanan riuh, nasi goreng mengepul, suara pengamen menggesek gitar. Zuba menatap langit kota yang pecah oleh lampu. “Kamu selalu terlihat tahu jalan,” katanya, “tapi beberapa kali kamu seperti orang yang… mencari penanda, bukan tujuan.”

“Aku kehilangan kompas,” jawab Nata, “atau mungkin kompasnya ada, tapi lupa aku bawa.”

“Bawa selalu,” kata Zuba. “Bahkan ketika kamu merasa tidak perlu. Kita orang kota merasa setiap rute ada di peta. Padahal pulang—yang sesungguhnya—jarang ada di peta.”

Nata tertawa kecil. “Aku harus bilang sesuatu padamu. Aku takut kalau bilang, dunia akan berubah.” Zuba menunggu. “Ternyata, dunia berubah juga walaupun aku diam.”

Mereka pulang masing-masing. Di lift apartemen, Nata melihat bayangan dirinya lagi. Tapi kali ini, ada selendang Parang Rusak tergantung di kursi ruang tamu, ada radio tua di pojok, ada lembar catatan di meja. Pukul sebelas lewat sebelas, lampu dimatikan, jendela dibuka sedikit. Angin yang tidak terlihat masuk pelan, membawa bau hujan dan, entah dari mana, fragmen percakapan masa kecil. Nata duduk, menarik napas panjang.

Malam itu ia menulis pada dirinya sendiri:

“Tidak semua yang setia harus terlihat. Kadang, kesetiaan tinggal sebagai cara kita mengucap terima kasih pada yang tak akan kembali.”

Ia menulis lagi:

“Pulang bukan soal jarak, tapi soal siapa yang kita izinkan tinggal di dalam kita.”

Dan sebuah kalimat yang paling ia butuhkan:

“Di mana aku berada? Di tempat aku berhenti membuktikan, dan mulai menerima.”

.

Waktu bergerak pelan ketika seseorang belajar menandai ulang hidup. Nata mengurangi satu-dua undangan yang dulu selalu ia kejar, menambah satu-dua tatap yang dulu selalu ia tunda. Ia kembali menelpon Wijil sepekan sekali, menanyakan kabar kebun, menanyakan apakah hujan datang tepat waktu, apakah rambutan berbuah. Di kota, ia mengusulkan program kantor untuk membangun perpustakaan kecil di proyek perumahan baru—bukan sebagai gimmick, melainkan sebagai komitmen. “Sebuah lingkungan yang baik adalah yang menyediakan tempat untuk cerita,” katanya di rapat. Beberapa orang tersenyum sinis, beberapa mengangkat bahu, tapi Wira berkata, “Kita coba.”

Di satu sore Sabtu, Nata mengajak Zuba naik KRL hingga Stasiun Manggarai, pindah jalur, turun di stasiun kecil yang namanya jarang dijadikan latar foto. Mereka menyusuri gang, membeli es cendol, duduk di bangku semen, menonton anak-anak bermain kejar-kejaran. Ada suara azan dari mushola, ada perempuan tua melipat kain di beranda. “Aku iri pada hal-hal yang tidak butuh penjelasan,” kata Nata.

“Yang mana?”

“Seperti anak-anak itu: mereka tertawa tanpa merasa perlu mengenalkan dirinya.”

Zuba menoleh. “Kamu tidak harus selalu mengenalkan diri sebagai jabatanmu.”

“Aku tahu,” jawab Nata, “tapi kadang aku lupa.”

Mereka tertawa, lalu diam. Diam yang tidak asing, diam yang tidak ingin menutup sesuatu, hanya menandai bahwa sesuatu telah ditangkap, bahwa kalimat-kalimat tidak selalu perlu diucap untuk jadi benar.

.

Jakarta, seperti biasa, terus bergerak. Di jalan raya, siang menguap jadi malam. Di kafe-kafe, diskusi tentang saham dan skema pendanaan berputar. Di gedung-gedung, rapat memutuskan nasib halaman-halaman kota. Di tengah semua itu, Nata berjalan lebih pelan. Ia mulai mengukir ritus: setiap tanggal tujuh—tanggal ketika dulu Sariyen mengajaknya ke pasar—ia menutup laptop lebih cepat, berjalan kaki menyusuri trotoar, membeli bunga apa saja di penjual kaki lima, lalu menaruhnya di jendela. Setiap kali bau kopi menampar pagi, ia menyisihkan setengah sendok gula untuk teh tubruk yang tidak ada, lalu meminumnya sambil menyalakan radio tua sebentar—suara kresek-kresek menjadi semacam doa.

Suatu malam, ia menulis surat—bukan di email, bukan di aplikasi perpesanan. Surat kertas. Untuk dirinya lima tahun lalu: “Kamu akan berhasil, tapi kamu akan lelah. Ketika lelah itu datang, ingatlah: tidak semua kursi di meja rapat diciptakan untukmu. Ada satu kursi yang selalu kosong di warung kecil bernama ‘Angkringan Sariyen’. Di sana, kamu tidak perlu menjelaskan apa pun. Di sana, kamu hanya perlu duduk.”

Ia melipat surat itu dan menyelipkannya di buku catatan Sariyen. Mungkin suatu saat, ketika ia merasa hilang, ia akan menemukannya lagi.

.

Musim berputar. Proyek yang ia rancang bersama tim berdiri: residensial dengan taman yang serius, bukan sekadar poster. Di peresmian, anak-anak berlari di antara pohon, orang-orang muda menggelar tikar, ada perpustakaan kecil dengan kaca besar yang memantulkan langit sore. Wira berdiri di depan mikrofon dan mengucap terima kasih. Nata berdiri sedikit di belakang, menatap Zuba yang memotret perpustakaan. Di sudut, Ia melihat seorang bapak membawa kardus, memeluknya seperti membawa masa depan. “Buat cucu,” gumamnya pada petugas keamanan. Nata tersenyum—dunia tampaknya tahu cara memutar ulang adegan dengan cara yang lebih lembut.

Ia mengirim pesan ke Wijil: “Jil, nek rambutanmu wis mateng, kabari. Aku arep mulih.”

Balasan datang cepat: “Mateng sithik-sithik, Le. Nanging kowe mulih wae kapan wae. Ibu mesthi seneng yen ngerteni omah iki ora kosong.”

Nata menutup ponsel, memandang langit. Malam ini, angin di Jakarta berbau seperti tanah yang lama tidak digaru. Ia menutup mata, dan di dalam kelopak yang hangat, ia mendengar lagi suara itu: “Aku ora banter, Le. Aku ora cedhak, nanging aku ana.” Bukan lagi suara yang mengundang pilu, melainkan suara yang menuntunnya berdiri lebih tegak.

.

Beberapa tahun kemudian, pada satu pagi Minggu yang cerah, Nata menulis catatan di blog pribadinya. Ia tidak menuliskan kampanye, tidak menuliskan strategi. Ia hanya menulis kisah seorang anak yang, di sebuah kota yang ingar-bingar, belajar membedakan pulang dan kembali. Tulisan itu singkat, tapi menyisakan ruang lapang: “Kita kadang tinggal di kota yang tidak pernah benar-benar meminta kita pulang. Maka pulanglah untuk diri sendiri. Di mana aku berada? Di tempat aku berhenti membuktikan, dan mulai menerima.”

Ia menutup laptop, menyeduh teh, menyalakan radio sebentar—sekadar untuk mendengar keroncong mengalun lirih. Selendang Parang Rusak tergantung di kursi, menunggu bahu untuk ditutup. Di jendela, bunga-bunga murah menampung cahaya. Jakarta masih berlari, tapi di ruang kecil itu, satu orang menahan sebentar langkah, memberi jeda, memberi nama pada angin yang masuk.

Dan di sela jeda itulah Nata tahu: ia tidak lagi bertanya Di mana aku berada? Ia telah sampai di tempat di mana setia tidak perlu terlihat, di mana rindu pulang dengan caranya sendiri—sebagai napas.

.

.

.

Jember, 22 Juli 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#Cerpen #SastraIndonesia #KompasMingguStyle #UrbanLife #KelasMenengahAtas #Pulang #IbuDanAnak #Jakarta #Lawu #MenakMadura

.

Quote yang Menyertai:

  • “Rumah adalah peristiwa, bukan alamat.”

  • “Pulang bukan tentang jarak, melainkan tentang siapa yang kita izinkan tinggal di dalam kita.”

  • “Tidak semua kursi di meja rapat diciptakan untukmu; satu kursi selalu kosong di warung kenangan.”

Leave a Reply