Menanam Jeda di Jantung Waktu

“Kamu boleh mengejar langit, tapi jangan lupa menyiapkan payung untuk hujan yang kamu ciptakan sendiri.”

.

Di lantai tiga puluh dua sebuah apartemen di jalan protokol, kota berdentang seperti jam dinding yang tak pernah kehabisan baterai. Lampu-lampu kendaraan menjalin garis-garis nasib di bawah sana, sementara angin asin dari laut utara membawa kabar tentang kapal-kapal kargo yang bersandar terlalu cepat, terlalu lambat, atau tepat waktu—seperti keputusan-keputusan manusia.

Jayeng berdiri di depan jendela. Di meja makan, laptopnya terbuka pada tiga jendela: rapat daring untuk divisi brand strategy, dashboard penjualan untuk lini kopi kemitraan, dan proposal kelas malam “Financial Literacy for First-Jobbers” yang ia susun untuk kampus swasta di pinggiran kota. Di telepon, nama “Kencana” berkedip.

“Sudah makan?” suara Kencana terdengar seperti pintu yang selalu bisa dibuka dari kedua sisi.

“Baru roti. Kopi sudah dua,” balas Jayeng.

“Turun ke jalan. Aku pulang lewat boulevard. Kita cari soto langganan,” kata Kencana. “Kamu butuh kuah panas untuk menurunkan kecepatan pikiran.”

Mereka sudah bertahun-tahun seperti itu: dua manusia yang tumbuh dari keluarga kelas menengah ke atas, disekolahkan untuk menjadi “berguna dan tak gelagapan,” lalu memilih hidup dengan peta masing-masing. Kencana bekerja di rumah sakit swasta sebagai manajer pengembangan layanan; malam hari ia memimpin yayasan kecil untuk beasiswa perawat. Jayeng, yang namanya diwarisi dari dongeng lama, tumbuh menjadi pengusaha: agensi merek, kelas mikro untuk UMKM, investasi minoritas di tiga kafe, dan sebuah cita-cita membuka perpustakaan bisnis—gratis di hari Minggu.

Di soto kaki lima itulah, uap kuah menepuk wajah. Kencana memecah jeruk nipis, Jayeng menaburkan seledri.

“Ayahku telepon,” kata Kencana. “Tekanan darahnya naik. Katanya, ‘kamu jangan terlalu keras pada orang, Kan. Orang-orang bekerja bukan selalu karena mimpi. Kadang karena takut.’”

“Kadang dua-duanya,” Jayeng tersenyum pahit.

Malam itu, di seberang jalan, papan LED memutar iklan grand opening mal baru. Kota seperti membuka kelopak mata lain. Dan seperti mata ketiga, ia melihat melampaui jam kerja.

.

Pagi berikutnya, di gedung kaca tempat agensi Jayeng berkantor, rapat dimulai oleh Anjas—account director yang gesit. “Tender branding untuk konsorsium properti ‘Narawangsa District’ dibuka. Mixed-use: residensial, hotel butik, ruang seni, co-working, amphitheater. Kliennya Damar—ya, Damar yang dulu satu jurusan sama kamu, Jay,” kata Anjas.

Nama Damar seperti pintu. Mereka pernah berlari di koridor kampus menukar ide dan roti bakar. Damar sekarang CEO di konsorsium properti, anak sulung keluarga pengusaha bahan bangunan yang naik kelas menjadi pengembang kota. Di belakang Damar, ada Jingga—sahabat lama yang kemudian menjadi lawan main di panggung bisnis. Jingga memimpin sebuah dana investasi yang gemar menanam modal pada “narasi kota masa depan”.

Tender itu seperti membawa tokoh-tokoh dari kisah lama ke panggung baru. Jayeng membayangkan lembar-lembar komik yang bertukar warna: Damar yang hangat, Anjas yang lincah, Kencana yang tabah, dan Jingga—senyum tipis, setajam pisau bedah.

“Konsep kita apa?” tanya Anjas.

“Jangan mem-branding beton. Brand-kan pola hidupnya,” jawab Jayeng. “Narawangsa harus terasa seperti jalan pulang ke kota yang lebih lembut.”

“Tagline?” tanya desainer, Retna, yang selalu menaruh sketsa di tepi rapat.

“‘Tinggal, bekerja, bertumbuh—dengan jeda.’”

Semua menulis. Di layar, prototipe kampanye bergerak: video pendek yang dimulai dari kaki pejalan, bukan fasad bangunan; dari tatapan barista, bukan dari menu; dari jari kecil anak yang mengusap buku di ruang baca.

“Jangan lupa integrasi social impact,” tambah Jayeng. “Setiap unit terjual, satu beasiswa untuk SMK pariwisata. Setiap penyewa co-working, satu kelas literasi digital untuk ibu-ibu PKK.”

“Ambisius,” gumam Anjas.

“Realistis yang diperbesar,” kata Jayeng.

.

Sementara itu, Kencana menjemput pagi di rumah sakit. Di ruang rapat kecil, ia mempresentasikan proyek “Ruang Jeda”: sebuah ruang kecil dengan kursi-kursi empuk, teh chamomile gratis, dan poster pernapasan 4-7-8 untuk keluarga pasien. “Penyembuhan bukan hanya soal obat. Kadang soal izin istirahat di tengah panik,” katanya. Direktur mengangguk.

Di ponsel, Kencana mendapat pesan dari anyaman grup WhatsApp yayasan beasiswa. Satu calon penerima, gadis dari pinggiran kota, baru saja mengabarkan mendapat kerja paruh waktu di perpustakaan. “Terima kasih, Mbak,” tulisnya. “Aku belajar berkata ‘sebentar’ kepada lelah.”

Sore, Kencana mengajar di kelas kecil bertajuk “Merawat Dengan Data”: mengajarkan perawat muda membaca grafik sederhana untuk mengusulkan perbaikan jadwal. “Kita mencintai pasien dengan cara yang bisa diaudit,” ucapnya. Tawa menyebar. Di luar, langit menggulung kertas-kertas awan.

.

Tender Narawangsa berlangsung seperti film: ruangan dingin, air mineral, seorang sekretaris yang mencatat waktu presentasi. Di dinding, foto-foto arsitekstur modern memantulkan ambisi.

Damar menyambut Jayeng dengan pelukan. “Kota ini butuh kamu,” katanya.

Presentasi Jayeng mengalir. Di slide terakhir, ia menampilkan foto ruang publik: seorang pedagang buku loak menata karpet; murid-murid kecil bermain catur; seekor kucing oranye tidur di bawah lampu. “Narawangsa yang kita rawat bersama adalah Narawangsa yang memperlakukan ‘waktu’ sebagai warga kota,” katanya. “Karena kita bukan hanya membangun gedung. Kita sedang menanam jeda.”

Tepuk tangan tertahan. Jingga, yang duduk di sudut, mengangkat alis. “Bagus. Tapi measurable?” tanyanya.

“Measurable,” jawab Jayeng, menunjuk matriks: okupansi, foot traffic ruang seni, voucher ibu-ibu PKK, retensi tenant, indeks kebahagiaan karyawan kawasan. “Dan satu lagi: ‘indeks percakapan warga’. Kita pantau apa yang dibicarakan warga, bukan sekadar jumlahnya.”

“Lalu apa peran investor?” Jingga menyilangkan kaki.

“Investor yang sabar akan memanen cerita. Cerita menghasilkan preferensi. Preferensi menguatkan margin,” ucap Jayeng. “Kita set ekspektasi sejak awal.”

Pulang dari presentasi, di parkiran, Jayeng memandang langit. Ia mengirim pesan pada Kencana: “Doakan ya.”

“Selalu,” balas Kencana. “Dan kalau pun tidak lolos, kita tetap sarapan.”

.

Kota berganti baju. Papan-papan reklame memantulkan wajah-wajah baru. Di teras kafe, Damar duduk dengan kopi hitam saat Jayeng datang. “Selamat,” kata Damar, menepuk bahu. “Kamu menang.”

Jayeng menahan napas. “Serius?”

“Kamu menulis kota dengan kalimat yang tidak sombong,” jawab Damar. “Tapi—” Damar menatap ke jalan. “Ada syarat.”

“Jingga?” tebak Jayeng.

Damar mengangguk. “Dia maunya social impact dipangkas. Beasiswa dikurangi separuh. Kelas literasi diganti acara influencer. Dia bilang, ‘narasi kebaikan tidak harus mengeluarkan biaya kebaikan’.”

Jayeng menahan diri untuk tidak tersenyum sinis. “Kita akan bicara lagi.”

Sore itu, di ruang rapat, Jingga datang dengan setelan kelabu. “Kamu penulis cerita yang bagus, Jay,” katanya. “Tugasku memastikan cerita itu tidak merugikan.”

“Cerita tanpa pelaku bukan cerita,” jawab Jayeng.

“Angka dulu, hati belakangan,” kata Jingga.

“Angka yang tak menghormati hati akan ditagih oleh waktu,” kata Jayeng pelan. Ia menoleh pada Damar. “Kalau kita merubah pondasi hari ini, papan namanya mungkin tetap Narawangsa, tapi jalan yang ditempuh warga akan lain.”

Hening. Sebuah hening yang di kota besar biasanya kalah oleh deru AC, tapi hari itu terdengar jelas.

Damar memijat pelipis. “Kita cari jalan tengah,” katanya akhirnya. “Beasiswa tetap. Kelas literasi kita ubah: setengah online, setengah offline. Anggaran keseluruhan turun 25%. Setuju?”

Jingga menghela napas panjang. “Kalian dua ini… baiklah. Tapi aku minta indikator ROI lebih tajam.”

“Deal,” kata Jayeng, menatap Kencana dalam benaknya: bagaimana ia selalu menjahit kekuatan dari keadaan terbatas.

.

Pembangunan dimulai. Kota menambah satu denyut. Di timeline media sosial, Narawangsa menjadi tagar yang dibahas oleh arsitek muda, ibu-ibu penggiat tanam hidroponik, anak-anak skena musik. Ruang seni membuka pameran perdana: dokumenter foto tentang “tubuh kota yang duduk”.

Semua terlihat seperti gambar katalog—rapi, bersih, berkisah. Hingga satu malam, hujan datang seperti berita buruk yang meledak di kepala. Drainase kawasan tetangga memuntahkan air ke jalan. Di parkir basement, alarm meraung. Video banjir naik ke media sosial lebih cepat dari perahu karet.

Paginya, Narawangsa menjadi bahan olok-olok. “Ruang jeda berubah menjadi ruang cedera.” “Mixed-use, mixed-flood.” “Amphitheater jadi kolam renang gratis.” Jurnalis menulis panjang. Warga memaki. Investor gelisah.

Damar menatap layar, wajahnya pucat. “Kita salah?”

“Bukan salah,” kata Jayeng. “Kita lupa,” sambungnya. “Kota ini punya sejarah air yang lama. Kita terburu-buru karena grand opening.”

“Solusinya?” tanya Damar.

Jayeng menatap peta drainase yang ia buka di laptop. “Teknis: pompa portable, pintu air darurat, penataan ulang kemiringan lantai basement. Narasi: jujur total, bukan defensif.”

“Jujur total?” Jingga bersuara lewat panggilan video. “Maksudmu bilang ke publik bahwa kita keliru? Investor akan—”

“Investor lebih takut pada kebohongan yang direkam internet seumur hidup,” potong Jayeng. “Kita bicara begini: ‘Kami belajar. Ini yang kami lakukan. Ini tenggatnya. Ini nomor hotline-nya.’ Kita minta warga membantu memonitor.”

Damar mengangguk. “Kamu yang tulis.”

Siang itu, Jayeng mengetik pernyataan panjang yang bukan sekadar “klarifikasi,” melainkan rencana ber-hari. Ia menutup dengan kalimat: “Kota ini mengajari kita, bahwa bertumbuh artinya bersedia minta maaf tanpa syarat dan memperbaiki tanpa menunda.”

Postingan itu viral—bukan karena dramanya, tapi karena nadanya yang tak mengecilkan warga. Di ruang jeda rumah sakit, Kencana membacanya dan menaruh emotikon daun. “Kamu menulis seperti perawat,” chat-nya. “Meredakan sebelum mengobati.”

.

Minggu-minggu berikutnya adalah film dokumenter yang nyata: mandor mengukur ulang, insinyur mencontohkan simulasi air, relawan lingkungan mengajarkan cara membuat biopori, anak-anak SD menanam pohon di median. Narawangsa menambah kanal Telegram untuk laporan warga. “Mas, ada genangan di blok B jam 10.15,” tulis seorang bapak-bapak. “Terima kasih, Pak. Tim jalan,” balas admin, mencantumkan foto perbaikan.

Sementara itu, di rumah sakit, ayah Kencana dirawat. Tekanan darahnya menurun naik seperti gelombang kecil. Di sampingnya, Kencana memegang tangan yang menjadi ringan.

“Aku bangga,” kata ayahnya suatu malam. “Kamu… bukan hanya anak baik. Kamu penenang.”

Kencana tertawa menahan air mata. “Ayah yang mengajarkan, ‘jangan marah kepada orang yang takut’.”

“Dan jangan takut pada orang yang marah,” sambung ayahnya. “Karena kadang, mereka cuma butuh ditanya: ‘sakitnya di mana?’”

.

Bulan berganti. Narawangsa kembali pada ritme yang diinginkan. Amfiteater terisi musik senja. Ruang seni memutar film pendek karya mahasiswa. Perpustakaan kecil menerima sumbangan buku sampai rak-raknya sesak.

Di sebuah kelas malam, Jayeng berdiri menulis di papan: “Diversifikasi bukan berarti serakah. Artinya mengatur napas.” Ia membagi diagram sederhana tentang arus kas, tentang memisahkan uang usaha dan uang belanja, tentang “tidur nyenyak lebih penting daripada mobil baru.” Di baris belakang, seorang mahasiswa bertanya, “Mas, gimana menghadapi orang tua yang ingin kita jadi ‘yang paling’?” Seluruh kelas menoleh, seolah itu pertanyaan titipan banyak mulut.

“Jadilah ‘yang paling’ jujur pada dirimu sendiri,” jawab Jayeng. “Karier bisa belok. Bisnis bisa jatuh, bangun lagi. Pendidikan bisa disambung. Yang paling sulit ditegakkan justru integritas, karena tidak ada upacara kelulusannya.”

Malam itu, setelah kelas, Jayeng berjalan sendiri di koridor kampus. Udara bercampur bau buku tua dan resin meja baru. Ia mengirim pesan ke Kencana: “Ayah bagaimana?”

“Tidur. Seperti kota yang akhirnya mau menutup mata,” balas Kencana.

“Terima kasih, Kan,” ketik Jayeng. “Untuk jadi rumah jeda-ku.”

“Besok kamu sarapan bubur kacang ijo di depan rumah sakit,” kata Kencana. “Belajarlah manis yang tidak berlebihan.”

.

Sebuah pesta kecil di Narawangsa menandai setengah tahun. Damar naik panggung, berbicara tentang “kota yang tidak hanya bangga bernama, tetapi juga berani bernapas.” Ia menatap ke arah Jayeng dan Kencana yang berdiri berdampingan di belakang. Jingga berdiri tidak jauh, menyimpan senyum yang lebih berat dari biasanya.

“Maaf,” kata Jingga setelah acara, mendekati mereka. “Aku terbiasa dengan angka yang pasti. Tidak semua ‘baik’ bisa dicatat. Tapi belakangan, aku melihat ROI yang tidak ada di excel: anak kecil yang tertawa di tangga amfiteater. Seorang ibu yang berkata, ‘akhirnya ada tempat kami tidak diusir’. Namanya apa? Keuntungan? Mungkin ‘kota kembali merasa dimiliki.’”

“Yang bisa dicatat: banyak,” jawab Jayeng. “Yang mestinya dicatat: lebih banyak lagi.”

Jingga menatap mereka satu-satu. “Aku ingin menanam modal di ruang jeda kota lain,” katanya pelan. “Pelan-pelan saja. Tapi jangan lupa: kontrol banjirnya dulu, baru lampu-lampunya.”

Mereka tertawa bersama. Di kejauhan, lampu-lampu kota mengerling seperti nadi yang menjaga orang tetap hidup.

.

Suatu dini hari, Jayeng mendapati dirinya lagi-lagi di depan jendela apartemen. Di bawah sana, kota mendesah. Ia teringat pada sebuah foto lama: dirinya, Damar, Jingga, Anjas, dan Kencana, bertahun silam, di depan pintu kelas. Rambut berbeda, baju berbeda, cara memandang sama: mencari-cari tempat menaruh ambisi agar tidak meledak di tangan.

Suara notifikasi berdenting. Sebuah email dari alumni kelas literasi: “Mas, terima kasih. Aku putuskan menunda kredit kendaraan. Aku belajar menawar waktu.” Pesan lain dari tenant co-working: “Terima kasih ruang jedanya. Kami menyelesaikan pitch tanpa merasa dikejar dunia.” Dan dari Kencana: foto ayahnya tersenyum, memegang secangkir teh, menatap ke arah yang tidak mengkhawatirkan apa-apa.

Jayeng menutup mata. Ia teringat kalimat yang pernah ia tulis sendiri—kalimat yang kini ingin ia percaya lebih dalam: “Kota akan lembut kepada orang yang bersedia mengaku lelah.” Mungkin karena kota, pada akhirnya, adalah kumpulan manusia yang ingin selamat tanpa merasa sendirian.

Ia mengirim pesan pada Kencana: “Besok kita pergi ke pesisir. Kutemani Ayahmu melihat laut. Kita bawa buku yang belum selesai.”

“Bawa juga payung,” balas Kencana. “Langit kadang terlalu bersemangat.”

“Baik,” tulis Jayeng. “Kali ini, kita mengejar langit tanpa lupa payung.”

Di luar jendela, subuh menabuh gelas-gelasnya. Jalan raya mengendur. Burung-burung kecil melintasi jeda antar-gedung, seperti ide-ide yang tak memilih tuan. Dan kota—kota yang tak pernah menutup mata—akhirnya berkedip pelan, seolah sedang belajar tidur.

.

.

.

Malang, 18 Oktober 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenKota #KelasMenengah #BisnisBeretika #ManajemenKrisis #RuangJeda #LiterasiFinansial #SocialImpact #Branding #KompasMingguVibes

.

Catatan Reflektif—Solutif

  1. Karier & Edukasi: Diversifikasi bukan memperbanyak kartu nama, melainkan memperbanyak cara memaknai kegunaan diri. Sertifikasi pendek, mentoring, dan kelas malam—campur dalam dosis yang bisa diukur tidurmu.

  2. Bisnis & Integritas: Narasi baik harus punya anggaran. “Social impact” yang dikurangi jadi “social posting” hanya menunda tagihan moral.

  3. Manajemen Krisis: Jujur total mempercepat pemulihan. Publik memaafkan rencana yang jelas, bukan kata-kata yang rapi.

  4. Kesehatan Emosional: Ruang jeda itu kebutuhan primer. Di kantor, rumah sakit, kawasan komersial—sediakan kursi yang mengajari orang bernapas.

  5. Kotamu, Tanggung Jawabmu: Tanyakan: “Sakitnya di mana?” kepada kota. Kadang jawabannya adalah drainase. Kadang adalah kesepian.

.

Kutipan Kunci dari Cerita

  • “Kota ini mengajari kita, bahwa bertumbuh artinya bersedia minta maaf tanpa syarat dan memperbaiki tanpa menunda.”

  • “Diversifikasi bukan berarti serakah. Artinya mengatur napas.”

  • “Investor lebih takut pada kebohongan yang direkam internet seumur hidup.”

  • “Kita bukan hanya membangun gedung. Kita sedang menanam jeda.”

Leave a Reply