Di Bawah Lampu Kota
“Nyaman itu enak, tapi perkembangan lahir dari tekanan. Kurangi bicara, perbanyak mendengar; karena yang paling pelan sering kali paling dalam.”
.
Hujan baru saja mereda. Asap knalpot berbaur dengan uap yang naik dari aspal basah. Di antara kabut tipis, lampu jalan memantulkan cahaya kekuningan, seperti lilin-lilin kecil yang disusun berjajar sepanjang simpang Wonokromo hingga Tumapel. Kota menutup hari dengan bunyi ritmis: air menetes dari talang, peluit satpam, dan gesekan sandal basah pedagang nasi goreng.
Jaka berdiri di bawah salah satu tiang lampu itu, jaket denimnya lembap. Ia baru keluar dari gedung perkantoran kaca yang menara logonya selalu berpendar biru; tempat di mana ia bekerja lima tahun, tempat yang pada awalnya seperti janji, lalu pelan-pelan berubah menjadi pagar yang tak kelihatan. Rokok di jarinya padam sendiri. “Kalau kerjaan bikin mandek, saatnya cari jalan baru,” gumamnya—kalimat yang beberapa bulan terakhir seperti paku kecil yang tertancap di dinding kepalanya.
Ia menatap punggungnya sendiri pada genangan air. Wajah dalam pantulan itu terlihat lebih tua, meski umurnya baru tiga puluh dua. Rambut yang seharusnya rapi kini tampak seperti rumput sehabis diinjak. “Nyaman itu enak,” desahnya, “tapi aku tahu perkembangan lahir dari tekanan.” Ia memijit pelipis, lalu memacu motor yang sisa lumpurnya memercik.
.
Warung kopi, jam-jam yang berbisik
Di ujung Gang Darmo Kali, warung kopi Sri Tanjung masih menyalakan lampu neon yang menguarkan bunyi zzzz pelan. Di sinilah Jaka biasa mampir ketika ingin menunda pulang. Bangku plastik, meja kayu penuh bekas cangkir, dan radio butut yang sering tersendat di siaran dangdut malam—semua terasa seperti halaman yang memintanya membaca ulang diri.
Raden, kawan lamanya, melambaikan tangan. Rambutnya dicepol, mata jenakanya tampak teduh. Raden dulu dikenal segala mau dikerjakan sendiri, keras kepala juga, tapi malam itu ia seperti orang yang baru pulang dari haji: tenang dan entah kenapa, lebih bercahaya.
“Masih di menara kaca?” tanyanya sambil menyodorkan kopi hitam pekat, pahitnya tebal.
Jaka mengangguk. “Gajinya aman. Tapi rasanya… seperti jalan buntu yang disemen.”
Raden tertawa pendek. “Upgrade dirimu setiap hari, Jak. Itu investasi paling mahal yang sebenarnya murah. Jangan biarkan kantor menjadi satu-satunya definisi dirimu.”
“Kalau aku keluar sekarang, siapa yang nanti bayar cicilan Ayah waktu sakit dulu? Tabunganku—” Jaka menelan ludah. “—kamu tahu sendiri.”
Raden mencondongkan tubuh. “Nabung meski sedikit suatu hari bakal jadi penyelamat. Kamu terlambat memulainya, tapi belum terlambat untuk belajar. Kita yang lahir di kota ini, Jak, diajari menunda rasa: lapar ditunda dengan kuah rawon, sesal ditunda dengan lembur.”
Jaka tersenyum masam. Di meja sebelah, anak-anak kuliah tertawa. Mereka seperti bayangan Jaka sepuluh tahun lalu: suara serak karena mimpi yang terlalu sering diteriakkan.
“Dengar,” Raden merendahkan suara, “aku dan teman-teman sedang bangun platform pelatihan digital buat UMKM. Namanya Labhang—terinspirasi dari Labhang Mesem, gerbang yang tersenyum itu; biar usaha kecil punya pintu masuk ke pasar besar. Gajinya nggak seberapa, tapi ruang belajarnya luas. Mau ikut lihat-lihat?”
Nama itu seperti menyentuh memori lama Jaka. Ia ingat kisah-kisah yang pernah diceritakan bapaknya tentang orang bernama Joko Tole—Jokotole—yang kalau sudah memutuskan jalan, ia habiskan sampai ke ujung. “Aku pikir-pikir,” katanya, menertawakan ragu yang lebih mirip takut.
Raden menepuk bahu Jaka. “Orang baik dan momen indah itu langka. Kalau kamu dapat dua-duanya sekaligus, hargai.”
Di luar warung, hujan mulai lagi, rapat. Jaka tak jadi pulang. Ia duduk lebih lama, hanya mendengar. Ada kelegaan yang aneh ketika bibir berhenti berlari dan telinga menaruh kursi.
.
Kota, tubuh yang penuh kejutan
Beberapa hari kemudian Jaka ambruk di depan layar. Napasnya cepat, keringat dingin merayap. Rekan kerjanya panik. Di klinik perusahaan, dokter menatapnya seperti cermin yang berkata jujur. “Tubuhmu bukan mesin printer. Ia perlu tidur; ia perlu sayur; ia perlu jalan. Jaga badan, hidup ini penuh kejutan.”
Jaka pulang dengan jalan kaki menyusuri trotoar yang basah. Ia melihat tukang tambal ban yang tertawa meski hujan mendesak, perempuan penjual sate yang menutup gerobaknya dengan plastik bening, dan seorang bocah yang berseri-seri saat mendapati genangan besar—ia menyeberang seperti melompati samudra. Jaka merasa kota ini menghibur sekaligus menuntut: kau boleh rapuh, tapi jangan terlalu lama.
Di beranda kos, ia membuka aplikasi rekening. Angka-angkanya membuat perutnya ditarik ke dalam. Biaya rumah sakit Ayah di masa pandemi masih menyisakan beban. Gaji aman, benar, tetapi aman yang menidurkan. Ia ingat kalimat yang selalu dihindari orang ketika berkumpul: Uang bukan segalanya, tapi segalanya butuh uang. Hatinya riuh. Pada dinding yang lembap, ia menempelkan secarik kertas: menabung tiap gajian, sekecil apa pun.
Sore itu telepon dari adiknya, Nur. Suaranya terburu, banyak angin. “Mas, Ayah kambuh. Dokter minta kontrol rutin. Bisa pulang akhir pekan ini?”
Jaka memejam. Jalanan di luar seperti menggulung. “Aku pulang,” katanya. “Keluarga tetap nomor satu. Sisanya nanti dulu.”
.
Kereta, percakapan yang tertunda
Kereta malam ke Jember seperti perahu melintas sawah basah yang digambar oleh hujan. Di bangku sebelah, seorang ibu muda meninabobokan anaknya dengan lagu lirih. Jaka teringat ibu. Ia selalu menyimpan uang di kaleng bekas biskuit dan menutupnya dengan kain batik; tiap angka yang masuk selalu disertai doa.
Ketika kereta berhenti di Stasiun Klakah, seorang lelaki tua naik, duduk di seberang. “Kamu orang Surabaya?” tanyanya tiba-tiba.
“Ya, Pak.”
“Kalau kerjaan bikin mandek, jangan lama-lama diam di situ,” ucapnya, seperti membaca catatan kecil di dinding kamar Jaka. “Lihat gunung di luar sana. Ia kelihatan diam, padahal di perutnya ada api yang terus bergerak.”
Jaka tertawa singkat, tetapi dadanya hangat. Lelaki itu memperkenalkan diri: Sagara. Nama yang mengingatkan Jaka pada pengembara di cerita-cerita masa kecilnya. Mereka bicara pendek; selebihnya mereka hanya mendengarkan derit rel yang mengantarkan masing-masing ke halaman hidup berikutnya.
.
Rumah, doa yang selalu mendahului
Di Jember, rumah orangtuanya berdiri di gang kecil yang menumbuhkan pohon mangga besar. Ayah duduk di kursi rotan, menatap halaman yang becek. Wajahnya pucat tapi senyumnya utuh.
“Masih mengejar bintang?” tanya Ayah.
“Sekarang lagi belajar mengejar diri sendiri dulu, Yah.”
Ibu menyiapkan teh panas. “Jalan-jalanlah selagi sempat,” katanya, “Bukan ke Bali atau ke luar negeri. Jalanlah ke pasar, ke sawah, ke tetangga yang sedang sedih. Waktu nggak bisa diputar, tapi dia bisa dipeluk.”
Malam itu Jaka tidur dengan jendela dibuka. Aroma tanah basah masuk, aroma masa kecil yang meminjamkan keberanian. Di dinding kamar, poster lama Jokotole—yang dulu ia tempel ketika SD—masih ada, ujungnya terkelupas. Jokotole bukan pahlawan karena sakti, pikir Jaka, melainkan karena ia memilih maju saat yang lain mundur.
.
Pottre Koneng di Balai Kota
Kembali ke Surabaya, Jaka menerima pesan dari Siti—teman kuliahnya yang kini menjadi fotografer jalanan. “Ikut aku motret festival UMKM di Balai Kota?” tulisnya. “Ada penari yang kostumnya terinspirasi Pottre Koneng. Kamu pasti suka.”
Di aula Balai Kota yang hiruk pikuk, Siti mengacungkan kamera. Seorang penari perempuan lewat dengan selendang kuning membingkai wajah kecokelatannya. Tatapannya tegas, langkahnya seperti angin yang tahu jalan.
“Namanya Koneng,” kata Siti. “Dia bukan keturunan siapa-siapa, tapi matanya membawa kemerdekaan.”
Koneng rehat di tepi panggung. Siti memperkenalkannya pada Jaka. Mereka bicara tentang cahaya panggung yang terlalu dingin, tentang kain yang menggores kulit, tentang sendal jepit yang hilang. Sepele, tetapi Jaka merasa seperti sedang membuka pintu lama yang di baliknya adalah ruangan masa depan. “Kamu suka menari?” tanya Jaka bodoh.
Koneng tertawa, giginya rapi. “Aku suka hidup yang bergerak. Kalau musik berhenti, aku tetap menari dalam hati.”
Ucapan itu menempel pada Jaka seperti logo tim sepak bola pada kaus. Malamnya, ketika mereka bertiga duduk di trotoar menyantap semangkok tahu tek, Koneng bercerita bagaimana ia menabung tiap pekerjaan, sekecil apa pun, agar suatu hari bisa membeli studio kecil untuk anak-anak kampung. “Nggak perlu besar,” katanya, “yang penting ada cermin agar mereka melihat kemungkinan.”
Jaka mengangguk. Ia tiba-tiba ingin menjadi orang yang menyediakan cermin.
.
Pintu bernama Labhang
Akhirnya ia memutuskan datang ke markas kecil Raden: ruko dua lantai dekat Pasar Keputran. Lantai atas diteduhi seng yang membuat suara hujan seperti rebana. Di dinding terpasang papan tulis berisi peta jalan produk, coretan tak sempurna, dan kalimat-kalimat yang terlihat seperti doa.
“Labhang,” Raden menunjuk logo sederhana berbentuk lengkung. “Kita ingin jadi pintu masuk yang ramah.”
Timnya kecil: Raden yang merancang produk; Sagara—ternyata lelaki tua di kereta itu—menjadi mentor UMKM; Siti mengelola cerita visual; dan seorang pemuda bernama Blaban yang urusan koding. Jaka ditawari mengurusi kemitraan dan operasional.
“Mungkin kamu harus menurunkan gaya hidupmu,” kata Raden. “Di sini gaji adalah roti, bukan kue lapis.”
Jaka menahan tawa. “Selama rotinya bukan batu,” jawabnya. Mereka saling tatap seperti dua orang yang sepakat bahwa usaha kecil memerlukan cinta yang besar.
Hari-hari berikutnya Jaka belajar logistik, membaca neraca sederhana, menyusun proposal, mengetuk pintu, merekam cerita pedagang tahu, pemilik warung soto, perajin batik kampung. Ia mengurangi bicara, memperbanyak mendengar. Dengan mendengar, ia menemukan bahwa banyak orang boleh kalah, tapi tak satu pun dari mereka ingin dikasihani.
Koneng kerap mampir setelah latihan menari. Ia mengajari anak-anak pegudang dekat ruko untuk meregangkan tubuh, agar punggung mereka tak cepat remuk oleh beban. Di matanya, Jaka sering menangkap api—bukan api kemarahan, melainkan api keberanian yang tahu kapan menyala, tahu kapan jadi hangat di telapak tangan.
.
Kompromi dan kompas
Tiga bulan bekerja, sebuah kabar buruk datang. Ayah harus operasi ringan. Biaya tidak besar, tetapi bukan kecil. Jaka menghitung, menambah, mengurangi di kalkulator ponsel. Ia menatap Raden. “Aku harus cari tambahan. Mungkin ambil kerja lepas malam.”
Raden mengangguk. “Kompromi itu bijak kalau demi keluarga. Ikutlah, aku punya kenalan butuh editor naskah katalog. Seminggu selesai.”
Jaka pulang lebih malam dari biasanya. Di kos, Koneng kadang mengirim pesan: makan dulu, minum air hangat, jangan lupa tidur. Kalimat-kalimat pendek yang menurutnya sederhana, tetapi di tubuh Jaka menjadi kompas kecil. Ia belajar bahwa perhatian bukanlah teriak, melainkan hadir tanpa tepuk tangan.
Operasi Ayah berjalan lancar. Ibu mengirim foto Ayah tersenyum dengan jempol terangkat. Jaka menyimpan foto itu sebagai layar kunci ponsel—kunci yang mengingatkan bahwa yang pertama selalu keluarga.
.
Tekanan yang menumbuhkan
Platform Labhang mulai dipakai puluhan UMKM. Ulasan di toko-toko digital menunjukkan peningkatan. Ada pekan-pekan yang menyejukkan seperti angin sawah; ada juga hari-hari yang terasa seperti duduk di kursi panas. Server pernah disusupi, data pengguna hampir hilang. Blaban, yang biasa banyak bercanda, tiba-tiba diam seperti kutub. Raden menatap timnya, tidak panik namun jelas gusar.
“Kita belajar dari ini,” katanya. “Masa kelam itu guru, bukan untuk dilupakan. Besok pagi kita bangun lebih cepat; hari ini kita selamatkan yang bisa diselamatkan.”
Malam itu mereka tak pulang. Jaka meminjamkan jaketnya pada Siti yang menggigil. Koneng datang membawa termos teh jahe dan roti sobek. Mereka duduk di lantai, memeluk kelelahan, seperti keluarga kecil yang menyelamatkan rumah dari kebakaran. Ketika fajar menyelinap, Blaban berseru, “Selesai! Data kembali.” Mereka tertawa semrawut, lalu tidur bergantian di atas karpet tipis.
Di kepala Jaka, sebuah kalimat menggema: Jangan sia-siakan peluang yang kamu impikan. Pagi yang dingin terasa seperti lembar baru buku tulis.
.
Jalan yang tak bisa diputar
Beberapa bulan kemudian, Labhang diundang Pemkot mengisi bimbingan UMKM di Balai RW sebuah kampung padat di pinggir rel. Jaka memandu sesi mendengar. Satu per satu pedagang bercerita: ada penjual putu yang bertarung dengan ojol yang kerap menagih lebih, ada perajin sandal yang kalah oleh pabrik, ada penjual sayur yang jam tidurnya hampir nihil.
Seorang ibu, namanya Roro Nguneng, berdiri. “Saya tidak bisa baca tulis,” katanya. “Tapi saya bisa menimbang rasa, Mas. Saya bisa membedakan pelanggan yang datang karena lapar dan pelanggan yang datang karena butuh teman.”
Jaka seperti dipukul pelan. Setelah sesi berakhir, ia duduk di pinggir gang, memandang kereta lewat. Rasanya, waktu memang tak bisa diputar. Tetapi kita bisa menaruh lebih banyak kehangatan pada jam-jam yang sedang berjalan.
Sore itu ia mengajak Koneng berjalan tanpa tujuan, hanya menyusuri kota. Mereka melewati jembatan yang pada malam hari dihiasi lampu-lampu, masuk ke toko buku bekas di Peneleh, membeli es puter dari abang yang bercanda bahwa cuaca selalu salah; ketika hujan, ia kedinginan, ketika panas, esnya cepat mencair. Di bawah pohon trembesi, Jaka berbisik: “Aku takut berbahagia terlalu cepat.”
Koneng menatapnya, lembut tapi tegas. “Kebahagiaan bukan finish, Jak. Dia seperti tarian: ada langkah ke depan, ada langkah mundur, ada putaran. Yang penting musiknya jujur.”
.
Panggung kecil, keputusan besar
Undangan datang: Labhang diminta presentasi di hadapan calon investor—perusahaan keluarga yang dikenal pelit memuji tapi jago membidik. Presentasi akan diadakan di aula hotel tua di Tunjungan, tempat yang dindingnya menyimpan cermin besar dan setiap cermin menyimpan cerita.
Raden menunjuk Jaka sebagai pembicara utama. “Kamu yang paling pandai merakit kata menjadi tangga,” katanya. “Naikkan mereka sehingga melihat yang kita lihat.”
Malam sebelum presentasi, Jaka tidak bisa tidur. Ia ingat menara kaca yang ditinggalkannya tiga bulan lalu. Setiap bulan, gaji tetap masuk ke rekening, jam kerja rapi; ia tahu tempat makan siang yang enak, ia hafal jam macet yang bisa dihindari. Semua aman—tapi ia pun tahu aman yang menahan. Di meja, ia menulis satu per satu kalimat pengingat—empat belas butir yang bisa ditaruh dalam saku:
-
Nyaman itu enak, tapi perkembangan lahir dari tekanan.
-
Upgrade dirimu setiap hari; itu investasi terbaik.
-
Kalau kerjaan bikin mandek, cari jalan baru.
-
Kurangi bicara, perbanyak mendengar; itu ilmu.
-
Orang baik dan momen indah itu langka; hargai.
-
Nabung meski sedikit; suatu hari jadi penyelamat.
-
Uang bukan segalanya, tapi segalanya butuh uang.
-
Jalan-jalanlah selagi sempat; waktu tak bisa diputar.
-
Jangan sia-siakan peluang yang kamu impikan.
-
Jaga badan; hidup penuh kejutan.
-
Keluarga tetap nomor satu. Sisanya nanti dulu.
-
Kompromi itu bijak kalau demi keluarga.
-
Kejar mimpi; jangan terpaku ke belakang.
-
Masa kelam itu guru, bukan untuk dilupakan.
Ia membaca ulang, lalu melipat kertas itu dan memasukkannya ke dompet—di belakang foto Ayah yang tersenyum.
Presentasi berjalan seperti yang sering ia latih dalam kepala. Ia tidak memakai bahasa yang mengkilap; ia memakai cerita. Tentang penjual putu, tentang sandal kampung, tentang anak-anak yang menari di gudang ruko, tentang cermin kecil yang membuat kemungkinan terlihat.
Ketika selesai, ruangan hening sesaat. Lalu salah satu investor, perempuan paruh baya dengan gelang kayu di pergelangan, mengacungkan jempol. “Kalian belum sempurna,” katanya, “tapi kalian jujur. Orang yang jujur lebih mudah bertumbuh. Kami ikut setengah jalan—kalian tunjukkan sisanya.”
Raden memejam, Jaka merasakan dadanya dibuka angin. Mereka saling menepuk punggung, tidak berlebihan; kebahagiaan yang dewasa selalu tahu batas volume.
.
Balasan dari masa kecil
Beberapa hari seusai presentasi, Jaka pulang sebentar ke Jember. Ia ingin memberi kabar langsung. Di teras, Ayah duduk sembari menghirup kopi pahit, Ibu memotong mangga yang mulai matang. Ketika Jaka bercerita, mata Ayah berkaca.
“Dulu kau sering bertanya kenapa rumah kita kecil,” katanya. “Aku tak pandai memproduksi kekayaan, tapi aku ingin kau pandai mengejar waktu. Jangan sampai kau seperti aku—kerja kuat, lupa pulang.”
Jaka memeluk Ayah. Ibu menepuk bahunya. Di dalam rumah, jam dinding berdetak dengan bunyi yang sejak kecil selalu menenangkan. Keluarga tetap nomor satu, batinnya. Sisanya nanti dulu.
Di halaman, anak-anak tetangga bermain kejar-kejaran. Jaka menyadari satu hal: masa kecilnya tidak pernah benar-benar pergi; ia menunggu seperti halaman kosong—ia tinggal menulis ulang dengan tinta yang lebih tenang.
.
Kepergian yang baik
Kabar baik diikuti kabar yang menyayat: Sagara wafat mendadak di pagi hari, setelah mengantar cucunya sekolah. Kota terasa lebih sepi; jalan seperti menanggung beban yang lebih berat dari biasanya.
Di pemakaman, Jaka berdiri memandangi tanah yang baru digali. Raden membaca doa pendek. Koneng memegang lengan Ibu Sagara. “Beliau selalu berkata: jika kamu tak bisa menambah angka penjualan, tambah angka persaudaraan. Itu juga laba,” ucap Raden, suaranya pecah.
Jaka menelan air mata. Masa kelam itu guru, ia ingat. Ia tak sanggup menghapus sedih, tetapi ia bisa merawatnya agar tidak menjadi parit tempat masa depan tersandung.
.
Studio kecil Koneng
Beberapa bulan berlalu. Berkat dukungan investor, Labhang menyewa ruang tambahan di ruko sebelah: cermin besar dipasang, lantai dilapisi kayu. Koneng diberi kesempatan mengelola kelas gerak untuk anak-anak dan ibu-ibu. “Studio kecil,” katanya, “cukup untuk melihat diri utuh.”
Di peresmian sederhana itu, Raden meminta Jaka berbicara. “Kenapa kita repot-repot memikirkan hal di luar angka?” tanya Jaka, retoris. “Karena angka tumbuh dari jiwa yang percaya. Kota hanya kuat bila warganya berani menilai dirinya sendiri, lalu menari—meski musiknya kadang putus.”
Ia memandang Koneng yang berdiri di sisi panggung, selendang kuningnya seperti matahari pagi. “Kejar mimpimu,” tambah Jaka, lebih kepada diri sendiri, “jangan terpaku ke belakang.”
Anak-anak menari, ibu-ibu tertawa. Di luar, lampu kota menyala satu-satu, seperti barisan sahabat lama yang setia menunggu. Hujan belum turun, tetapi udara menyimpan wangi hujan: janji sekaligus peringatan.
.
Di bawah lampu kota, lagi
Suatu malam, Jaka berdiri lagi di bawah tiang lampu dekat menara kaca tempat ia dulu bekerja. Ia memandang puncaknya yang masih menyala biru. Ada rasa rindu, tentu. Ia merindukan kejelasan jadwal, rapat yang memiliki agenda, gaji yang tiba tanggal segitu. Tetapi rindu tidak harus berakhir kembali.
Ia mengeluarkan selembar kertas yang mulai lembek oleh keringat. Empat belas kalimat itu masih terbaca jelas, seolah ditulis dengan tinta yang tak sudi pudar. Ia menambahkan satu kalimat di bawahnya, hadiah dari perjalanan panjang:
“Hidup bukan soal selamat dari hari ini, tetapi soal tumbuh hingga besok pantas ditunggu.”
Motor lewat, angin menyingkap rambutnya. Ia mengirim pesan pada Raden: besok pagi kita ke kampung sebelah, ya? Aku dengar ada pengrajin bambu yang butuh bantuan memotret katalog. Raden membalas cepat: gas.
Ia mengirim pesan pada Koneng: besok sore aku pinjam studio buat kelas kecil soal pengelolaan uang untuk anak-anak—aku janji tanpa bosan akan bilang: nabung meski sedikit. Koneng membalas dengan emoji tangan membentuk hati.
Jaka berjalan pelan. Kota tidak menjanjikan bintang, tetapi ia menawarkan kesempatan: berbicara pada orang asing, menjadi telinga, memeras ide dari kegagapan, pulang pada keluarga, lalu keluar lagi dengan langkah yang lebih tegap. Ia memandang genangan yang memantulkan langit malam. Di sana ada dua Jaka: yang dulu dan yang sekarang. Keduanya saling mengangguk.
Hujan turun, akhirnya. Lampu-lampu kota memantul pada aspal, menciptakan jejak yang tak terulang. Dan Jaka—anak biasa dari gang kecil yang diajari menunda rasa—melangkah maju, bukan karena telah berani sepenuhnya, melainkan karena ia tahu: keberanian jarang datang utuh; ia datang sedikit-sedikit, seperti tabungan kecil yang pada waktunya menjadi penyelamat.
.
Petikan-Petikan (sebagai jeda di dalam buku program Labhang)
-
“Nyaman itu enak, tapi perkembangan lahir dari tekanan.”
-
“Kurangi bicara, perbanyak mendengar; yang pelan sering paling dalam.”
-
“Nabung meski sedikit—bukan soal angka di rekening, melainkan rasa tenang di dada.”
-
“Keluarga itu rumah; ambisi adalah jalan. Tanpa rumah, jalan kehilangan alamat.”
-
“Masa kelam itu guru; kita murid yang diminta hadir tiap hari.”
Lampu kota terus menyala. Di bawahnya, orang-orang bergerak: menyetrika pakaian, menutup kios, membungkus makanan untuk sahur, mengejar angkot terakhir, menimbang mimpi, menyeka air mata, menawar harga, memeluk anaknya. Hidup berjalan bukan dengan gemuruh, tetapi dengan keberanian-keberanian kecil yang tak terlihat. Dan di antara mereka, Jaka berjalan pulang, menenteng helm dan selembar kertas yang semakin lusuh—kertas yang menjaga agar hari esok tetap bisa ditunggu.
.
.
.
Jember, 20 September 2025
.
.
#CerpenKompasMinggu #SastraIndonesia #CeritaPerkotaan #MotivasiHidup #UMKM #KeluargaNomorSatu #KejarMimpi