Romantisme Kota Malang: Studio Kopi yang Hampir Tutup
“Di kota yang pelan, mimpi yang bertahan bukan yang paling keras suaranya, tapi yang paling sabar menunggu hari baik.”
.
Baca sebelumnya: https://jeffreywibisono.com/romantisme-kota-malang-sunyi-yang-mengajar-di-antara-ruang-dosen/
.
Pagi yang Hening di Tidar
Pagi di Tidar selalu datang dengan cara yang sama: suara sapu ibu kos di teras, deru motor mahasiswa yang tergesa ke kampus, dan aroma gorengan dari ujung gang. Bagi Panji, semua itu adalah latar tetap yang tidak pernah ia minta tetapi pelan-pelan ia sayangi.
Ia membuka rolling door ruko kecilnya pukul delapan tepat. Di papan kayu di atas pintu tertulis nama usahanya: “Fokus & Fika” — studio foto kecil yang juga merangkap kedai kopi. Ia bangga pada nama itu. Meski untuk sekarang, yang fokus justru adalah tagihan, dan yang fika—istirahat manis—nyaris tidak pernah ia lakukan.
Lampu-lampu gantung dinyalakan, aroma kopi pertama diseduh. Sambil menata kursi, Panji menatap ruangan:
dua set kursi kayu, satu sofa biru yang mulai pudar, dinding dengan foto-foto kota Malang dalam berbagai cuaca, serta meja kerja dengan komputer dan kamera yang ia beli dengan tabungan masa lajangnya.
Panji tertawa kecil pada dirinya sendiri.
Di usia awal tiga puluh, teman-temannya sudah sibuk mengangsur rumah dan mobil keluarga. Ia? Masih mengangsur kamera baru dan mesin espresso bekas.
Tapi di tempat kecil inilah ia merasa paling hidup.
Atau setidaknya, ia pernah begitu.
Sebelum pandemi, sebelum sewa naik, sebelum algoritma media sosial membuat jasa fotografi rasanya bisa digantikan ponsel semua orang.
Jam menunjukkan pukul sembilan. Belum ada satu pun pelanggan.
Ia menyalakan musik pelan, membersihkan lensa kamera yang sudah bersih, lalu memeriksa kotak masuk WhatsApp bisnisnya.
Satu pesan baru dari ibunya.
“Le, gimana kabarnya studio? Masih kuat kan? Ibu nggak apa-apa kalau kamu mau cari kerja kantoran lagi.”
Panji menghela napas.
Kerja kantoran—kata itu selalu muncul setiap kali ia bercerita soal sepi pelanggan. Seakan pilihan hidup yang lebih aman selalu menunggu di tikungan, siap diambil kapan saja.
Padahal, ia tahu tidak semudah itu.
Bukan soal mencari pekerjaan.
Tapi soal meninggalkan sesuatu yang sudah ia bangun dengan hati.
.
Di Antara Seni dan Uang Sewa
Sekitar jam sebelas, pelanggan pertama datang: sepasang kekasih mahasiswa, memesan paket foto wisuda sederhana.
“Mas, bisa nggak fotonya jangan terlalu formal?” tanya si perempuan. “Kami pengin kayak foto-foto di Pinterest gitu, tapi tetap kelihatan Jawa.”
Panji tersenyum.
“Bisa. Kalian lebih banyak mau duduk atau jalan?”
“Yang penting kelihatan sayang,” celetuk si laki-laki. Mereka tertawa.
Saat membidik dengan kameranya, Panji melihat sesuatu: cara si lelaki memandang pasangannya, kontras dengan cara mata mereka menatap layar gawai saat pose berhenti. Di sela-sela sesi, keduanya mengecek hasil foto, memastikan semuanya estetik.
“Mas, bisa nggak diganti background jadi lebih terang?”
“Mas, bisa nggak pipi saya dibuat agak tirus?”
“Mas, bisa nggak langitnya dibikin lebih biru?”
Di kepala Panji, muncul suara kecil: “Kalian datang bukan untuk diabadikan, tapi untuk diperbaiki.”
Namun ia mengangguk.
“Bisa. Nanti saya edit pelan-pelan.”
Di layar komputer, setelah mereka pulang, ia mengatur warna, menghaluskan kulit, menipiskan perut. Sampai akhirnya wajah mereka terlihat seperti versi diri yang mungkin tak akan mereka temui di cermin.
Di titik itu, Panji sering bertanya pada dirinya:
Apakah ia masih seniman, atau sekadar tukang servis kepercayaan diri?
Sebelum sempat menjawab, ponsel bergetar. Pesan dari pemilik ruko.
“Mas Panji, bulan depan sewa naik ya. Harga baru sudah saya kirim di lampiran. Kalau keberatan, kasih kabar, biar saya tawarkan ke orang lain. Terima kasih.”
Ia membaca angka itu berulang kali.
Naik lima ratus ribu.
Angka yang di spreadsheet mungkin tampak remeh, tapi dalam arus kasnya berarti satu paket pemotretan keluarga yang hilang. Atau dua kali stok biji kopi.
Untuk pertama kalinya, ia memikirkan serius:
Mungkin ibunya benar.
Mungkin kerja kantoran adalah jalan keluar.
Tapi kemudian, matanya tertumbuk pada dinding: sebuah foto hitam putih Malang di waktu subuh. Jalanan basah, lampu-lampu jalan masih menyala, dan di kejauhan, siluet gunung.
Foto itu yang dulu membuat Ajeng mengajaknya bergabung membantu RupaRasa.
“Malang kelihatan jujur banget di fotomu,” kata Ajeng waktu itu. “Kamu harus lebih sering memotret kota, bukan hanya pelanggan.”
Kata-kata itu selalu menghangatkan, bahkan ketika dompetnya dingin.
.
Pertemuan dengan Ajeng dan Ranggalawe
Sore harinya, ketika kafe sudah sepi, Ajeng datang bersama Ranggalawe. Hujan rintik-rintik, jaket mereka sedikit basah.
“Studio kopi seniman kita,” sapa Ajeng, menaruh payung di sudut.
Rangga melangkah pelan, memperhatikan foto di dinding.
“Ini keren,” komentarnya. “Kota ini butuh lebih banyak mata kayak kamu, Ji.”
Panji terkekeh. “Mata boleh, dompet jangan, Rang. Dompetku udah mirip rekening mahasiswa akhir bulan.”
Ajeng duduk di bangku tinggi dekat bar.
“Kamu serius lagi kepikiran tutup?” tanyanya tanpa basa-basi.
Panji mengangkat bahu.
“Sewa naik, pelanggan nggak nambah. Orang sekarang kalau mau foto tinggal pakai filter ponsel. Kopi? Kafe baru muncul tiap minggu. Aku ini apa, sih?”
Ajeng menatapnya lama.
“Kamu itu orang yang bikin Malang kelihatan lebih indah di foto. Itu siapa-siapa banget buat kota ini.”
“Sayang, idealisme nggak bisa bayar listrik,” sahut Panji, mencoba bercanda. Tapi suaranya terdengar lebih berat dari niat awal.
Ranggalawe ikut bicara.
“Pernah kepikiran jadikan tempat ini ruang komunitas? Bukan cuma studio dan kafe, tapi juga ruang workshop?”
“Workshop apa? Fotografi? Sudah banyak.”
“Workshop melihat kota,” jawab Rangga. “Serius. Ajari orang memotret Malang bukan cuma dari sudut paling instagramable, tapi dari sudut yang bercerita.”
Ajeng menimpali, “Sekalian kamu bisa jadi partner visual RupaRasa. Kalau kami dapat proyek kampanye kota atau edukasi, kamu yang handle storytelling visualnya.”
Panji terdiam.
Ia pernah bermimpi melakukan itu: memotret kota untuk sesuatu yang lebih besar daripada feed media sosial.
“Tapi aku nggak tahu mulai dari mana,” gumamnya.
“Kita mulai pelan-pelan,” kata Ajeng. “Seperti kota ini.”
.
Malam Spreadsheet dan Rasa Takut
Malam itu, setelah Ajeng dan Rangga pulang, Panji duduk sendiri di depan laptop.
Di layar, bukan program edit foto yang terbuka, melainkan spreadsheet keuangan.
Kolom-kolom itu lebih jujur dari siapa pun:
pendapatan yang naik-turun seperti detak jantung cemas, pengeluaran yang stabil seperti tagihan listrik, dan saldo yang semakin tipis.
Ia mencoba mensimulasikan:
Jika sewa naik, jika pesanan tetap seperti bulan ini, berapa lama lagi ia bisa bertahan?
Enam bulan.
Itu pun jika tidak ada kejadian tak terduga.
Ia bersandar di kursi.
Kepalanya penuh angka, tapi hatinya penuh bayangan-bayangan:
foto-foto kota, tawa pelanggan, aroma kopi, dan suara klik kamera yang selalu membuatnya merasa berguna.
“Kalau tutup, aku kehilangan apa?” tanya Panji pada dirinya.
Jawabannya muncul pelan:
Lebih dari sekadar ruko.
Ia kehilangan ruang di mana ia menjadi dirinya sendiri.
.
Workshop Pertama: Kelas Melihat Kota
Seminggu kemudian, Ajeng menghubunginya.
“Ji, kita bikin kelas kecil ya akhir pekan. Tema: ‘Melihat Malang Lewat Lensa & Hati’. Kamu fasilitator, aku bantu materi storytelling. Biar ada pemasukan tambahan dan promosi untuk studiomuuuu.”
Panji tertawa membaca huruf “u” yang diperpanjang Ajeng.
Mau tak mau, ia setuju.
Akhir pekan, sepuluh peserta datang.
Mahasiswa desain, pekerja kantoran, ibu rumah tangga yang hobi jalan pagi. Mereka duduk di studio, memegang kamera DSLR, mirrorless, bahkan ada yang hanya membawa ponsel.
“Fotografi itu bukan soal alat,” kata Panji saat membuka kelas. “Tapi soal seberapa jujur kalian melihat.”
Mereka berjalan menyusuri gang-gang Tidar, lalu menuju jembatan kecil di mana rel kereta melintas di kejauhan. Panji mengajarkan hal-hal sederhana:
menunggu momen, menghargai bayangan, menangkap gerak, dan—yang paling penting—berhenti memotret hanya untuk mendapat like.
Di sela-sela itu, Ajeng berbagi tentang storytelling: bagaimana satu foto bisa menjadi pintu cerita.
Sore itu, ketika kelas usai, seorang peserta menghampiri Panji.
“Mas, saya kerja di kantor pajak. Hidup saya rasanya dari angka ke angka. Tapi hari ini, saya merasa punya cara baru melihat kota. Terima kasih, ya.”
Ucapan itu kecil, tetapi mengetuk sesuatu dalam diri Panji.
Ia pulang ke studio dengan langkah ringan.
Malamnya, ia membuka spreadsheet lagi.
Angka belum berubah banyak.
Tapi kali ini, ia melihat entri baru: pendapatan dari workshop.
Tidak besar.
Namun ada.
Lebih dari itu, ada rasa baru:
bahwa tempat kecilnya bisa menjadi ruang belajar, bukan hanya ruang jual beli.
.
Masa Sulit yang Tetap Datang
Namun hidup tidak berubah secepat film.
Bulan berikutnya, dua pelanggan batal mendadak, satu karena pindah kota, satu lagi karena “tante punya kamera bagus, jadi foto sendiri saja”.
Sewa baru mulai berlaku.
Angka di rekening kembali turun.
Suatu malam, ketika menghitung uang di laci kas, Panji menyadari ia tidak bisa membayar dua hal sekaligus: tagihan listrik dan cicilan kamera baru yang baru setengah dibayar.
Ia duduk, menatap kamera di meja.
“Kalau aku jual kamu, lunas semua,” gumamnya. “Tapi habis itu aku kembali ke mana?”
Ponsel berbunyi. Ajeng.
“Ji, kamu di studio?”
“Iya.”
“Boleh aku dan Anggra ke situ?”
Tak lama kemudian, Ajeng dan Anggraini tiba dengan bungkusan makanan. Mereka makan di meja bar, bercakap tentang kelas yang baru saja Anggra isi di kampus, tentang mahasiswa yang cerdas tapi cemas, tentang rencana kampanye literasi digital yang akan mereka kerjakan bersama.
Di tengah obrolan, Ajeng menatap laci kas terbuka.
“Listrik nunggak, ya?” tanyanya pelan.
Panji tertawa hambar.
“Studio seni, Jeng. Kalau nggak nunggak sesekali, bukan studio namanya.”
Anggraini menatapnya, sorot matanya lembut tapi tajam.
“Kamu sempat kepikiran tutup?”
Panji tidak menjawab.
Jawaban sudah terlihat di wajahnya.
Ajeng meletakkan sendok.
“Ji, kalau kamu tutup studio, kota ini kehilangan satu sudut yang memotret dirinya dengan jujur. Tapi aku juga nggak mau kamu hancur demi idealisme.”
“Terus?” tanya Panji.
“Kita cari cara lain,” kata Ajeng. “Studio ini harus hidup bukan hanya dari sesi foto. Kita jadikan dia rumah bagi visual RupaRasa, ruang kelas, ruang diskusi, ruang pamer.”
Anggraini menambahkan, “Dan ruang bagi mahasiswa yang butuh belajar kerja nyata.”
Panji menghela napas.
“Dan uang sewanya?”
Ajeng tersenyum. “Kamu pikir saja sewa ini sebagai investasi bersama. RupaRasa sewakan sudut di sini untuk kantor satelit. Kita bagi biaya. Kamu tidak sendirian.”
Kata-kata “tidak sendirian” itu seperti obat yang pelan-pelan menurunkan demam di kepalanya.
.
Studio yang Menjadi Rumah Banyak Cerita
Perlahan, rencana itu berjalan.
Ajeng memindahkan sebagian meeting RupaRasa ke Fokus & Fika. Klien datang ke studio, mencium aroma kopi, melihat foto-foto di dinding, dan beberapa di antaranya memesan jasa dokumentasi atau visual campaign.
Mahasiswa magang dari kampus Anggraini ikut mengerjakan tugas di situ: mengedit video, menulis caption, membuat moodboard. Mereka menghidupkan ruangan dengan obrolan, tawa, juga keluhan tentang skripsi.
Suatu hari, seorang klien hotel dari Batu berkomentar,
“Tempatmu unik, Mas. Saya merasa seperti mampir ke ruang cerita, bukan kantor.”
Panji tersenyum.
Itulah yang ia mau dari dulu: tempat di mana bisnis dan seni bisa duduk di meja yang sama tanpa saling menekan.
Pelan-pelan, pendapatan meningkat.
Masih belum kaya, tapi juga tidak sesesak dulu.
Lebih penting lagi, studio itu kini punya fungsi baru: sebagai simpul kecil ekosistem kreatif di Malang. Orang datang bukan hanya untuk membeli, tetapi untuk belajar, berbagi, dan merencanakan sesuatu.
Pada suatu sore hujan, Ranggalawe datang membawa gulungan peta.
“Aku dapat proyek dokumentasi ruang publik baru,” katanya. “Aku pengin kamu yang memotret proses dan hasilnya.”
Panji mengangguk, hatinya hangat.
Proyek itu bukan hanya pekerjaan, tapi pengakuan bahwa matanya layak dipercaya untuk merekam perubahan kota.
.
Pertanyaan Ibunya
Suatu malam, Panji video call dengan ibunya di rumah kampung.
“Le, ibu lihat di status WhatsApp, ramai sekali studionya. Sudah kaya, to?” tanya ibunya sambil tertawa.
Panji ikut tertawa.
“Belum, Bu. Tapi sudah bisa bayar listrik tepat waktu.”
“Mau tetap di Malang?”
“Iya, Bu. Di sini Panji ngerasa jadi dirinya sendiri.”
Ibunya mengangguk.
“Kalau kamu bahagia, ibu ikut bahagia. Uang itu penting, tapi kamu pulang ke rumah dengan hati tenang itu lebih penting.”
Setelah panggilan berakhir, Panji duduk lama di bangku bar.
Ia mengingat malam-malam ketika ia hampir menyerah, ketika ia merasa bodoh mempertahankan usaha kecil di tengah kota yang berubah.
Dan ia bersyukur tidak tutup waktu itu.
.
Malam Pameran Kecil
Beberapa bulan kemudian, Ajeng mengusulkan pameran foto kecil di studio. Tema: “Malang Dalam Segala Cuaca”. Foto-foto karya Panji dipamerkan:
kabut di Batu, hujan di Ijen, senja di Tugu, malam di Kayutangan, dan pagi sunyi di gang-gang Tidar.
Acara pembukaan sederhana: kopi gratis, roti rumahan, musik akustik. Mahasiswa, klien, tetangga, bahkan dosen-dosen Anggraini datang. Ranggalawe berdiri lama di depan satu foto: anak-anak bermain di taman kota yang baru jadi.
“Foto ini bikin aku ingat kenapa aku kerja,” katanya.
Seorang mahasiswa mendekati Panji.
“Mas, saya selama ini memotret hanya buat konten. Habis lihat karya Mas, saya pengin motret buat cerita. Boleh magang di sini?”
Panji menahan senyum.
“Tentu. Tapi siap-siap, di sini kamu juga harus belajar cuci piring.”
Semua tertawa.
Di antara keramaian kecil itu, Panji merasa ada sesuatu di dadanya yang mengembang: rasa lega.
Bahwa ia memilih tetap bertahan.
Bahwa studio ini bukan lagi sekadar usaha sepi di gang Tidar, tapi rumah kecil bagi banyak mimpi.
.
Apa yang Bertahan di Kota yang Pelan
Malam setelah pameran, Panji menutup rolling door lebih larut dari biasa. Jalanan sudah sepi, hanya suara motor sesekali lewat.
Ia duduk di kursi dalam gelap, hanya ditemani cahaya dari papan nama studio yang masih menyala redup.
Ia mengingat semua yang telah terjadi:
surat sewa naik, tagihan menumpuk, rasa hampir menyerah, sampai tangan-tangan yang kemudian terulur: Ajeng dengan RupaRasa-nya, Anggraini dengan mahasiswa-mahasiswanya, Ranggalawe dengan proyek kota.
Ia sadar, ia tidak pernah benar-benar berjuang sendirian.
“Di kota yang pelan, mimpi yang bertahan bukan yang paling keras suaranya,” pikir Panji, “tetapi yang paling sabar menunggu hari baik, sambil terus bekerja.”
Ia mematikan lampu, mengunci pintu, lalu berjalan pulang menyusuri gang.
Besok pagi, ia akan kembali membuka studio kopi-foto yang hampir tutup itu.
Bedanya, kini ia tahu:
Studio ini bukan lagi usaha yang menunggu pelanggan datang,
melainkan rumah kecil yang pelan-pelan mengundang kota untuk melihat diri sendiri.
Dan itu, bagi Panji, cukup sebagai alasan untuk terus menekan tombol on di mesin espresso dan shutter di kamera—hari demi hari, dalam segala cuaca Malang.
.
Baca sesudahnya: https://jeffreywibisono.com/romantisme-kota-malang-kota-tempat-mencari-validasi/
.
.
Malang, 8 Desember 2025
.
.
#CerpenIndonesia #CerpenKompasMinggu #MalangStory #StudioKopiFoto #UsahaKreatif #FotograferLokal #BisnisKecil #KomunitasKreatif #RomantismeKota #SurvivalMode