Cinta Tanpa Tembang
“Cinta tak selalu bernyanyi. Kadang ia hanya duduk diam di sudut rumah, berharap ada yang menutup jendela kala hujan, tanpa diminta.”
.
Rumah Bernama Janaka
Kota kecil itu bagai halaman buku yang sering diulang: lampu-lampu jalan menyala pucat di pertigaan, hujan sore membubuhkan aroma tanah basah di trotoar, dan warung kopi di sudut gang menumpahkan percakapan yang tak pernah usai. Di sebuah perumahan sederhana, rumah bernomor 17 diberi nama Janaka oleh penghuninya—sebuah cara manis untuk mengingat bahwa rumah bukan bangunan semata, melainkan tokoh yang menampung bab, jeda, dan titik-titik koma nasib penghuninya.
Di sanalah Sinta dan Rama tinggal. Mereka bukan tokoh epos, bukan pula pahlawan koran. Mereka orang biasa yang bekerja, menabung, mencicil, menua pelan bersama kalender-kalender diskon. Sinta berangkat tiap pagi ke hotel bintang empat di pusat kota; resepsionis yang rapi—sepatu mengilap, bibir diwarnai nude agar ramah tanpa mengundang. Ia terbiasa menyapa tamu yang membawa lelahnya masing-masing. Setiap “Selamat datang, Bu. Selamat malam, Pak,” adalah sehelai kain tipis yang ia gelar agar lelah orang lain bisa ditidurkan.
Rama bekerja di kantor pemerintahan: penghitungan, laporan, dan angka-angka yang jarang salah namun sering membuat orang lain salah paham. Di kantor, Rama adalah lelaki yang tepat waktu, di rumah, lelaki yang tepat membayar tagihan. Ia tak buruk, hanya tak peka. Ia seperti jam dinding: selalu berdetak, jarang menatap.
Namun cinta, sebagaimana yang sering kita sembunyikan di laci paling dalam, punya cara lain untuk mengukur waktu. Di dada Sinta, jarum jam itu kerap macet—bukan karena tak ada cinta, melainkan karena perhatian lebih sering lupa dikeluarkan dari laci.
“Yang kamu butuhkan bukan hadiah mahal. Tapi kehadiran yang tahu kapan kamu ingin ditanya—bukan karena butuh, tapi karena dihargai.”
Sinta mengucapkan kalimat itu sekali, kepada cermin. Malam yang lain, ia hanya mengucapkannya kepada udara di atas bantal. Udara, seperti biasa, mendengar tanpa jawaban.
.
Dandan Tanpa Ditanya
Ruang kerja kecil di belakang lobi hotel telah lama jadi tempat curhat. Di sana, para karyawan menanggalkan sepatu hak sebentar, menukar senyum front office dengan gumam manusia. “Suamiku beliin lipstik shade baruan,” kata seorang rekan. “Katanya biar cocok sama rok batik yang dia beliin.” Yang lain tertawa, “Aku dikirimin link sepatu diskon, terus dia bilang, ‘Pilih dua, aku yang transfer.’”
Sinta tersenyum. Senyum yang indah tapi rapuh seperti piring kesayangan yang sudah retak di sisi, tak terlihat bila tak dipegang. Ia tidak iri atas barangnya—ia iri atas proses ditanya. Bukan soal tas atau lipstik, melainkan dibukanya pintu pertanyaan: “Apa yang kamu mau?” Pertanyaan yang tak menghina, tak memaksa. Pertanyaan yang memuliakan.
Di penghujung shift siang, Sinta menatap wajahnya di ponsel—kamera depan memantulkan kenyataan yang jujur. Ada kilau halus di bawah mata. Ada resolusi yang menurun pada warna bibir. Ada rindu untuk ditanya: Bukan “Kenapa beli?” melainkan “Mau kubelikan apa?”
Ia tertawa kecil. “Beberapa perempuan tidak ingin dimanjakan. Tapi semua perempuan ingin dihargai keinginannya tanpa harus memintanya.”
.
Lakon Rahwana di Dalam Rumah
Rama pulang sebelum magrib. Di meja makan, sayur bening dan ayam goreng mendarat tanpa kejutan. Televisi menayangkan berita—aneka angka, aneka janji. Sinta duduk berhadapan, memandangi punggung tangannya sendiri. “Lotion mahal-mahal ini buat apa?” tanya Rama sambil lalu.
Sinta memandang botol kecil di atas meja rias. Ingin rasanya menjawab, “Agar aku tetap merasa pantas berdiri di sampingmu.” Namun ia memilih diam. Kita semua pernah memilih diam, bukan? Diam yang tak memenangkan apa pun, tetapi menyelamatkan malam dari pertengkaran yang bisa diperpanjang sampai Subuh.
Di mata orang lain, Rama lelaki baik. Ia tidak meninggikan suara, tidak memaki, tidak berjudi. Keburukannya sederhana: ia menduga. Ia menduga bahwa diam berarti cukup. Ia menduga bahwa mandiri berarti tak perlu ditanya. Ia menduga bahwa cinta tidak butuh tembang, cukup catatan arus kas.
“Kadang yang menyakitkan bukan karena tidak diberi, tapi karena selalu harus meminta atau menjelaskan alasan kenapa ingin.”
.
Kain Baru yang Tak Pernah Dibelikan
Menjelang ulang tahun pernikahan ke-13, hotel tempat Sinta bekerja memberi voucher batik lokal. Di sebuah butik kecil di dekat alun-alun, Sinta membeli selembar kain biru tua motif kawung. Ia mengusapnya—kain itu seperti malam: tenang, mengilap tipis, menyimpan dingin. Sinta membayangkan memakainya untuk makan malam sederhana di rumah. Bayangan berikutnya lebih sederhana: Rama bertanya, “Beli di mana? Biar aku yang bayar.”
Malamnya, ia keluarkan kain itu dari tas kertas. Rama menoleh sekilas. “Oh, baru ya?” katanya, lalu kembali ke layar ponsel. Hanya itu. Bahkan tak ada “Cantik.” Sinta menggulung kain itu pelan, sepelan ia menggulung harapan.
“Apalah arti cantik jika tidak dilihat. Apalah arti usaha jika tidak dihargai.”
.
Laksamana dalam Hati
Di lobi, kursi-kursi rotan menyimpan banyak punggung tamu. Hari itu, staf baru datang: Laksmana. Usianya lebih muda beberapa tahun dari Sinta. Tutur katanya halus, matanya jernih, geraknya seperti orang yang tak mau membuat gelas tumpah. “Bu Sinta, rambutnya beda, ya? Layer-nya pas,” katanya suatu pagi. Lain waktu, “Make-up-nya soft, cocok banget sama seragam.” Siang itu, ia menyodorkan botol air. “Ibu udah minum?”
Kata-kata itu bukan rayuan. Itu pengakuan atas keberadaan. Padahal Sinta tak sedang ingin dicintai orang lain; ia hanya ingin diingat. Namun hati perempuan, seperti taman: jika yang menanam lupa menyiram, seseorang yang lewat dengan seember air bisa membuat daun-daun tiba-tiba hijau.
Sinta gusar oleh dirinya sendiri. Ia bukan remaja. Ia tahu yang mengguncang itu bukan Laksmana, melainkan denting kecil dalam kepalanya: “Lihat, begini rasanya diperhatikan.” Ia pulang dengan kepala pening oleh dilema yang tak ingin ia punya.
“Setia bukan karena tidak punya pilihan. Tapi karena memilih untuk tetap menyirami taman yang sama.”
.
Dialog Sunyi
Malam itu, ketika anak-anak tertidur, Sinta mengundang keberanian duduk di tepi ranjang. “Mas,” panggilnya pelan. Rama meletakkan ponsel. Wajahnya bersih dari prasangka, tapi juga bersih dari antena.
“Aku mau tanya satu hal.” Suaranya tertata, seperti resepsionis di depan tamu VIP.
Rama menunggu.
“Selama kita menikah… pernah nggak Mas nawarin aku beli baju? Atau make-up? Bukan aku minta, ya. Ditawari.”
Rama terdiam. Sunyi itu seperti ikan yang mati—mengapung tepat di permukaan. Sinta melanjutkan, “Aku nggak marah. Aku cuma ingin tahu… kenapa nggak pernah?”
Rama menarik napas. “Aku kira kamu nggak butuh. Kamu kan mandiri. Gajimu cukup. Aku… takut salah beli. Takut kamu nggak suka.”
“Kalau salah, kita bisa ketawa bersama,” jawab Sinta. “Yang bikin sedih itu bukan karena salah beli. Tapi karena nggak pernah ditanya.”
Rama menatap lampu kamar. Ada sesuatu yang bergerak di mata lelaki itu, semacam kesadaran yang terlambat, seperti kereta yang baru berangkat saat penumpang sudah duduk bosan di bangku stasiun.
“Komunikasi bukan tentang berbicara lebih banyak, tapi menyentuh yang selama ini tak terdengar.”
.
Hadiah dari Janaka
Seminggu berlalu tanpa keajaiban besar. Pagi tetap berisik oleh sepeda motor tetangga yang distarter berkali-kali. Siang tetap diselingi azan dan truk sayur. Namun pada suatu sore, Rama pulang membawa tas kertas kecil. Tangannya canggung, seperti tangan anak yang pertama kali membawakan bunga dari taman sekolahnya.
“Ini…” Ia menyodorkan. “Aku nggak tahu yang kamu suka. Tapi kata mbaknya, ini bagus.”
Sinta membuka tas itu: bedak, lipstik nude, pelembap kecil. Ia menyentuhnya seperti menyentuh remang yang tiba-tiba jadi terang. Air matanya jatuh bukan karena harga—barang-barang itu biasa saja—melainkan karena ia kembali menjadi seseorang yang ditanya.
“Perempuan tak butuh dunia. Kadang mereka cuma butuh ditanya: ‘Apa yang kamu mau hari ini, Sayang?’”
Rama gugup. “Kalau salah shade, nanti kita tukar. Kita belajar, ya?”
Malamnya, Sinta mengoleskan pelembap tipis-tipis. Bau krim itu menyejukkan. Di cermin, ia mendapati wajah yang agak berbeda: bukan lebih muda, bukan lebih cantik—tapi lebih diingat.
.
Pelan Tapi Nyata
Perubahan yang baik jarang berisik. Ia seperti tanaman lidah buaya di sudut dapur: tetap, sederhana, tapi berguna tiap kali kulit perih. Rama tak serta-merta menjelma pangeran. Ia masih lupa menutup galon ketika terburu-buru. Ia masih bertanya “Kenapa habis cepat?” untuk sabun yang memang dipakai setiap hari. Namun sesekali, ia menyisipkan kalimat kecil di sela makan malam: “Besok pulang kerja, mampir toko? Kamu butuh sesuatu?”
Pertanyaan itu, walau tidak tiap hari, menjadi jembatan di atas rawa-rawa sunyi. Sinta mengangguk, kadang berkata “Nggak usah, terima kasih,” kadang menuliskan daftar pendek: bedak tabur, sisir baru, penjepit rambut.
Kain batik biru tua itu akhirnya dijahit menjadi kebaya sederhana. Pada malam Sabtu, Sinta memakainya, menyanggul rambutnya sedikit, menambahkan anting kecil. Rama terpaku sejenak. Ia bukan lelaki kata-kata, tapi malam itu ia berhasil satu kalimat: “Kamu cantik banget.”
Kalimat yang telat adalah kalimat yang tetap kita butuhkan.
.
Kota dan Tembang yang Tak Dibunyikan
Kota kecil itu menyimpan cerita-cerita yang mirip satu sama lain. Di angkringan, ada suami yang diam-diam menabung untuk sepeda lipat istrinya. Di halte, ada istri yang menahan marah karena suami lebih mengingat skor bola daripada tanggal ulang tahun. Di hotel, seorang tamu meninggalkan tip bersama catatan: “Terima kasih sudah menolong saya mengantar koper. Semoga bahagia.” Hidup, pada akhirnya, adalah sekumpulan usaha kecil yang menggeser jarum jam menuju rasa “cukup.”
Di sela hari-hari itu, Sinta sesekali mendengar bunyi rebana dari langgar dekat rumah. Tembang-tembang religi yang dilantunkan anak-anak mengingatkannya pada kisah lama yang dulu ia dengar dari simbah: kisah menak yang merambat dari Madura ke pesisir, dari pesisir ke darat, masuk ke kampung lewat mulut para pelakon. Nama-nama itu seliweran: Jayengrana, Adaninggar, Kelaswara, Umar Maya, Umar Madi. Mereka hadir tanpa gelar, hanya manusia yang jatuh bangun oleh keinginan dan kesetiaan.
Sinta menatap Rama yang tertidur miring, mendengkur halus. Di luar, angin membawa sisa tembang dari langgar. Cinta mereka tak punya tembang. Tapi bukan berarti tak bisa khusyuk.
.
Menak Masuk ke Lobi
Suatu malam, hotel menggelar pertunjukan kecil di area lounge: sekelompok anak muda dari sanggar kampung menampilkan fragmen cerita menak. Tanpa gelar, tanpa panggung megah. Hanya tikar, rebana, dan lampu kuning lembut. Laksmana duduk bersama staf lain, Sinta berdiri di samping lobi, memantau tamu yang lalu-lalang.
Fragmen itu sederhana: Jayengrana yang keras kepala bertemu Adaninggar yang ingin didengar hatinya. Ada Kelaswara yang berusaha setia, ada Umar Maya yang cerewet tapi setia kawan, ada Umar Madi yang gegabah namun berhati bening. Sinta tersenyum. Betapa kisah lama itu tak pernah benar-benar lama. Nama-nama berubah, kota berubah, tapi kegugupan manusia tetap sama: takut salah menanya, takut salah mendengar.
Satu kalimat dari dalang yang memimpin fragmen itu menempel di kepala Sinta: “Jayeng belajar bahwa gagah bukan soal menang, melainkan berani merendah saat diminta melihat.” Sinta menuliskannya di catatan ponsel, menambahkan kalimatnya sendiri: “Perempuan bukan ingin diajari hidup, hanya ingin ditemani menata hidup.”
Rama menjemput Sinta malam itu. Mereka berjalan di trotoar yang baru disapu hujan. Lampu-lampu kota memantul di genangan. “Tadi ada apa?” tanya Rama.
Sinta bercerita tentang fragmen, menyebut nama-nama tanpa gelar: Jayengrana, Adaninggar, Kelaswara, Umar Maya, Umar Madi. Rama tertawa kecil. “Kok mirip kita, ya?” Ia menggamit jemari Sinta, bukan karena kamera, bukan karena penonton—karena ingin menggamit.
.
Riak di Gelas Kopi
Kopi hitam di warung langganan mereka selalu disajikan di gelas kaca yang sama. Malam itu, kopi terasa kurang pahit. Sinta menyadari: pahit menjadi penanda. Tanpa pahit, manis kehilangan lawan bicara. Ia memandang wajah Rama yang memesan tempe mendoan tambahan. “Mas,” panggilnya. “Aku ingin kita tetap begini. Nggak perlu sempurna. Tapi mau belajar. Boleh?”
Rama mengangguk. “Aku masih sering takut salah. Tapi kalau kamu kasih kode, aku lebih berani.”
Sinta tertawa kecil. “Kodeku sederhana. Kalau aku diam terlalu lama, itu bukan berarti tak apa-apa.”
Rama menatap sungguh-sungguh. “Kalau kamu diam, aku harus tanya. Kalau kamu minta, aku harus dengar. Kalau aku lupa, kamu ingatkan. Kita sama-sama, ya?”
“Ya.”
Di meja sebelah, anak-anak muda tertawa keras. Di ujung warung, seorang bapak tua menatap layar ponsel sambil menghela napas panjang. Kota ini bukan kota besar, tapi cukup untuk menampung segala jenis benak.
.
Taman yang Disirami
Waktu berjalan ke depan dengan langkah kecil. Sinta menanam dua pot baru di halaman: melati dan lidah mertua. Ia bangun lebih pagi beberapa hari dalam seminggu hanya untuk menyiram, menyentuh daun, merapikan tanah. Rama mengganti pintu yang engselnya berderit, mengecat ulang pagar yang kusam. Hal-hal kecil. Namun bukankah kebahagiaan dibangun oleh hal-hal kecil yang dilakukan dengan teratur?
Laksmana, pada suatu siang, berpamitan dari hotel. Ia diterima di tempat lain, kota di seberang selat. Ia menyalami rekan-rekan, termasuk Sinta. “Terima kasih, Bu, sudah mengajarkan bahwa profesional itu ya perhatian,” katanya. Sinta mengangguk. Ada seberkas lega yang jujur: ia tidak kehilangan apa pun; ia mendapatkan cermin.
Malam itu, Sinta mengenakan kebaya biru kawung. Mereka makan mi goreng di rumah, anak-anak tertawa karena cabainya kebanyakan. Rama mengangkat ponsel, memotret istrinya tanpa saringan. “Cantik,” ucapnya pelan. “Terima kasih sudah mau mengajariku bertanya.”
“Terima kasih sudah mau menjawab.”
.
Surat untuk Janaka
Jika rumah bernama Janaka bisa bicara, ia mungkin akan bercerita tentang langkah-langkah kaki yang lebih pelan, pintu yang lebih sering dibuka dari dalam, jendela yang ditutup sebelum hujan datang. Ia akan bercerita tentang malam-malam ketika lampu kamar lebih dulu dimatikan daripada televisi, agar mata bisa melihat mata, bukan layar.
Kepada kota, Janaka akan berkata: “Jagalah lampu-lampu trotoarmu yang redup; kami akan menjaga cahaya kecil di ruang tamu kami.” Kepada waktu, Janaka akan berdoa: “Jangan terlalu cepat. Izinkan kami belajar tanpa tembang.”
Karena tak semua cinta perlu tembang. Kadang, yang dibutuhkan hanya satu pertanyaan sederhana yang datang tepat waktu, dan keinginan yang ikhlas untuk mendengar jawaban yang mungkin berbeda dari dugaan. Dan bila dugaan itu salah, biarkanlah kita tertawa bersama.
.
Penutup yang Tak Menutup
Di perempatan dekat pasar, lampu merah menyala lama. Sepeda motor berdesing seperti kunci nada yang tak pernah pas di telinga. Di balik helm, ada suami yang berjanji mengingat tanggal penting. Di balik masker, ada istri yang berjanji mengucapkan, bukan hanya mengira-ngira. Kota melaju. Rumah bernapas. Anak-anak tumbuh.
Sinta menatap jendela. Di luar, langit memantulkan gulita yang tenang. Di dalam, hati memantulkan cahaya yang cukup. Ia menulis satu kalimat di buku catatan kecil yang ia simpan di laci rias:
“Jangan menunggu perempuanmu meminta. Dengarkan dari diamnya. Lihat dari matanya. Karena yang ia inginkan bukan barang, tapi rasa menjadi bagian.”
Dan malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian tahun, Sinta mematikan lampu kamar dengan perasaan seperti selesai menutup halaman buku yang lama tertunda. Ia tidak menang, tidak kalah—ia selesai pada bab lamanya, dan siap menulis bab berikutnya, pelan, tanpa tembang, tapi dengan nada yang sekarang mereka pahami bersama.
.
.
.
Jember, 29 Juni 2025
.
.
#CintaTanpaTembang #CerpenIndonesia #KompasMingguStyle #KotaKecil #RumahTangga #PerhatianKecil #BatikKawung #CeritaMenak #Jayengrana #Adaninggar
.
Kutipan Tambahan (dari hati yang pernah diam)
-
“Bahagia bukan soal apa yang kau bawa pulang, melainkan bagaimana kau pulang.”
-
“Rindu tidak selalu pada orang lain; kadang rindu itu pada versi diri yang pernah dihargai.”
-
“Kesetiaan tumbuh dari kebiasaan sederhana untuk saling menanyakan kebutuhan, bukan menebak-nebak.”
-
“Kita tidak selalu butuh jawaban benar, kita butuh niat yang hadir.”