Martabat di Antara Gedung-gedung

“Kadang yang paling berharga bukan gedung yang menjulang, melainkan satu sikap kecil yang membuat manusia merasa ada.”

.

Jakarta, selepas hujan, selalu punya bau besi yang samar. Malam itu, genangan di bahu Jalan Galunggung memantulkan lampu-lampu motor seperti sisik ikan. Di sebuah kafe berukuran tiga petak, Raden Suryadi menatap layar laptop yang menggigil oleh embun AC. Kopinya sudah dingin, sisa buih pekat menempel di bibir gelas seperti garis nasib yang enggan dipahami.

Ia baru saja menutup rapat departemen pemasaran—rapat yang tidak benar-benar rapat—lebih mirip pengumuman sepihak tentang target baru yang mustahil dan tenggat yang lebih mustahil lagi. Raut muka kawan-kawannya pulang bersama lelah, sementara kata-kata pimpinan tinggal menggantung: “Kalau tidak sanggup, banyak di luar sana yang menunggu.”

Suryadi, anak guru sekolah dasar dari pinggiran Bangkalan, tumbuh dengan kisah-kisah Menak Madura: Kertadarma yang mengajarkan kesetiaan, Wira Dikara yang menaruh harga diri lebih tinggi ketimbang upah, Sura Pati yang memilih menanggung sunyi supaya orang lain tak hidup di bawah ancaman. Nama-nama itu tak pernah tercantum di gedung pencakar langit; tak ada di lembar target penjualan; tak dicatat HRD. Namun justru karena tak dicatat, mereka meresap pelan sebagai moral yang bandel.

Di kantor, Suryadi dibantu Nurhayati—perempuan yang tidak disukai atasan tetapi dicari semua staf baru. Nurhayati bukan definisi cantik versi majalah. Ia berpakaian sederhana, rambut digelung seadanya, tapi matanya punya jarak pandang yang tak dimiliki banyak orang: tajam sekaligus teduh. Di papan tulis dekat mejanya, ada tulisan spidol yang tak pernah ia hapus: “Martabat tidak bisa dicetak massal.”

“Capek?” Nurhayati mengirim pesan singkat ketika Suryadi hanya menatap kopi tanpa minum.

“Capek itu fisik,” balas Suryadi. “Ini yang lain.”

“Takut?” tanya Nurhayati.

Suryadi tidak menjawab. Ia menutup gawai dan menenggelamkan wajah ke lengannya. Di langit kafe, speaker memutar lagu lawas yang bicara tentang kota yang tak pernah tidur; di lantai, pelayan pelan-pelan mendorong pel.

.

Pagi berikutnya, ia menumpang KRL dari Bekasi. Di gerbong yang sesak, ia bertemu Wira—staf magang yang dulu ia latih. Wira pernah menangis diam-diam di mushala kantor karena anjing peliharaan kosnya mati; sore itu juga ia diminta mengirim pitch deck lima belas halaman untuk presentasi besok pagi. “Kalau kau sedih, sedihlah,” kata Suryadi waktu itu, “tapi jangan lupa makan. Presentasi bisa menunggu dua jam.” Itu petuah sederhana; tak membuat dunia berubah; tetapi di kepala Wira, ucapan itu punya bilik khusus.

Kini Wira berdiri sambil mengapit gulungan poster. “Mas Sur,” sapa Wira. “Aku lolos beasiswa ke Bandung. Minggu depan berangkat.”

Suryadi tersenyum. “Bagus. Pergilah sejauh yang kau mau.”

“Mas yang ngajari aku supaya berani pergi,” kata Wira. “Tapi, aneh ya, rasanya aku tetap ingin pulang ke tim kita.”

Suryadi mengangguk. Tata kota berlari mundur di balik jendela: gudang, perumahan, gedung-gedung. Ia membatin, latih supaya bisa pergi; perlakukan supaya tak ingin pergi. Ia bersyukur Wira punya sayap, juga ragu apakah kantor tempat mereka bekerja punya pelataran untuk mendarat.

.

Perusahaan itu berdiri angkuh di jantung ibu kota: lobi marmer, lift berkaca, ruang rapat bernama rasi bintang. Di balik segala kilau, ada hitungan eksak yang dingin. Staf kontrak disambung tiga bulan demi tiga bulan; lembur adalah kata ganti dari kata loyalitas; rapat evaluasi menjadi panggung menyalahkan yang paling kecil.

Pada awal tahun, dewan direksi memutuskan proyek “Cakra Selatan”, sebuah hunian mewah yang harus terjual 70 persen dalam enam bulan. Tim pemasaran diminta meramu narasi: co-living, wellness hub, smart ecosystem. Suryadi menulis panjang. Nurhayati mengukur peta demografis dan merinci kemungkinan kota satelit baru. Tetapi pada rapat besar, manajer puncak bernama Kerta—lelaki yang sangat percaya pada angka dan kurang percaya pada manusia—melipat strategi mereka menjadi tiga baris kalimat: “Target harus tercapai. Bagaimana caranya, itu urusan kalian.”

“Pak,” kata Nurhayati, bangun dari kursinya. “Angka Bapak tidak menyisakan ruang untuk hari libur dan kesehatan mental.”

“Saudari Nur,” Kerta tersenyum setipis benang, “kesehatan mental itu urusan masing-masing. Di luar sana ribuan orang lebih stres. Kalau tak sanggup, pintu keluar di belakang.”

Ruang rapat diam—diam yang punya banyak suara. Suryadi merasakan telapak tangannya basah. Ia ingin berdiri, tapi lidahnya tertahan. Di benaknya melintas ingatan Menak Sura Pati: diam adalah pisau berkarat; bila dibiarkan, ia tetap melukai.

Setelah rapat, Nurhayati duduk di tangga darurat, menatap cat dinding yang terkelupas halus. “Aku tak bisa membiasakan diri dengan ancaman,” katanya. “Orang boleh hidup sederhana, tapi tak boleh hidup dengan ancaman.”

“Kau mau pergi?” tanya Suryadi.

“Aku ingin tinggal,” jawab Nurhayati. “Tapi aku ingin tinggal untuk sesuatu.”

.

Beberapa minggu setelahnya, mereka menjalankan proyek pelatihan internal: Bootcamp Cakra. Empat puluh peserta—sebagian besar anak muda—diajari dasar riset pasar, presentasi, membaca gestur pelanggan. Program itu ide Suryadi. Ia mencontoh cara ayahnya mengajar geografi: peta bukan gambar, melainkan jalan pulang.

“Latih mereka seakan-akan besok mereka tidak bekerja di sini,” kata Suryadi kepada tim instruktur. “Kalau kelak mereka pergi, kota tetap diuntungkan.”

Di akhir hari keempat, seorang peserta bernama Rengganis menghampiri Suryadi. “Mas, kalau saya lulus, saya boleh melamar ke tim Mas?”

“Boleh,” jawabnya. “Tapi pilihlah tempat yang memperlakukanmu sebagai manusia, bukan mesin. Tempat yang membuatmu mau tinggal.”

Rengganis tersenyum dan menunduk. Ada sesuatu pada senyum itu—semacam rasa percaya yang baru tumbuh. Suryadi ingat senyum ibunya ketika mengantar ia ke perantauan: pergi, tapi jangan lupa pulang—kalau tak ke rumah, pulanglah ke nilai-nilai yang menghidupimu.

.

Di tengah euforia Bootcamp, badai datang: pemotongan anggaran. Proyek “Cakra Selatan” melambat; investor menunda komitmen; tim pemasaran diminta “meramping”. Daftar nama digulung rapi. Pagi itu, HRD memanggil satu per satu, menyodorkan surat—kalimat-kalimat yang sopan tetapi mematikan.

Wira yang sudah lolos beasiswa menepuk bahu Suryadi: “Mas, kalau nanti Mas butuh, aku bantu cari proyek desain di kampus.” Suryadi tertawa hambar. “Terima kasih, Wir.”

Nurhayati dipanggil belakangan. Pulangnya ia membawa map tipis warna krem. “Aku diberi dua pilihan,” katanya, “turut program exit dengan pesangon, atau dipindah ke divisi yang tidak punya ruang untuk berkata ‘tidak’.”

Suryadi menatapnya, mencari jawaban di wajah yang ingin tegar. “Kau mau pilih yang mana?”

Nurhayati membuka map. Di dalamnya hanya ada dua lembar kertas. “Aku memilih tinggal,” katanya pelan, “tapi bukan di sini.”

.

“Pergi bukan lari. Pergi adalah menjemput martabat yang menunggu di ujung lorong.”
Kalimat itu Nurhayati tulis di bio media sosialnya tepat pada hari ia mengunggah foto terakhir: ruang kantor dari sudut gelap, kursi-kursi ditinggal, lampu-lampu padam satu per satu. Ia keluar tanpa perayaan, tanpa pamit panjang. Gerbang putar gedung berputar sekali, lalu hening.

Suryadi membiarkan hari-hari berlalu seperti kereta malam menembus sawah. Ia ikut menyusun ulang tim; ia duduk lebih lama di meja kursi-lipat untuk menutup celah pekerjaan; ia meneruskan Bootcamp dengan tenaga seadanya. Di malam Sabtu, ia pulang lewat Stasiun Manggarai dan membeli martabak untuk penghuni kos seperti kebiasaannya. Tetapi ada sesuatu yang hilang, yang tidak bisa ia cari di minimarket mana pun: seseorang yang berani berdiri ketika orang lain duduk.

Sampai satu sore, di depan musala kantor, Rengganis yang baru lulus Bootcamp berjalan mendekat dengan map kuning. “Mas, aku mendapat tawaran dari perusahaan rintisan. Gajinya tidak besar, tapi mereka memberiku ruang belajar. Mereka bilang, kalau aku gagal, ditunjukkan di mana gagalnya.”

“Kau akan pergi?” tanya Suryadi.

“Aku akan pergi, tapi… kalau Mas mengizinkan, aku tetap ingin datang ke kelas Bootcamp sebagai relawan.”

Suryadi tersenyum. Di dada ada rasa hangat yang tak keluar melalui kata-kata.

.

Jakarta menyimpan malam-malam yang sukar ditidur. Hujan kembali turun, kali ini lebih rapat. Di kafe tiga petak tempat ia sering menunggu keberanian, Suryadi membuka percakapan dengan Nurhayati setelah berbulan-bulan tak bertemu. Ia memulai dengan kabar ringan—tentang Wira dan Rengganis, tentang Bootcamp yang sekarang dikelola bergilir. Nurhayati mendengarkan seperti orang menekuni peta lama.

“Aku membuka kelas literasi kerja di kampung susun dekat Cipinang,” kata Nurhayati setelah jeda. “Bekerja sama dengan sebuah yayasan. Kami mengajar anak-anak muda cara menulis email yang manusiawi, cara berkata tidak tanpa membuat orang malu, cara meminta maaf tanpa merendahkan diri.”

“Bagaimana rasanya?”

“Rasanya seperti berjalan pulang,” jawabnya. “Aku melatih mereka supaya bisa pergi dari lingkungan yang menyudutkan. Tapi aku juga ingin mereka menemukan alasan untuk tinggal: pada komitmen, pada saling jaga.”

Suryadi tahu, pada momen-momen seperti ini, kota terasa seperti tubuh sendiri: penuh luka, tetapi terus bernafas.

.

Kabar mengejutkan datang dari kantor: Kerta mengundurkan diri setelah proyek “Cakra Selatan” gagal memenuhi target dan ada audit internal yang menyenggol gaya kepemimpinannya. Direktur yang baru, Wredi—orang yang dulu dikenal dingin tapi bisa diajak bicara—mengundang Suryadi untuk menyusun ulang kebijakan pengembangan karyawan.

“Pak meminta saya,” kata Suryadi kepada Nurhayati lewat telepon, “mendesain sistem mentoring yang tidak bergantung pada posisi. Saya takut.

“Takut adalah tanda bahwa kau menganggap urusan ini serius,” jawab Nurhayati. “Pergilah. Tapi minta satu syarat.”

“Syarat apa?”

“Jangan hanya melatih supaya mereka bisa menjual proyek; latih supaya mereka bisa mempertahankan martabatnya.”

Suryadi menatap dinding kamarnya, di mana ia menempel foto kakeknya yang kurus dan keras. Ia mengangguk pada suara di ujung telepon. Malam itu, ia menyusuri folder laptop, menyiapkan rancangan yang bertolak dari hal-hal sederhana: kontrak yang jelas; waktu pulang yang benar-benar pulang; coaching yang bukan rapat terselubung; gaji yang tak membuat orang menghitung ongkos oksigen.

Ia menamai program itu “Wiradikara”—mengambil nama tokoh yang oleh ayahnya selalu diceritakan sebagai ksatria yang lebih memilih kehilangan proyek daripada kehilangan muka orang lain. Pada halaman pembuka, ia menulis sebuah paragraf yang kelak diingat banyak orang:

“Perusahaan yang baik mengajar orang supaya mampu. Perusahaan yang benar memperlakukan orang supaya bermakna. Bila keduanya bertemu, orang tidak perlu diikat; ia sendiri akan memilih tinggal.”

.

Program “Wiradikara” berjalan tersendat. Ada yang memberi selamat; ada yang sinis; ada yang berbisik, “Ah, ini cuma tren.” Tetapi Suryadi belajar dari ayahnya bahwa perubahan tidak bisa dikerjakan seperti proyek satu kuartal. Ia menahan diri dari kata-kata yang muluk, memilih mengerjakan perkara kecil: ruang check-in mingguan yang bukan evaluasi, tetapi mendengar; toolkit percakapan sulit yang membuat atasan berhenti mengancam; anggaran khusus untuk belajar yang tidak diambil dari jatah THR.

Rengganis kembali dua kali seminggu menjadi relawan. Ia mencatat umpan balik staf baru, menuliskan hal-hal yang dianggap sepele tetapi sesungguhnya tulang punggung moral: ucapan terima kasih; izin istirahat tanpa rasa bersalah; perayaan kecil atas kegagalan yang jujur.

Suatu hari, di akhir sesi mentoring, seorang karyawan lama—Angga—mengangkat tangan. “Mas, saya jujur saja, dulu saya ingin keluar. Tapi sejak program ini, saya merasa didengar. Bukan berarti semua enak, tapi… rasanya lebih manusiawi.”

Suryadi menahan napas sejenak. Ia melihat sekilas ke luar jendela: langit Jakarta berwarna jingga kotor, tapi ada cahaya tipis yang menembus gedung-gedung. Ia mengangguk. “Terima kasih, Angga.”

Di telepon, malamnya, ia mengabari Nurhayati. “Seseorang bilang ia ingin tinggal.”

“Kau sudah tidak takut?” tanya Nurhayati.

“Aku tetap takut,” kata Suryadi, “tapi aku tahu kenapa aku tinggal.”

.

Bertahun-tahun kelak, kisah tentang “Wiradikara” dibicarakan orang—bukan sebagai program gemerlap, melainkan sebagai kebiasaan yang menyehatkan. Wira, yang dulu berangkat kuliah ke Bandung, kembali ke Jakarta sebagai pengajar tamu; ia membuat kelas kecil membaca kota bagi staf baru, mengajak mereka berjalan kaki menyusuri trotoar dan bertanya: siapa yang diuntungkan, siapa yang tertinggal. Rengganis memimpin tim kecil employee care; ia menulis modul bernama “Cara Menjadi Atasan Tanpa Menjadi Musuh”. Di ciptaan-ciptaan itu, Suryadi melihat wajah Nurhayati: orang yang memilih pergi supaya orang lain punya alasan tinggal.

Suatu sore, kantor mengundang alumni Bootcamp untuk temu kangen. Di panggung, Wredi menyampaikan pidato pendek: tidak ada kata “badai”, “transformasi”, atau “lompatan kuantum”—hanya satu kalimat yang membuat ruangan hening:

“Di tempat kerja, kita bukan sedang membangun gedung; kita membangun cara orang memperlakukan orang.”

Tepuk tangan tidak bergemuruh, tapi berdiri lama. Di sudut ruangan, Suryadi menunduk, menahan sesuatu yang menghangat dari mata.

Setelah acara, ia berjalan sendirian melewati lobi marmer yang memantulkan wajahnya sendiri. Di luar, langit mulai gelap. Dari halte TransJakarta, ia melihat anak-anak berseragam pulang sekolah; dari warung, suara pedagang memanggil pelanggan; dari masjid, azan magrib melengkung seperti tali yang menautkan hari-hari. Kota tidak berubah banyak, tetapi ada yang lebih tertata di dalam dada.

Ia duduk di kursi halte, mengeluarkan buku catatan kecil—buku yang sejak lama menyimpan kalimat-kalimat pendek. Di halaman terakhir, ia menyalin tiga kalimat yang membentuk garis hidupnya:

“Latihlah orang agar bisa pergi. Perlakukan mereka agar tak ingin pergi.”
“Pergi bukan lari; pergi adalah menjemput martabat yang menunggu di ujung lorong.”
“Bahagia bukan tentang di mana kamu berada, tapi dengan siapa kamu dianggap ada.”

Sebelum menutup buku, ia menambahkan satu kalimat yang baru tumbuh malam itu:

“Di kota yang selalu tergesa, kita memilih tinggal bukan karena pintu terkunci; kita tinggal karena seseorang membuka jendela.”

Bus datang. Suryadi berdiri. Dalam gemetar neon, ia melihat bayangan dirinya menyatu dengan arus orang-orang: ada yang bergegas, ada yang berhenti. Ia melangkah, tidak lagi mengukur jarak pulang, sebab pulang telah menemukan alamatnya—di cara ia memperlakukan orang-orang yang berjalan bersamanya.

.

.

.

Jember, 17 September 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenIndonesia #KompasMinggu #CeritaKota #MartabatPekerja #Kepemimpinan #HumanCenteredWork #Jakarta

Leave a Reply