Bangku di Bawah Tabebuya
“Yang kita kejar sering hanya bayangan dari yang pernah hilang; yang kita peluk akhirnya adalah diri yang berani kembali pulang.”
.
Malam di Jakarta selalu seperti baris musik yang tak mau berhenti: taksi menyalakan tanda atap, lampu kota berkedip dari balkon tinggi, dan hujan turun rintik—menggambar garis miring di kaca jendela. Di ketinggian lantai tiga puluh, Jayengrana menempelkan telapak tangannya pada jendela apartemen, memandangi pendar jalan layang. Dalam daftar tugasnya, kolom-kolom biru dari aplikasi manajemen proyek bertumpuk: peluncuran fitur “Split Tuition” untuk mahasiswa pekerja, finalisasi kontrak kerja sama dengan kampus swasta, dan rapat evaluasi pendanaan C-Series yang selalu molor.
Di sudut lain ruangan, Retna Kencana membuka ransel kainnya, mengeluarkan gulungan kertas kalkir. “Jalan inspeksi di tepi Kali Sunter harus ditinggikan tiga puluh sentimeter. Kalau tidak, bengkel-bengkel kecil itu akan tergenang lagi.” Dia mengucapkannya datar, seperti arsitek yang sudah terlalu sering bertemu garis banjir pada dinding.
“Mereka mau?” Jay tidak menoleh, masih menatap riwayat transaksi di layar: jumlah kecil, seratus ribu, dua ratus lima puluh ribu—cicilan biaya kuliah yang dipotong dari gaji magang, disambung lagi dari tips lembur. “Mau ditinggikan?”
“Mau kalau ada jalur sepeda,” Retna tersenyum kecil. “Dan kalau pohonnya bukan sekadar tempelan.”
Jay mengangguk. Keduanya tahu negosiasi ruang di kota selalu seperti permainan keseimbangan: parkir versus pepohonan, lebar trotoar versus kecepatan mobil, keselamatan versus kebiasaan lama. Di meja makan kecil, ada buket krisan putih yang mulai mekar sempurna. Retna membelinya dari pasar bunga saat pulang site visit. Di sampingnya, mug kopi—kopi KOErasa, blend kesukaan Retna yang dibeli dari teman lama di Surabaya—meninggalkan cincin cokelat di tatakan kayu.
Malam itu, notifikasi ponsel Jay berdering pelan. “Umarmaya live.”
Dia mengetuk layar. Wajah Maya memenuhi ponsel: rambut diikat ke atas, baju kaus abu-abu, suara hangat seperti biasanya. Maya menyiarkan dari Surabaya, dari dapur restoran kecilnya di Darmo yang selalu ramai saat makan siang. “Halo, kanca-kanca. Hari ini kita mulai program makan siang barengan lagi. Seratus lima puluh porsi. Kita tahu harga bahan naik turun, tapi kita juga tahu beberapa perut tidak bisa menunggu stabilitas statistik.”
Retna meletakkan pensil. “Maya masih kuat ya.”
“Dia selalu kuat,” jawab Jay. “Sejak dulu.”
Dulu, sebelum kota-kota memisahkan mereka, ada kelas studio di kampus: Jay mengambil Sistem Informasi, Retna di Arsitektur, Maya di Gizi Masyarakat, Umarmadi di Hukum Bisnis, dan Anggraeni—yang mereka panggil Anggra—di Pendidikan. Mereka duduk berderet di perpustakaan, menggarisbawahi bab-bab berbeda dengan stabilo warna berbeda: hijau untuk kebijakan, kuning untuk konsep, merah muda untuk hal-hal yang bisa mereka kerjakan bersama di luar jam kuliah. Pada halaman terakhir skripsi masing-masing, mereka menyelipkan janji yang tidak mereka ucapkan keras-keras: untuk tetap menjadi bentangan jaring yang menahan jatuh satu sama lain.
.
Pagi berikutnya, Jay berangkat lebih awal. Di lift, kaca memantulkan wajahnya yang mulai letih. Di bawah, kota menata barisan sarapan. Pedagang roti modern dengan lampu putih—di sebelahnya, penjual bubur ayam dengan gerobak hijau. Jay menyukai ketepatan jam operasional: pukul tujuh lewat lima, bubur diaduk. Pukul tujuh lewat sepuluh, kedai roti membuka pintu. Presisi kecil yang menahan dunia agar tidak runtuh.
Kantor berada di gedung kaca dekat stasiun MRT. Lantai dua puluh satu, coworking yang wangi kayu dan pendingin ruangan: ruang rapat diberi nama tokoh-tokoh fiksi Nusantara. Jay sering memilih rapat di ruang “Panji”—barangkali karena nama itu mengingatkannya pada judul-judul lama: kisah pahlawan yang menyamar, menempuh kota demi kota. Di whiteboard, ia menuliskan rencana—angka, panah, lalu lingkaran: “Tuition now, living later.” Fitur yang mereka kembangkan ingin memperkenalkan logika sederhana kepada mahasiswa pekerja: biaya kuliah tidak harus menelan habis pendapatan bulan ini; bisa dibagi, bisa ditata, bisa menunggu sedikit agar napas tidak selalu pendek.
Retna mengirim foto dari lapangan: trotoar yang baru selesai dicor, garis-garis zebra yang masih basah, pekerja yang merapikan pot pohon pucuk merah. “Jalur sepeda sudah dicat. Anak bengkel yang dulu kebanjiran bilang akan bikin bangku dari sisa papan.”
Jay membalas dengan emoji jempol. Lalu rapat dimulai: investor ingin melihat “sticky metric”, pemerintah kota meminta kepatuhan perlindungan data, kampus meminta potongan biaya admin. Satu per satu, Jay melakukan apa yang dikerjakannya terbaik: menautkan kepentingan yang tampak berseberangan, membujuk agar semua pihak berdiri pada tengah yang manusiawi.
Menjelang siang, ponselnya bergetar. Pesan dari Anggra: “Bapak mengulang terapi cuci darah lebih cepat. Aku ngurus adik ke sekolah. Bisa bantu draft beasiswa anak-anak pekerja shift malam yang kutemui di Kramat Jati?”
Jay menutup mata sejenak, merasakan berat yang tidak terlihat. Ia mengetik: “Kirim data. Aku sisipkan slot di program pilot.”
Retna muncul di ruang chat mereka berlima: “Madi, gimana sidang mediasi UKM yang disegel kemarin?”
Umarmadi menjawab dengan foto halaman pengadilan negeri: surat mediasi yang separuh optimistis. “Pemilik ruko setuju tunda kenaikan sewa. Syaratnya: jam operasional dibatasi. Aku tawar-menawar lagi. Doakan, ya.”
Maya menambahkan: “Kalau ruko itu bertahan, pemasok sayurku juga tertolong. Kita ini seperti sambungan pipa. Satu mampet, rumah lain banjir.”
Jay membaca kalimat itu berkali-kali. Seperti sambungan pipa. Ia menatap kota yang berkabut tipis. Ia tahu, di balik semua kecemerlangan gedung, kota tetap hidup karena pipa-pipa kecil: tangan-tangan yang mengaduk sop, mengantar belanja, mencuci sprei, menganyam trotoar, mengendarai sepeda motor dalam gerimis.
.
Sore di Surabaya, Maya mematikan kompor terakhir. Restoran kecilnya sudah sepi. Di meja kasir, ada amplop putih: “Untuk Umik.” Ia menulis angka yang ia mampu. Kembali ke ponsel, ada pesan suara dari ibunya: “Maya, kapan pulang? Rumah ini sepi kalau kamu terlalu lama di dapur orang.”
Maya menutup mata, membiarkan punggungnya bersandar pada dinding. Di langit-langit, kipas tua berputar pelan. Ia ingat waktu kecil: Umik menjual nasi bungkus di emper rumah kontrakan, menaburkan serundeng dengan telaten. “Yang penting bukan besar kecilnya lauk,” kata Umik, “yang penting lauk itu jujur.”
Ponsel bergetar lagi: video call masuk. “Umarmaya!” suara Retna muncul sebelum wajahnya. “Aku di jembatan kecil yang kita desain ulang. Lihat, anak-anak naik sepeda. Jalurnya dipakai beneran.”
Maya tersenyum. “Terus bangku dari papan bekas?”
“Sudah disusun. Aku mau kasih cat besok.” Retna mengarahkan kamera ke bangku—kasar dan hangat, ditempatkan di bawah pohon tabebuya yang belum berbunga. “Kamu harus ke Jakarta minggu depan. Kita rayakan proyek kecil ini. Bukan peresmian besar, cuma duduk di bangku ini sambil makan pecel.”
Maya menatap lebarnya sungai yang memantulkan cahaya sore. “Nanti aku ke Jakarta. Tapi kamu ke Surabaya dulu. Aku ada ide program: guru-guru honorer yang dua kerjaan. Anggra bisa bantu kurikulum belajar cepat. Jay bantu pembayaran rentang tiga bulan. Madi urus kontrak kerja sama. Kita rangkai seperti dulu.”
“Seperti dulu,” Retna mengulang, pelan.
.
Tapi udara malam sering membawa kabar yang tak dinanti. Pada hari Retna mengirim foto tabebuya pertama kali mekar, Jay menerima email dari finansial: salah satu investor keluar. Bukan karena performa—mereka menyebut “rebalancing portfolio.” Kata-kata lembut untuk sesuatu yang tetap sakit jika menimpa targetmu. Jay memutar kursi, memandangi angka di spreadsheet menyusut. Ia mengingat wajah-wajah yang bergantung pada tim: analis yang baru melunasi cicilan motor, tim desain yang membayar terapi anak, satpam malam yang menyisihkan gaji untuk desa di Indramayu.
Di Surabaya, Maya mendapat pesan dari pemasoknya: harga beras naik mendadak. “Aku tahan harga,” tulis Maya di media sosialnya malam itu. “Kalau harus rugi tipis, biarlah aku yang menanggung. Tapi tolong, kalau kalian punya rejeki lebih, bayar satu porsi untuk orang yang belum sempat makan.”
Di Jakarta Timur, Anggra menatap daftar biaya laboratorium. “Bapak harus masuk hari ini,” kata suster. Di dompetnya, uang tunai hanya cukup untuk transport dan sedikit makan. Ia membuka pesan Jay: “Aku tambahkan dana darurat di program pilot. Kamu pakai dulu.”
Anggra membalas stiker terima kasih. Lalu duduk di kursi plastik rumah sakit—tempat belajar yang tak pernah ia pilih, tapi selalu memberinya jawaban paling jujur tentang hidup: orang tidak kuat karena mereka tak gentar; orang kuat karena mereka tetap berjalan meski gentar.
Umarmadi menghabiskan malamnya di kantor yang lampunya selalu dingin. Ia berkutat dengan syarat-syarat perizinan: tanda tangan kelurahan, rekomendasi lingkungan, notulen rapat kecil yang harus rapi agar tak dijadikan alasan untuk menunda. “Keadilan bukan jubah putih,” tulisnya di catatan ponsel, “keadilan itu bau kertas, tinta, dan waktu yang dihabiskan tanpa headline.”
Retna, di apartemen, mencuci cangkir Retna dan Jay, menyusun piring. Lalu menulis di buku catatan: “Kalau nanti tabebuya mekar penuh, aku ajak anak-anak sekolah dari kampung sebelah untuk menggambar bersama.” Ia menempelkan foto bangku kayu itu di halaman berikut. Di bawahnya, ia menulis: “Hal-hal yang bersih tidak lahir dari ruang yang steril, tapi dari tangan yang bersedia kotor.”
Malam semakin dalam. Kota tidak benar-benar tidur, tapi suara-suara menunduk hormat pada jam dua. Jay duduk lagi di depan layar. Ia membuka dokumen kosong, menulis seperti menenun: latar belakang, tujuan, manfaat, mitigasi risiko. Proposal untuk pendanaan baru. Di paragraf pembuka, ia menulis: “Kami membangun bukan untuk aplikasi; kami membangun ketenangan bagi orang-orang yang ingin belajar tanpa harus menukar semua napasnya hari ini.”
Ia menutup laptop ketika adzan subuh terdengar—suara yang selalu memotong kantuk kota dengan sejuk.
.
Seminggu kemudian, mereka berlima bertemu di Jakarta, di bangku di bawah tabebuya yang mekar penuh. Bunga-bunga kecil jatuh pelan, menempel di rambut orang-orang. Maya membawa kotak nasi yang hangat. “Menu favorit: sayur asem, tempe orek, telur dadar potong kecil, sambal yang tidak berteriak.”
“Kalau sambal tidak berteriak, apakah itu sambal?” Madi bercanda, duduk di sebelah Anggra.
Jay memandangi mereka: wajah-wajah yang ia kenal dari usia dua puluhan kini dihiasi garis tipis pengalaman. “Aku ada kabar,” katanya, membuka pembicaraan. “Investor A keluar. Tapi aku kirim proposal ke tiga pihak lain. Satu membalas: mereka tertarik, tapi minta cerita dampak yang lebih manusia. Data tidak cukup.”
Maya mengangkat tangan. “Cerita manusia ada setiap hari. Aku rekam testimoni anak magang yang pakai fitur kamu untuk bayar kuliah. Suaranya merdu, matanya jernih.”
Anggra menyambung, “Aku kumpulkan kisah orang tua muridku yang kerja dua shift. Mereka paham soal mencicil kuliah, tapi butuh kepercayaan pada lembaga. Kita bisa fasilitasi pertemuan.”
Madi berkata, “Soal legal, aku bisa pastikan klausul tidak menjerat. Transparansi bunga, mekanisme jika orang telat. Jangan sampai bantu di awal lalu menyulitkan di belakang.”
Retna mengeluarkan sketsa. “Dan kita narasikan ruang yang berubah. Jalur sepeda, bangku, tabebuya—bukan hiasan. Ini latar tempat cerita yang kamu bawa. Kota ikut belajar.”
Bersama, mereka menyusun strategi: bukan rapat formal, hanya tumpukan catatan berserak, bekas sambal di tisu, tawa yang sesekali pecah. Ada kelegaan yang sulit dijelaskan—bahwa dunia, dengan semua kebisingannya, masih memberi ruang untuk duduk bersama di bawah pohon, menyimak obrolan yang serius dan ringan sekaligus.
Sore itu, anak-anak dari kampung sebelah datang dengan kertas gambar. Retna memimpin sesi kecil: “Gambar bangku ini, tapi tambahkan sesuatu yang kalian mau untuk tetangga.” Seorang anak menggambar bangku dengan rak buku kecil di bawahnya. “Untuk orang yang menunggu angkot,” katanya. Yang lain menggambar bangku dengan atap. “Supaya tidak kepanasan.” Ada juga yang menambahkan dispenser air. “Biar hausnya ikut duduk.”
Maya memotret mereka satu per satu. “Ini bahan konten paling jujur,” katanya ke Jay. “Lebih jernih dari tagline manapun.”
Menjelang malam, mereka berpisah. Maya kembali ke bandara, menenteng tas berisi pesanan bumbu dari teman-temannya. Madi ke kantor klien, mengejar tanda tangan terakhir. Anggra ke rumah sakit, menemani Bapak. Retna dan Jay berjalan pelan menyusuri trotoar baru—beton halus, garis cat rapi, beberapa daun tabebuya menempel di sepatu.
“Kalau suatu saat kita gagal?” tanya Retna tiba-tiba.
“Kita ulang,” jawab Jay. “Kita ulang dengan cara lebih jujur.”
“Jujur itu capek,” Retna tersenyum kecil.
“Capek yang menyelamatkan,” kata Jay. “Seperti sambal yang berteriak kecil.”
Retna tertawa. Kota mekar dalam lampu-lampu.
.
Musim berganti. Di Surabaya, restoran Maya dua kali hampir gulung tikar. Harga bawang naik, pajak reklame diperketat. Tapi sebuah komunitas alumni—teman lama yang pernah meminjam buku Jay—datang memesan paket katering berkala untuk program belajar anak marjinal. Maya memasang papan kecil di dinding: “Terima kasih untuk piring yang kembali berputar.”
Di Jakarta, fitur “Split Tuition” melampaui target uji coba. Jay menerima surel berisi foto wisuda: seorang perempuan memeluk ibunya dengan toga miring. “Terima kasih,” tulisnya. “Kalau tanpa cicilan, mungkin aku berhenti semester kemarin.” Jay mengirim foto itu ke grup mereka, lalu menutup pintu ruangannya, mengizinkan matanya basah.
Madi memenangkan mediasi penting: UKM tak jadi tutup, syarat operasional dinegosiasikan ulang. Ia pulang malam itu dengan langkah ringan, mengirim pesan ke grup: “Keadilan bukan headline, tapi hari ini aku mencium aromanya.”
Anggra menulis modul belajar “Dua Jam Lebih Berguna dari Lima Jam Lelah.” Ia mengajar orang tua soal kebiasaan kecil: menaruh buku di dekat kompor agar anak bisa membaca saat menunggu nasi tanak; menempel jadwal belajar di pintu kulkas; membuat kesepakatan tanpa bentakan. “Anak-anak tidak selalu butuh pahlawan,” katanya dalam sesi, “mereka butuh orang dewasa yang menyala pelan tapi setia.”
Retna menutup proyek trotoar di tiga kecamatan. Ia mulai proyek baru: menata kembali halaman rumah susun agar menjadi ruang bermain. Ia mengundang Maya untuk memikirkan sudut makan murah bergizi; mengundang Jay untuk membuat kiosk informasi beasiswa; mengajak Madi menakar aturan komunitas. “Arsitektur bukan tentang gedung,” tulis Retna dalam catatannya untuk pameran kecil, “arsitektur adalah cara kita menyapa orang lain.”
.
Pada malam yang lain—malam dengan kilat jauh dan angin yang memutar spanduk—Jay mendapat telepon dari ibunya. “Ayahmu jatuh di kamar mandi.”
Di ruang IGD, Jay duduk dengan jaket belum sempat dilepas. Ia mengirim pesan singkat ke grup. Dalam setengah jam, panggilan video masuk—mereka berlima, wajah-wajah letih tapi hadir. Tak ada nasihat muluk. Hanya tempat untuk menaruh cemas. “Tarik napas,” kata Maya. “Kalau kamu capek, biar aku kirim makan.” “Aku cek jaringan dokter,” kata Madi. “Aku uruskan cuti, kamu jangan mikir KPI dulu,” kata Retna. “Aku kirim tautan musik untuk Ayah,” kata Anggra. “Yang dulu beliau suka.”
Ketika malam hampir habis, Jay berjalan ke mesin minum, mengisi gelas styrofoam. Ia teringat kata-kata Umik Maya: yang penting bukan besar kecilnya lauk; yang penting lauk itu jujur. Ia kembali ke kursi, menatap gerak pelan stripe monitor. Di luar, hujan yang tadi di langit kini benar-benar turun.
Seminggu kemudian, ayah Jay diizinkan pulang. Ia berjalan pelan, memegang bahu Jay. “Kamu makin kurus,” katanya.
Jay tertawa kecil. “Terlalu sering mengejar angka.”
“Ayah tidak pernah paham pekerjaanmu,” kata ayah, “tapi ayah paham begini: kalau pulang, kamu harus benar-benar pulang. Taruh ponselmu. Dengarkan ibu bercerita tentang minyak goreng yang kebanyakan.”
Jay mengangguk. Malam itu, ia makan di meja bundar, sambal buatan ibu yang “berteriak kecil”—kata yang ia pinjam dari lelucon Retna. Ada sesuatu yang pulih pada ritus sederhana itu. Ada dunia yang menutup pintu pelan, memberi jeda untuk bernapas.
.
Setahun berlalu. Tabebuya kembali mekar. Bangku kayu di bawahnya menghitam oleh hujan, tapi masih kuat. Di papan informasi kecil, ada tempel stiker: “Bangku ini dibangun oleh banyak tangan.” Di sebelahnya, catatan anak-anak: gambar dispenser air, rak buku, atap. Beberapa sudah jadi: ada kotak buku kecil yang dibuat dari kayu bekas, ada botol-botol air isi ulang, ada atap seng tembus cahaya.
Mereka berlima bertemu lagi, membawa versi terbaru dari diri mereka: Maya dengan garis tawanya yang lebih jelas, Madi dengan tas yang lebih ringkas, Anggra dengan mata yang lebih tenang, Retna dengan rambut yang lebih pendek, Jay dengan langkah yang lebih pelan. Mereka makan pecel di bangku itu seperti janji lama yang ditepati.
“Masih mau mengejar kota hingga ke ujungnya?” tanya Retna.
“Tidak,” kata Jay. “Aku tidak mengejar. Aku berjalan bersama.”
Maya menambahkan, “Dan kalau jalan terlalu ramai, kita berhenti di pinggir, bagi minum, lalu lanjut.”
Anggra menatap anak-anak yang berlarian di trotoar. “Lihat,” katanya, “mereka sudah menghafal pola zebra. Mereka berhenti, menoleh, lalu menyeberang.”
Madi bersandar. “Keadilan mungkin bukan jubah putih,” ulangnya setengah bergurau, “tapi hari ini aku suka bau cat jalan.”
Mereka tertawa. Bunga-bunga kecil jatuh pelan, menempel pada rambut, baju, dan catatan-catatan yang kembali berserakan. Kota tidak tiba-tiba menjadi baik. Harga tetap naik turun, rapat tetap panjang, aturan tetap berbelit. Tapi di antara gedung yang tak pernah tidur, mereka menemukan ruang untuk duduk, bernapas, dan saling memastikan: kita belum selesai, dan itu kabar baik.
Sebelum berpisah, mereka menulis kalimat pada kertas kecil yang ditaruh di bawah batu di samping bangku—tradisi yang mereka ciptakan sendiri, semacam doa tanpa ritual. Tulisan itu sederhana, tapi cukup untuk menyalakan ulang api kecil di dada:
“Kita tidak perlu menunggu semuanya rapi untuk memulai; kita hanya perlu saling percaya agar berani meneruskan.”
Dan kota, seperti biasa, melanjutkan musiknya—lampu-lampu berkedip, angkot menepi, ojek daring berhenti, penjual bubur mematikan kompor. Di ketinggian, jendela-jendela memantulkan pendar. Di bawah tabebuya yang mekar, sebuah bangku tetap menunggu, menampung lelah, dan mengajarkan pelan-pelan cara pulang.
.
.
.
Malang, 17 Oktober 2025
.
.
#CerpenIndonesia #UrbanLife #KelasMenengah #ArsitekturKota #UMKM #Pendidikan #Fintech #Persahabatan #Jakarta #Surabaya #Storytelling