Di Antara Lampu Kota dan Luka yang Terbuka

“Keintiman bukan tentang tubuh yang bersentuhan, tapi tentang hati yang tak saling menjauh meski tahu luka terdalam satu sama lain.”

.

Langit Jakarta dan Luka yang Tak Terucap

Langit malam di Jakarta seperti biasa: penuh cahaya dari billboard, lampu mobil, dan bias neon dari kedai kopi yang tak pernah benar-benar tidur. Tapi di dalam sebuah kamar apartemen mungil di daerah Setiabudi, seseorang sedang mencoba untuk tidak menangis.

Srikandi menatap layar ponselnya yang redup, menyimpan pesan suara yang belum berani ia buka dari sosok yang belakangan ini menjadi rumah dalam kekacauan batinnya. Namanya Yudhistira. Pria tenang yang datang bukan untuk menyelamatkan, tapi hanya duduk bersamanya saat semuanya runtuh.

“Kalau kamu sudah siap, aku di sini ya,” begitu katanya suatu malam lewat pesan teks.

.

Pertemuan Tanpa Skema Romantis

Mereka bertemu tidak di tempat klise seperti kafe atau konser, tapi di ruang terapi kelompok yang diadakan komunitas pemulihan trauma. Srikandi dengan sejarah kekerasan rumah tangga yang menyesakkan, dan Yudhistira dengan luka ditinggalkan ibunya sejak kecil.

“Saya tidak mencari orang yang sempurna,” ucap Srikandi saat perkenalan.

“Saya juga,” balas Yudhistira. “Saya cuma mau punya satu tempat, di mana saya boleh menangis tanpa dinilai.”

Dan dari situlah benih rasa tumbuh. Bukan rasa cinta yang menggebu, tapi keintiman yang dibentuk dari kesamaan: mereka sama-sama patah.

.

Ketelanjangan Emosional

Suatu malam, Srikandi menjemput Yudhistira dari halte bus setelah hujan. Mereka hanya duduk di balkon sambil menyeruput teh panas dan mendengar suara klakson dari kejauhan.

“Dulu aku pernah berpikir kalau semua ini salahku,” Srikandi mulai bercerita. “Ayahku selingkuh, ibuku menyalahkanku. Lalu suamiku memukulku setiap kali aku salah menyajikan teh.”

Yudhistira tidak menjawab. Ia hanya menggenggam tangan Srikandi, tidak kuat atau lemah, tapi cukup.

“Kamu aman bersama saya,” katanya pelan, dan kalimat itu bukan mantra ajaib, tapi pelan-pelan menyulam keyakinan baru dalam hati Srikandi.

.

Antara Nyaman dan Trauma yang Kambuh

Hubungan mereka tidak mulus. Srikandi seringkali menghindar saat Yudhistira ingin memeluk. Yudhistira pun kerap tenggelam dalam diam saat Srikandi mulai berteriak dalam mimpi.

“Aku takut jadi orang yang menyakitimu juga,” kata Yudhistira.

“Dan aku takut kehilangan kamu karena reaksiku sendiri,” balas Srikandi.

Tapi mereka terus memilih duduk berdampingan dalam diam. Kadang bukan pelukan yang dibutuhkan, tapi kehadiran yang tidak pergi.

.

Saat Dunia Lain Bertanya, “Apa Status Kalian?”

Teman-teman bertanya, keluarga menyindir. Mereka bukan pacar, bukan suami-istri, bahkan tidak pernah mencium satu sama lain.

“Kenapa kamu terus bersamanya kalau tidak jadian?”

Yudhistira hanya menjawab, “Karena aku mencintainya tanpa harus memilikinya.”

Dan Srikandi, dalam diamnya, tahu bahwa definisi cinta sudah tidak lagi harus punya label. Ia hanya ingin menjadi dirinya yang utuh tanpa harus memuaskan ekspektasi dunia.

.

Meja Kayu dan Malam Terakhir

Malam itu hujan deras. Srikandi membaca puisi di panggung komunitasnya.

“Aku tidak ingin kau mencintaiku karena bibirku manis, Tapi karena luka-luka di tubuhku tidak membuatmu mundur.”

Yudhistira berdiri di belakang ruangan, matanya berkaca-kaca. Setelah puisi selesai, ia menghampiri Srikandi dan memeluknya. Untuk pertama kalinya, Srikandi tidak menolak.

“Aku aman bersamamu,” bisiknya di dada Yudhistira.

Dan malam itu, mereka tidak tidur bersama. Tapi untuk pertama kalinya, mereka benar-benar berbagi keintiman yang sesungguhnya.

.

Sembuh

Keintiman sejati tak selalu harus diukur dengan sentuhan fisik. Kadang, keintiman hadir saat dua jiwa yang remuk memilih duduk bersama dalam kejujuran, diam-diam menyembuhkan satu sama lain, dengan kalimat sederhana:

“Kamu aman bersama saya.”

.

.

.

Jember, 28 Juli 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenKompasMinggu #KeintimanTanpaLabel #CeritaLukaDanCinta #SastraPerkotaan #CeritaMenyentuh #HealingTogether

Leave a Reply