Rumah Tanpa Pagar
“Kadang pagar paling tinggi bukan dari besi, melainkan dari prasangka. Dan pintu paling lebar bukan di teras, melainkan di dada.”
.
Hujan turun seperti kelonggaran batin, pelan, tidak terburu-buru, membasuh lampu-lampu kota yang menitik di kaca jendela. Di Jalan Kenanga—gang kecil di balik boulevard apartemen baru yang menatap pusat belanja—rumah-rumah berdiri rapi. Hampir semuanya memeluk pagar: besi hollow, panel kayu, tembok roster. Hampir semuanya, kecuali rumah kami.
Rumah kami tak punya pagar sejak dua bulan lalu. Keputusan yang membuat grup WhatsApp RT bergemuruh seperti malam tahun baru. “Panji, aman nggak?,” tanya Ragil, tetangga sebelah kanan yang baru pindah dari Bandung, data analis yang kini mengajar coding untuk ibu-ibu. “Sekar, kamu yakin?,” tanya Raras dari seberang, pekerja sosial yang merintis dapur komunitas semasa pandemi. Mereka menatap halaman rumput yang tiba-tiba utuh—tanpa garis batas, tanpa gembok, tanpa bel pintu yang membatasi sapaan.
Aku, Panji, arsitek yang belakangan lebih sering bersentuhan dengan spreadsheet ketimbang sketsa. Setelah dua dekade desain rumah bertingkat untuk keluarga-keluarga berencana, aku berbelok ke pengembangan properti kecil-kecilan—mengubah ruko tua menjadi kafe, mengolah gudang menjadi ruang pamer. Sekar, pasanganku, dulu chef hotel; kini ia mengisi hari dengan usaha katering yang tumbuh organik dari lingkaran teman ke teman. Kami sempat bertengkar lama tentang pagar ini; seperti kebanyakan pasangan kelas menengah atas di kota ini, kami ahli menimbang risiko: asuransi, diversifikasi portofolio, rencana pendidikan anak, dan—tentu—keamanan rumah.
“Kalau bukan kita yang mulai, siapa?” kata Sekar waktu itu, menatap halaman yang dulu terbelah kanopi besi. “Rumah ini bukan museum. Hidup kita bukan dipamerkan, tapi ditautkan.”
Kami sepakat: pagar dibuka, lampu teras diganti tonenya lebih hangat, bangku kayu diletakkan di bawah ketapang kencana. Anak-anak tetangga tiba-tiba bisa bermain kejar-kejaran lewat halaman kami. Ojek online bisa menaruh makanan tanpa drama interkom. Kurir bisa berkelakar, “Rumah paling ramah di Kenanga.” Tapi sesuatu yang tanpa garis juga mengundang cerita yang tak bisa diperkirakan.
Suatu petang, sepeda lipat milik Wungu hilang. Ia pedagang surat berharga—dulu banker, kini merintis firma kecil yang mengedukasi keluarga muda tentang investasi syariah. Ia pragmatis, selalu rapi, selalu tepat. Sepeda itu hadiah ulang tahun dari istrinya, Kencana. Hilangnya bukan di malam hari, melainkan siang bolong, saat penjaja bakso lewat, saat Pak pos menyanyi kecil. Berita itu melenting di grup: “Sepeda lipat warna abu-abu, last seen dekat rumah Panji.” Aku membaca tanpa bernapas. Meski tak ada yang menyebut, arah curiga melesat ke halaman tanpa pagar.
“Ini bukan salahmu,” kata Sekar, menepuk punggungku. “Kota kita punya terlalu banyak alasan untuk takut, tetapi terlalu sedikit keberanian untuk percaya.”
Aku mengirim pesan pribadi pada Wungu, menawarkan rekaman CCTV yang kami pasang—ironis juga, rumah tanpa pagar tapi penuh kamera. Kami menonton berdua. Di layar, seorang pria berjaket hujan menuntun sepeda itu santai, menghilang di ujung gang. Detik-detik itu terasa panjang. Wungu diam lama, lalu menghela napas.
“Bukan tentang sepedanya sebenarnya,” katanya, “tapi tentang rasa di dada. Rasa kehilangan yang entah ke siapa mesti dititipkan. Kadang kita ingin menyalahkan pagar yang tak ada, karena yang ada di dalam terasa rapuh.”
Malam itu, di bangku kayu, kami bertiga berbicara sampai gerimis selesai. Raras menyusul, membawa termos teh. Ragil datang membawa pisang goreng. Rombongan dewasa dengan jadwal ketat mendadak menjadi lingkar kecil yang remaja. Di ujung percakapan, Raras mengusulkan sesuatu yang kedengarannya sederhana namun yang paling sering dilupakan oleh urban kelas menengah atas: “Bagaimana kalau kita jadwalkan pertemuan warga di luar agenda iuran? Bukan rapat, hanya temu. Kita tak perlu selalu menunggu 17-an untuk saling yakin.”
.
Pertemuan pertama diadakan hari Minggu sore. Tidak ada protokol: siapa pun boleh datang, apa pun boleh dibawa. Anak-anak berlari, orang dewasa membuka bekal. Sekar mengeluarkan nasi liwet; Ragil memesan ayam bakar; Raras membawa sambal matah yang pedasnya menyatukan kesepakatan; Wungu, yang sepeda lipatnya belum ditemukan, membawa puding yang diserut halus seperti salju. Kencana tertawa, “Kita seperti arisan rasa.”
Kedatangan yang tak diduga: seorang lelaki paruh baya berkulit legam, bernama Wirama, mantan satpam mal. Ia mengantar anaknya, Anindya, yang ikut kelas coding Ragil. “Saya sering lewat sini,” katanya hati-hati, menatap halaman tanpa pagar. “Rumah ini membuat saya berhenti sebentar. Rasanya, kota ini masih mau duduk bareng.”
Kata-katanya menggema. Ada semacam gentar yang manis: kita sibuk mendesain karier, memoles CV, menyiasati volatilitas pasar, mengejar residu waktu untuk keluarga—tetapi justru lupa membangun kebiasaan untuk duduk bareng. Duduk, tanpa agenda tersembunyi, tanpa prospecting.
Temu Minggu sore itu memantik ide-ide. Ragil mengusulkan “Kelas Sabtu”—kelas singkat gratis untuk siapa saja di gang: coding dasar, literasi digital untuk orang tua, manajemen kas sederhana untuk UMKM. Sekar mengajukan “Dapur Rasa”—warung pop-up di halaman kami setiap Jumat, memberi makan gratis untuk pekerja harian dengan sistem kartu sedekah. Raras menyambung, “Kita bikin ‘Rak Buku Bersama’ di teras: ambil satu, taruh satu.”
“Pagar bukan cuma besi,” gumamku, “ia bisa berupa kesibukan yang tak mau diganggu, atau ambisi yang tak mau ditemani.”
Minggu berganti Minggu. Kelas Sabtu menjadi magnet: bapak-bapak yang pulang kerja shift malam tetap datang; ibu-ibu yang semula takut memegang gawai kini menjelajah aplikasi pencatat keuangan; anak-anak melebarkan mata saat melihat “Hello, World!” muncul dari layar. Dapur Rasa berjalan; warung pop-up Jumat menjadi titik temu yang selalu terdengar bising bahagia: tawa kurir, cerita satpam, candaan ibu-ibu.
Sementara itu, rumah kami tetap tanpa pagar. Ada hari-hari ketika rasa aman terasa meyakinkan seperti setrika yang disapukan rapi, ada hari-hari ketika kabar pencurian di kompleks sebelah membuat dada mengetat lagi. Kami menambahkan lampu sensor gerak, memperbaiki kunci kamar, memperjelas rambu di teras: “Silakan duduk. Jika perlu bantuan, panggil.” Keberanian tidak ahistoris; dia belajar dari luka. Kepercayaan bukan naif; ia ditumbuhkan dengan disiplin.
.
Pada suatu Rabu sore, seseorang mengetuk tiang bel kecil di teras. Seorang remaja laki-laki berdiri, hujan menempel di bulu matanya. “Pak, Bu,” katanya, “apakah ada lowongan? Saya bisa bantu bersih-bersih halaman. Saya Ragam.”
Ragam—namanya seperti akumulasi warna. Ia tinggal dua gang dari sini, putus sekolah kelas dua SMA, ayahnya sakit lambung, ibunya bekerja di laundry. Ia biasa menjadi tukang parkir liar di dekat minimarket. “Saya ingin uang bersih,” katanya lirih, menghindari tatapan seperti menahan malu yang lebih tua dari usianya. Sekar memintanya duduk. Kami menyiapkan teh.
Kami tak butuh petugas kebersihan. Halaman kami sederhana; rumput tumbuh secukupnya; ketapang kencana menjatuhkan daun dalam jumlah yang bisa ditangani satu sapu. Namun kami butuh harapan. Ragil datang, duduk, mendengarkan. Raras menghubungkan Ragam ke sebuah program pelatihan barista milik temannya. “Kalau kamu sungguh mau belajar,” kata Sekar, “pagar rezeki itu ada pintunya.”
Ragam menjadi murid Dapur Rasa, belajar memotong bawang tanpa meneteskan air mata; belajar mengukur gula tanpa meraba-raba; belajar menyapa tanpa malu. Ia juga ikut kelas literasi keuangan sederhana yang dipandu Wungu—ia mengajarinya tentang menabung dengan menamai tabungan: “Tabungan Gelas Kopi” untuk membeli peralatan barista.
Sebulan kemudian, Ragam berhasil diterima magang di kafe di belakang apartemen. Di hari pertama ia memakai celemek hitam, ia mampir ke teras, mengangkat kartu namanya. “Saya bagian espresso,” katanya bangga. Malam itu, Sekar menatapku, mata basah. “Rumah tanpa pagar bukan berarti tanpa proteksi,” bisiknya, “tetapi tanpa pembatas tumbuh.”
.
Kabar tentang rumah tanpa pagar menyebar lebih cepat dari aroma tumis bumbu dasar. Ada yang datang membawa penasaran, ada pula yang datang membawa cemas. Suatu siang, Kertawirya—agen properti yang memegang banyak listing di kawasan—berhenti di depan teras.
“Mas Panji,” katanya gesit, “saya salut. Tapi kalau semua ikut-ikutan, gimana nilai properti? Orang beli di sini karena merasa eksklusif.”
Aku tersenyum, menawarkan kopi. “Eksklusif itu pagar terhadap siapa, Pak Kerta? Terhadap yang miskin? Terhadap yang berbeda? Kita terlalu percaya bahwa harga terbentuk dari jarak, padahal sering kali nilai justru naik ketika ruang menjadi simpul cerita.”
Ia tertawa, tapi kemudian diam. Seorang nenek lewat, mendorong gerobak jajanan pasar. Kertawirya membeli semua lemper dan kue cucur, lalu membagikannya ke anak-anak yang bermain. “Mungkin nilai yang ini belum masuk listing,” gumamnya.
Di sore lain, debat di grup RT memanas. Ada yang meminta kami tinggal memasang pagar transparan; ada yang mengusulkan jam malam untuk halaman; ada pula yang dengan enteng menuduh, “Ini gaya hidup pamer. Mau berbeda sendiri.” Sekar menulis balasan yang tenang—sebuah seni yang ia pelajari dari dapur: api besar tak selalu lebih cepat matang.
“Teman-teman,” tulis Sekar, “rumah tanpa pagar bukan kampanye, apalagi kompetisi. Ini eksperimen kecil yang tidak akan berhasil tanpa gotong royong: jadwal ronda yang bisa disesuaikan dengan ritme kerja kita yang beragam; SOP kurir; rambu untuk tamu. Mari kita menata ulang cara berjaga, bukan hanya cara menutup.”
Raras memantik diskusi untuk membuat “Protokol Teras”: bukan aturan kaku, melainkan kesepakatan luwes—jam kunjung yang manusiawi; zona bermain anak; tempat menaruh donasi; kode warna untuk situasi genting. Wungu menawarkan sistem kas darurat; Ragil membuatkan formulir sederhana berbasis gawai. Kami, generasi yang pandai mengelola proyek dan portofolio, tiba-tiba menemukan sensasi mengelola kepercayaan.
.
Pada satu Minggu yang meninggalkan gigil, kabar buruk datang. Wirama, ayah Anindya, terkena PHK lagi. Mal yang mempekerjakannya merumahkan banyak pegawai karena proyek renovasi molor. Ia datang ke teras, menaruh kartu pos yang pernah kami berikan—kartu kecil bertuliskan, “Jika keadaan mendesak, jangan ragu mengetuk.” Tangan Wirama gemetar.
“Bukan minta belas kasihan,” katanya, “saya cuma butuh tempat mengembuskan napas.”
Kami menggelar bangku. Dapur Rasa menyiapkan panci besar sup ayam. Raras menghubungkan dengan komunitas pekerja yang menyalurkan kerja paruh waktu, Sekar menawarkan training singkat mengelola stan minuman untuk bazar sekolah. Dua minggu kemudian, di halaman sekolah SD dekat gang, Wirama berdiri di balik meja dengan spanduk sederhana: “Es Serut Rasa Kota.” Anindya mengerjakan desain label kecilnya di laptop bekas yang kami dapat dari donasi tetangga—Ragil memasang aplikasi desain, mengajari pendekatan grid. Wajah Wirama ketika pelanggan pertama datang—dua anak berseragam pramuka—adalah wajah yang membuatku kembali percaya bahwa kota ini, meski sering keras, masih punya halaman teduh.
“Kadang yang kita butuhkan bukan peluang besar, tetapi izin kecil untuk mencoba,” catat Sekar di jurnalnya malam itu.
.
Dan sepeda lipat Wungu? Ia kembali dengan cara yang tak romantis namun jujur: satu sore, Ragam melihat seseorang menuntun sepeda dengan warna yang sama di ujung jalan pasar. Ia memotret diam-diam, mengirim ke grup. Wungu datang, mengajak bicara pelan, menawarkan jalan damai asalkan sepeda dikembalikan. Pria itu menunduk. “Saya salah. Ibu saya sakit,” katanya. Ada air yang diusap cepat. Wungu menahan amarahnya, memilih menukar murka dengan mediasi. Raras menenangkan, menghubungkan pada program bantuan kesehatan etalase warga; Ragil menawarkan bantuan menulis CV. Sepeda kembali; rasa kembali pelan-pelan.
“Nah, pagar apa yang berhasil menahan nasi masuk ke perut orang lapar?” tanya Wungu sembari mengelus setang sepedanya, senyum getir tapi lembut.
Malam itu, lampu-lampu di Jalan Kenanga seperti menunduk memberi hormat. Di halaman kami, bangku kayu mulai menghitam dimakan hujan dan tawa. “Biarkan,” kata Sekar, “patina itu bukti kita hidup.”
.
Kota ini punya ritmenya sendiri: pagi menyiapkan terburu-buru, siang menawarkan lupa, malam menggoda lelah. Di antara ritme itu, kelas Sabtu terus berjalan; Dapur Rasa tetap berdiri; Protokol Teras diperbarui seperti memperbarui aplikasi; Rak Buku Bersama tumbuh—buku resep, novel cinta, buku ekonomi perilaku, kumpulan cerpen, buku gambar. Halaman tanpa pagar melatih kami pada satu keterampilan paling sulit bagi kelas menengah atas: keberpihakan yang membumi, bukan hanya berkicau di linimasa.
Aku sering memikirkan orangtuaku di kota kecil yang mengajarkanku membuka pintu untuk tamu, menggelar tikar untuk tetangga. Ketika aku dewasa, kota besar menawariku definisi baru—tentang prestasi, privasi, properti. Sering kali aku menyamakannya dengan kemajuan. Tapi di bangku teras yang basah oleh embun, aku mengerti: sebagian dari kemajuan adalah kemampuan memilih pagar apa yang perlu dan pagar apa yang boleh dilepas.
“Pagar hati kita,” kata Sekar suatu malam, “adalah yang paling sulit dikunci. Ia terbuat dari pengalaman yang takut diulang, dari komentar pedas yang tak usai di kepala. Tapi di sinilah kita belajar mengganti gembok dengan obrolan, mengganti jeruji dengan jadwal main bersama.”
Ada hari-hari ketika kami kalah. Saat kabar perampokan di kompleks lain membuat saya ingin memanggil tukang las. Saat berita politik menggerogoti harapan hingga tersisa tulang sendi. Saat bisnis properti lesu dan spreadsheet-ku menunjukkan angka merah. Saat katering Sekar mengembalikan makanan karena acara batal. Saat Dapur Rasa kehabisan bahan dan donasi terlambat. Tapi justru di hari-hari itu, halaman tanpa pagar menjadi obat. Ragil akan datang dengan kabar muridnya lolos beasiswa bootcamp; Raras muncul dengan gelak tawa anak-anak panti yang baru pertama kali mencicipi es serut Wirama; Wungu bercerita tentang keluarga muda yang akhirnya berani menata ulang utang; Kencana akan membagikan tips negosiasi kerja yang manusiawi; dan Ragam—dengan celemek hitamnya yang kini agak pudar—menawari kami espresso yang mengusir ragu.
“Kalau kopi ini pahit, itu bukan akhir,” katanya sekarang selalu dengan percaya diri, “itu baru awal.”
.
Suatu senja yang berwarna jingga tua—senja yang membuat langit seperti kulit jeruk yang baru dikupas—seorang ibu berdiri ragu di depan halaman. Ia membawa map plastik, wajahnya separuh lelah separuh mantap. “Permisi,” katanya, “saya Kinasih. Saya ingin menitipkan anak sore-sore. Saya bekerja sampai jam tujuh. Saya bisa bayar sebisanya.”
Kami terdiam, lalu memanggilnya masuk. Penitipan anak bukan rencana kami. Namun Kelas Sabtu telah memupuk jaringan; Raras punya daftar relawan; Ragil punya template asuransi kegiatan; Wungu punya simulasi biaya. Dalam dua minggu, “Teras Penjaga Senja” lahir: dua jam selepas sekolah, anak-anak bisa bermain, membaca, atau belajar di halaman. Biayanya ringan; subsidi silang dari keluarga yang mampu; para relawan bergantian. Kinasih menitikkan air mata saat menjemput pertama kali. “Di kota ini,” katanya, “yang paling mahal adalah rasa aman yang tak mengikat.”
Malam itu, di grup RT, seseorang menulis: “Terima kasih. Rumah tanpa pagar telah menjadi pagar untuk yang lain.”
Aku menatap layar, lalu menutupnya. Di teras, lampu kuning temaram. Aku bisa mendengar suara panci dari dapur, suara Sekar menyalakan kompor. Aku duduk, merasakan kayu bangku yang dingin merayap ke telapak tangan. Jalan Kenanga hening sebentar, seperti menahan napas. Di ujung gang, suara sepatu anak-anak remaja berpacu dengan tawa. Aku tahu, besok mungkin akan ada lagi debat, lagi-lagi logistik, lagi-lagi spreadsheet. Tapi malam ini, kota terasa tak memusuhi.
“Rumah tanpa pagar,” kataku kepada diriku sendiri, “bukan kampanye keindahan, melainkan latihan keberanian harian. Pagar bisa kembali kapan saja; tetapi keberanian harus disiram, kalau tidak, ia akan kering.”
Sekar duduk di sampingku, menyandarkan kepala. “Kamu tahu,” katanya, “aku dulu memilih jadi chef karena dapur mengajarkanku bahwa rasa adalah kompromi terbaik. Bukan mengalah, tapi menyadari komposisi. Di halaman ini, kita belajar komposisi baru: aman tanpa menjauh, terbuka tanpa telanjang.”
Aku mengangguk. Hujan kembali hadir, lebih tipis dari rahasia. Lampu-lampu tetangga memantulkan bintang palsu di genangan kecil—bintang-bintang kota yang cukup untuk membuat anak kecil menunjuk dan berkata, “Lihat, langit jatuh ke rumah kita.”
Aku memejamkan mata, dan untuk pertama kalinya sejak pagar dibuka, aku tidak lagi menghitung kemungkinan buruk, tidak lagi memutar ulang skenario darurat di kepala. Aku hanya mendengar hujan, dan dari jauh, suara mesin espresso yang hidup. Rasanya seperti doa yang tak diucap, tetapi dikerjakan.
“Saling jaga adalah seni kota. Dan setiap seni membutuhkan ruang yang tidak dipasangi gembok.”
.
Catatan Solutif dari Halaman Tanpa Pagar
— Kami memasang lampu sensor gerak dan kamera yang menghadap jalan, bukan wajah tetangga.
— Kami menulis Protokol Teras: jam kunjung, SOP kurir, zona bermain, dan nomor darurat.
— Kami mengadakan Kelas Sabtu: coding dasar, literasi digital, manajemen kas.
— Kami menjalankan Dapur Rasa: warung pop-up berbasis donasi dengan kartu sedekah.
— Kami membuka Rak Buku Bersama dan Teras Penjaga Senja sebagai penitipan sore.
— Kami mendisiplinkan percakapan di grup: kabar baik dinyatakan, kabar buruk ditangani, fitnah ditahan.
Semua itu bukan karena kami lebih baik, melainkan karena kami memutuskan untuk lebih dekat. Dan kedekatan, sebagaimana kopi pertama Ragam, mungkin pahit di awal, tetapi menyisakan hangat setelahnya.
.
.
.
Malang, 26 Oktober 2025
.
.
#RumahTanpaPagar #SolidaritasUrban #KelasMenengah #DapurKomunitas #KelasSabtu #LiterasiDigital #EdukasiKeuangan #CerpenIndonesia #KotaYangMenjaga #CeritaInspiratif