Bahasa Jarak
“Jarak bukan hukuman; jarak adalah cara kita menjaga martabat—diri sendiri dan orang lain.”
“Jangan memaksa dekat pada yang bergegas menjauh. Kesetiaan itu bukan menunggu di pintu yang sengaja dikunci, melainkan menanam kebun di halaman sendiri.”
.
Hujan baru berhenti ketika Sekar memarkir mobilnya di pelataran gedung perkantoran di Kuningan. Asap dari kedai kopi di lobi membentuk tirai tipis yang menandai jam sibuk sore. Jakarta, kota dengan seribu peluang dan sepuluh ribu alasan untuk tidak pulang tepat waktu. Sekar—yang namanya pernah ditarik dari legenda Sekartaji dalam kisah Menak Jawa—menarik napas panjang, menyusun kata-kata di kepala seperti slide presentasi yang harus ringkas, cantik, dan menusuk.
Di lantai dua puluh satu, ruang meeting agensi miliknya—Galuh & Co.—terasa seperti akuarium lampu neon. Kaca-kaca tinggi merekam pantulan lampu lalu lintas dan iklan raksasa. Di dinding, poster kampanye lomba membaca untuk sekolah-sekolah swasta yang mereka tangani berdiri tegap di samping kalender pemotretan untuk sebuah brand mode modest-wear yang sedang naik daun. Di atas meja, berbaris rapi: laptop, stylus, swatch warna, dan secangkir teh melati yang perlahan mendingin.
Sekar mengirim pesan ke Umar, kepala tim kreatifnya—lelaki yang namanya diambil dari Umar Maya, saudara seperguruan Jayeng dalam hikayat lama. Umar menjawab singkat: “Dekor set. Lighting siap. Talent di lift.”
Jayeng—klien yang belakangan lebih sering muncul dalam notifikasi WhatsApp daripada dalam rapat formal—muncul terakhir. Baju putih lengan panjang digulung, rambut disisir ke belakang, aroma aftershave yang menandai seseorang yang menganggap dunia ini panggung. Orang-orang menyebutnya “anak VC”: punya dana, punya mimpi, dan punya cara berbicara yang membuat grafik naik terasa wajib. Namanya, adaptasi dari Jayengrana, selalu diucapkan pelan di lingkungan para pendiri startup, seolah menyebut mantra yang mendatangkan tender.
“Maaf telat, Sekar,” katanya sambil melirik ke sekeliling. “Jalanan macet, alasannya klasik, tapi jujur.”
Sekar tersenyum. “Kita mulai saja.” Ia tak ingin memberi ruang bagi kebiasaan Jayeng menjadikan pesona sebagai metode negosiasi. Di layar, muncul storyboard iklan layanan masyarakat: seorang siswa sekolah menengah atas dari keluarga mapan mengajarkan literasi digital pada adik kelasnya; seorang ibu profesional menutup laptop tepat jam delapan malam dan membacakan buku untuk anaknya; seorang satpam perumahan menukar teleponnya dengan buku saku. Tagar: #KembaliMembaca.
Jayeng mengangguk-angguk, tetapi matanya bukan pada layar. “Kamu terlihat lelah,” katanya, seperti seseorang yang tertarik pada detail yang tidak diminta. “Sudah makan?”
Umar batuk kecil dan pura-pura sibuk merapikan cue card. Retna—publicist yang baru sebulan bergabung, namanya diambil dari Retna Manggali—menutup binder. “Kita lanjut ke budget,” katanya, berusaha mengembalikan orbit perbincangan.
Di kota, garis antara urusan kerja dan urusan hati sering kabur. Mungkin karena lampu-lampu neon punya cara menipu jarak.
.
Malam itu, di rooftop sebuah restoran di Sudirman, mereka bertiga—Sekar, Umar, Retna—membicarakan hal-hal praktis yang selalu punya selimut perasaan. Jakarta tampak seperti kapal pesiar yang didekorasi lampu kelap-kelip. Di bawah, sungai kecil yang dibeton menjadi jalan tol kendaraan.
“Jayeng itu campuran antara kemudahan dan kesulitan,” gumam Retna, memegang gelasnya dengan dua tangan. “Dia membawa kita ke klien-klien besar. Tapi dia juga membawa—”
“Interpretasi,” sela Umar. “Interpretasi pada jarak.”
Sekar menatap pendar kota. “Aku menulis satu kalimat di jurnal tadi pagi,” katanya pelan, sebagaimana orang yang menemukan peta dalam dirinya sendiri. “Aku tidak ingin menjauhi seseorang kecuali orang itu memberi tanda ingin dijauhi. Entah dari sikap, cara, dan komunikasi yang dia tunjukkan.”
Umar menatapnya. “Dan kau merasa sudah mendapat tanda itu?”
Sekar mengingat ulang percakapan-percakapan yang berantakan: pesan dibalas dingin setelah tengah malam, undangan rapat yang dibatalkan dua menit sebelum waktu, candaan ambigu di channel kerja yang membuat orang harus menebak rute maksud—kebiasaan yang di kota sering disebut “gaya.”
“Di mejaku,” kata Sekar, “kompas itu bernama konsistensi.”
.
Keesokan harinya, syuting dimulai di sekolah internasional di Kemang. Hujan menggantung, udara basah, aroma cat baru. Lampu LED menyorot wajah seorang remaja yang membaca nyaring. Retna memegang clipboard, memberikan cue seperti seorang dirigen. Umar memerhatikan histogram di monitor, memastikan kulit terlihat seperti kulit, bukan plastik.
Jayeng datang setengah jalan. Ia berdiri di balik kamera, menyodorkan saran-saran yang terdengar seperti perintah tapi terbungkus dalam humor. “Coba, murid laki-laki ini berdiri lebih dekat dengan jendela,” ujarnya. “Biar ada refleksi kota.”
Sekar mengangguk. “Kita coba take cadangan.”
Mata mereka bertemu sesaat—duel senyum yang ramah. Ada masa ketika Sekar mengira mata itu menyimpan musim semi. Tetapi musim di kota sering diganti iklan.
Pada take ketiga, listrik turun. Genset terlambat. Sekar mondar-mandir dengan daftar alternatif lokasi, sementara guru yang meminjamkan kelas sudah menatap jam.
“Aku telepon vendor,” kata Jayeng, mengeluarkan ponsel.
“Sudah, aku yang urus,” balas Sekar cepat. Ia mengenal vendor itu bukan lewat kartu nama, melainkan lewat meminjamkan payung di tengah hujan, lewat memesan nasi rames tambahan ketika tim kelelahan. Kerapian kota dibangun oleh ritus-ritus kecil semacam itu.
Vendor datang. Genset menyala. Syuting lanjut. Pada break, Jayeng mendekat dan mengucapkan kalimat yang membuat udara jadi sempit: “Kamu memang bisa diandalkan. Kita jadi, ya, makan malam nanti? Private. Ada hal yang harus kubicarakan.”
“Ada Retna,” kata Sekar, menunjuk rekan barunya. “Kita terbiasa mendengar hal penting bersama.”
Jayeng tertawa kecil. “Hal penting yang personal biasanya lebih efisien jika intim.”
Sekar menangkap kata “personal” beredar di udara seperti asap. Itu salah satu tanda. Di kantor, ia memegang teguh satu etika: apa-apa yang tidak bisa dikatakan di ruangan terang benderang adalah hal yang harus ditunda.
“Kalau penting untuk proyek,” katanya datar, “sampaikan di grup. Kalau penting untuk hatimu, simpan dulu.”
Ada jeda. Deburan AC terdengar seperti laut yang lupa nama pantai.
“Terlalu formal,” kata Jayeng akhirnya.
“Tidak,” jawab Sekar. “Terlalu cerdas untuk menyeimbangkan.”
.
Surabaya, dua minggu kemudian. Galuh & Co. membuka kantor satelit kecil di Darmo. Sekar memutuskan mengambil alih kampanye literasi di kota itu: melibatkan perpustakaan komunitas, beberapa SMA swasta, dan jaringan alumni kampus. Ia ingin menguji satu tesis: bahwa di antara coffee shop berlantai marmer dan toko roti artisan, masih ada rindu orang tua akan anak-anak yang mau membaca tanpa disuruh.
Di bandara, Sekar bertemu Kerta—Inu Kertapati versi dunia keuangan—teman lama yang kini menjadi CFO di salah satu jaringan klinik estetik. Kerta menawarkan pertemuan kolaborasi, menimbang peluang tukar promosi: diskon pemeriksaan mata untuk siswa penggiat literasi, voucher buku untuk klien klinik. Kota-kota besar bertumbuh di perjanjian kecil yang menguntungkan dua pihak sekaligus memberi sedikit hadiah bagi publik.
Malamnya, di sebuah restoran soto legendaris, Sekar duduk di meja panjang bersama tim Surabaya. Mereka membahas jadwal roadshow. Umar melaporkan hasil pra-produksi video testimoni orang tua murid. Retna memperlihatkan rancangan rilis pers dengan gaya bahasa Amerika—manis, bersih, padat. Mereka memutuskan untuk menyelipkan pitutur Jawa di poster: “Witing tresna jalaran saka kulina”—agar anak-anak akrab lagi dengan buku melalui kebiasaan, bukan hukuman.
Pukul sepuluh, ponsel Sekar bergetar. Pesan dari Jayeng: “Bagaimana kota pahlawan? Kangen debat denganmu.”
Sekar menyimpan ponsel tanpa membalas. Satu tanda lagi: “kangen” yang muncul hanya setelah urusan bisnis tuntas, seperti bonus yang diikat janji.
.
Di kantor Surabaya, jendela menghadap jalur trem tua yang sekarang jadi kenangan di buku sejarah. Sekar membuka email dari sebuah universitas swasta: mereka ingin melibatkan Galuh & Co. dalam kuliah tamu untuk mata kuliah “Brand Storytelling.” Sekar teringat ibunya, seorang guru BK di sekolah menengah atas di Malang yang sering berkata, “Jika pekerjaanmu tidak memberi ruang untuk mendidik, jadikan hidupmu kelas berjalan.”
Ia mengirim balasan singkat: “Dengan senang hati.” Lalu memanggil Umar dan Retna.
“Di kota ini,” kata Sekar, “kita bukan sekadar agensi. Kita harus jadi jembatan. Pelanggan kita menengah ke atas, terdidik, terbiasa membayar kualitas. Tetapi kualitas sejati itu bukan sekadar visual mewah. Itu juga pilihan etis: bagaimana sebuah kampanye membuat orang ingin menjadi lebih baik, bukan lebih hedonis.”
Umar mengangkat alis. “Dan itu artinya?”
“Kita tata standar komunikasi. Semua brief masuk lewat satu jalur. Semua evaluasi tertulis. Tidak ada rapat sepi. Tidak ada telepon tengah malam yang memaksa hati menjawab. Kita berikan ruang untuk lelah. Kita tidak menormalisasi ambigu.”
Retna tersenyum. “Kamu baru memantapkan yang selama ini kita rasakan.”
Sekar menatap daftar nama klien. Di sebelah nama “Jayeng Capital,” ia menambahkan catatan kecil: “Tetapkan batas. Tuliskan dalam kontrak.”
.
Jakarta lagi. Presentasi akhir kampanye literasi. Aula hotel bintang lima, lampu gantung kristal, karpet bermotif geometris. Para orang tua berdandan rapi; beberapa membawa anak-anak mereka dalam seragam sekolah yang setrikaannya masih menyisakan bau hangat. Di panggung, Sekar menyampaikan narasi yang menolak atau menunda sentimentalitas berlebih: data keterampilan membaca, korelasi dengan kecakapan digital, survei kecil pada orang tua tentang waktu berkualitas.
Saat sesi tanya-jawab, seorang lelaki mengangkat tangan—Jayeng—berdiri dengan senyum yang dirancang untuk foto. “Saya sebagai mitra,” katanya, “ingin bertanya pada ibu… maksud saya, pada Sekar. Bagaimana menjaga komitmen publik yang sering kali melemah setelah euforia awal?”
Sekar menatapnya lekat. “Dengan menulisnya,” jawabnya. “Menulis target, menulis proses, menulis evaluasi. Dan menulis batas—agar yang publik tetap publik, yang privat tetap memiliki pagar. Komitmen lelah jika berlarian di ruang yang kabur.”
Ada tepuk tangan. Ada kamera yang berkelebat. Ada udara yang tiba-tiba lebih jernih karena kalimat yang menemukan tujuannya.
.
Malam itu, Sekar berdiri di balkon apartemennya di Rasuna. Hujan turun lagi. Lampu kolam renang di bawah berpendar seperti cat air. Ia membuka jurnalnya—buku hitam bersampul kain dengan pita penanda yang mulai berbulu—dan menulis:
“Batas bukan benteng. Batas adalah peta. Tanpa peta, kita menyebut semua arah sebagai takdir.”
Ponselnya bergetar. Pesan dari Jayeng: “Kamu keras, Sekar, tapi itu yang membuatmu bernilai. Besok makan siang? Aku ingin bicara tentang retainer baru. Juga… tentang kita.”
Sekar menghela napas, menutup mata, mendengarkan detak yang bertahun-tahun ia latih agar tidak panik setiap kali dihadapkan pada “kita” yang datang tanpa undangan. Ia menulis lagi:
“Aku tidak ingin menjauhi seseorang kecuali orang itu memberi tanda ingin dijauhi. Tanda itu adalah ketidakjelasan yang dibiarkan tumbuh.”
Lalu ia mengetik balasan:
“Untuk retainer, kirim draft tertulis ke email tim. Untuk hal selain kerja, aku memilih diam. Diam yang merawat, bukan diam yang menghukum. Selamat malam.”
Ia kirim. Ia matikan suara ponsel. Ia seduh teh. Ia duduk. Merenungkan bahwa menjadi orang dewasa di kota berarti berdamai dengan suara klakson yang tak berhenti, sekaligus mengetahui kapan menutup jendela.
.
Beberapa bulan berlalu. Kampanye literasi berkembang; sekolah-sekolah swasta di Jakarta, Surabaya, Bandung mulai menyalin modelnya. Galuh & Co. menambah satu divisi kecil untuk pendidikan orang tua—kelas-kelas singkat tentang mendampingi anak membaca di tengah pekerjaan, tentang menimbang gawai, tentang mengajari anak berkata “cukup.” Retna menemukan ritmenya; ia melobi media dengan tenang, menulis rilis yang “megang tangan pembaca tanpa menarik-narik.” Umar mengarahkan video yang membuat orang ingin memeluk rak buku di rumah.
Di acara perayaan kecil, Sekar memberikan kesempatan berbicara kepada seorang anak perempuan kelas dua SD yang menang lomba membaca nyaring. Gadis kecil itu berdiri di atas boks kayu agar kepalanya setinggi mikrofon. “Aku suka buku,” katanya, “karena di buku ada aku yang besok.” Aula hening sejenak, lalu pecah oleh tepuk tangan yang tulus. Dalam hening sesaat itu, Sekar merasa seluruh lelahnya diberi nama.
Di luar aula, setelah acara usai, Sekar berpapasan dengan Jayeng. Ia tampak berbeda: rambut sedikit lebih panjang, senyumnya tidak setajam dulu.
“Selamat,” katanya pelan. “Programmu tumbuh.”
“Program kita,” sahut Sekar, memegang teguh kebiasaan menyebut dengan adil.
Jayeng mengangguk. “Aku menandatangani retainer yang terbaru. Maaf terlambat mengirimnya. Dan maaf untuk… hal-hal yang di luar kontrak.”
Sekar tidak perlu bertanya maksudnya. Di kota, jarang ada maaf yang lengkap. Tapi ada maaf yang cukup.
“Aku belajar,” kata Jayeng lagi, “bahwa kejelasan bukan musuh daya tarik. Barangkali aku terlalu terbiasa memakai kabut.”
Sekar tersenyum tipis. “Kabut bagus untuk foto. Buruk untuk jalan pulang.”
Mereka tertawa kecil. Tidak akrab, tidak asing. Hanya dua orang dewasa yang saling menemukan bahasa baru.
.
Musim berganti—bukan topik yang kerap dibicarakan di kota tropis, namun kita selalu tahu kapan hujan memutus jadwal dan kapan kemarau menahan napas. Galuh & Co. membuka kelas literasi keluarga di mall, di mana rak buku bersaing dengan diskon sepatu. Di sudut, pameran sketsa anak-anak tentang “rumah”—kebanyakan menggambar apartemen bersusun, jalan layang, kolam renang kecil biru, dan dua orang tua yang memegang buku. Sebuah modernitas yang ingin jinak.
Pada sesi penutup, Sekar membaca kutipan yang ia tulis sendiri, lalu ditempel di papan:
“Menjaga jarak bukan berarti berhenti peduli. Ini cara mengajari hati: bahwa tidak semua pintu harus kita ketuk bersamaan.”
Orang tua mencatat. Beberapa menghela napas. Beberapa tersenyum. Sekar melihat ibunya berdiri di baris satu—datang jauh-jauh dari Malang—mata yang mengatakan “kamu sudah memasak sesuatu yang bisa dimakan orang lain.”
.
Malam berikutnya, Sekar berjalan sendirian di trotoar dipenuhi pot besar dan bangku batu. Berlalu-lalang mobil mewah, motor-motor kurir dengan kotak hijau, dan pejalan kaki dengan sepatu putih bersih. Di etalase toko buku, poster kampanye “#KembaliMembaca” berdiri—hujan membuat ujungnya melengkung.
Ia berhenti, memantulkan wajah di kaca, bertanya: “Apakah aku masih orang yang sama yang dulu menunggu pesan seseorang sampai pagi?” Ia terkekeh pada dirinya sendiri, lalu menjawab, “Tidak. Aku orang yang menulis pesan pada diriku sendiri lebih dulu.”
Teleponnya bergetar. Bukan Jayeng. Bukan klien. Pesan dari seorang ibu yang ikut kelas literasi, menyertakan foto anaknya yang memeluk buku—bukan gawai. “Terima kasih, Mbak,” tulisnya. “Kami bercakap dengan lebih jernih di rumah.”
Sekar mengusap tetes air di kaca—air hujan, atau sesuatu yang lain. Kota tidak pernah memberi jeda pada perasaan; ia hanya menawarkan tempat yang cukup terang untuk mengenali warna-warna.
Di atas kepala, lampu jalan memantulkan cahaya ke air yang menggenang, menciptakan garis-garis yang tampak seperti tulisan. Sekar membayangkan, jika kota ini sebuah buku, maka ia ingin menjadi tanda baca yang sederhana namun tegas: koma yang mempersilakan bernapas, bukan tanda seru yang memaksa.
.
Di penutup buku hitamnya, Sekar menulis satu kalimat lagi:
“Tidak semua yang menjauh memusuhi; sebagian hanya memberi ruang agar kita tidak hilang dalam saling.”
Lalu ia menulis daftar pendek—semacam resep dari hidup sehari-hari untuk teman-teman seprofesi, untuk orang-orang yang juga bermain di gelanggang kota, kelas menengah ke atas yang berdamai dengan lucunya ekspektasi dan nyerinya ambisi:
-
Tuliskan batas dalam kontrak dan dalam hati.
-
Kirim yang penting di siang hari; simpan yang mengganggu sampai esok.
-
Jadwalkan pulang dan paksakan pulang, meski kota mengundang.
-
Jadikan kerja sebuah kelas, bukan panggung.
-
Bila seseorang memberi tanda ingin menjauh, hormati. Jarak adalah cara penghormatan yang paling dewasa.
Ia menutup buku. Di jendela, hujan telah berpindah tempat menjadi kabut tipis. Di jauh sana, gedung-gedung berkedip seperti kalimat yang menunggu titik.
Sekar menyesap teh—dingin, tapi tetap menghangatkan. Ia tersenyum kecil, tahu besok akan sibuk lagi: rapat, revisi, rekaman, email, anak-anak yang berlari di koridor mall mengejar balon. Tahu juga bahwa ada pesan-pesan yang mungkin datang, dan bahwa kini ia memiliki peta: ketika harus berhenti, ketika harus melambat, ketika harus melangkah lebih jauh.
Di kota yang selalu tak sabar, ia memilih kesabaran sebagai cara melanjutkan.
Karena ia paham, tanda yang paling jernih bukan dari luar, melainkan dari dalam.
.
.
.
Malang, 22 Oktober 2025
.
.
#CerpenIndonesia #KompasMingguVibes #UrbanStory #LiterasiKeluarga #EtikaProfesional #BahasaJarak #Jakarta #Surabaya #Storytelling