Peta yang Menggambar Ulang Hidupku

“Strategi yang baik adalah seperti jalan sunyi—ia tidak berisik, tidak silau, tetapi menuntun banyak kaki sampai tujuan.”

.

 

Jakarta. Musim hujan. Lampu-lampu jalan berpendar seperti bintang yang jatuh ke bumi, genangan aspal jadi cermin buram bagi gedung-gedung yang tak pernah tidur. Dari jendela lantai delapan belas Menara Mandira, terlihat ribuan payung bergerak seperti semut yang mencari arah. Di ruang rapat yang lampunya menyala sendirian, Sarka masih duduk. Wajahnya memantul di layar laptop, berseberangan dengan sebuah segitiga berlapis—The Strategy Pyramid. Malam itu, bukan klien, bukan target, melainkan dirinya sendiri yang ia hadapi.

Sarka, perempuan tiga puluhan, Business Strategy Officer di firma konsultan ternama. Pekerjaan membuatnya hafal angka, bagan, roadmap. Tapi hari itu ia kalah. Proposal strateginya ditolak dewan: “terlalu idealis, belum waktunya.” Kata-kata sopan yang terasa seperti pintu ditutup di depan wajahnya. Pulang, ia masih utuh tubuhnya, tapi hatinya retak. Seperti kaca yang jatuh, suaranya nyaring, tapi orang-orang berlalu.

.

Akar di Bangkalan

Ketika malam makin senyap, kenangan masa kecil merambat masuk. Ia teringat halaman rumah di Bangkalan, tanah basah dengan bau laut yang lengket. Ayahnya seorang tukang perahu, ibunya menjual nasi jagung di pasar. Setiap pagi, Sarka kecil duduk di pojok lapak sambil menyalin kata-kata dari papan tulis di sekolah dasar ke buku usang.

Ayahnya pernah berkata, “Urip iku urup, Sar. Hidup itu harus menyala, harus memberi terang bagi yang lain.” Kata itu menempel seperti tatu, hanya saja ia sempat lupa ketika sibuk mengejar presentasi berlapis-lapis. Malam ini, di balik layar laptop, kalimat itu kembali menyala.

Ibunya juga sering berpesan, “Kalau jalanmu buntu, jangan malu untuk membuat jalan baru. Orang lain mungkin menertawakan, tapi jejakmu akan jadi penunjuk bagi yang datang kemudian.” Itulah yang kini ia lakukan. Reruntuhan penolakan menjadi cermin yang jujur.

.

Reruntuhan Jadi Cermin

Di apartemen mungilnya, lilin aromaterapi menyala. Presentasi yang ditolak ia buka lagi. Logo perusahaan ia hapus. Ia menulis ulang untuk dirinya sendiri. Reruntuhan kegagalan jadi cermin yang jujur.

Purpose — Untuk apa aku ada?

  • Misi: Menyambungkan potensi orang lain jadi jembatan.
  • Nilai: Keaslian, ketekunan, keberanian.
  • Visi: Menjadi penggerak diam di balik keberhasilan banyak orang.

Tangannya bergetar. Setiap huruf jadi doa. “Kalau aku tak bisa selamatkan strategi korporasi, setidaknya aku bisa selamatkan strategi hidupku,” bisiknya. Kata-kata itu melayang, hinggap di dinding sunyi.

.

Membuka Jalan dengan Sunyi

Esok paginya, ia mulai #MentorMinggu. Bukan proyek besar, hanya sesi daring singkat, tiap Minggu pagi. Undangan sederhana, tautan gratis. Lima orang hadir di pertemuan pertama. Lima wajah temaram di layar. Tapi sunyi mereka bukan kosong—ia penuh keresahan. Minggu kedua jadi sepuluh. Sebulan, seratus. Dari mahasiswa dropout, ibu rumah tangga, pekerja kantoran, hingga mantan narapidana.

Ada Taksin, pemuda yang kembali kuliah setelah dua tahun. Ada Laila, ibu yang menjahit kue hidup dari dapurnya. Ada Ardi, bekas napi yang kini mengajar soft skill di lapas. Cerita-cerita itu jadi bab baru yang tak pernah ia rencanakan, tapi kini bagian utuh peta.

“Hidup tak selalu dimulai dengan keberanian besar. Kadang ia berawal dari layar rapuh, suara bergetar, dan niat yang tak mau padam.”

.

Pertemuan dengan Diri Sendiri

Mentoring bukan hanya memberi. Ia menemukan dirinya di mata mereka. Semangat Taksin mengingatkan masa lalunya. Doa Laila seperti gema ibunya. Kegigihan Ardi jadi cermin bahwa semua orang layak jalan pulang. #MentorMinggu tumbuh bukan karena modal, melainkan karena konsistensi kecil. Agenda ia susun, pertanyaan ia siapkan, lalu laptop ia tutup dengan dada lega. Sunyi kamar berubah jadi paduan suara.

.

Panggilan Kantor, Panggilan Jiwa

Kantor memanggil lagi. Kali ini bukan untuk menambal strategi lama, melainkan untuk membangun sistem pengembangan SDM. Di ruang rapat yang sama, proyektor memantulkan cahaya lembut. Sarka menutup presentasinya dengan kata:

“Strategi yang bertahan lama bukan yang mengejar kemenangan tercepat, tapi yang membangun jalan pulang bagi banyak orang setelah kita tiada.”

Ruang hening. Hanya dengung AC. Tapi wajah-wajah di sana menunjukkan: mereka siap.

.

Ujian Sunyi

Tapi kota selalu menguji. Umar, salah satu peserta, sopir ojek, terserempet truk. Kaki patah, nafkah terhenti. Di kos sempit Tambora, Sarka datang membawa bubur. Umar menunduk, “Rencana tabungan tinggal rencana.”

Sarka menatap tulang yang dibebat, lalu menyalakan grup: kita eksekusi rencana. Kertala usul kopi seduh. Laila menjahit serbet bonus. Wandan menulis narasi hangat. Nurseta buat hitung-hitungan. Sabrang desain stiker. Dua minggu, 300 paket terjual. Tidak besar, tapi cukup. Umar tersenyum dengan mata basah.

“Ini bukan amal,” kata Sarka. “Ini strategi yang menolak menyerah. Kau tetap menyiapkan jalan pulang, hanya jalannya sementara berubah.”

Malam itu, Wandan menulis: Kadang hidup menabrak agar kita berhenti. Bukan menyerah, tapi menoleh siapa yang bersedia berjalan pelan bersama.

.

Suara yang Menyebar

Kabar #MentorMinggu tersebar. Ada yang memuji, ada yang sinis. Seorang influencer menyebut “pencitraan.” Sarka diam. Ia ingat pepatah Jawa: Ojo kagetan, ojo gumunan, ojo dumeh. Jangan kaget, jangan takjub, jangan sombong. Diamnya jadi tameng.

Namun diam punya harga. Ia tumbang di ruang rapat. Spidol masih menempel di telapak. Adaninggar, rekan setia, menutup laptop. “Tujuan tanpa ritme adalah lelah.” Sarka mengangguk, menulis: Bangun lebih pagi. Kurangi titik koma. Pelajari seni menutup layar.

.

Ibunda yang Tua

Suatu akhir pekan, ia pulang ke Bangkalan. Ibunya kini renta, rambutnya putih seperti kapas yang lupa dipanen. Mereka duduk di beranda, ditemani suara ayam dan angin laut.

“Bu, aku gagal banyak di kota,” kata Sarka, menatap tanah yang dulu jadi tempatnya bermain.

Ibunya tersenyum, keriputnya seperti peta yang ia kenal luar kepala. “Kalau gagal, berarti kau sudah mencoba. Dan kalau mencoba, berarti kau masih hidup. Yang mati itu bukan jasad, Sar. Yang mati itu kalau kau berhenti punya arah.”

Kalimat itu menggetarkan. Ia merasa pulang bukan sekadar ke rumah, tapi ke dirinya sendiri.

.

Epilog

Mentoring terus berjalan. Kantor makin percaya. Hidupnya seimbang dalam paradoks: siang rapat, malam menyalakan obor kecil di layar. Ia tak lagi haus pengakuan. Ia hanya ingin utuh.

Jakarta tetap gaduh. Tapi di ruang-ruang sunyi, strategi hidup sedang ditulis ulang. Sarka tahu, bukan angka yang ia menangkan, melainkan arah.

“Rencana yang baik bukan jendela untuk pamer pemandangan. Ia tangga yang kuat, tempat kita naik supaya bisa mengulurkan tangan.”

.

Pesisir yang Mengajari Garis

Sebelum peta hidup dicetak di layar, ia pernah belajar garis dari laut. Di kampung pesisir Bangkalan, ia kecil memungut serbuk kayu di kolong perahu ayahnya. Bau garam, getah, dan solar jadi parfum masa kecil. Ayahnya, lelaki yang jarang bicara, memasang pensil pendek di belakang telinga, mengukur papan dengan meteran kain yang angka-angkanya mulai pudar.

“Urip iku urup, Sar,” katanya suatu sore, ketika langit berwarna seperti jeruk yang diperas. “Hidup itu menyala agar bisa menghidupi.” Ia menggaris papan sekali saja, lurus, hemat, tanpa ragu. “Kalau kau banyak ragu, garismu bergelombang. Perahu bisa oleng.”

Sarka kecil berdiri di atas pasir lembab, menatap garis itu seperti mantra. Di kejauhan, kapal feri bergerak malas. Jauh di tahun-tahun itu jembatan belum berdiri; orang menyeberang dengan sabar, menukar waktu dengan selamat.

Ibunya menjual nasi jagung. Di dapur kayu, panci berbunyi seperti lonceng kecil. “Ajining diri dumunung ing lathi,” ucap ibu sambil menata sambal pencit. “Harga diri ditentukan dari lisan yang kau jaga.” Ia meletakkan piring di hadapan Sarka, mengusap rambutnya. “Kalau nanti kau pergi jauh, bawalah kalimat yang baik. Itu bekal yang tak habis.”

Di langit malam, bintang berdesakan. Sarka menempelkan telinga ke dinding papan yang masih hangat oleh tangan ayahnya. Dari serat-serat kayu itu, ia mendengar satu hal: yang ringkas sering kali yang paling kuat.

.

Dapur yang Mengajari Ritme

Bertahun kemudian, ketika #MentorMinggu sudah punya ratusan wajah, Sarka pulang. Bus menurunkan tubuh-tubuh lelah di terminal. Dari sana ia naik ojek, melewati hamparan garam yang memantulkan langit. Rumah panggung ibu kini dicat biru muda; pohon kelor tumbuh di halaman, meneduhkan kursi rotan yang mulai rapuh.

Di dapur, ibu mendidihkan air. Wajan mendesis; aroma bawang merah dan cabai merayap, menampar rindu. “Kau makin kurus,” kata ibu, bukan sebagai kritik, melainkan sebagai doa yang kehilangan kata kerja. Sarka tertawa, menaruh ponsel di meja, mengatur napas.

Mereka makan nasi jagung dengan ikan asin dan sayur bening daun kelor. Sendok bertemu piring, suara kecil mengisi jeda. Ibu menatap anaknya lama-lama. “Kau bekerja untuk banyak orang, tapi jangan lupa dirimu juga manusia.”

“Kadang aku ingin berhenti, Bu,” ujar Sarka, lirih. “Bukan karena lelah saja, tapi karena takut salah langkah.”

Ibu mengambilkan sarung hijau milik ayah, yang kini hanya tinggal anyaman kenangan. “Salah langkah itu bukan dosa kalau kau melangkah lagi,” katanya. “Hidup seperti menanak nasi. Ada saat api harus dikecilkan supaya matang sampai ke dalam.”

Sarka tersenyum, air mata tercecap di lidahnya—asin seperti laut masa kecil. Di ambang pintu, angin membawa suara adzan dari surau. Ia memotret dapur itu di dalam kepalanya: panci tua, uap yang bangkit perlahan, tangan ibu yang tenang. Ritme yang sejak dulu ia cari ada di sini: pelan, pasti, cukup.

“Kadang kita pulang bukan untuk menetap, melainkan untuk mengingat cara bernafas.”

.

Peta Menyentuh Lantai

Bekasi, dini hari. Di hub logistik yang luas, lampu merkuri memutihkan udara. Scanner barcode berbunyi bip-bip seperti metronom industri. Pallet jack meliuk di lorong-lorong; nomor-nomor rak seperti koordinat di peta perang. Sarka berjalan bersama Manggali, helm proyek menekan anak rambut di pelipis.

“Target hari ini?” tanya Sarka, suaranya menyesuaikan bising forklift.

“Dwell time turun 12%, mis-sort maksimal 0,3%,” jawab Manggali. “Tapi yang paling sulit adalah keluhan pelanggan: paket terlambat, kurir lelah.”

Sarka mengangguk. Ia mengumpulkan kurir dan petugas sortasi. Bukan untuk khotbah, melainkan untuk mendengar. Mereka berbicara tentang sepatu yang cepat aus, peta digital yang sering macet, rute yang memaksa mereka melawan jam bubar sekolah. Sarka menggambar segitiga di papan akrilik: puncak kecil untuk misi—“sampai tepat waktu, dengan cara yang aman dan bermartabat”; tengah untuk strategi—“atur ulang rute, shift rotasi, jeda napas tiga menit per jam”; dasar untuk eksekusi—“cek sepatu, cek air minum, cek baterai.”

Ia memperkenalkan Aturan Tiga Napas: ketika marah di jalan, berhenti di tempat aman, tarik napas tiga kali, lalu baru bicara—atau diam. Ia mengganti satu istilah di SOP: dari “penerima” menjadi “tuan rumah.” “Kita ini tamu,” katanya. “Kalau kita dianggap tamu yang baik, besok rumah itu akan mudah diketuk.”

Seminggu, sebulan, angka bergerak pelan. Dwell time turun 8%, lalu 11%. Mis-sort mengecil. Yang paling membuat Sarka lega adalah catatan kecil di meja satpam: seorang lansia menunggu kurir untuk diajak ngobrol sebentar setiap Kamis sore. “Bip-bip itu suara manusia,” kata satpam sambil tertawa. “Kalau kita dengar lama-lama, ada nada senangnya juga.”

.

Malam Saat Sarka Hampir Menyerah

Hujan besar menutup Jakarta. Atap hub bocor. Sistem melambat. Di layar ponsel, komentar sinis tentang #MentorMinggu muncul lagi. “Pamer keikhlasan,” tulis seseorang yang tak dikenal.

Sarka duduk di bangku plastik, menatap titik air yang jatuh dari langit-langit. Keletihannya mengental. Punggungnya seperti papan yang lupa diamplas. Dalam diam itu, pesan masuk dari Wandan:

“Kalau kau lelah menjadi pelita, ingat: pelita juga boleh dipadamkan sebentar—bukan untuk mati, melainkan untuk disiangi sumbunya.”

Ada juga foto Umar, kini tersenyum di warung kopi kecilnya dengan papan nama: Jalan Pulang. Di belakangnya, Laila menaruh stoples kue kering, Kertala mengecek suhu air seduh. Nurseta mengirim bukti transfer semester pertama kuliah ulang.

Sarka menutup mata. Ia mengingat suara ibu: kecilkan api supaya matang sampai ke dalam. Ia memutuskan mengambil cuti dua hari. Ia tidur. Ia bangun. Ia menulis tiga kalimat di kertas cokelat:

  1. Aku tidak perlu menaklukkan semuanya; cukup menunaikan bagianku.
  2. Kecepatan bukan ukuran kebenaran.
  3. Yang kecil jika konsisten, mengalahkan yang besar yang hanya datang sesekali.

Kertas itu ia tempel di kulkas, dekat magnet berbentuk perahu.

.

Surat untuk Lima Tahun Lagi

Malam Minggu. #MentorMinggu untuk pertama kalinya dibuat luring di aula kecil yang dipinjamkan klien. Kursi plastik disusun rapat, spidol menari di whiteboard. Di akhir sesi, Sarka duduk sendiri, menulis surat untuk dirinya lima tahun mendatang:

“Kalau kau membaca ini dan merasa ingin menyerah, periksa lagi misi. Apakah masih tentang jembatan? Kalau ya, pertahankan. Kalau tidak, beranilah mengganti arah. Jangan takut mengecilkan panggung, jangan malu memperlambat langkah. Berbicaralah secukupnya, bekerja seperlunya, mendengarlah sebanyak-banyaknya. Ukur keberhasilan dari sejauh apa yang paling rapuh menjadi kuat.”

Ia menutup surat itu, memasukkannya ke amplop, menuliskan tanggal. Adaninggar datang membawa dua gelas teh hangat. “Kau masih menulis?”

“Untuk lima tahun lagi,” jawab Sarka.

Adaninggar duduk. “Kalau lima tahun lagi aku masih di sini, tolong ingatkan aku juga.”

“Deal,” kata Sarka. Mereka tertawa, kecil, cukup.

.

Segitiga yang Menjadi Jalan

Di musala bawah jembatan layang, pertemuan kembali berlangsung. Gitar kecil dipetik; suara anak-anak mengeja huruf dari lembaran yang dibawa Nurseta. Wandan membaca potongan kalimat yang membuat orang menahan napas:

“Kita tidak sedang membuat peta untuk dipamerkan. Kita sedang berjalan pelan di garis yang kita gambar sendiri. Tak lurus pun tak apa, asal kita saling menuntun.”

Sarka berdiri, menatap orang-orang yang kini menjadi teman. Puncak: misi. Tengah: strategi. Dasar: eksekusi. Ia tak lagi melihat segitiga di layar; ia melihatnya di wajah-wajah di hadapannya. The Strategy Pyramid berubah dari bagan menjadi kebiasaan. Dari ilmu menjadi laku.

Malam merunduk. Jalanan tetap gaduh. Tapi di dada Sarka, ada hening yang sehat. Bukan sepi, melainkan ruang yang cukup untuk satu napas penuh.

“Rencana yang baik bukan jendela untuk pamer pemandangan. Ia tangga yang kuat, tempat kita naik supaya bisa mengulurkan tangan.”

.

.

.

Jember, 29 Agustus 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenInspiratif #StrategiHidup #CerpenUrban #MentorMinggu #PerempuanKuat #JakartaStory #KompasMingguStyle #JeffreyWibisonoV #Bangkalan #Logistik

Leave a Reply