Jeffrey Wibisono V.
  • Home
  • Profile
  • Blogs
  • Support me and locals
Cerita urban mengharubiru tentang hotel butik di Malang yang menjadikan keramahan sebagai ilmu, di tengah relasi, banjir, dan seni pulang yang sunyi namun terang.

Adab adalah Alamat

“Hidup tidak selalu meminta kita menang. Ia hanya meminta kita bertahan dengan bermartabat, memilih yang benar walau sepi, dan pulang
  • Creative Thinking Creative Thinking
  •   November 12, 2025
Pagi di Jakarta seakan terbuat dari kaca—jernih di kejauhan, rapuh ketika disentuh. Panji menatap kota dari balkon apartemen 2 kamar di Kuningan; mobil-mobil seperti biji-biji kopi yang ditumpahkan di aspal, tertata acak, harum sekaligus getir. Di meja makannya, bersisian dua cangkir: satu sisa semalam, pahit; satu baru diseduh, hangat. Di layar gawai, pesan bertanda biru dari Sekarjati belum juga dijawab. “Kau yakin ingin berpindah?” tanya Sekar semalam. “Atau ini cuma pelarian?” Panji tak pandai mengakui bahwa kadang ia lari juga. Lari dari tender yang selalu berganti syarat, dari rapat yang menua sebelum hasil, dari kabar ayah di Malang yang belakangan menjadi sinis terhadap dunia. Dan terutama: lari dari kesan yang ia ciptakan sendiri—seorang direktur kreatif yang selalu tampak yakin, yang kalau bicara terdengar seperti jawaban. Malam itu, sebuah foto singgah di ponsel: siluet seorang pria di ambang jendela, tersayat cahaya. File .jpg hasil kiriman Ragil—sahabat yang kini mengelola sekolah desain kecil di Bandung. Foto itu tanpa judul, hanya catatan: “Ada jeda antara terang dan gelap yang memintamu jujur. Ambang ini, Panji, mungkin pintumu.” Panji menyimpan gambar itu di folder bernama “Mulai Ulang”. Ia tahu, jeda adalah kemewahan di kota yang memuja lari. Namun pagi ini, jeda itu ia izinkan menetap. Sekarjati pertama kali bertemu Panji di sebuah peluncuran buku di Kemang. Sekar—pengembang kurikulum dan fasilitator public speaking—datang karena undangan klien, pulang dengan undangan tak tertulis: bertemu dirinya sendiri. Panji sore itu mengajarkan cara bercerita untuk merek—bahwa cerita bukan bendera yang dikibarkan, melainkan jembatan yang ditapaki orang lain dengan aman. “Jembatan?” Sekar mengulang. “Ya,” jawab Panji, mata menatap hadirin, suaranya merunduk, “Kita menata papan demi papan agar orang bisa menyeberang tanpa merasa ditipu.” Sekar menyimpan kata-kata itu seperti orang menyimpan tiket konser pertama, lipatan halus di dompetnya. Bertahun kemudian, ketika ia mengajar di kelas sore—mahasiswa paruh waktu, pekerja kreatif yang menyicil mimpi—ia kerap mengutip Panji tanpa menyebut nama: “Branding adalah jembatan yang etis.” Panji, di sisi lain, menyimpan Sekar dalam cara yang lain: ia menulis nama itu di kertas kecil, ditaruh di dompet bersama foto adik bungsunya, Gunung. Nama “Sekar” menenangkan; seperti suara yang mengatakan “tidak apa-apa terlambat sepanjang kau masih datang”. Ragil adalah tali pengikat cerita ini. Ia tidak sepopuler Panji, tidak juga seanggun Sekar, tetapi ia punya bakat langka: menyaksikan. Di sekolah desainnya—yang lahir dari kontrakan bekas toko bunga—Ragil mengumpulkan anak-anak yang kelewat cepat dewasa oleh cicilan. Ia menamai program itu “Arsir”: menggambar pelan-pelan masa depan di tengah kota yang kebanyakan memakai spidol permanen. “Kalau pasar ramai, kita melambat,” katanya pada murid-murid. “Supaya kau mendengar suaramu sendiri.” Suatu hari, ia memotret seorang pria di ambang jendela kontrakan. Cahaya tipis menyapu wajah yang lelah tapi jujur. “Aku ingin ingat seperti ini bila lupa: bahwa orang yang berjalan paling jauh adalah orang yang berani berhenti,” tulis Ragil. Ia mengirim foto itu ke Panji, lalu, entah bagaimana, dari gambar itu lahir wacana pindah: Panji akan menutup kantornya di Jakarta, memindahkan studio kecilnya ke Malang, dekat ayah, dekat adik, dekat kota yang punya ritme lebih manusia. Keputusan itu memecah dua kubu: klien-klien yang menganggap Panji sedang menepi untuk menajam; dan orang-orang yang merasa ditinggal di tengah projek. “Kamu tidak setia,” ujar salah satu partner. “Kota ini butuh orang-orang yang bertahan.” Panji mengangguk, menelan rasa bersalah yang datang bergelombang. Malam itu, ia menulis kepada Sekar: Aku ingin memilih sepi yang berisi. Di Jakarta, aku terdengar keras, tapi di dalamnya kosong. Pesan terkirim, centang dua biru, tapi tak ada balasan. Mungkin Sekar sedang kelas, atau sedang memeluk keraguan yang tidak perlu dijelaskan. Ayah Panji, lelaki yang dulu mengajari cara membaca peta bintang di halaman rumah Malang, kini mengukur hari dari suara nyeri yang datang dan pergi. Sejak ibu meninggal, ia menjadi cermin yang memantulkan dua hal: kekosongan dan keberanian. “Kalau kau ingin pulang, pulanglah ketika kau kuat,” kata ayah di telepon, suaranya seret seperti daun kering. Panji memesan tiket pulang. Di bandara, ia melihat keluarga-keluarga kecil dengan koper-koper warna pastel; melihat pekerja yang matanya sembab; melihat perempuan yang tertawa seperti mengusir hujan. Kota berpindah lewat orang-orangnya. Dalam kepalanya, ia mendengar Sekar bertanya: “Yang kau cari di Malang, apa?” Ia menjawab dalam hati: “Aku mencari diriku yang pernah menaruh diam sebagai doa.” Sekar menyusul beberapa pekan kemudian, bukan untuk memeriksa Panji, melainkan untuk memeriksa kemungkinan. Ia mendapat undangan menjadi pembicara di Surabaya, lalu meneruskan kereta ke Malang. Di stasiun, Panji menjemput dengan mobil sewaan—malu pada kota, tapi tidak pada Sekar. Mereka berhenti di kafe kecil dekat Ijen, memesan kopi yang ditumbuk pelan, bangku-bangku kayu yang mengeluarkan derit halus. Di dinding, ada lukisan siluet pria di ambang jendela; mata Sekar menangkapnya, bibir Panji merekahkan senyum: “Ragil,” katanya, “Ia menitipkannya di sini.” “Ambang itu,” bisik Sekar, “mengingatkanku pada banyak hal yang kita tunda.” “Kau menunggu apa?” tanya Panji. “Kemantapan,” jawab Sekar. “Tapi hari-hari ini, aku belajar bahwa mantap itu lambat. Kau bisa menunggu selamanya.” Di luar jendela, jalan kota menampakkan dirinya seperti nadi yang tenang. Di atas meja, dua ponsel tergeletak bisu, seolah paham bahwa percakapan terbaik terjadi ketika layar tidak menatap balik. Malamnya, mereka mengunjungi rumah ayah. Gunung menyerahkan kunci bengkel kayu di belakang, hadiah untuk Panji yang dulu suka merakit miniatur jembatan dari stik es krim. “Bangun yang kau suka,” kata Gunung. “Kalau perlu, bangun yang orang lain tidak mengerti dulu.” Ayah muncul dari dalam kamar, melangkah perlahan, memeluk Panji dengan cara yang hanya dimiliki laki-laki tua: kaku tapi penuh. Kepada Sekar, ayah tersenyum malu, seperti tengah menemui putri teman lama. “Terima kasih sudah datang,” ucapnya singkat. “Kota ini pelan, tapi tak kehilangan maksud.” Malam itu, listrik sempat padam. Mereka duduk di teras, lampu darurat memantulkan cahaya kecil. Panji bercerita tentang kantor yang hendak ditutup, tentang tim yang ia pindahkan ke sistem remote, tentang klien yang didorong menjadi mandiri, tentang program magang yang hendak ia rintis untuk anak-anak SMK di Malang agar belajar desain berbasis cerita. Sekar menimpali dengan kisah kelas-kelasnya yang mempraktikkan public speaking sebagai aksi sosial: anak-anak muda mempresentasikan solusi untuk pasar rakyat, puskesmas, pojok baca. Ragil, melalui pesan suara, menautkan program “Arsir” agar terangkai. Tiga cerita itu seperti tiga jalur sungai yang bertemu di telaga sepi. Di tengah gelap, masing-masing menemukan keterangannya. Pindah itu bukan sekali. Ia berulang, kadang harian, sebagai keputusan-keputusan kecil. Panji mulai bangun sebelum subuh, menyapu bengkel, menata papan kayu, memulai prototipe meja belajar lipat untuk kamar-kamar kos yang sempit. Ia ingin memproduksi 50 buah, membagi setengahnya untuk perpustakaan kampung. Sekar menyusun modul “Berbicara Dengan Rendah Hati”, kelas akhir pekan untuk guru-guru muda—agar suara mereka mengangkat, bukan menghakimi. Ragil, di Bandung, memasang foto-foto ambang jendela di seluruh ruang kelas; setiap murid diminta menuliskan “ambang” pribadi yang ingin mereka lewati. “Ambang amarah,” tulis seorang murid. “Ambang minder,” tulis yang lain. Ada juga “Ambang ingin membanggakan Ibu”. Panji mulai menerima komisi kecil dari UMKM: merek roti rumahan, kedai kopi samping taman, bengkel sepeda lama. Ia merancang ulang identitas visual tanpa menambah biaya cetak—memilih tipografi yang ada di komputer, warna yang bisa dicapai printer murah, materi promosi yang bisa dilipat menjadi pembatas buku. “Yang mahal itu bukan tampilannya,” ujar Panji kepada pemilik kedai, “tapi tekadmu untuk konsisten.” Beberapa klien lama di Jakarta kembali mengetuk. “Bisa bantu dari jauh?” tanya mereka. Panji belajar mengatakan “ya, tetapi dengan cara baru”—tanpa rapat maraton, tanpa peresmian mewah, tanpa keharusan terbang di hari kerja. Ia membuat pedoman tertulis, video pendek, mendorong tim klien menjadi aktor cerita mereka sendiri. Ada yang menganggap ia jadi kurang hadir; ada yang bersyukur lebih mandiri. Tidak semua hubungan bertahan, tapi sebagian jadi sehat. Sekar, di sisi lain, menjalankan kelas di aula kelurahan—ruang yang universal: bau karpet, cat tembok yang memudar, dispenser di pojok yang sering kehabisan galon. Ia mengajar para guru menyusun kalimat yang memberi ruang: “Saya mengerti perasaanmu” alih-alih “Kamu terlalu sensitif”, “Mari kita coba begini” alih-alih “Seharusnya kamu”. Ia percaya, kota akan membaik bila kalimat-kalimatnya membaik. Di beberapa kelas, ia mengundang orang tua; tak semua datang, tetapi yang datang membawa cerita: tentang anak yang takut salah, tentang guru yang takut salah juga. Pada suatu siang, Panji menerima pesan dari Klana—partner agensi yang dulu menuduhnya tidak setia. Proyek besar, mereka butuh Panji “hanya untuk merapikan cerita”. Panji menatap pesan itu lama. Ia ingat malam-malam lembur di Jakarta, ingat rasa tidak cukup yang datang meski angka-angka bertambah. Ia bertanya pada Sekar: “Aku bisa, tapi… apakah harus?” Sekar menatap Panji seperti menatap peta: mencari koordinat jujur di wajahnya. “Kau yang tahu jawaban. Yang perlu kau ingat: hidupmu bukan showroom yang harus terang terus. Boleh redup, asal hangat.” Panji menghela napas. Ia menulis pada Klana: Aku bersedia kalau ritmenya pelan. Kita bertemu dua minggu sekali, tidak setiap hari. Kita fokus pada pedoman, bukan presentasi. Dan aku ingin tim lokalmu yang tampil, bukan aku. Terkirim. Butuh dua hari untuk Klana menjawab: Baik. Kita coba cara barumu. Tidak semua orang marah ketika kau menetapkan batas, ternyata. Beberapa justru lega. Di sebuah Sabtu, Ragil datang dengan kereta, membawa bingkai besar: foto siluet ambang jendela yang dititipkan di kafe. “Kupikir sudah saatnya kau simpan,” katanya. Mereka menggantungnya di bengkel kayu. Di bawah foto, Panji menulis: “Ambang bukan garis putus, melainkan garis sambung.” Sekar tersenyum. “Kau akhirnya punya kalimat baru, Pan.” “Aku meminjam dari hari-hari ini,” jawab Panji. Mereka bertiga, sore itu, berjalan kaki menyusuri gang. Anak-anak bermain bola dengan sepatu pinjam. Seorang ibu menjemur batik yang warnanya memudar cantik, seperti kisah lama yang enggan ditinggal. Dalam langkah pelan, mereka merasa kota memeluk: bukan dalam gemuruh, melainkan dalam ulang—ulang salam tetangga, ulang beli sayur di warung yang sama, ulang tersenyum pada kucing yang mengambil napas di pagar. Dalam ulang, sesuatu menguat. Ayah Panji jatuh sakit lebih parah bulan berikutnya. Malam di IGD berwarna putih dan waktu berjalan tanpa jam. Panji mendengar dokter menjelaskan curr, prognosis, istilah yang tepat tetapi dingin. Ia menggenggam tangan ayah, menunggu. Sekar duduk di luar, menulis pesan kepada murid-muridnya: “Hari ini kita belajar tentang diam.” Ragil mengirim foto langit Malang pukul dua dini hari: bintang-bintang samar, tapi ada. Pagi memulihkan. Ayah melewati malam itu. Ia memanggil Panji dan Sekar, pelan, “Kalau aku tidak ada, jangan ubah ritme demi kesopanan palsu. Hiduplah seperti kamar yang jendelanya kau buka setiap pagi.” Kalimat yang terdengar seperti wasiat tetapi sebenarnya izin. Beberapa pekan kemudian, ayah benar-benar pergi, di ranjang yang sama, di kamar yang sama, dengan nafas yang dikeluarkan seolah menepikan perahu. Pemakaman sederhana—kerabat dekat, tetangga datang membawa tahlil. Panji menangis sampai suaranya habis; tapi ada sesuatu yang ia pelajari dari air mata: ia menghapus bukan untuk menghilangkan, melainkan untuk melihat lebih jelas. Setelah tahlil, ia berdiri di halaman, menatap ambang jendela kamar ayah. Pada kayunya, ada bekas tangan sering dibuka. “Ritme,” bisiknya. “Ritme adalah cinta yang kita tunjukkan setiap hari.” Sekar memeluknya dari samping. Ragil memotret tanpa suara. Kabar duka biasanya mengundang kabar lain. Di hari-hari ke-40, Panji menerima email dari universitas swasta di Malang yang ingin mengundangnya mengajar tamu—tentang desain yang bertanggung jawab. Sekar diminta membuka kelas intensif untuk dosen muda: bagaimana mengajar tanpa menggurui. Ragil mendapat hibah kecil untuk memperbanyak program “Arsir”. Mereka bertiga duduk di bengkel, menata kalender dan menyatukan mimpi: sebuah laboratorium kecil bernama “Ambang”—ruang lintas profesi yang mempertemukan UMKM, guru, mahasiswa, dan pekerja kreatif untuk belajar bertahap. Tidak glamor, tapi masuk akal; tidak viral, tapi tahan lama. “Ambang” membuka pertemuan pertamanya di aula perpustakaan kota. Topiknya: “Bercerita Untuk Berubah”. Panji mengajarkan dasar: struktur tiga babak, suara pertama, metafora yang jujur. Sekar melatih cara menyampaikan: napas, jeda, tatapan mata yang hangat. Ragil memandu praktik: peserta diminta memotret satu ambang dalam hidup mereka—pintu toko, jendela kelas, pagar rumah—lalu menulis keterangan singkat apa yang mereka ingin lewati, apa yang ingin mereka pertahankan. Seorang pemilik kedai jamu modern menulis: “Ambang takut memanggil pelanggan dengan nama.” Seorang guru menulis: “Ambang mengakui murid yang lebih cepat dari saya.” Seorang mahasiswa menulis: “Ambang meminta maaf pada diri sendiri.” Mereka bercerita bergantian, saling memberi tepuk, bukan tepok. Di akhir sesi, Panji memutar lagu pelan, lalu semua saling menatap. Ada yang menangis, ada yang tertawa malu. Di sela-sela itu, kota menghela napas seperti baru bangun dari tidur panjang. Kabar tentang “Ambang” menyebar lewat cara lama yang ampuh: dari mulut ke mulut, dari hati ke hati. Dua bulan, ruang itu kebanjiran daftar tunggu. Media lokal datang membuat liputan, bukan karena sensasi, melainkan karena hasil: kedai jamu kini menyebut pelanggan “Mbak Rina” bukan “Mbak”; guru menutup kelas dengan “Terima kasih karena hari ini kalian berani bertanya”; mahasiswa membuka pameran foto jendela-jendela kampung dan menulis caption yang membuat orang berhenti menggulir telepon. Klien Jakarta kembali menghubungi, bukan untuk memaksa Panji pulang, tetapi untuk belajar. “Ajari tim kami bekerja dengan ritme manusia,” kata salah satunya. Panji mengundang mereka datang ke Malang, duduk di aula, belajar bersama ibu-ibu pemilik warung, guru honorer, dan mahasiswa. Tidak ada kursi VIP. Tidak ada MC. Yang ada hanyalah perkenalan: “Halo, saya Rudi, saya takut kalau angka tidak naik.” “Halo, saya Lila, saya malu kalau suara saya serak.” Di situ, kata “profesional” kembali ke asalnya: dari “profiteri”—menyatakan. Menyatakan diri terbuka. Pernah, seorang peserta bertanya pada Sekar: “Apa definisi berhasil dalam kelas ini?” Sekar berpikir sebentar. “Ketika kau pulang dengan kalimat yang lebih baik. Bukan lebih indah. Lebih baik.” Ia memberi jeda, mengukur napas. “Misalnya, kau mulai bisa mengatakan ‘aku salah’ tanpa merasa rubuh.” Di sebuah sore yang hujannya halus, Panji dan Sekar berjalan di alun-alun. Anak-anak berlarian mengejar merpati; pedagang balon menambatkan benang pada jari. Panji menggenggam tangan Sekar—sederhana, bukan pernyataan kepemilikan, hanya cara agar arah mereka sama. “Aku pernah takut kehilangan kota,” kata Panji, “ternyata yang lebih kutakutkan kehilangan diriku di kota itu.” Sekar menatapnya dengan mata yang tahu. “Kau tidak ke mana-mana, Pan. Kau hanya pulang.” “Pulang ke siapa?” Sekar tersenyum pelan. “Ke seseorang yang mau belajar memeluk—orang lain, hari ini, dan dirinya sendiri.” Panji berhenti di depan toko bingkai. Di etalase, sebuah foto siluet di ambang jendela dipajang—replika dari foto di bengkel. Di bawahnya tertulis: “Ambang—Pameran Foto Komunitas.” Panji tertawa kecil. “Ragil sudah mulai berencana tanpa menunggu kita.” “Bagus,” kata Sekar. “Kota butuh lebih banyak orang yang tidak menunggu untuk baik.” Malam itu, di bengkel kayu yang kini jadi ruang kelas kecil, mereka mengadakan pertemuan inti: menentukan arah “Ambang” setahun ke depan. Ragil mengusulkan residensi kecil bagi guru dan UMKM: berminggu-minggu tinggal di kampung-kampung, menukar ilmu dengan cara yang rata. Sekar menambahkan kelas “Berbicara Dalam Duka”—bagaimana memimpin rapat setelah kehilangan, bagaimana mengajar saat lelah, bagaimana meminta tolong tanpa malu. Panji memaparkan rencana cetak buku tipis berisi foto-foto ambang dan cerita pendek—untuk didistribusikan di perpustakaan desa. “Maukah kau menulis pengantar?” tanya Ragil pada Sekar. Sekar mengangguk. “Akan kutulis begini: Bahwa kita semua suatu hari akan berdiri di ambang. Tidak semua orang akan menuntun kita menyeberang. Maka, pelan-pelan, kita belajar menuntun diri sendiri.” Panji memandangi mereka, dua manusia yang membuat kata “teman” terdengar baru. “Sewaktu kecil,” katanya, “Ayah mengajarkanku menunggu bintang jatuh. Aku tak pernah melihatnya. Kini aku sadar, yang jatuh bukan bintangnya, melainkan hal-hal yang tidak kita perlukan lagi.” Sunyi yang hadir setelah kalimat itu bukan kekosongan. Ia padat, hangat. Di dinding, foto ambang jendela memantulkan cahaya lampu. Bukan cahaya besar yang menyilaukan, tapi cahaya yang cukup untuk membaca. Kadang, cukup adalah jawaban paling berani. Beberapa bulan lalu, Panji menulis catatan di punggung foto: “Kita tidak perlu menjadi cahaya di seluruh kota. Cukup jadi lampu yang dinyalakan tepat waktu.” Kalimat itu kini menjadi penutup setiap kelas “Ambang”. Peserta membawa pulang bukan sertifikat, melainkan kebiasaan: membuka jendela, menyebut nama, meminta maaf, menyeduh kopi, menjemur batik, menata papan jembatan. Kebiasaan, jika diulang dengan cinta, adalah ritual. Dan ritual, bila dipahami, adalah doa yang berjalan. Suatu hari, di kereta menuju Surabaya, Panji menerima pesan pendek dari Klana: Terima kasih sudah mengajari kami melambat. Omzet tidak meledak, tapi tim kami jarang sakit. Rasanya aneh menulis ini di spreadsheet KPI, tapi kesehatan ini nyata. Panji tersenyum, memotret jendela kereta yang memperlihatkan sawah mengalun. Ia mengirim foto itu ke Ragil dan Sekar. Ragil membalas dengan gambar etalase yang memajang buku tipis “Ambang”. Sekar menambahkan voice note: “Pan, baca pengantar halaman satu. Itu juga untukmu.” Panji membuka berkas PDF yang ia terima. Kalimat pertama Sekar adalah milik semua orang yang pernah takut pada perubahan: “Tidak ada yang tenang begitu saja; ketenangan dibangun oleh orang yang memutuskan menjadi rumah.” Kereta melambat sebelum masuk stasiun. Panji menutup mata, menempelkan dahi ke jendela, merasakan dinginnya kaca dan hangatnya kota yang menunggu. Di depannya, pintu akan terbuka. Di ambang, ia tahu caranya melangkah—bukan dengan tergesa, melainkan dengan hormat. Karena pada akhirnya, yang kita bangun bukan hanya gedung, merek, atau kelas. Yang kita bangun adalah cara memeluk hidup itu sendiri. Dan kota, pelan-pelan, belajar memeluk balik.

Ambang: Laku Pulang ke Diri

“Kita sering mengira masa depan berada di ujung kota, padahal ia diam-diam tumbuh di dalam dada: pada keberanian meminta maaf,
  • Creative Thinking Creative Thinking
  •   November 11, 2025
Di Jakarta, Panji dan kawan-kawan membangun hotel butik yang menumbuhkan laba sekaligus nurani—sekolah kecil tentang layanan, komunitas, dan pulang ke hati.

Kota yang Belajar Pelan

“Pada akhirnya, kita pulang bukan ke alamat rumah, melainkan ke alamat hati—tempat di mana keberanian dan kejujuran saling berpelukan.” .
  • Creative Thinking Creative Thinking
  •   November 10, 2025
Cerpen urban reflektif tentang Panji, profesional kota besar yang belajar berhenti sejenak, menyimak umur orang lain, dan menemukan makna pulang ke diri.

Menyimak Umur Orang Lain

“Jika engkau keras kepala di dunia yang cepat berubah, lunakkan hatimu dengan menyimak umur orang lain.”— Pesan dari seorang Mbah
  • Creative Thinking Creative Thinking
  •   November 9, 2025
Cerpen urban reflektif tentang keluarga yang membangun bukan hanya gedung, tapi juga cinta, ruang, dan ingatan yang menyembuhkan.

Yang Kita Bangun

“Yang kita kejar seringkali bukan masa depan, melainkan bayangan diri yang kita takut kehilangan. Berhentilah berlari sebentar; dengarkan apa yang
  • Creative Thinking Creative Thinking
  •   November 8, 2025
Cerpen “Lengkap! Bukan Cepat”: kisah urban reflektif tentang startup hospitality, keluarga, dan proses pemulihan diri di Jakarta–Surabaya–Malang.

Lengkap! Bukan Cepat

“Kadang yang kita perlukan bukan kecepatan untuk sampai, tapi kelengkapan untuk memahami.” . Pagi Jakarta yang sibuk memantul di kaca
  • Creative Thinking Creative Thinking
  •   November 7, 2025
  • «
  • 1
  • 2
  • 3
  • 4
  • 5
  • 6
  • 7
  • …
  • 127
  • »

Search

My Recent Post

  • Di Antara Gelombang Kota
  • Kesepian Bukan Alasan Kembali
  • Waktu yang Memilihkan Jalan
  • Ruang Hening Panji
  • Tempat Lelah Itu Pulang
  • Elegansi di Balik Kata Tidak
  • Jejak yang Tak Konsisten
  • Yang Kita Bangun Yang Kita Pulihkan
  • Luka Dalam
  • Menari di Tengah Badai

Share To Your Circle

  • Support me and locals
  • Cart
  • My Account

Copyright © 2025 Jeffrey Wibisono V. . All rights reserved

back to top