Delapan Detik dan Seribu Kebaikan yang Hilang

“Berbuat baik tak selalu langsung dibalas baik; namun sekali kita keliru, seribu kebaikan seolah lenyap dari pandang. Karena itu, jangan berhenti berbuat baik—berhentilah berharap pujian.”

.

Di langit Jakarta, lampu-lampu gedung menyala seperti kunang-kunang digital. Dari balkon apartemen di Kuningan, Jayengrana berdiri memandangi lalu lintas yang bersiul tanpa jeda. Ponselnya bergetar lagi. Notifikasi yang tak kunjung usai. Nama dan fotonya jadi bahan perbincangan di mana-mana: portal berita, X, Instagram, kolom komentar yang mendadak berubah jadi ruang sidang. Satu video pendek—delapan detik—mengubahnya dari “pendiri startup teladan” menjadi “pimpinan tak peka”.

Delapan detik: Jayengrana berjalan cepat di lobi kantor sambil menutup telepon, melewati seorang resepsionis yang menunduk meminta izin pulang lebih awal. Kamera CCTV yang bocor merekam seolah ia tak peduli. Padahal, sebelum itu ia sudah menyetujui cuti darurat karena ibu si resepsionis dirawat di ICU. Di video yang tersebar, potongan kalimatnya terdengar dingin: “Nanti saja.” Konteks hilang, suara riuh memutuskan vonis.

Di ruang makan, Kencana menyiapkan teh chamomile. Ia, dosen psikologi industri di sebuah universitas swasta ternama, tertawa getir ketika suaminya—Jayengrana—menatap layar kosong. “Di kampus, kami menyebutnya ‘efek spotlight’, Mas. Satu titik gelap di panggung terang. Yang terlihat justru noda kecil itu.”

Jayeng mengangguk. “Satu salahku menenggelamkan beasiswa yang kita jalankan tiga tahun, Kencan. Fasilitas daycare gratis buat karyawan, subsidi kuliah malam, program bimbingan karier. Semua menguap.”

“Tidak menguap,” kata Kencana, tegas. “Ia menunggu waktu.”

.

Pagi itu, Jayengrana berangkat lebih awal. Ruang rapat lantai dua belas menunggu. Ia harus menatap mata dua puluh manajer yang gelisah. Nama-nama sambung nyawa perusahaan itu bukan nama-nama dari film pahlawan super. Mereka orang kota biasa: Roy bagian finansial yang sedang menabung untuk cicilan rumah kedua, Naila kepala HR yang diam-diam mendaftarkan S2, Kertala yang mengurus logistik dan punya mimpi membuka bengkel digital. Perusahaan yang ia rintis—Arunika Labs—mengembangkan sistem manajemen data untuk perhotelan dan ritel, semacam tulang punggung tak terlihat bagi transaksi kota.

“Pagi,” sapa Jayengrana. Kursi-kursi berderit.

Roy menatap dengan mata berhitung. “Mas, kita kemarin kehilangan tiga klien. Mereka menunda kontrak karena menunggu ‘klarifikasi’.”

Jayengrana menarik napas. “Klarifikasi apa lagi yang bisa memberi makan keluarga kalian selain kebenaran yang pelan? Aku sudah bertemu Laila—resepsionis yang dalam video itu. Kita merangkul, bukan membanting. Aku salah karena tidak menoleh, bukan karena menolak. Tapi itu cukup untuk menyalakan api.”

Naila menyela. “Media butuh narasi pendek. Kebaikan panjang kurang seksi, Mas.”

Semua tertawa hambar.

Jayengrana menatap layar presentasi. Ia menampilkan angka: 230 beasiswa, 1.400 jam pelatihan, 96% retensi karyawan di masa pandemi, 12 proyek CSR tanpa jumpa pers. Angka-angka yang dulu membuatnya bangga kini terasa seperti foto-foto usang. “Kita tetap bekerja,” katanya pelan. “Wong Agung akan datang sore ini. Ia tetap percaya.”

Wong Agung, investor pertama mereka, dikenal di kalangan pebisnis sebagai orang tua yang tak pernah merasa paling tahu. Ia menanam modal di perusahaan-perusahaan yang punya kompas moral, bukan sekadar valuasi. Ketika rumor memanas, ia mengirim pesan: “Airmata tak bisa mematikan api, tapi bisa membuatmu tetap manusia.”

.

Sore itu, hujan turun. Jakarta seolah memutar jarum jam ke masa kecil—aroma tanah basah, suara kenangan. Wong Agung datang tanpa pengawal, membawa payung lipat dan tas kain yang biasa dipakai menenteng buku. Ia duduk di ruang rapat, menatap Jayengrana dan tim seperti ayah yang menatap anak-anaknya setelah badai.

“Kalian tahu,” katanya, “di kampungku, ada pitutur: nglakoni apik wae kadang durung di bales apik. Berbuat baik pun belum tentu dibalas baik. Tapi jangan berhenti. Yang berhenti bukan kebaikannya, melainkan harapan akan tepuk tangan.”

Roy mengangkat tangan, gemetar. “Tapi pasar tidak pakai pitutur, Pak. Mereka pakai grafik.”

Wong Agung tersenyum tipis. “Pada akhirnya, pasar pun manusia. Mereka punya ibu, punya anak, punya rasa bersalah. Tugas kita mengembalikan manusia yang hilang di balik angka.”

Ia menoleh pada Jayengrana. “Mas Jaya, izinkan aku usul sesuatu yang melawan arus. Alih-alih konferensi pers membela diri, kita adakan pertemuan terbuka untuk para karyawan—termasuk Laila—dan keluarga mereka. Tidak perlu live, tidak perlu influencer. Kita catat baik-baik apa yang menjadi luka. Kalau memang salah, kita akui. Kalau ada yang bisa diperbaiki, kita perbaiki.”

“Pak, itu tidak akan viral,” kata Naila.

“Benar,” ujar Wong Agung. “Tapi itu akan menumbuhkan akar.”

.

Kencana, yang sejak awal bicara tentang akar, menjadi kurator pertemuan itu. Ia menata ruang serbaguna di kampusnya; menyiapkan kursi-kursi melingkar, bukan berbaris. Di dinding, dipasang kertas kraft besar untuk menulis kata-kata sederhana: Terima kasih, Maaf, Aku dengar.

Jayengrana datang tanpa jas. Ia memulai dengan kalimat yang ia tulis semalaman: “Ada jarak antara niat dan kesan. Di jarak itu, aku pernah jatuh. Maaf kalau luka yang tampak ikut menggores kalian.” Laila menangis, menatapnya dengan mata yang sudah dibilas hujan. “Mas, ibu saya sudah pulang dari rumah sakit. Saya tidak marah. Saya hanya kaget ketika tetangga menanyakan kerjaan saya seolah saya jadi korban. Padahal, kantor ini rumah kedua saya.”

Rapat melingkar itu berlangsung tiga jam. Orang-orang bercerita tentang beban kerja, tentang mimpi sekolah, tentang biaya les anak. Mereka membicarakan hal-hal yang tak pernah muat dalam laporan KPI: rasa malu ketika server down, bangga ketika toko roti kecil di Rawamangun bisa mengirim roti 500 bungkus di hari Lebaran berkat sistem Arunika, cemas ketika rumor mengancam THR.

Di tengah sesi, Kertala—logistik—mengangkat tangan. “Mas, saya punya ide. Bagaimana kalau Arunika membuat program ‘Kembali ke Dapur’—kita bergilir kerja dari meja depan, dari resepsionis, dari gudang—biar semua orang paham betapa mudahnya salah paham di lobi, di parkiran, di loading dock.”

Jayengrana menatapnya lama. “Kau baru saja mengambil alih posisiku sebagai chief empathy officer, Tal.”

Mereka tertawa, kali ini tulus.

Di ujung pertemuan, Kencana mengajak menulis satu kalimat di kertas kraft: Hal kecil yang akan kulakukan untuk membuat yang kecil menjadi besar. Kalimat-kalimat itu sederhana: “menyapa duluan”, “mendengarkan sampai selesai”, “menyisihkan dua jam untuk mentoring”, “membuat lembar konteks sebelum mengunggah video”.

Kertas itu dipotret, bukan untuk konten, melainkan untuk diingat.

.

Namun di luar ruangan, Jakarta tetap melaju dengan logika yang kerap dingin. Investor minor mengirim surat ancaman mundur. Dua media meminta hak jawab—yang sebenarnya mereka maksud adalah bahan sensasi baru. Seorang influencer menawarkan “paket pemulihan reputasi” dengan tarif setara satu unit mobil listrik. Jayengrana menolak halus.

Malamnya, ketika mereka berdua duduk di balkon, Kencana membuka laptop dan memperlihatkan data: tingkat stres karyawan turun setelah sesi melingkar, produktivitas naik delapan persen dalam dua minggu. “Ini data kecil,” katanya, “tapi nyata. Kota sering hanya mempercayai yang tak terlihat setelah kita beri angka.”

Jayengrana tersenyum. “Kau selalu membuat yang tak terlihat menjadi tampak.”

“Begitu juga kamu,” sahut Kencana. “Hanya saja, kali ini kamu perlu lebih sabar. Kesabaran juga punya ROI.”

Ia menepuk tangan suaminya. Dari kejauhan, gedung-gedung ibukota seperti kapal-kapal yang tidak pernah berlabuh. Kencana bercerita tentang para mahasiswa pekerja yang kuliah malam. “Mereka—kelas menengah atas baru—bekerja di siang hari, sekolah di malam hari, membayar cicilan di akhir bulan. Mereka adalah generasi yang menata ulang kota dengan cara sunyi.”

Jayengrana menatap lampu-lampu itu. Tiba-tiba, ia teringat adiknya, Amir, yang tinggal di Surabaya mengelola kafe belajar. Amir pernah berkata, “Kota-kota besar berdiri di atas perjanjian tak tertulis: percaya pada orang yang tidak kita kenal, setiap hari.” Perjanjian itu rapuh, dan karena rapuh, ia butuh pelindung yang tak selalu tampak—etika kecil, sapaan, mengakui salah.

.

Satu bulan setelah pertemuan melingkar, kabar datang dari Jember. Badai melanda beberapa desa, memutus jalan. Jayengrana menginisiasi Arunika Relief—program bantuan yang memanfaatkan jaringan ritel klien untuk distribusi cepat dan transparan. Kertala mengoordinasi gudang, Roy memutar pos dana darurat, Naila merekrut relawan perusahaan. Di modul internal, Kencana menulis catatan: “Kebaikan tidak memerlukan panggung, tapi memerlukan sistem.”

Wartawan lokal menulis tanpa menyebut namanya. Dan itu cukup. Di tim, mereka membuat dashboard bantuan yang bisa dilihat para donatur: berapa karung beras, botol air, selimut, obat, semuanya tercatat. Tidak ada konferensi pers. Tidak ada press kit. Mereka hanya mengirim update ke para pelanggan.

Sepekan kemudian, klien yang menunda kontrak kembali. “Bukan karena pemberitaan,” kata direktur pemasaran sebuah jaringan hotel, “melainkan karena kami melihat pergerakan nyata: sistem distribusi bantuan kalian rapi. Kalau kalian bisa menjaga statistik kemanusiaan serapih itu, data kami aman di tangan kalian.”

Roy, yang jarang emosional, menangis saat mendengar kabar itu. “Ternyata pasar juga menonton, Pak,” katanya kepada Wong Agung saat acara makan siang sederhana. “Menonton hal yang benar.”

Wong Agung tersenyum. “Mereka juga manusia.”

.

Namun cerita tidak berhenti di penebusan. Kota akan selalu menuntut bab baru. Pada suatu malam, ketika Jakarta mendung tapi tidak hujan, Kencana menerima telepon dari kampus. Ada mahasiswa, Siti Zubaidah, yang menulis skripsi tentang cancel culture dan etika digital. Ia ingin menjadikan Arunika sebagai studi kasus: “bagaimana organisasi mengelola luka reputasi secara manusiawi.”

Mereka bertemu di perpustakaan kampus. Zubaidah—berjilbab lilit sederhana, mata jernih—bertanya dengan suara pelan, “Kak, bagaimana rasanya ketika semua orang seolah memegang palu?”

Kencana menjawab tidak dengan teori, melainkan dengan gambar. Ia menunjukkan foto kertas kraft dari pertemuan melingkar. “Rasanya seperti berdiri di tengah jalan raya dan mendadak semua kendaraan berhenti. Sunyi, tapi menyesakkan. Yang menyelamatkan kita bukan pembelaan, melainkan kalimat-kalimat kecil itu.”

Zubaidah mengangguk. “Jadi resepnya adalah kembali ke hal-hal kecil?”

“Bukan resep,” sahut Kencana. “Tetapi tangga. Kita boleh naik turun. Yang penting, tangganya diberi pegangan: nilai.”

Dalam waktu dua bulan, skripsi Zubaidah selesai. Ia memaparkan bahwa organisasi yang berani mengaku tidak sempurna justru lebih dipercaya. Ia juga menulis tentang “ekosistem kelas menengah atas baru” di kota-kota Indonesia: orang-orang yang bekerja di perusahaan modern, berinvestasi di ritel kecil, menyekolahkan anak di program bilingual, dan mengongkosi orang tua untuk liburan tahunan. Mereka menuntut etika, tapi juga mudah terseret arus rumor. “Mereka butuh contoh bagaimana menahan diri,” tulisnya.

Ketika Zubaidah ujian, penguji bertanya kenapa Arunika tidak mengejar klarifikasi di TV nasional. Ia menjawab, “Karena mereka percaya, yang perlu diramaikan adalah perbaikan, bukan pembelaan.” Nilai skripsinya A.

.

Hari ulang tahun pernikahan, Jayengrana mengajak Kencana ke Malang—kota yang dulu menyimpan jejak kuliah dan dompet tipis mereka. Mereka menginap di hotel kecil di dekat alun-alun. Malam harinya, saat makan bakso di gerobak yang sama seperti dulu (entah benar atau hanya perasaan), mereka saling menatap dan tertawa. “Ternyata masih bisa bahagia tanpa trending topic,” kata Kencana.

Di perjalanan kembali ke hotel, mereka berjalan melewati toko buku bekas. Jayengrana berhenti di depan rak sastra Jawa. Ia menarik sebuah buku tipis berjudul Siwo Mayangkoro. Di halaman pertama, ada kalimat yang dulu ia dengar dari kakeknya: nglakoni apik wae kadang durung di bales apik; nanging yen salah pisan wae, sewu lakon apik ora katon. Kencana memotret halaman itu, mengirim ke grup kantor. Di kolom caption ia menulis: “Kebaikan tidak buta; ia sedang belajar melihatmu lagi.”

Pagi berikutnya, mereka naik kereta kembali ke Jakarta. Dari jendela, sawah-sawah, perkebunan, dan desa-desa berganti seperti cerita yang berjalan. Kota demi kota menjemput. Di kursi seberang, seorang ibu muda mengajari anaknya mengeja kata “terima kasih”. Jayengrana mendengarnya sambil tersenyum.

Sesampai di apartemen, ada paket kecil di depan pintu. Tanpa pengirim. Isinya dua lembar kertas: kartu ucapan dari Laila—“Ibu saya titip syukur”—dan fotokopi kwitansi sumbangan anonim dari seorang pelanggan ritel kecil di Rawamangun ke Arunika Relief. Di balik kartu, ada tulisan tangan: “Kau tidak sendirian.”

.

Musim berganti. Arunika tumbuh tanpa kemewahan berlebihan: beberapa klien besar kembali, beberapa tetap pergi. Jayengrana belajar mengucapkan “tidak” pada hal-hal yang hanya membuatnya terlihat baik. Kencana memulai program di kampusnya: Kelas Sunyi—mata kuliah singkat tentang cara meminta maaf, cara mendengar, dan cara memproses kesalahan tanpa menyalakan obor. Wong Agung muncul di setiap awal kelas, bercerita tentang kebaikan yang tidak perlu lampu sorot.

Amir dari Surabaya datang, membawa kopi racikan kafenya. Ia duduk di balkon, menghirup udara yang masih menyisakan sisa hujan. “Kota ini keras,” katanya, “tapi bukan musuh. Ia hanya cermin, Jaya. Ia memantulkan yang paling kita takutkan.”

Jayengrana mengangguk. “Dan kita tak bisa memecahkan cermin hanya karena tak suka wajah sendiri.”

Amir tertawa. “Tepat. Kita belajar menatap lebih lama, sampai menemukan titik cahaya di sudut mata.”

Malam itu, mereka bertiga—Jayengrana, Kencana, Amir—menulis rencana baru di papan kecil: Mentoring untuk ritel keluarga, Beasiswa anak karyawan untuk sekolah vokasi, Riset tentang etika digital bagi UMKM. Bukan rencana yang akan membuat mereka diwawancarai di TV, tetapi rencana yang bisa ditiduri tanpa rasa asing.

Di luar, Jakarta tetap bising. Namun bising itu kini terdengar seperti latar musik film yang sudah dikenal alurnya: adegan-adegan cepat di jalan layang, pejalan kaki berpayung, motor-motor melaju, kucing-kucing kota mencari hangat di atas kap mobil. Kamera imajiner mengambil long shot dari balkon mereka, lalu zoom in pada tiga cangkir kopi yang mengepulkan uap, pada tangan yang saling menyentuh, pada mata yang memilih percaya lagi.

.

Suatu pagi, email datang dari seseorang tak dikenal: pemilik toko roti di Rawamangun. “Terima kasih,” tulisnya. “Sistem kalian menyelamatkan kami saat kurir telat dan pesanan meledak. Kalian mungkin tidak ingat, tapi bantuan dari dashboard kecil itu membuat kami tidak memecat pegawai satu pun. Saya hanya ingin bilang, kebaikan kecil kalian tidak hilang.”

Jayengrana menutup laptop pelan. Ia memandang Kencana yang sedang menata bunga di vas. “Kau benar,” katanya. “Kesabaran punya ROI. Kadang bukan uang, tetapi ruang bernapas.”

Kencana tersenyum. “Kalau begitu, mari kita tetap berbuat baik tanpa berharap kamera.”

Mereka tertawa, bukan karena bahagia yang meluap, tetapi karena damai yang cukup.

Di luar, matahari menembus sela awan. Kota perlahan melepas mantel hujannya. Jayengrana mengambil ponsel—bukan untuk membaca komentar—melainkan untuk menulis pesan singkat pada semua karyawan: “Terima kasih sudah bertahan. Kalau suatu saat aku salah lagi, tolong ingatkan sebelum dunia melakukannya.”

Balasan berdatangan, satu per satu, bukan viral, bukan heboh, tapi membentuk koor kecil yang hangat: siap, siap, Mas, bareng-bareng, kita keluarga.

Dan untuk pertama kalinya setelah delapan detik yang mengubah segalanya, Jayengrana merasa kota ini tidak hanya memandangnya, melainkan juga memeluknya.

.

.

.

Malang, 7 Oktober 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenKompasMinggu #KotaDanManusia #EtikaDigital #KelasMenengahAtas #EmpatiDiTempatKerja #StartupIndonesia #SiwoMayangkoro #ArunikaLabs #KebaikanKecil #StorytellingUrban

.

Kutipan yang relate:

“Kebaikan adalah maraton tanpa penonton; kesalahan adalah sprint di stadion penuh. Tetaplah berlari di jalurmu.”

“Maaf bukan lampu merah bagi perjalanan, melainkan lampu kuning agar kita menoleh ke kiri dan ke kanan.”

“Di kota yang bising, hal kecil yang tulus lebih kuat dari megafon yang kosong.”

Leave a Reply