Serigala dalam Sunyi
“Ikhlas bukan berarti tunduk, pasrah bukan berarti mati. Ada keberanian yang tumbuh justru dari penolakan untuk menyerah.”
.
Malam adalah jam dinding yang tak pernah berhenti, berdetak tanpa suara di balik kaca-kaca tinggi.
Di atas jembatan penyeberangan yang tua, lampu-lampu kendaraan menyusun garis putus-putus seperti nafas panjang seseorang yang menahan tangis.
Astasura berdiri di sana, memandangi riuh yang seolah mengalir tanpa tujuan. Hatinya sudah terlalu lama diikat prosedur: kartu akses, rapat mingguan, KPI yang tidak pernah merasa cukup.
Ia menyadari betapa berbahayanya kebiasaan menerima segalanya begitu saja, betapa pasrah bisa menyerupai bantal empuk yang membuat seseorang tak lagi bangun.
Sejak pagi, kantor memantulkan wajahnya dalam versi yang ia tidak kenali.
Kertas-kertas proposal menunggu tanda tangan; angka-angka target menunggu korban.
Ia menutup layar komputer ketika notifikasi rapat kembali menyala—tanda bahwa ada yang harus dibuktikan.
Namun, apa sebenarnya yang ingin dibuktikan?
Bahwa ia sanggup bertahan, meski harus menyingkirkan keberanian kecil yang dulu membuatnya merantau dan bersumpah pulang dengan sesuatu yang layak dibanggakan?
Di halte yang ramai, Astasura melihat pantulan dirinya pada kaca bus yang berembun.
Rambutnya dipotong rapi, dasinya menonjolkan garis leher yang tegang.
Ia pernah bermimpi bekerja untuk membangun tempat tinggal yang manusiawi, halaman yang ditumbuhi pohon, udara yang tidak penuh debu.
Nyatanya, perusahaan tempat ia bekerja lebih suka menjual ilusi: maket lanskap difoto senja, brosur yang memeluk imajinasi, cicilan yang menjebak tahun-tahun muda orang lain.
Di sela kepadatan, ada sebuah pesan masuk: “Kemang nanti malam. Aku butuh dengar suaramu.”
Nama pengirimnya—Angreni—membuat matanya melembut.
Perempuan itu selalu mengetik tanpa banyak basa-basi, namun setiap katanya seperti pegangan pada pagar tangga di saat gelap: sederhana, kokoh, dan menuntun.
Ia mengangguk pada angin, lalu melangkah, seolah malam telah memberinya perintah.
Kafe di gang kecil itu memantulkan remang cokelat.
Di dinding, poster film lawas—kertasnya mulai pudar, wajah-wajah yang tersenyum di masa lalu.
Angreni duduk dekat jendela; di luar, jalan basah oleh hujan petang.
Tatapan mata mereka bertemu, tidak ada pelukan, tidak ada tanya yang cerewet.
Hanya dua orang yang tiba pada kesimpulan yang sama: lelah adalah bahasa yang bisa dimengerti oleh semua orang.
“Aku menulis lagi,” kata Angreni, setelah dua teguk kopi.
“Masih tentang orang-orang yang disapu bersih oleh rencana besar. Nama mereka memendek menjadi data.”
Bahunya naik turun. “Redaksi bilang, tulisanku tidak ramah untuk klien iklan.”
Kalimat itu menggantung seperti lampu pijar: kuning, panas, membatasi jarak pandang.
Astasura ingin menertawakan kegetiran itu, tetapi suara tawanya habis entah sejak kapan.
“Di kantor, mereka memanggilku ‘tim yang dapat diandalkan’. Kau tahu artinya?
Artinya aku selalu tersedia menjadi alas kaki ketika orang lain memasuki ruangan penting.”
Angreni menatap lama, seperti membaca baris-baris tanpa jeda.
“Kau masih ingat bagaimana dulu kau menceritakan ayahmu?”
Ingatan itu datang seperti angin membuka gorden.
Ayahnya—wajah asin terbakar matahari—sering menyalakan cerita di teras rumah saat malam turun.
Tentang kisah-kisah dari tanah Madura, tentang berdiri tegak ketika badan ingin membungkuk, tentang menimbang kata sebelum menebang keputusan.
Dulu, suara itu bagai kompas. Kini, kompasnya tertinggal di laci yang tak pernah dibuka.
“Kadang aku merasa hidupku bukan milikku,” ucap Astasura.
“Kalau begitu—rebut kembali,” jawab Angreni.
Kalimat itu menajam—tidak berteriak, tidak memaksa, tapi tegas seperti garis di peta: di sini kau berdiri, di sana kau ingin sampai.
Mereka berjalan setelah kafe menutup lampu.
Di trotoar yang licin, mereka mendengar desah pepohonan di tepi jalan—nipis, hampir hilang oleh desing knalpot.
Namun desah itu cukup untuk mengantar keputusan: sesuatu harus diubah, meski kecil, meski mahal.
Malam itu, Astasura berjanji pada dirinya untuk berhenti menjual ilusi dan mulai menghitung manusia dalam setiap angka.
Angreni berjanji untuk menulis tanpa menawar: jika harus kehilangan panggung, biarlah panggung itu kosong; suara akan menemukan tempatnya sendiri.
Esoknya, pukul tujuh lewat sepuluh, lift kantor menutup diri seperti mulut yang bersekongkol.
Astasura menekan angka dua puluh.
Di layar ponsel, ia membuka catatan baru: “Rencana hari ini: menolak permintaan yang menyingkirkan ruang hijau, menawarkan desain ulang dengan biaya wajar, menyusun daftar pekerja kontrak yang tidak dibayar lembur.”
Ia menghela napas—bukan karena Lembur yang menunggu, tetapi karena untuk pertama kali, ada arah yang bisa ia tunjukkan pada dirinya.
Rapat pagi memanjang seperti koridor yang tak memiliki jendela.
Atasan memaparkan grafik, kolega menambahkan jargon.
Ketika giliran Astasura, ia membuka slide yang dibuatnya semalam.
“Angka ini bisa dicapai jika kita memelihara pohon besar yang sudah ada, bukan menebangnya.
Secara biaya hanya bertambah dua persen, tapi secara sosial kita membeli napas untuk lingkungan.”
Ruangan hening. Seseorang tertawa pendek, entah karena sinis atau kaget.
Atasan mengatupkan bibir. “Kita bukan lembaga amal.”
“Aku tahu. Kita bisnis yang akan bertemu masa depan.
Dan masa depan akan menagih biaya dari setiap pohon yang kita tebang hari ini.”
Rapat selesai tanpa tepuk tangan.
Sore hari, HRD mengundang ke ruang kecil berbau pengharum ruangan.
Bahasa mereka licin: “Perhatikan batas peran,” “Komunikasi harus searah,” “Jangan membuat orang-orang resah.”
Astasura mengangguk. Ia tidak ingin menang di ruangan itu; ia ingin menang di diri sendiri.
Malamnya, ia berdiri di balkon.
Lampu-lampu yang berbaris di kejauhan tampak seperti doa yang tidak sempat diucapkan.
Telepon berdering. Angreni.
“Seseorang menawar: jika aku mengubah sudut pandang, tulisanku akan tampil di halaman depan.”
“Sudut pandang apa?”
“Yang tidak menyebut nama penggusur.”
“Kalau nama tidak disebut, siapa yang bertanggung jawab?”
Di seberang, hening.
Lalu, “Kau benar.”
Astasura menutup telepon, merasakan suara ayahnya menyalakan kompas di dadanya.
Hari-hari berikutnya seperti hujan yang bertahan lama: tidak deras, tapi membasahi apa saja.
Angreni menerbitkan tulisan-tulisan yang menyebut nama, tanggal, bukti.
Ia menggunakan blog sederhana dan mengizinkan orang menyalin dengan syarat tidak menghapus sumber.
Kawan-kawan lama mengingatkannya: “Hati-hati.”
Ia menjawab: “Lebih hati-hati lagi jika kita tidak menulis.”
Astasura menyambungkan nama ke wajah: pekerja kebersihan yang gajinya terlambat, satpam yang lemburnya hilang, tukang kebun yang dipecat karena memberi minum pada pohon yang dianggap “tidak masuk rencana”.
Ia menyusun berkas, menulis ringkasan, meminta pertemuan resmi.
Di meja rapat yang dingin, ia menyerahkan berkas itu seperti mengembalikan cermin kepada seseorang yang lupa wajahnya.
“Ini bukan tuduhan,” katanya. “Ini pengingat.”
Harga selalu datang tanpa mengetuk.
Pagi itu, akses kartunya gagal membaca.
HRD tersenyum tipis, memintanya menunggu email.
Di luar, hujan lagi.
Astasura menatap sepatu yang mulai basah—ia teringat nasihat ibunya: “Jangan mengutuk hujan ketika kau sedang bertumbuh.”
Ia duduk di lobi, merasakan waktu seperti batu yang hangat di telapak tangan.
Email masuk: “Skors sementara, evaluasi peran.”
Ia mengembuskan napas, lalu mengetik pesan ke Angreni: “Malam ini, jembatan Bundaran.”
Jembatan itu seperti panggung terbuka.
Di bawah, arus kendaraan menghela perhatian, memantulkan garis cahaya yang patah-patah.
Angreni datang dengan jaket tipis, rambutnya lembab.
Di antara suara yang melaju, mereka berbicara lembut—sebab sekeras apa pun nada, bunyi mesin akan memenangkan lomba.
“Aku takut,” ujar Angreni, “tapi aku lebih takut melihat tulisanku melukai orang yang seharusnya kulindungi.”
“Takut tidak masalah,” kata Astasura. “Yang masalah adalah menukarnya dengan diam.”
Mereka duduk lama.
Seseorang memotret dari kejauhan, entah turis atau orang yang kebetulan menemukan komposisi indah.
Di kepala Astasura, kalimat melingkar: kita hanya segumpal niat yang terus-menerus diuji.
Ketika akhirnya mereka berdiri, langkah mereka tidak saling mendahului; keduanya berjalan sejajar, seperti dua garis yang tak berminat saling menelan.
Minggu berikutnya, hal-hal kecil berubah menjadi pintu.
Seorang petugas kebersihan membawakan selembar kertas kusut: daftar nama yang menunggu honor.
Seorang security menyelipkan informasi jam lembur yang tidak dicatat.
Astasura menyimpannya, menata bukti seperti menata batu untuk menyeberangi sungai.
Di ujung lain, Angreni mengolah kisah menjadi laporan mendalam, memotret bukan hanya wajah, tetapi juga alasan mengapa wajah itu bertahan.
Pada suatu siang yang memantulkan panas, seorang lelaki tua mendekati Angreni setelah sesi foto.
“Kau menulis, Nak?” tanyanya.
“Aku mencoba.”
“Panjang umur kau, jika tulisanmu membuat seseorang berani.”
Kalimat itu masuk ke saku jaketnya, disimpan bersama kartu transportasi dan kunci rumah.
Malamnya, ia menempelkan kalimat itu di dinding kamar, dekat jendela yang memandangi sebaran lampu jauh.
Tekanan meningkat: telepon tak bernama, peringatan halus, undangan rapat yang tiba-tiba dibatalkan.
Astasura dihimbau “cuti panjang”.
Ia menolak, mengajukan opsi kerja terbatas sambil menyelesaikan audit internal yang ia ajukan sendiri.
Yang ia kejar bukan sensasi, melainkan kesempatan memperbaiki yang bisa diperbaiki.
Bila pun ia harus pergi, ia ingin pergi dengan pintu yang tidak dibanting.
Suatu petang, mereka kembali ke kafe di gang kecil.
Barista menyapa tanpa banyak kata; sepasang kursi favorit tetap kosong seolah menyisakan tempat.
“Aku menamai ini fase serigala,” ujar Angreni.
“Serigala?”
“Ia tidak ribut. Ia membaca angin, mendengar tanah, mengenali ketakutan kawanan, lalu melangkah ketika waktunya sampai.”
“Dan taring?”
“Disimpan. Untuk hari yang benar-benar memerlukan.”
Mereka tertawa kecil, bukan karena lucu, melainkan karena lega menemukan metafora yang pas.
Di rumah, Astasura membuka laci tua.
Kompas ayahnya masih di sana, berat namun tenang.
Jarumnya menunjuk utara seperti jari yang tahu arah pulang.
Ia menempelkan kompas itu di telapak tangan, mengingat malam-malam di teras—ketika cerita bukan untuk meninabobokan, melainkan untuk menegakkan punggung.
Ia mengirim foto kompas itu ke Angreni: “Aku akhirnya menemukannya.”
Balasan datang cepat: “Kalau begitu, jangan lepaskan.”
Pukul lima pagi, udara masih menyimpan sisa-sisa mimpi orang lain.
Astasura berlari kecil memutari taman tak jauh dari perumahan lama.
Di bangku beton, seorang bapak membaca koran yang diterpa angin.
Judul utama menyinggung proyek penataan ruang yang memotong pohon pelindung.
Astasura berhenti, menghitung, lalu memotret pohon-pohon yang masih berdiri.
Dalam hatinya, ia menulis memo: “Tak ada angka yang lebih indah daripada diameter batang yang bertahan.”
Hari sidang internal tiba juga.
Di ruangan dingin, beberapa orang duduk di seberang.
Pertanyaan menguji, seperti anak panah yang ingin memastikan daging.
Astasura menjawab sebaik ia mampu, tidak lebih, tidak kurang.
Ketika pertanyaan berubah menjadi sindiran, ia menautkan jari: “Saya tidak sedang melawan perusahaan; saya melawan kebiasaan yang membuat kita lupa nama orang di balik angka.”
Kalimat itu tidak disambut, tetapi juga tidak dibantah.
Hasilnya ditunda, tentu saja—sebab kebenaran sering dipinjam dulu oleh yang punya kuasa.
Malam terakhir sebelum keputusan, ia mengajak Angreni ke jembatan yang sama.
Arus lampu di bawah mereka seperti ular yang tak lelah.
“Apa pun hasilnya besok, aku ingin kau ingat ini,” kata Astasura.
“Kita tidak pernah benar-benar sendirian. Ada orang-orang yang belum berani bersuara, menunggu satu suara untuk memberi arah.”
Angreni menautkan lengan di bahunya, ringan seperti janji yang tidak memakai sumpah.
“Kalau begitu, jangan padam.”
Keesokan harinya, email masuk.
“Pemutusan hubungan kerja dengan kompensasi sesuai aturan.”
Astasura membaca tanpa gemetar.
Ia menutup laptop, lalu menatap kompas di meja.
Jarumnya tidak bergerak, namun ia tahu: ia sedang tidak tersesat.
Ia menulis pesan ke beberapa teman kerja yang percaya: “Jangan ikut marah; cukup ingat caramu berdiri.”
Sore itu, mereka menyelesaikan naskah bersama.
Bukan kisah dramatis, bukan juga manifesto.
Hanya catatan tentang bagaimana dua orang menjaga napas di tengah mesin yang meminta kita diam.
Angreni menekan tombol “terbit”.
Di layar, huruf-huruf memanjang ke masa depan, mencari mata yang memerlukan alasan untuk berani.
Malam turun pelan, seperti tirai yang tahu kapan harus menutupi panggung.
Astasura kembali ke jembatan penyeberangan—tempat semua garis cahaya bermuara.
Di bawahnya, arus tidak menua.
Di atas, ia mengingat dua kalimat yang ia pilih untuk hidupnya:
Ikhlas bukan berarti tunduk; pasrah bukan berarti mati.
Ia tersenyum kecil, menaruh kompas di saku, lalu berjalan pulang.
Bukan karena semuanya baik-baik saja, melainkan karena ia telah memutuskan menjadi serigala: diam, fokus, dan siap.
Catatan penutup yang tidak dimaksudkan sebagai penutup:
Di suatu pagi yang melemparkan cahaya muda ke dinding-dinding apartemen, Angreni menandai kalendernya dengan tinta biru.
Ia menulis satu kata untuk setiap hari: “hadir.”
Hadir pada diri sendiri ketika dunia meminta kita menjadi orang lain.
Hadir pada orang asing yang duduk sendirian di bangku taman, pada tukang parkir yang mengajarkan cara menunggu, pada ibu-ibu yang berjualan lontong sayur dan menyelipkan senyum ke dalam bungkus.
Ia percaya, keteguhan sering lahir dari hal-hal sepele yang kita rawat terus menerus.
Astasura menyusun rencana kecil yang tidak heroik: mengajar anak-anak pekerja proyek membaca peta; mengajar remaja menghitung luas pepohonan; mengajari dirinya sendiri untuk tidak menjadi pahit.
Ia mengingat lagi pesan yang pernah ia baca di dinding mushala kantor: “Yang kau rawat akan merawatmu.”
Karena itu, ia merawat malam-malamnya dengan doa yang tidak lantang, siang harinya dengan kerja yang tidak gaduh, dan hatinya dengan kesediaan untuk mulai lagi.
Apakah mereka menang?
Tidak ada piala, tidak ada karangan bunga.
Namun ada perubahan yang tidak membutuhkan perayaan: beberapa pekerja menerima honor yang tertunda, dua pohon besar lolos dari gergaji, dan satu tulisan dibacakan oleh seorang guru di kelas sastra kecil—membuat empat siswa pulang dengan dada yang berbeda.
.
.
.
Jember, 8 September 2025
.
.
#CerpenIndonesia #CerpenUrban #MotivasiHidup #KompasMingguStyle #JeffreyWibisonoStyle #SilentFocusedReady