Dalam Diam, Aku Bersyukur
“Bersyukur bukan karena semua sempurna, melainkan karena hati belajar menerima yang retak tanpa kehilangan cahaya.”
“Kita sering kali lupa bahwa yang patut paling disyukuri bukanlah apa yang besar, tapi yang masih kita miliki: napas, harapan, dan keberanian untuk terus hidup.”
.
Hujan di Tanah Abang
Hujan mengikis siang seperti raut kesedihan yang tak sempat dipeluk. Di lorong sempit Tanah Abang, genangan air menjilat dinding kusam rumah petak berukuran tiga kali empat meter. Suara gerimis menari di atas atap seng yang retak, membisikkan kepedihan yang tak asing bagi Rubiyah.
Di dalam rumah itu, waktu seolah menahan napas. Dapur menyatu dengan ruang tidur. Rak plastik biru nyaris tumbang menahan beban bumbu dapur, setrika, dan sisa harapan. Rubiyah duduk di atas tikar pandan, menekuni baju robek titipan tetangga. Cahaya lampu neon berpendar samar, mengiris bayangan wajahnya yang mulai mengeriput.
“Bu, nasi udah mateng?” tanya Menak, anak semata wayangnya yang berusia tujuh tahun. Suaranya lembut, matanya jernih seperti langit sebelum awan.
Rubiyah menoleh, menahan perih di perut yang kosong sejak pagi. “Udah, Nak. Ambil aja. Ibu masih jahit.”
Di atas meja, hanya ada sepiring nasi dengan kecap. Tapi Menak makan dengan lahap. Tidak ada keluhan. Tidak ada tangis. Hanya diam yang bijaksana, seperti ibunya.
.
Jakarta dan Luka Lama
Rubiyah dulunya gadis desa Sumenep, Madura. Wajahnya teduh, suaranya menenangkan. Ia tak pernah menyangka takdir membawanya ke lorong-lorong Jakarta yang berisik dan beringas.
Wahban, suaminya, berangkat ke Jakarta empat tahun lalu dengan janji akan menjemput mereka setelah “semua mapan.” Namun sejak pergi, kabar lenyap. Uang tak datang. Yang datang justru desas-desus: Wahban telah menikah lagi, dengan pemilik warung di Cilincing.
Saat itu Rubiyah tengah mengandung. Dengan satu koper dan doa-doa panjang, ia mengajak perutnya yang membesar ke ibukota—berharap menjawab teka-teki pengkhianatan.
Tapi Jakarta tak sudi menyambutnya. Wahban menolak menemuinya. Istri barunya menuduh Rubiyah hendak merusak rumah tangga. Ia terusir tanpa bekal, di pinggir pasar, di antara keranjang sayur dan teriakan tukang parkir.
Dari sanalah Rubiyah memulai ulang. Dengan tangan, bukan harapan.
.
Menjahit Luka, Menambal Hidup
Rumah petaknya disewa dari hasil jadi buruh cuci. Lalu, berkat satu mesin jahit bekas yang diwariskan tetangga, Rubiyah mulai menjahit. Awalnya cuma celana sobek anak-anak. Lalu ibu-ibu komplek mulai mempercayakan kebaya, baju lebaran, hingga seragam sekolah.
Tiap malam, Menak tidur memeluk tubuhnya yang dingin, sementara Rubiyah menjahit hingga pukul dua pagi. Tangan kapalan, mata sembab, tapi semangatnya tak pernah retak.
“Kalau hidup ini perlombaan, aku bukan pelari,” batinnya. “Aku pejalan kaki yang tidak ingin berhenti.”
Tiap senja, ia menatap jendela plastik rumah petak itu dan membisikkan satu kata: “Alhamdulillah.”
.
Surat dari Menak
Satu malam, listrik padam. Lilin menyala di sudut tikar. Menak, yang baru pulang dari les gratis di masjid, menyerahkan secarik kertas:
Ibu, maaf kalau aku belum bisa bikin Ibu bangga. Aku akan belajar terus—supaya kita bisa punya rumah beneran. Aku sayang Ibu. Jangan sedih ya. Ibu cahaya di hidupku.
—Menak
Tangis Rubiyah pecah. Bukan karena sedih, melainkan karena akhirnya ia merasa hidupnya bernilai.
.
Kebaikan yang Tak Kasat Mata
Kamaratih—pelanggan yang sering menitipkan kebaya untuk diperbaiki—datang pada suatu sore. Seorang guru yang senyumnya lembut, tatapannya teliti.
“Bu Rubiyah, sekolah kami butuh mentor menjahit untuk ibu-ibu. Saya sudah daftarkan panjenengan,” katanya.
Rubiyah tergagap. “Saya? Tapi saya…”
“Justru karena panjenengan bukan siapa-siapa, panjenengan bisa jadi siapa-siapa buat orang lain.”
Kata-kata itu, sederhana tapi tajam, seperti jarum pertama yang mengikat pola hidup baru.
.
Kelas Pertama
Hari itu, Rubiyah memakai kebaya pinjaman. Rambut disanggul seadanya. Ia berdiri di depan dua belas ibu-ibu: sebagian janda, sebagian buruh cuci seperti dirinya. Tangannya gemetar saat memegang spidol.
“Nama saya Rubiyah. Saya bukan lulusan sekolah. Tapi saya pernah menjahit hidup dari luka. Dan saya bersyukur bisa berdiri di sini.”
Ruang kelas hening. Pelan-pelan, peserta menunduk. Ada yang meneteskan air mata.
Hari itu, Rubiyah tak hanya mengajar menjahit. Ia menularkan harapan.
.
Benih yang Tumbuh di Kota
Tahun demi tahun mengalir. Tanah Abang tetap gaduh, tapi jalur hidup Rubiyah melebar. Ia belajar memotong pola modern, mengenali kain sutra, linen, dan viscose. Ia memahami kata-kata baru: fit, drape, grainline. Ia belajar dari YouTube di ponsel bekas dan dari pelanggan yang tak segan berbagi ilmu.
Menak tumbuh menjadi siswa unggulan. Caranya memeluk ibunya—erat dan tenang—membuat tetangga percaya bahwa kemiskinan bukan alasan untuk kehilangan kesantunan.
Kabar tentang kelas menjahit menyebar. Rubiyah diundang menjadi narasumber pelatihan kewirausahaan perempuan kelurahan. Ia membuka akun Instagram: @menjahithidup. Foto-fotonya sederhana, tapi jujur: jarum, benang, senyum. Dalam diam, algoritma menyukai kejujuran.
“Bu Rubiyah bukan hanya ibu Menak. Beliau ibu dari semangat kami,” kata seorang peserta pelatihan.
.
Dari Gang ke Galeri
Undangan datang dari komunitas wirausaha kreatif di Jaksel: pameran kecil di sebuah kafe di Cipete. Kamaratih yang mendorong. “Ingat, Bu,” katanya, “kain termahal pun dimulai dari serat yang rapuh.”
Rubiyah menyiapkan tiga kebaya modern warna teduh, satu trench dress sederhana, dan satu atasan bebas setrika dari katun Jepang. Ia meminjam manekin dari sekolah. Ia menulis label dengan tangan: Menjahit Hidup—Jakarta.
Malam pembukaan, lampu-lampu kuning memantul di kaca jendela kafe. Orang-orang datang dengan baju rapi, tertib, beraroma parfum buah. Rubiyah berdiri di sudut, memegang tas kanvas pemberian Menak.
Seorang perempuan mendekat, memperhatikan jahitan bahu. “Rapi sekali. Ibu yang buat?”
Rubiyah mengangguk.
“Saya Laila,” katanya, “buyer butik di Kemang. Boleh saya pesan sepuluh potong untuk capsule collection Ramadan?”
Suara lalu lintas Cipete tiba-tiba seperti gamelan yang menenangkan. Sepuluh potong. Capsule collection. Kata-kata baru, napas lama.
Malam itu, hujan turun di luar. Di dalam, Rubiyah menandatangani nota pemesanan pertamanya sebagai produsen skala kecil.
.
Menyilang Nasib
Pemesanan Laila membuka pintu lain. Butik di Kemang merekomendasikan ke concept store di SCBD. Nama Menjahit Hidup mulai beredar di kalangan stylish yang menyukai cerita di balik pakaian.
Rubiyah menyewa sudut kecil di co-working dekat Blok M. Ia tak lagi sendirian: ada Renggani, gadis tangguh dari Depok yang ahli potong; ada Wirya, mahasiswa desain yang cekatan membuat pola digital; dan ada Kamaratih yang, di sela mengajar, membantu merapikan cashflow.
“Kalau ingin bertahan,” ujar Kamaratih, “kita harus on time dan on quality. Jangan takut bilang ‘tidak’ pada pesanan yang melampaui kapasitas.”
Rubiyah mengangguk. Ia menempelkan tiga kalimat di dinding:
-
Janji adalah kain yang harus dijaga seratnya.
-
Kejujuran adalah pola yang memandu potongan sulit.
-
Disiplin adalah mesin jahit yang tak boleh dimatikan.
.
Menak dan Kota yang Berlari
Menak diterima beasiswa di sekolah menengah favorit di Sudirman. Tiba-tiba, dunia melebar: field trip ke museum, workshop coding, debat antar sekolah. Menak tidak mabuk oleh lampu-lampu kota; ia pulang, mencuci piring, mengecek tugas, lalu duduk di pojok ruang tamu untuk membaca.
“Bu, Jakarta itu kayak kain polkadot,” katanya suatu malam. “Bintiknya banyak, tempat yang bisa jadi pijakan juga banyak. Kita tinggal pilih titik mana yang mau disambung.”
Rubiyah tersenyum. Anak ini bukan hanya buah hati, tetapi juga kompas.
.
Rumah di Antara Gedung
Tiga tahun setelah pameran kecil di Cipete, Rubiyah pindah dari rumah petak ke apartemen studio bekas di Tebet. Tidak mewah, tetapi cukup lapang untuk dua jiwa. Jendela lebar memandang rel kereta; tiap subuh, gerbong lewat seperti garis-garis pada kain.
Ia membeli mesin jahit industri yang berderum halus, menata rak benang, dan menggantung mood board: foto kain, sketsa, potongan kalimat dari majalah. Ia menempel satu kalimat di tengah: “Dalam diam, aku bersyukur.”
Kelas menjahitnya berkembang. Ia mengajar ibu-ibu muda pekerja kantoran di akhir pekan—di ruang co-working yang kini disewa dengan harga layak. Ia mengajarkan bukan hanya teknik, tetapi etos:
“Kalau salah potong, jangan salahkan gunting,” katanya. “Tanya dirimu: tergesa-kah? Lapar-kah? Sedih-kah? Bekerja dengan hati lapar bisa membuat kain menangis.”
Para peserta tertawa, tapi mencatat. Mereka tahu: di balik kelakar itu, ada disiplin yang menyelamatkan.
.
Wahban di Lobi
Pada satu sore yang lengas, saat Rubiyah membawa pesanan ke concept store di SCBD, pria itu muncul: Wahban. Rambutnya lebih tipis, perutnya menebal. Ia berbalik dengan tatap ragu.
“Rubiyah?” suaranya parau.
Rubiyah menahan napas. Lobi gedung seperti melambat; lampu-lampu sorot memantul di lantai marmer, suara lift seperti tali biola yang ditarik pelan.
“Aku… minta maaf,” kata Wahban. “Dulu aku bodoh.”
Rubiyah memandangnya lama. Di pundaknya, tas berisi gaun-gaun pesanan bergoyang kecil. “Terima kasih sudah bilang,” jawabnya akhirnya. “Semoga kau sehat.”
“Boleh… lihat anak kita?” tanya Wahban.
Rubiyah menghela. “Boleh,” katanya. “Tapi ingat: pintu yang kubuka bernama masa kini. Yang tertutup bernama masa lalu.”
Wahban menunduk. Ada sesuatu yang lepas dari dada Rubiyah: bukan dendam, melainkan beban yang tak lagi perlu dibawa.
.
Tentang Pilihan yang Menyelamatkan
Menjelang Idulfitri, pesanan memuncak. Rubiyah menolak beberapa custom order yang tak realistis dalam tenggat singkat. “Kalau dipaksa, akan merusak kualitas,” katanya kepada Laila.
Kamaratih mengangguk. “Menolak yang tak sanggup adalah bentuk bersyukur. Bersyukur karena tahu batas, supaya bisa menolong lebih banyak orang dengan pekerjaan yang utuh.”
Rubiyah menatap renda di atas meja, mengingat malam-malam gelap di rumah petak, nasi kecap, dan lilin kecil. Ia tersenyum. “Utuh,” gumamnya. Kata sederhana, tapi harganya mahal.
.
Kota di Balik Kaca
Suatu malam, Menak mengajak ibunya naik MRT, hanya untuk berputar dari Blok M ke Bundaran HI, turun, lalu berjalan di trotoar lebar yang bersih.
“Kau lihat, Bu?” kata Menak, menunjuk refleksi lampu kota di kaca gedung. “Dulu kita lihat kota dari celah seng. Sekarang kita lihat kota dari kaca. Tapi rasanya harus tetap sama: kita hanya numpang lewat, yang abadi itu kerja baik.”
Rubiyah tertawa kecil. “Kau ini,” katanya, “selalu lebih tua dari umurmu.”
Mereka berhenti di jembatan penyeberangan. Di bawah, lalu lintas mengalir seperti benang yang ditarik jarum. Jakarta, dalam segala lelahnya, tetap memberi ruang untuk mereka yang mengolah letih jadi ketekunan.
.
Panggung Kecil, Cahaya Panjang
Komunitas kreatif diundang ke sebuah festival UMKM di Senayan. Menjahit Hidup mendapat satu panggung kecil untuk berbagi kisah. Rubiyah berdiri di depan mikrofon, tangan gemetar—bukan karena takut panggung, melainkan karena ingat perjalanan.
“Saya tidak lahir dari keluarga perancang,” suaranya tenang. “Saya lahir dari gang sempit. Tapi gang itu mengajarkan saya dua hal: pertama, jika kalian memberi jalan pada orang lain, orang lain akan memberi jalan pada kalian; kedua, jika kalian menambal luka orang, luka kalian ikut tertutup.”
Tepuk tangan pelan, lalu riuh. Kamera-kamera ponsel merekam. Beberapa orang menangis diam-diam, tidak tahu harus mengelap air mata dengan tisu atau ujung scarf.
Setelahnya, seorang perempuan muda mendekat, memperkenalkan diri sebagai produser web series. “Bu, kisah ibu relevan sekali. Kami ingin membuat dokumenter pendek.”
Rubiyah mengangguk kecil. “Kalau itu bisa menolong lebih banyak ibu untuk percaya diri, saya bersedia. Tapi izinkan saya tetap bekerja di meja potong. Saya takut kamera membuat tangan saya lupa arah.”
Produser tertawa. “Justru itu yang kami cari,” katanya. “Keaslian.”
.
Surat Kedua dari Menak
Beberapa bulan kemudian, sebuah amplop tiba di apartemen studio. Kop surat universitas swasta ternama—jalur beasiswa. Tangan Rubiyah bergetar saat membaca:
Dengan ini kami menyampaikan bahwa Menak terpilih sebagai penerima Beasiswa Nusantara dalam program Teknik Industri…
—Panitia Seleksi
Di belakangnya, ada catatan tulisan tangan dari dekan: “Ketekunan adalah kecerdasan yang menyamar. Kami melihatnya.”
Rubiyah menutup mata. Dalam gelap yang damai, ia mendengar suara mesin jahitnya sendiri: drum… drum…—ritme yang menuntun napasnya selama ini.
.
Pindah ke Pakubuwono
Bukan kemewahan yang memanggil, melainkan kebutuhan akan ruang kerja. Menjahit Hidup menandatangani kontrak shared studio di Pakubuwono. Dari jendela, langit Jakarta terlihat lebih luas. Bukan karena gedungnya tinggi, tetapi karena hatinya kini lapang.
Renggani mengatur workflow. Wirya memperkenalkan software baru untuk pattern making. Kamaratih merampingkan arus kas dan menetapkan dana rutin untuk pelatihan gratis ibu-ibu di Tanah Abang. “Kita harus kembali ke gang,” katanya. “Akar adalah alasan batang berdiri.”
Rubiyah mengangguk. Ia tahu: keberhasilan yang tidak kembali menengok asal-usulnya ibarat gaun indah tanpa lining—mudah robek.
.
Mencari Wahban
Suatu siang, telepon berdering. Laila menjawab, lalu memandang Rubiyah ragu. “Ini tentang… Wahban.”
Rubiyah menghela. “Ada apa?”
“Dia sakit,” kata Laila pelan. “Istrinya pindah. Dia tinggal di rumah kontrak sempit di Cilincing. Tetangga yang merawat.”
Hari itu, Rubiyah berangkat. Bukan untuk membuka luka, melainkan menutupnya rapat-rapat. Di Cilincing, udara asin menampar pipi dengan getir. Di dalam rumah sempit itu, Wahban terlihat ringkih, seperti kain tua yang kehilangan bias.
“Aku… minta maaf,” ucap Wahban lagi.
Rubiyah menaruh amplop berisi uang. “Ini bukan untuk mengganti masa lalu,” katanya. “Ini untuk masa depan yang masih sisa—agar kau bisa hidup dengan layak.”
Wahban menangis. Air matanya bukan lagi penyesalan yang dramatis, melainkan air mata orang yang lama tak melihat cermin. Rubiyah berdiri. “Jaga dirimu,” katanya. “Aku harus kembali. Ada pesanan menunggu.”
Di luar, angin dari laut membawa suara kapal. Rubiyah menarik napas panjang. Ia mencium garam, sejarah, dan penghabisan.
.
Pelajaran-Pelajaran Kecil
Di studio, Rubiyah menuliskan lagi tiga kalimat di papan tulis—ditambah satu kalimat baru:
-
Bersyukur adalah seni merawat yang sudah ada, bukan seni menunggu yang belum tiba.
Ia mengulanginya di kelas, mempraktikkan checklist sederhana untuk para ibu yang memulai usaha:
-
Ritme: Jadwalkan jam kerja dan jam istirahat. Kelelahan tidak menghasilkan keindahan.
-
Catat: Tulis pemasukan dan pengeluaran harian. Kejujuran kepada buku adalah kejujuran pada diri.
-
Tolak Secukupnya: Berani berkata “tidak” pada proyek yang merusak kualitas.
-
Kembali ke Akar: Sisihkan waktu mengajar satu orang, meski sebulan sekali. Ilmu yang mengalir tidak akan beku.
Di sudut studio, Menak membantu Wirya merapikan pola. “Ini hidup yang kita pilih,” katanya pada ibunya. “Bukan hidup yang diberikan tanpa kita minta.” Rubiyah mengangguk. Ada kelegaan aneh yang menyerupai doa.
.
Rumus Sunyi
Malam-malam Jakarta tak pernah benar-benar sunyi, tetapi ada sunyi jenis lain yang dicari Rubiyah: sunyi yang memantulkan jujur. Di jam-jam itu, ia berbicara pada dirinya sendiri seperti berbicara pada kain:
“Jika seratmu bergesekan, jangan dipaksa. Tarik ulang. Hidup juga begitu.”
Ia menatap kota dari balik kaca. Lampu-lampu seperti bintang yang merantau. Ia tinggal di sini sekarang—di ruang di antara gemerincing gelas kafe dan bunyi horn yang tersengal. Ia tak lagi takut pada gedung tinggi, pada kartu nama, pada kontrak. Ia tahu satu hal: kebahagiaan adalah keahlian, bukan kebetulan.
.
Rumah yang Paling Luas
Suatu sore, saat gerimis turun, atap studio memantulkan suara yang dulu akrab: drizzz…—seperti seng lama di Tanah Abang, tapi lebih halus. Rubiyah duduk di dekat jendela. Menak, kini remaja dengan jaket almamater, duduk di sebelahnya sambil memegang dua gelas teh hangat.
“Bu,” katanya, “nanti kalau aku bekerja, aku belikan Ibu rumah dengan taman, jendela besar…”
Rubiyah menyentuh punggung tangannya. “Nak, rumah yang paling luas adalah hati yang bersyukur. Ibu sudah punya itu.”
Menak tertawa kecil. “Tapi jendela besar tetap menggoda.”
“Boleh,” jawab Rubiyah, “asal kita tidak lupa membuka gorden untuk tetangga.”
Mereka tertawa. Hujan turun lebih rintik, seperti tepuk tangan kecil dari langit.
.
Dalam Diam
Dalam gelapnya kota yang tak kenal lelah, dalam riuhnya hidup yang sering tak adil, Rubiyah menyelipkan seutas doa: untuk tetap merasa cukup, untuk tetap mencintai meski dikhianati, dan untuk terus bersyukur—tanpa syarat.
Ia menulis di buku kecilnya:
“Bersyukur itu bukan hanya soal menerima lebih, tetapi soal hati yang tak merasa kurang meski kehilangan.”
Keesokan pagi, ia menyalakan mesin jahit. Jarum turun, benang menari. Di luar, kereta lewat, mobil melaju, manusia mengejar waktu. Di dalam, seorang perempuan menambal dunia dengan jahitan-jahitan kecil yang rapi—dengan diam yang panjang, dan syukur yang tak putus.
.
.
.
Jember, 7 Agustus 2025
.
.
#DalamDiamAkuBersyukur #CerpenUrban #KisahInspiratif #Jakarta #EtosKerja #KewirausahaanPerempuan #MenjahitHidup #Harapan #Syukur
.
Kutipan Tambahan selaras dengan isi
-
“Yang kuat bukan yang tak pernah jatuh, melainkan yang tak berhenti bangkit dengan hati yang tetap teduh.”
-
“Rezeki sering datang diam-diam, lewat pintu yang kita jaga dengan rapi bernama kejujuran.”
-
“Bahagia itu bukan alamat; bahagia adalah cara berjalan.”