Di Antara Pagar dan Sabar
“Kadang yang membuat kita kehilangan bukan badai besar,
tapi percikan kecil yang tak kita padamkan saat masih bisa.”
.
Aku pertama kali melihat videonya pada sebuah malam yang dipenuhi cahaya kecil dari layar-layar. Linimasa berputar seperti komidi putar yang tak pernah berhenti, memuntahkan berita dan perdebatan, memamerkan luka yang direkam dari jarak sangat dekat sekaligus sangat jauh. Seorang perempuan muda berbicara dengan suara yang menanjak dan tangan yang gemetar. Namanya Laras. Di hadapannya, seorang lelaki tua dengan kacamata bundar, peci hitam, dan kemeja pudar berdiri di bawah cahaya sore. Itulah Surya. Katanya, masalahnya hanya parkir mobil di depan rumah.
Aku menonton tanpa suara, tetapi dada mengencang. Ada sesuatu dari cara Laras menahan napas lalu meletup, dari tatap Surya yang basah oleh kesabaran yang terlalu lama disetrika, dari bayang-bayang yang jatuh di aspal kompleks perumahan—semuanya seperti potongan film dokumenter yang lupa mematikan kamera setelah adegan selesai. Dalam urusan remeh temeh seperti parkir, orang-orang sering kali lupa bahwa yang dipertaruhkan bukan kunci mobil, melainkan kunci adab.
.
Kompleks yang Terlalu Ramai untuk Kedamaian
Cendana Hill berdiri di pinggir selatan kota: sebuah kompleks dengan pagar minimalis, nomor rumah timbul dari stainless, pot kaktus di pinggir carport, dan lampu taman yang menyala otomatis selepas magrib. Pagi hari disibukkan oleh deru mobil keluarga, kendaraan daring, dan kurir-kurir yang akrab menyapa satpam. Siang menyisakan suara mesin pemotong rumput dan panci presto dari dapur-dapur terang. Malam menampung percakapan lirih pasangan yang belum sempat bertemu di siang hari, juga tawa anak-anak dari balkon yang dipenuhi jemuran baju olahraga.
Penghuninya orang-orang yang pandai menyusun rencana dan rapat, fasih mencomot istilah manajemen yang berkilau: deliverables, milestones, performance. Mereka tahu cara memesan tiket ke labuan jauh, tapi kadang gagap memesan jeda untuk sekadar menyapa tetangga—seperti meminjam gula di era dompet digital.
Laras tinggal di blok F nomor 12. Berwajah segar, rambut sebahu yang sering diikat terburu-buru. Usaha sewa mobilnya berkembang, akun-akunnya rapi, unggahannya terkonsep: testimoni pelanggan, rute wisata, tips merawat mesin. Suaminya, Arga, mengelola bengkel kecil di deret ruko seberang kompleks. Keduanya seperti pasangan yang terkagum oleh laju: bergerak, mengumpulkan, menambah, mengefisienkan, memastikan hidup punya alasan yang tertata rapi dalam folder-folder.
Di blok F nomor 10 tinggal Surya dan Ratri. Mereka ada sejak fondasi-fondasi kompleks masih dicor. Surya pensiunan pengajar ekonomi, Ratri pensiunan pustakawan yang setiap Kamis sore masih berkegiatan di taman baca kelurahan. Orang-orang mengenal mereka dari senyum yang tidak tergesa, dari cara mereka menanyakan kabar tanpa tergoda membuka gawai saat kau menjawab.
Pada pagar rumah Surya terpampang tulisan:
Mohon tidak parkir di depan pintu.
Tulisan itu berusia bertahun-tahun, tidak pernah dihapus, tidak pernah mengeras. Di kota-kota seperti ini, kata “jangan” sering dijadikan tantangan; barangkali karena terlalu banyak hal yang tak bisa dilarang, membuat orang tergoda untuk menaklukkan satu-satunya larangan yang terlihat.
.
Awal yang Nyaris Tak Kelihatan
Semua bermula saat Laras menambah dua unit mobil. Halaman rumahnya tak lagi cukup, carport hanya menampung satu. Satu lagi dibiarkan berjaga di bibir jalan, persis di depan pintu rumah Surya. Awalnya hanya malam, lama-lama sepanjang hari. Di kompleks yang jalannya sempit, satu mobil yang berhenti bisa berarti satu hari yang pelan. Pagi itu, Surya menegur.
“Laras,” ucapnya sambil mengetuk jendela, “mungkin mobilnya bisa digeser sedikit, ya? Supaya Ratri bisa keluar kalau ada tamu.”
Laras menurunkan kaca, tersenyum sekilas, sebuah senyum yang patah di ujung. “Sebentar saja, Pak. Sopir saya lagi antar tamu. Nanti balik.”
Surya mengiyakan, menahan keinginannya untuk bercerita bahwa punggung Ratri mulai sering pegal; bahwa langkahnya pelan, tapi perlu ruang. Di hari-hari selanjutnya, mobil itu tetap di situ. WhatsApp grup RT—yang lebih ramai dari pasar pada pagi hari—mendapat asupan.
“Kadang orang tua terlalu sensitif,” tulis Laras, “parkir sebentar saja dipermasalahkan.”
Percakapan meletik. Ada yang membela keteraturan, ada yang membela kepraktisan. Beberapa memindahkan kursinya ke barisan penonton yang berteriak—karena tak semua orang ingin menyelesaikan, sebagian hanya ingin merasakan getaran tertentu saat ketegangan dibunyikan.
.
Uang Dua Belas Juta dan Harga Sebuah Sabar
Surya memanggil dua tukang. Ia membersihkan sebidang tanah kosong di sisi rumahnya—tanah yang selama ini diabaikan, ditumbuhi serai dan ketela yang ditanam Ratri untuk bumbu. Ia beli batu, semen, pasir. Ia memasang paving. Ia menyusun ulang pagar kecilnya agar bibir mobil bisa masuk dengan mudah. Biaya yang terkumpul dari uang pensiun, dari honor mengajar yang saban bulan datang seperti kabar lama. Dua belas juta rupiah.
Sore itu, ia mengajak Laras berdiri di tepi paving yang baru mengering. “Jika mobilnya mau ditaruh sini sementara, silakan. Saya minta tolong diganti biaya tukangnya sedikit saja—sekitar sejuta. Separuh pun tak apa.”
Laras menghela napas seperti orang yang baru usai dengan rapat panjang. “Empat ratus ribu, ya. Nanti saya transfer kalau uang sewa cair. Terima kasih, Pak.”
Surya mengangguk. Ratri yang berdiri di balik tirai menatap suaminya yang lagi-lagi memilih mengalah. “Kenapa?” tanyanya pelan selepas magrib.
“Kalau saya marah, saya kalah pada diri saya sendiri,” jawab Surya. “Dan saya terlalu sayang untuk kehilangan diri saya hanya karena parkir.”
Ratri mengangguk, meski ada air yang menumpuk di matanya. Ia tahu, sabar adalah tembok yang tidak kelihatan, tapi malam ini ia ingin menempelkan pelipisnya pada tembok itu. Barangkali supaya sedihnya memantul kembali ke arah lain.
.
Ketika Kamera Menggantikan Nurani
Suatu sore, paving yang baru dipasang Surya dicongkel. Ada bekas ban di tanah yang baru disapu. Batu-batu itu dibiarkan berserak seperti kalimat yang sengaja diacak. Surya menunduk, memungut satu per satu, seolah mengumpulkan huruf-huruf yang jatuh dari etika.
Malamnya, Laras datang bersama Arga. Suara naik turun seperti grafik saham: tajam, patah, tajam lagi.
“Bapak terlalu ikut campur. Ini jalan umum!”
“Jalan umum, Nak,” Surya masih lembut, “bukan halaman pribadi yang dijadikan garasi.”
Arga mengangkat ponselnya. Ratri yang berdiri di belakang Surya juga mengangkat ponsel—bukan untuk menyerang, melainkan untuk berjaga jika suatu hari kebaikan perlu bukti. Dua kamera saling menatap. Dua hati saling menjauh. Di antara mereka ada lampu teras yang menyorot debu, menampakkan betapa rapuhnya ketenangan malam.
Keesokan hari, video itu beredar. Mulanya di grup RT. Lalu melompat ke grup parents sekolah, ke grup arisan, ke grup kantor. Seseorang memindahkannya ke media sosial. Judulnya atraktif, seperti yang diajarkan algoritme:
“Pasangan Lansia Dihina Tetangga Muda Gara-gara Parkiran.”
Dunia pun menonton. Dunia, yang jarang menonton dengan hati, berebut mengetik.
.
Saat Dunia Ikut Mengadili
Komentar tumbuh seperti lumut di beton basah. “Kasihan Pak Surya.” “Laras memang kurang ajar.” “Yang tua pasti juga menyebalkan.” “Tetangga toxic.” “Anak muda tak sopan.” “Orang tua sok suci.”
Dalam sehari, data pribadi Laras diurai seperti benang: alamat, foto-foto, nama anak, riwayat usahanya. Google Maps usahanya kebanjiran bintang satu. Teleponnya berdering tanpa henti—beberapa menawarkan bantuan, kebanyakan menyisakan makian. Sopir-sopirnya pamit, pelanggan membatalkan sewa, Arga kehilangan fokus dan memarahi montirnya karena baut-baut yang ia anggap longgar padahal hanya sedikit miring. Laras mematikan semua notifikasi lalu menyalakannya lagi, lalu mematikannya lagi. Ia merasa menjadi dua orang yang saling menyeret ke arah berlawanan.
Di seberang kota, Surya menerima panggilan dari kampus. Suara di ujung sana lembut, namun mengiris. “Pak, mungkin Bapak bisa istirahat dulu. Biar suasananya mereda.” Surya paham bahasa institusi: istirahat dulu artinya berhenti tanpa menyebut kata berhenti. Ia mengangguk pada udara kosong. Ratri menyeduh teh, menyodorkan cangkir dengan dua tangan. Ada bunyi halus saat cangkir menyentuh piring kecil—bunyi yang mengantar satu musim keluar dari rumah.
.
Surat yang Pendek tapi Dalam
Surya menuliskan sebaris surat. “Saya mundur bukan karena kalah, melainkan agar tak membiasakan diri berdebat dengan kebodohan.” Ia menekan send pada surel itu, lalu mematikan laptop. Di taman kampus, mahasiswa-mahasiswanya membaca kabar. Ada yang menitikkan air mata, ada yang menulis di dinding mading: “Orang sabar bukan berarti tak berdaya.”
Di rumah, Ratri membuka album tua. Foto-foto hitam putih dari masa ketika pagar masih berupa pagar suara—saling sapa, saling titip. Wajah Surya di usia tiga puluh terlihat seperti sore yang baru dimandikan hujan. Ratri menatapnya sambil bergumam, “Andai kota ini masih ingat cara menyimak.”
.
Waktu Mengendapkan Luka
Waktu berjalan seperti gerobak yang menanjak. Tidak cepat, tapi pasti. Cendana Hill kembali ke ritmenya: satpam berganti, paket datang, pedagang sayur lewat dengan lagu yang sama, kabar-kabar berlompatan lalu tenggelam. Luka mengendap pelan; tidak menghilang, namun merunduk di lipatan-lipatan kesibukan.
Pada suatu sore yang rasanya lebih panjang daripada biasanya, Laras berdiri di depan rumah Surya. Di tangannya ada sekotak teh dan kue kecil. Wajahnya tanpa riasan, bibirnya pecah-pecah oleh dehidrasi yang tak disadari. Ia mengetuk pelan.
“Masuklah,” suara Ratri dari dalam terdengar seperti selimut.
“Aku datang bukan untuk klarifikasi,” kata Laras setelah duduk, “Aku datang karena aku malu pada diriku sendiri.”
Surya menatap lama. Ada garis-garis pada keningnya seperti gores peta. “Tak apa,” ucapnya, “dunia memang tempatnya salah paham. Yang penting kita belajar setelahnya.”
Laras mengangguk, air matanya jatuh satu-satu, bukan deras. Seperti tetes dari pipa yang baru dibetulkan: masih ada sisa, tetapi mengarah ke baik. Arga menyusul. Ia duduk mencangkung, menatap sepatu, lalu bersuara parau: “Maafkan aku. Aku terlalu ingin terlihat benar sampai lupa mencari benar.”
Ratri bangkit ke dapur. Ia menambah cangkir. Ia menambah gula sedikit lebih banyak dari biasanya—karena ia tahu beberapa percakapan perlu manis untuk bisa ditelan.
.
Pohon Kecil di Pinggir Jalan
Beberapa minggu kemudian, video baru muncul di linimasa. Masih halaman yang sama. Kali ini tidak ada teriakan. Laras dan Surya berdiri berdampingan di pinggir jalan, menanam bibit trembesi kecil. Ratri merekam dari jauh. Suara mereka tertelan angin; yang terdengar hanya sekop menyentuh tanah, plastik bibit disobek, tawa kecil yang tidak ingin mengganggu burung-burung.
Pada video itu ada teks yang sederhana: “Kami belajar, diam bukan berarti kalah, dan menyesal tidak selalu terlambat.” Komentar yang datang kali ini lain: “Semoga pohon ini besar duluan dari gosip.” “Kalau tetangga punya lebih banyak Surya, mungkin timeline kita bisa tenang.” “Terima kasih sudah menutup suara dengan tindakan.”
Pohon itu tumbuh pelan. Akar-akarnya mencari celah di antara batu, seperti kata-kata baik mencari tempat di antara kalimat yang sudah terlalu padat amarah.
.
Nyala Kecil di Balik Pagar
Setelah video itu, hidup tidak otomatis berubah jadi drama dengan musik penyembuhan. Tapi ada banyak nyala kecil. Laras membongkar rak di garasinya, menjual sebagian, mengosongkan sisi rumah untuk menampung satu unit mobil. Arga memasang rambu parkir yang dibuatnya sendiri di bengkel: “Jalan ini adalah arteri untuk dekat—mohon jangan menyumbatnya.” Ratri mengundang anak-anak komplek ke halaman untuk mendengar cerita tentang menunggu—bagaimana menunggu adalah bekerja diam-diam. Surya kembali menerima telepon dari kampus; bukan untuk mengajar matakuliah berat, melainkan untuk berbicara di kelas etika profesi: “Bagaimana menahan benar yang ingin berteriak.”
Pada suatu malam listrik mati. Jalan kompleks tenggelam dalam gelap yang memaksa orang bicara. Dari teras ke teras, tetangga saling memberi lilin. Panji dari blok sebelah—pemuda yang gemar gitar akustik—mengalunkan lagu lawas. Sekar, yang baru pindah dari luar kota dan sering terlihat mengantarkan paket home bakery-nya, membagikan roti pisang. Klana, karyawan start-up yang kerap dikenali dari hoodie abu-abunya, mengungkapkan bahwa ia selalu takut mengetuk rumah tetangga karena tak ingin mengganggu. Di gelap malam, orang-orang menemukan bahwa mengetuk tidak sama dengan mengganggu, bahwa mengganggu sering kali terjadi justru karena terlalu lama tidak mengetuk.
Dari pojok, Surya bercerita tentang pasar di masa mudanya, saat pagar paling kuat adalah kepercayaan. “Dulu pedagang menitipkan dagangan pada pedagang di sebelah saat hendak salat. Tidak pernah ada kamera. Hanya ada rasa malu kalau merusak titip-titipan. Malu itu pagar terbaik,” katanya. Orang-orang mengangguk, tidak semuanya paham, tapi mereka tahu rasa malu itu tidak bisa dibeli dengan flash sale.
.
Luka yang Dihafal, Maaf yang Dikerjakan
Tidak ada akhir cerita yang sempurna. Hanya ada proses yang dikerjakan. Beberapa bulan setelahnya, ada jeda. Laras menulis pesan pribadi pada orang-orang yang pernah memaki di kolom komentar, tidak untuk membalas, tapi untuk mengatakan, “Terima kasih sudah membuatku bercermin.” Ada yang membalas memaki lagi. Ada yang minta maaf malu-malu. Ada yang tidak merespons. Di dunia ini, maaf memang tidak selalu diunduh bersamaan dengan kesadaran.
Arga mengajari anak muda kompleks memasang marka parkir yang benar. Mereka membuat workshop kecil di Sabtu pagi. Kopi panas, spidol permanen, cat putih. Mereka menandai bibir tikungan dan mulut gang, mengukur lebar mobil keluarga, memotret sebelum-sesudah untuk dilaporkan ke pengurus RT. “Aturan yang disepakati bersama bukan untuk mengekang,” kata Arga, “melainkan untuk menyisakan ruang bernapas.”
Surya kembali ke kampus, tetapi hanya sebulan sekali. Ia memilih berjalan lebih pelan, merawat kebun kecil di belakang rumah, menata kembali buku-buku yang selalu dijanjikan pada Ratri untuk dirapikan sejak bertahun-tahun lalu. Ratri, pada suatu malam yang tenang, bertanya, “Apakah Bapak menyesal mengalah waktu itu?”
“Tidak,” jawab Surya, “Kita hanya mengganti pagar besi dengan pagar sabar. Dan pagar itu ternyata lebih sulit digembok.”
Aku menonton video pertama dan video kedua itu berulang-ulang. Aku bukan siapa-siapa di kompleks itu; aku hanya penghuni blok lain yang kebetulan suka menyimpan kisah-kisah kecil. Pekerjaanku sebagai penulis konten membuatku terlalu sering memotong dunia menjadi cuplikan, lalu lupa menyambungnya kembali. Dari kisah Laras dan Surya, aku belajar menyambung: menautkan awal yang kasar dengan tengah yang mendidik dan akhir yang belum selesai.
.
Di Antara Pagar dan Sabar
Setiap kali aku pulang ke rumah dan memutar kemudi ke carport, aku teringat papan kecil di pagar Surya: Mohon tidak parkir di depan pintu. Aku pelan memindahkan mobil, memastikan bibir ban tidak menyentuh mulut tetangga. Hal-hal kecil seperti itu terasa sepele sampai kita menyadari bahwa hidup adalah sekumpulan hal sepele yang diulang-ulang sampai membentuk tabiat.
Di kota, pagar dibangun untuk mencegah yang tidak diinginkan masuk. Tapi pagar juga bisa mencegah yang kita butuhkan mendekat. Kita menaruh gembok di gerbang depan, sementara gerbang belakang—gerbang batin—kita biarkan terbuka untuk rasa cemburu, rasa kalah, rasa ingin menang saja. Kita mengunci sepeda di teras, namun kita lupa mengikat lidah pada tiang-tiang adab. Kita membeli kamera untuk memantau, padahal yang lebih kita butuhkan adalah cermin untuk menatap.
Sore itu, aku melintasi rumah Surya. Pohon trembesi kecil yang mereka tanam telah menebar daun-daun nipis. Di bawahnya, seorang anak bernama Wirya—tetangga baru yang suka berlari tanpa alas—berhenti dan menengadah. “Nanti kalau besar, daunnya bisa buat teduh ya, Om?” tanyanya pada siapa saja yang mau menjawab. “Bisa,” sahut Sekar dari teras, “dan kita tak perlu marah-marah lagi saat matahari terlalu terang.”
Aku tertawa kecil. Betapa sederhana jawaban anak-anak. Betapa rumit jawaban orang dewasa—selalu meminjam pembenaran, jarang meminjam kejujuran.
.
Pintu Batin
Beberapa waktu kemudian, seorang jurnalis lokal mengajak Surya berbicara. Wawancara itu singkat, ditayangkan pada jam yang tidak terlalu ramai. Namun ada satu kalimat yang menempel di kepala orang-orang yang menyimaknya: “Sabar itu bukan diam. Sabar itu keberanian untuk tetap beradab, meski dunia mengajarkan cara berteriak.” Kalimat itu beredar di story banyak orang, ditulis di papan tulis rumah-rumah, disisipkan pada caption foto-foto sederhana. Bukan karena kalimat itu sempurna, tetapi karena ia mengingatkan sesuatu yang hampir kita buang—sebuah pagar yang tidak terlihat, namun bisa melindungi.
Sejak saat itu, ketika parkiran kantor terasa sempit dan orang-orang berebut ruang, aku mengalah setengah badan. Ketika antrean panjang dan ada yang menyelak, aku menarik napas dan mengingat bahwa hidup bukan lomba sprint, melainkan lari estafet yang perlu memberi tongkat. Ketika pesan di grup kerja menjadi panas, aku menulis ulang kalimatku, mengganti tanda seru dengan titik. Aku tidak selalu berhasil—aku manusia yang mudah terpancing—tetapi setiap kali gagal, aku mengingat pintu kecil yang kutemui di sore-sore itu: pintu batin yang hanya bisa dibuka dari dalam.
Karena pada akhirnya, pagar yang kita hormati bukan hanya milik orang lain. Pagar itu adalah batas yang menjaga agar kita tak turun ke jalan-jalan amarah tanpa arah. Pagar itu menyisakan sabar agar kita masih bisa pulang sebagai diri sendiri.
Dan setiap kali aku melewati pohon trembesi yang kini makin tinggi, aku tahu: di antara pagar dan sabar, kita sedang belajar menanam akar.
.
.
.
Malang, 8 Oktober 2025
.
.
#CerpenKompasMinggu #EtikaSosial #JeffreyWibisonoV #NamakuBrandku #KehidupanUrban #PelajaranHidup #RefleksiModern #SabarItuKuat #FiksiHumanis #CerpenFilsafat