Yang Tak Dicatat Semesta
“Kadang kita merasa paling penting, padahal semesta tetap berjalan tanpa pernah menunggu kita. Tinggal kita: mau bertahan dalam rasa—atau mulai berjalan bersama waktu.”
.
Malam menetes perlahan dari atap-atap Jakarta Timur, seperti tinta yang pelan-pelan menyelimuti halaman terakhir sebuah hari. Lampu-lampu dari gardu listrik memantul di aspal basah. Di lantai delapan sebuah apartemen sederhana, Kertadarma duduk di tepi ranjang, menggulir linimasa yang tak ada ujungnya. Notifikasi tak kunjung berbunyi. Foto yang ia unggah sore tadi—selfie di ruang rapat, caption penuh refleksi—tertahan di belasan suka.
“Kenapa selalu terasa kurang?” gumamnya. Di kaca, ia melihat sosoknya sendiri: kemeja rapi, wajah lelah, mata yang memantulkan sesuatu yang lebih letih daripada tubuhnya—lapar diakui.
Di bawah sana, kota masih bekerja: suara KRL menggerung, bus TransJakarta menuntaskan rute, pedagang kaki lima menggulung tenda. Bising yang konstan, seperti nafas semesta yang tak peduli pada perasaan satu orang.
.
Rasa Paling Benar
Pagi itu hujan turun lagi, deras dan pendek seperti amarah yang tak selesai diucapkan. Mertakusuma, sahabat lama, menunggu di kafe kecil dekat Stasiun Cikini—fotografer jalanan yang hidupnya seperti fotonya: jujur, apa adanya, kerap buram di tepi tapi selalu menyisakan cahaya di tengah.
“Lihat ini,” Kertadarma melempar laptop ke meja. Slide presentasi berwarna-warna, grafik menanjak, bullet points yang mengkilap. “Kalau bukan aku, project CityRebrand itu nggak akan jalan. Tim cuma numpang nama.”
Mertakusuma menatap pelan, menyesap kopi. “Dar, gunung tidak pernah berhenti berdiri meski ada orang patah hati di kakinya.”
“Apa hubungannya?”
“Artinya, sesuatu yang besar tetap berjalan tanpa kau jadikan dirimu pusatnya. Coba tenang.”
Kertadarma tersenyum miris. “Kamu gampang menghardik ego orang karena kamu nggak pernah merasakannya.”
Merta tidak membalas. Ia menunjuk layar lain di meja samping: berita tentang banjir di pesisir utara Jakarta. Foto-foto rumah tergenang, anak-anak menyeberangi air dengan kardus. “Ada hal-hal yang lebih mendesak daripada validasi.”
Kertadarma menelan ludah. Tapi rasanya pahitnya bukan dari kopi.
.
Rasa Paling Tersakiti
Sore, langit pecah. Di kemacetan Matraman, Kertadarma kehilangan kesabaran dan kemudian kehilangan sesuatu yang lain. Pesan muncul dari Wiyat, mantan kekasih: “Jangan hubungi aku lagi, Dar. Aku sudah baik-baik saja. Semoga kamu juga.”
Kata-kata itu ringan, tapi jatuhnya di dada berat. Seolah seluruh kota mengernyitkan dahi padanya. Ia menepuk setir, menatap hujan yang memukul kaca, lalu menatap cermin. Ia ingin menyalahkan apa pun: Jakarta, macet, pekerjaan, bahkan hujan itu. Tetapi wajah yang paling mudah disalahkan—yang sedang memandang balik dari cermin—tidak memberinya kesempatan.
Lampu merah berubah hijau. Ia maju beberapa meter. Di trotoar ia melihat seorang kurir basah kuyup memeluk tasnya, menahan dingin. Kurir itu tidak punya pilihan lain selain melanjutkan langkah. Dan kota tetap tidak peduli siapa yang sedang patah.
.
Rasa Paling Berjasa
Di kantor agensi pemasaran, dingin AC sering lebih tajam daripada tatapan kompetitor. Adipati Wirahma, bos yang pandai memotong kalimat orang, berdiri di depan layar besar.
“Terima kasih tim CityRebrand,” katanya. “Khususnya untuk Rara Kencana yang memastikan semua vendor rapi.”
Nama Rara disambut tepuk tangan. Kertadarma menahan napas. Hatinya berdesir: Lho, konsep awal… timeline… bahkan deck—itu semua tanganku. Ia ingin berdiri, ingin membeberkan log, commit history, percakapan tengah malam. Tapi apa gunanya?
Di sela keributan kecil selebrasi, Rara menatap Kertadarma dan mengacungkan jempol. “Hebat kamu, Dar,” bisiknya.
“Bukan aku yang disebut,” balas Kertadarma, setengah bercanda, setengah luka.
“Mungkin bukan soal nama,” kata Rara. “Mungkin soal kerja yang sampai ke warga.”
Ucapan itu tidak menutup luka. Tapi menahan pendarahannya.
.
Siti Lela
Malam Sabtu yang gerimis, Siti Lela muncul seperti jeda di antara dua notifikasi. Mereka bertemu di acara bakti kota—mengumpulkan barang untuk warga pesisir yang tergenang. Lela mengenakan jaket hujan tipis, rambut dicepol, matanya jernih seakan baru selesai menangis selama beberapa tahun lalu dan memutuskan tidak akan mengulanginya.
“Kamu Kertadarma ya? Yang bikin kampanye #KotaRangkul?” tanyanya sambil mengikat kardus.
Kertadarma kaget. “Kok tahu?”
“Aku relawan distribusi. Warga senang. Mereka bilang poster di halte bikin mereka merasa ‘disapa’. Siapa pun pembuatnya, terima kasih.”
Kalimat terima kasih itu sederhana, tapi jatuhnya lembut sekali. Ia menatap Lela lebih lama dari yang seharusnya. Ada sesuatu yang menenangkan sekaligus menakutkan dari orang yang tidak membutuhkan pengakuan—karena mereka cenderung tidak memberi juga, kecuali jika sungguh perlu.
Di perjalanan pulang, Lela berkata, “Kamu tahu, bulan tidak butuh validasi untuk tetap indah, meski cuma separuh wajahnya terlihat.”
“Dari siapa kalimat itu?”
“Dari ibu,” jawab Lela. “Dari hidup, mungkin.”
.
Patah di Tengah Malam
Kertadarma mulai ikut di gudang logistik yang dikelola Lela. Mengangkut, menata, menempelkan label; pekerjaan yang tidak mungkin diviralkan, tidak ada before-after yang dramatis. Ada kebahagiaan yang tidak bisa difoto.
Suatu malam, selesai mencatat stok, mereka berdua melewati jembatan kecil di Kramat Pela. Hujan baru saja berhenti. Bau tanah dan logam bercampur. Seorang pemulung menunduk di bawah lampu jalan yang redup, anaknya tidur di gerobak, wajahnya bersih sebersih doa.
“Nama bapak siapa?” tanya Lela.
“Pragalba,” jawabnya, malu-malu.
“Besok pagi datang ke gudang ya, Pak. Ada sumbangan selimut.”
Mata Pragalba berbinar, tapi ia tetap menunduk. “Matur nuwun,” katanya lirih.
Kertadarma menatap lama. Ia merasa sesuatu retak di dalam dadanya. Sebelum malam itu, ia percaya luka utamanya adalah tidak diakui. Ternyata yang lebih luka adalah tidak melihat.
.
Momen “Bukan Tentang Aku”
Di kantor, krisis datang seperti banjir datang ke gang-gang sempit: tanpa minta maaf. Server down, unggahan kampanye salah jadwal—iklan ucapan selamat Idul Adha tayang di Natal. Klien marah, tim panik.
Semua mata mencari kambing hitam. Kertadarma bisa menunjuk jari: ke vendor yang teledor, ke junior yang salah mapping. Tapi ia teringat Pragalba, Rara, Lela. Ia berkata pendek, “Aku tanggung jawab eksekusi. Reset, sekarang.”
Ia menelepon semua pihak, minta maaf tanpa menyebut alasan. Rapat kilat di war room, kopi bungkusan menumpuk, mata memerah. Subuh, kampanye sudah kembali di rel dan klien menulis: “Appreciate the recovery.”
Adipati Wirahma hanya menepuk bahu, “Good job.” Tidak ada email blast, tidak ada nama yang dipajang. Dan anehnya, kali ini ia tidak keberatan. Ada rasa baru tumbuh: lega yang tidak memerlukan panggung.
Tetapi harga bagi egonya tidak kecil. Malam itu, dalam sepi, ia mengakui: Selama ini aku sibuk jadi pusat cerita. Ia mengingat kata-kata Mertakusuma: gunung, laut, matahari, bulan. Empat saksi yang setia namun tidak menuntut.
.
Surat dari Rumah
Telepon dari Madura datang seperti petir kecil pada siang yang gerah: ibu sakit. Bukan parah, tapi cukup untuk membuat hati anak lelaki satu-satunya seperti karamel yang meleleh perlahan.
Ia menyeberang dengan pesawat murah ke Surabaya lalu bus malam ke Pamekasan. Jalan panjang yang membuat pikiran menipis dari kebisingan kota.
Di rumah kayu yang masih dibiarkan bapak—alm—sebagaimana dulu, ibu terbaring ditemani Rarasati, sepupu yang cerewet. Ibu tersenyum kecil saat Kertadarma masuk.
“Masih sibuk merasa paling penting?” tanya ibu, setengah bercanda, setengah mengingatkan.
“Nggak, Bu.” Ia duduk dan menggenggam tangan yang dahulu selalu dingin setelah mencuci pagi-pagi. “Sekarang aku sedang belajar penting yang benar.”
“Penting itu bukan diakui banyak orang,” kata ibu. “Penting itu ketika ada satu orang saja yang nyawanya jadi lebih ringan karena kamu ada.”
Malam itu, angin membawa bau laut. Ia terlelap di samping ranjang ibu, dan seolah-olah semua hal yang memburu sejak berbulan-bulan—target kuartal, engagement rate, rapat evaluasi—berjalan melewati dirinya tanpa perlu menginap.
.
Rencana Kecil
Saat kembali ke Jakarta, Kertadarma membawa dua hal: resep jamu ibu dan niat yang lebih jernih. Ia mengusulkan pada Adipati Wirahma untuk memasukkan porsi CSR yang bukan sekadar PR stunt.
“Kita bikin City School, kelas singkat untuk anak-anak kampung kota. Ajarkan cara bercerita lewat foto dari ponsel. Aku minta Mertakusuma jadi mentor.”
Adipati mengangkat alis. “Apa ROI-nya?”
“Tidak langsung,” jawab Kertadarma. “Tapi merek yang berani mendengar biasanya lebih didengar.”
Rapat mereda. Adipati tidak setuju, tidak menolak. “Pilot kecil dulu,” katanya.
Dan pilot kecil itu akhirnya terjadi: di balai RW tepi rel, dinding ditutupi poster jadwal Posyandu. Anak-anak datang dengan mata berbinar, membawa ponsel pinjaman orang tua. Mertakusuma menempel kertas-kertas contoh frame, Lela membagikan kue-kue basah.
“Foto yang baik itu bukan selalu tajam,” ujar Merta. “Yang penting: jujur.”
Kertadarma memperhatikan seorang anak—Jayengrana—yang memotret ibunya sedang menjemur baju, lalu memperlihatkannya pada teman-teman. Ada kebanggaan halus di mata anak itu. Kebanggaan yang tidak bisa dicari di ruang rapat.
.
Lela dan Malam yang Menenangkan
Pada suatu malam, lampu-lampu kota membentuk garis putus-putus seperti do’a yang belum selesai. Lela duduk di tepi sungai kecil yang merayap di antara permukiman padat. “Aku dulu juga seperti kamu,” katanya. “Sibuk minta dunia mengerti.”
“Apa yang mengubahmu?” tanya Kertadarma.
“Banjir tahun itu,” Lela tertawa tanpa suara. “Rumahku hanyut. Semua album foto hilang. Di pengungsian, seorang nenek membagi sepotong roti untukku, padahal jelas dia lebih lapar. Aku merasa kecil sekali. Sejak itu, aku ingin menjadi orang yang menambah, bukan mengurangi.”
Malam menepuk pelan punggung mereka. Kertadarma hampir mengatakan sesuatu yang di hati sudah lama tumbuh ke arah yang sama, tapi ia menahannya. Ada hal-hal yang jika diucap terlalu cepat akan pecah.
.
Sang Rival
Pragalba—pemulung yang ditemui dulu—datang ke gudang dengan baju yang lebih rapi. Ia bercerita bahwa anaknya kini sekolah sore berkat beasiswa warga. “Aku juga dapat pekerjaan paruh waktu di workshop daur ulang,” katanya. “Rara yang rekomendasikan.”
Kertadarma tersenyum. “Mantap, Pak.”
Tapi semesta, yang selalu menyukai keseimbangan, mengirim rival: kabar tersebar bahwa ada lembaga yang memanfaatkan foto-foto kegiatan relawan untuk menggaet sponsor, seolah itu kerja mereka. Di baliknya, ada nama yang dikenal di industri: Menakjaya, agensi yang dingin tapi rapi.
Kertadarma tergerak, amarah lama tentang pengakuan berdiri lagi dari kuburnya. Ia ingin mengadakan konferensi kecil, membuat thread di X, membuka bukti-bukti. Merta berkata: “Kau bisa saja benar dan kalah, Dar.”
Lela menambahkan lembut: “Atau kamu bisa memilih menang yang lebih sunyi.”
Kertadarma diam beberapa hari, tidak nyaman dengan kebisuan. Sampai ia melihat Pragalba mengantar selimut ke tenda, memayungi anak-anak yang berbaris mengambil susu. Itu lebih penting dari piala benar.
Ia memutuskan fokus ke City School. Biar publik menilai sendiri. Menakjaya menghilang dari isu secepat mereka datang.
.
Panggung yang Tidak Ditinggikan
Tiga bulan berlalu. City School bertumbuh jadi sirkulasi kecil. Foto-foto anak kampung kota dipamerkan di lorong balai warga, dicetak di kain spanduk. Orang-orang lokal datang, menunjuk gambar tetangga, tertawa, menangis. Ada gambar tangan ibu keriput memeras kain, ada burung emprit bertengger di kabel listrik, ada garis kereta lewat seperti garis takdir.
Rara Kencana berkata pada Kertadarma, “Kamu tahu, Dar, selama ini aku pikir kamu hanya mau disebut. Ternyata kamu hanya perlu diajak melihat.”
Kertadarma tertawa. “Aku masih sering ingin disebut, Ra. Hanya saja… sekarang aku tahu rasa itu lewat lebih cepat kalau ada pekerjaan berikutnya.”
Malam penutupan pameran, Adipati Wirahma datang. Ia memandangi foto besar: siluet anak memegang ponsel, langit oranye di belakangnya. “Siapa yang motret?”
“Jayengrana,” jawab Merta. “Umur sebelas.”
Adipati mengangguk. “Kita replikasi di tiga RW lain. Dan—” ia menatap Kertadarma, “—kita tidak perlu memasang logo terlalu besar.”
Itu pujian paling halus yang pernah diterima Kertadarma. Ia ingin merekam kalimat itu, memasangnya sebagai pinned post. Tapi ia tersenyum saja.
.
Retak yang Hebat
Keheningan tidak bertahan lama. Ibu kembali masuk rumah sakit. Kali ini sungguhan berat. Kertadarma menyusul ke Madura dengan jantung seperti kaleng kosong. Di ruang perawatan, ia memegang tangan ibu yang makin ringan.
“Bu, doakan aku ya,” katanya, menahan pecah.
Ibu memandang lama, menyeka keringatnya sendiri. “Aku tidak mendoakan kamu jadi hebat. Aku mendoakan kamu jadi ringan untuk orang lain.”
Di luar jendela, suara azan dari surau kecil berdengung. Kertadarma menunduk. Doa itu, lebih dari apa pun, adalah retak yang hebat di dalam dirinya. Retak yang membuat cahaya bisa masuk.
Ibu bertahan. Tidak sepenuhnya pulih, tapi cukup untuk kembali menata halaman dan menyuruh Rarasati tidak boros membeli bumbu. Saat hendak kembali ke Jakarta, Kertadarma memeluk ibu lama-lama. “Aku akan pulang lebih sering,” katanya. Ibu tersenyum, “Kalau semesta mengizinkan.”
.
Kalimat yang Akhirnya Diucapkan
Kepada Lela, akhirnya ia berani berkata, di bawah jembatan layang Manggarai saat kereta lewat seperti gemuruh yang menegaskan keputusan: “Aku tidak ingin jadi pusat cerita. Aku ingin berjalan di sebelahmu.”
Lela menatap, lama. “Kita tidak akan punya panggung.”
“Aku sudah punya panggung terlalu lama,” Kertadarma tersenyum. “Dan aku sering jatuh sendiri.”
Lela tertawa kecil, lalu menggenggam jemarinya. “Baik. Tapi kita tetap boleh merasa lelah ya.”
“Boleh. Selama besok pagi kita kembali menata kardus.”
Mereka tidak berpelukan. Mereka berjalan menyusuri trotoar yang retak, melewati mural pudar, warung mie ayam yang wajan penggorengannya bernyanyi. Malam Jakarta tidak pernah benar-benar memberi bintang, tetapi lampu-lampu toko cukup untuk menjalankan hati.
.
Sidang Sunyi
Di kantor, presentasi akhir tahun berlangsung. Tim memaparkan dampak kampanye: pertumbuhan organik, angka-angka yang memuaskan, dan satu slide kecil tentang City School yang disebut “aktivasi komunitas berkelanjutan.”
“Siapa PIC-nya?” tanya salah satu klien.
“Tim gabungan,” jawab Adipati. “Inisiatornya Kertadarma, dieksekusi bersama Rara dan Merta. Tetapi keberhasilan sesungguhnya ada pada warga.”
Kertadarma menunduk. Tak ada tepuk tangan besar, hanya kepala yang mengangguk. Anehnya, dadanya penuh. Ia teringat ibu, Pragalba, Jayengrana, Lela. Mungkin begini rasanya menjadi penting: ketika kau tidak lagi sibuk menimbang-nimbang apakah kau penting.
.
Hari Ketika Jakarta Tidak Begitu Bising
Suatu Minggu, langit Jakarta segar, seperti seprai baru. Kertadarma, Lela, Mertakusuma, Rara, dan beberapa anak City School menggelar photo walk. Mereka menyusuri gang-gang, memasuki pasar kecil. Ada penjual kue yang setia melempar senyum, ada sopir bajaj yang bercerita tentang rute favoritnya, ada burung yang masih berani lahir di sela teralis listrik.
Di ujung jalan, Kertadarma berhenti, memotret bayangan Lela di genangan air—separuh wajahnya terlihat, seperti bulan. Ingatan pada kalimat itu muncul lagi: Bulan tidak butuh validasi untuk indah. Ia menyimpan foto tanpa niat mengunggah. Tidak semua yang indah harus ditonton orang.
Sore, mereka duduk di bangku taman Menteng. Mertakusuma membagikan kopi, Rara membagikan roti. Lela bersandar pada bahunya. Jakarta tidak jadi lebih sunyi, tetapi bisingnya kini seperti musik latar yang pas.
“Dar,” kata Merta, “kau tampak lebih ringan.”
“Aku hanya menurunkan barang-barang yang tidak perlu,” jawabnya.
“Seperti?”
“Kebutuhan untuk menang di panggung yang tidak pernah aku bangun.”
Mereka tertawa. Anak-anak mengejar layang-layang yang gagal naik. Matahari menurun pelan, tanpa minta tepuk tangan.
.
Peta yang Tidak Tercetak
Beberapa bulan kemudian, City School mendapat tempat kecil di pojok majalah kota: “Anak-anak kampung kota bercerita dengan kamera ponsel.” Tidak ada nama-nama yang ditonjolkan. Hanya foto Jayengrana, Rarasati, dan ibunya yang tertawa di halaman rumah sewaan yang kini dipenuhi pot tanaman dari botol plastik.
Kertadarma menempel halaman itu di dinding gudang logistik, tepat di atas jadwal kirim. Ia menulis kecil di bawahnya, menggunakan spidol yang seret: “Peta kita bukan di panggung, tapi di gang-gang kecil yang tidak tercetak.”
Ia menatap Lela yang mengikat kardus. “Kita sempat ingin dunia melihat,” katanya. “Ternyata cukup jika satu gang melihat.”
Lela mengangguk. “Dan semesta tetap bekerja, tanpa menunggu kita, tapi kali ini kita memilih berjalan di sampingnya.”
Malam turun. Angin dari kali kecil membawa suara tawa dan nyanyian dari rumah sebelah. Jakarta tetap bising, tetapi di suatu sudut yang tidak tercatat di Google Maps, ada tempat di mana orang-orang belajar menjadi penting dengan cara yang tidak terlihat.
Dan Kertadarma tahu, akhirnya: ia tidak sepenting itu. Seraya menyadari, justru karena itu ia bisa mencintai kota ini, orang-orangnya, hidupnya—lebih tepat, lebih tenang.
.
“Semesta tidak pernah menunggumu. Maka berhentilah merasa paling segalanya—karena kebahagiaan tidak datang dari pengakuan, melainkan dari keikhlasan menambah ringan hidup orang lain.”
.
.
.
Jember, 22 September 2025
.
.
#CerpenSastra #KompasMinggu #CeritaKota #RefleksiHidup #EgoManusia #Pengakuan #Kemanusiaan #Jakarta #JeffreyWibisonoV #KisahUrban