Jam Tangan Ayah
“Waktu tak bisa kembali, tapi selalu bisa dibereskan—jika kita tega merapikan hati sendiri.”
.
Pagi di Jakarta bukan sekadar waktu, melainkan suara. Suara panci beradu di warteg yang baru membuka, suara pintu mobil berbunyi bip di parkiran kantor-kantor, suara televisi tetangga memutar berita cepat—kurs, cuaca, kecelakaan kecil di tol—dan suara langkah yang diseretkan sedikit lebih cepat dari biasanya. Di trotoar Kuningan, Wira Sagara menempelkan telapak tangan ke dada, mencoba merasakan apakah detak jantungnya mengikuti jarum jam tangan warisan ayahnya atau sebaliknya.
Jam itu sudah tua. Tali kulitnya retak seperti peta sungai yang mengering. Kaca mika sedikit buram, menampakkan goresan halus yang mengingatkan Wira pada garis-garis halus di wajah ayahnya, orang yang tak pernah sekalipun menanyakan kenaikan gaji; cukup bertanya “Sampun mangan, Ra?” dan dunia seketika terasa cukup.
Sejak ayahnya meninggal setahun lalu, jam itu menjadi hukuman sekaligus penawar. Hukuman karena Wira tahu telepon terakhir ayahnya tak diangkat—ia sedang “meeting penting”, kata otomatis yang keluar tiap istrinya, Sifa, menanyakan pulang jam berapa. Penawar karena setiap kali ia menatap jam itu, Wira seperti diajak duduk di beranda rumah kampung, ditemani pohon belimbing yang malas berbuah, sambil mendengar petuah paling sederhana: “Sing penting ra kepethuk wektu, nanging kepepet niat.” Bukan waktu yang langka, niat yang sempit.
.
Wira 38 tahun, manajer kreatif di sebuah agensi iklan yang kantornya memakai banyak istilah Inggris agar terlihat ramping dan futuristik. Mereka tak bilang “rapat”, tapi “stand-up”; bukan “cetak brosur”, tapi “roll-out asset”; bukan “kerja lembur”, tetapi “sprint”. Wira hafal semua istilah. Namun, dalam satu hal ia kalah telak: manajemen hidup.
Ia datang terlambat, sering kali dua puluh menit, kadang lima puluh. Bukan karena malas—karena bingung harus memulai dari mana. Ia membuka laptop, melihat 118 surel yang belum dijawab, 27 pesan di grup “Campaign Q4”, dan tiga pesan pribadi dari Sifa: “Alya paginya susah makan.” “Nanti tolong belikan susu.” “Pulang jam berapa?” Pesan terakhir ia baca, lalu menutup ponsel seolah dengan begitu pertanyaan akan surut sendiri.
Di layar, Wira membuka aplikasi manajemen tugas yang sempat ia unduh saat resolusi tahun baru. Ada tab “Priority”, “Someday”, dan “Maybe”. Semua terasa “Priority”, semua pula “Someday”. Maybe adalah nama tengahnya.
.
Malam itu, hujan turun seperti jarum-jarum tipis yang rajin. Di ruang tamu rumah kontrakan di Tebet, Wira tertidur dengan lampu menyala. Di pergelangan, jam ayahnya tetap setia berdetik. Dalam mimpinya, Wira berada di dapur rumah kampung. Ayah duduk di kursi rotan, menyeduh teh tubruk. Uapnya naik, membuat kaca jendela berembun.
“Ra,” kata ayah tanpa menoleh, “kowe dudu ora duwe wektu. Kowe mung ora duwe papan kanggo wektu.”
Wira diam.
“Gawe papan. Siji-siji.” Buatlah ruang. Satu-satu.
Ketika Wira terbangun, jam menunjukkan 03.32. Ia duduk, menatap gelas kosong di atas meja seperti menunggu teh muncul dengan sendirinya. “Buat ruang,” gumamnya. Ia meraih buku tulis yang pernah dibelikan Sifa—sampulnya bergambar gunung, tulisan tebal: Make Room for Meaning. Ia menggambar kotak-kotak, membagi hari seperti lumbung padi: 08.00–10.00 deep work; 10.00–11.00 evaluasi; 11.00–11.15 ngaso; 11.15–12.30 tugas cepat; 13.30–15.00 koordinasi; 15.00–15.10 ngaso; 15.10–16.30 kolaborasi.
Ia menulis di atasnya: TIMEBOXING. Di bawahnya, ia coretkan kalimat: “Saben kotak, siji urusan. Nyawiji.” Setiap kotak, satu urusan. Menyatu.
.
Pukul 07.00, Jakarta belum sepenuhnya bangun, tapi Wira sudah menyetrika kemeja putihnya sendiri. Sifa terkejut. “Ada audit ya?”
“Enggak. Ada hidup,” jawabnya, setengah bercanda, setengah sungguh-sungguh.
Di kantor, ia datang paling awal. Petugas kebersihan memandangnya heran. Wira duduk, membuka laptop, menulis di catatan: FROG: Dashboard pitch bank digital — SELESAI sebelum jam 10.00. Ia mematikan notifikasi, memakai headphone, dan membiarkan jarum jam menari di pergelangan tanpa menakutinya.
Jam 09.42, deck presentasi selesai. Jernih. Ringkas. Ia menyelipkan satu halaman yang biasanya ia lupakan: “Apa yang tidak akan kami lakukan.” Di situ, ia menolak tiga taktik klise yang biasanya disukai klien. “Sing penting trep, dudu akeh,” tulisnya kecil di pojok—yang penting tepat, bukan banyak. Ia kirim ke bosnya, Joko Tole—orang Madura dengan candaan yang bisa mengurai stres tim secepat hujan mereda.
“Wah, Wira bangun subuh ya? Sudah jadi. Bagus!” balas Joko dalam dua menit. Wira tersenyum. Dua menit adalah usia baru untuk harapan.
.
Di jam ngaso, Wira benar-benar keluar dari ruangan. Bukannya menatap ponsel, ia berjalan ke balkon kantor. Dari situ, ia melihat serpih-serpih matahari menempel di kaca gedung sebelah. Jakarta dari atas tampak seperti kolase: atap seng, atap genteng, kubah masjid, papan reklame, dan garis MRT yang baru saja menelan kereta ke arah Lebak Bulus.
Di bawah, ada tukang bubur mengejar pembeli, ada sepasang karyawan—Sukma dan Parman, entah dari divisi mana—berbagi bungkusan risol. Ada pula tukang parkir yang tertidur sebentar sambil duduk, wajahnya ditutupi topi. Wira belajar dari pemandangan itu bahwa kota ini bukan cuma jam yang besar. Kota adalah orang-orang kecil yang membuat jarum jam berarti.
.
Di rumah, Wira memasang papan putih di dinding dekat kulkas. Ia menulis empat kolom: To-Do, Lagi Dikerjakan, Menunggu, Selesai. Kanban Board ala dapur. Sifa memandang geli.
“Biar Alya tahu juga kalau PR gambar itu ‘Menunggu’ atau ‘Lagi Dikerjakan’,” kata Wira.
Alya tertawa, menunjuk stikernya yang bergambar kucing. “Yang ini ‘Selesai’ kalau aku udah makan sayur.”
Malam itu mereka makan tumis kangkung buatan Sifa. Wira memuji—bukan basa-basi. “Terima kasih sudah tetap memasak ketika aku pulang larut,” ucapnya pelan. Sifa menatapnya beberapa detik, senyum di sudut matanya seperti menolak lahir terlalu cepat. “Kamu berubah?”
“Aku belajar memberi ruang,” jawab Wira.
.
Keesokan harinya, Joko Tole mengajak tim stand-up pagi. “Kita main 1–3–5,” katanya. “Hari ini satu tugas besar, tiga sedang, lima kecil. Jangan kebalik.” Wira mencatat, menertawakan dirinya sendiri yang selama ini memulai dengan lima kecil agar merasa produktif, lalu kehabisan tenaga untuk satu besar.
Di sela rapat, Joko bercerita tentang ibunya di Pamekasan. “Lihat jam itu, Ra. Jarum pendek itu pelan, jarum panjang itu rame. Tapi yang menentukan hari itu jarum pendek.” Wira mengangguk. Jarum pendek adalah visi, jarum panjang taktik—dan selama ini ia hidup sebagai jarum kedua.
.
Tidak ada perubahan yang tanpa cobaan. Satu minggu pertama, Wira hampir tergelincir kembali ke pola lama ketika seorang klien besar mendadak meminta revisi pada malam sebelum presentasi. “Bisa selesai jam sembilan pagi?” tanya mereka tanpa rasa bersalah.
Dulu, Wira akan mengiyakan, menatap layar sampai mata memerah, mengira loyalitas adalah meniadakan istirahat. Malam itu ia menimbang dengan Eisenhower Matrix di kepalanya: mendesak—ya, penting—belum tentu. Ia menghubungi Joko, mengusulkan dua pilihan: revisi sebagian yang berdampak, atau reschedule dua jam. Ia menambahkan data kecil dari riset internal yang menunjukkan revisi pada malam terakhir sering menurunkan kualitas 20–30 persen.
“Berani juga kamu, Ra,” kata Joko. “Kirim ke klien.”
Mereka setuju untuk reschedule satu jam. Pagi itu presentasi berjalan mulus, bukan sempurna, tetapi jujur. Wira belajar, “Urgent ora tansah penting.” Mendesak tidak selalu penting.
.
Di sela perubahan rutinnya, Wira menyimpan satu ruangan khusus—ruang sunyi—untuk ayahnya. Bukan altar, bukan foto, melainkan sepuluh menit sebelum tidur. Ia menulis tiga baris: apa yang terjadi hari ini, apa yang ia syukuri, apa yang akan ia perbaiki besok. Ia memberi nama ritual itu “Manembah”, bukan dalam arti ritual sakral, melainkan menundukkan dada untuk hal-hal yang tak terlihat: niat, sabar, ketepatan.
Pada hari-hari tertentu, ketika rindu mencolek seperti anak kecil yang minta diajak bermain, Wira memutar kaset tua suara ayahnya yang dulu ia rekam di ponsel—nasihat tentang membeli sayur segar dan cara menawar yang tidak menyakiti hati penjual. Hal-hal remeh yang tiba-tiba berubah menjadi pelajaran manajemen: membeli yang perlu, bukan yang ingin; tawarlah secukupnya, sisakan ruang untuk senyum.
.
Suatu Sabtu, Wira mengajak Sifa dan Alya ke Kota Tua. Mereka naik MRT dari Bendungan Hilir, turun di Bundaran HI, transit ke KRL, dan berjalan kaki pelan-pelan di koridor yang bau cat baru. Alya memeluk tangan ayahnya sepanjang jalan, kadang-kadang meloncat seperti batu kecil yang belajar menjadi hujan.
Di Museum Fatahillah, Wira berdiri di depan jam dinding besar yang entah sudah berapa kali diganti mesinnya. Sifa memotret mereka bertiga. “Terserah ya, caption-nya,” kata Sifa.
Wira menulis di ponselnya: “Waktu yang baik bukan waktu yang cepat, melainkan waktu yang kita tahu untuk apa.”
Alya tertawa melihat patung-patung. “Ayah, kalau waktu bisa berhenti, mau berhenti di kapan?”
Wira menatap jam tangan ayahnya, lalu pipi Alya yang merah digigit matahari. “Di sini. Di dekatmu.”
.
Kabar dari kantor: pitch bank digital dimenangkan tim Wira. Bukan angka besar, tapi cukup jadi telaga untuk tim yang selama ini merasa berlari di gurun. Joko menepuk bahunya. “Kamu jadi Wira lagi.”
“Aku baru sadar, Pak—eh, Mas Joko,” Wira mengoreksi, “kita sering membayar terlalu mahal untuk hal-hal yang sebenarnya bisa kita tolak.”
“Ya. Menolak juga pekerjaan.”
Mereka merayakan kecil-kecilan di warung soto seberang kantor. Porsi sedang-sedang saja, sambal dua sendok. Pekerjaan besar sering tak butuh pesta besar; ia hanya butuh orang-orang yang rela mencuci piring bersama setelahnya.
.
Di rumah, Kanban Board dapur menjadi obrolan baru tamu-tamu yang datang. Ada tetangga, Paiman, supir taksi daring, yang ikut menempel sticky note: “Perpanjang SIM — 2 menit aturan.” Wira menertawakan istilah campur-sari itu. Ia menjelaskan 2-minute rule: kalau bisa selesai dalam dua menit, lakukan sekarang. Paiman mengangguk, pulang, dan benar-benar memperpanjang SIM hari itu juga.
Sifa menempel catatan: “Telepon Ibu — Minggu pagi.” Alya menempel gambar matahari kecil di kolom Menunggu untuk mengingatkan ayahnya bersepeda minggu depan. Papan itu seperti kampung kecil di dinding—setiap warganya menunggu giliran, setiap giliran punya senyumnya sendiri.
.
Malam-malam Wira kembali didatangi ayah, bukan dalam mimpi panjang, hanya sekilas—sebuah ingatan yang menyelinap seperti angin dari celah jendela. “Ora usah mlayu ngoyak esuk,” kata ayah di ingatan itu, “gawe jadwal, enggal rampung, lan salam karo wong-wong sing mbantu uripmu.” Jangan berlari mengejar pagi; buat jadwal, selesaikan lebih cepat, dan sapa orang-orang yang membantumu hidup.
Pagi berikutnya Wira membawa dua bungkus lontong sayur untuk petugas kebersihan kantor. Bukan karena murah hati, tapi karena mengerti bahwa jarum jam kota digerakkan banyak tangan—beberapa tak pernah terlihat di layar KPI.
.
Musim berganti. Hujan memberi ruang pada panas. Wira tidak menjadi manusia baru; ia masih sesekali tergelincir, membuka media sosial lebih lama dari yang ia akui, mengiyakan hal-hal yang seharusnya bisa ia tangguhkan. Namun, jam di pergelangannya kini bukan lagi palu hakim. Ia adalah metronom untuk lagu yang ingin ia mainkan pelan-pelan: lagu yang mengingatkan bahwa “sing sithik-sithik dadi bukit” bukan ajakan menumpuk kerja, melainkan ajakan memahat kebiasaan.
Pada suatu sore, Sifa menemukan Wira di halaman belakang, membetulkan sepeda Alya. Keringat mengilap di pelipisnya. “Kalau ayahmu lihat kamu sekarang, kira-kira apa dia bilang?”
Wira tersenyum. “Beliau pasti bilang, ‘Jam sak iki apik, Ra. Nanging ojo nganti jam sing nang njero awak mandheg.’” Jam-mu sudah baik; jangan biarkan jam di dalam dirimu berhenti.
.
Di ulang tahun pernikahan mereka yang kedelapan, Wira menulis surat pendek untuk Sifa. Ia tidak pandai kata-kata romantis, tetapi ia belajar dari Getting Things Done bahwa yang tidak ditulis sering hilang di lorong waktu.
Sifa,
Terima kasih sudah mengizinkanku belajar terlambat sampai aku menemukan cara untuk datang tepat. Terima kasih untuk ruang yang kau jaga ketika aku sibuk membangun dinding. Hari ini aku berjanji hal sederhana: jam 6 sore, pulang. Kalau bisa lebih cepat, lebih cepat. Kalau tak bisa, aku jujur. Kita akan kalah oleh waktu hanya jika kita berhenti berbicara satu sama lain.
W.
Sifa membalas dengan sebaris kalimat yang membuat Wira menatap langit lebih lama dari biasanya: “Aku tidak butuh kamu pulang cepat setiap hari. Aku butuh kamu pulang dengan hati yang tinggal.”
.
Suatu hari Minggu, mereka bertiga pergi ke Makam Ayah di kampung. Perjalanan panjang—kereta, bus kecil, ojek. Udara desa menampar lembut, mengusir sisa-sisa karbon di paru-paru. Di bawah pohon sawo, Wira meletakkan jam tangan di atas nisan sebentar, seperti menukar nadi—sejengkal saja—agar ayah merasakan ritme hidup cucunya.
“Aku masih sering salah, Yah,” bisiknya. “Tapi aku belajar menolak yang tak perlu, menyicil yang perlu, dan mengosongkan ruang untuk yang paling perlu.” Angin bergerak, pelan, seperti orang tua yang mengangguk.
Alya berlari mengumpulkan bunga kamboja yang sudah jatuh. Sifa duduk tak jauh, memotret tanpa suara. Di jalan pulang, Wira menatap jamnya; jarum pendek berada di angka tiga. Sebuah sore yang lebih panjang dari biasanya, karena mereka memberi tempat bagi sore untuk tinggal.
.
Di kantor, Wira mulai berbagi. Ia membuat sesi kecil setiap Jumat: “Jam, Jalan, Jiwa.” Ia bercerita soal 80/20—bahwa hal paling penting sering kali sedikit, tapi perlu dibela. Ia mengajak tim mencoba flowtime—bekerja mengikuti ritme fokus sendiri, bukan alarm. Ia mengajarkan 2-minute rule untuk hal-hal kecil yang membuat hari terasa lapang. Ia mengenalkan task batching—mengelompokkan pekerjaan sejenis agar otak tidak pindah jalur terlalu sering.
Seorang staf baru, Rengganis, bertanya, “Mas, kalau semua ini cuma trik, apa bedanya dengan motivasi yang umurnya tiga hari?”
Wira tertawa. “Bedanya, trik bisa lupa, kebiasaan bisa tinggal. Pilihlah yang bisa tinggal.”
.
Ketika proyek kuartal selesai, Wira tidak merayakannya dengan pesta besar. Ia mengantar Alya les renang, membelikan Sifa martabak tipis, dan menonton film lama di rumah: cerita tentang sopir taksi yang belajar menghafal jalan. Filmnya biasa saja, tapi kemanusiaannya utuh.
Di tengah film, ponselnya bergetar. Pesan dari nomor tak dikenal: “Mas Wira, saya Paiman. SIM sudah jadi. Barangkali kalau ada part time buat jaga kantor malam, saya siap. Wayahe ngatur wektuku.”
Wira membaca sambil tersenyum: waktuku. Kata yang sederhana namun sulit dipakai dengan jujur.
.
Suatu malam listrik mati. Rumah seketika jadi gelap, hanya suara serangga dan napas kecil Alya yang terdengar dari kamar. Wira dan Sifa duduk di lantai ruang tamu, menyalakan lilin. Bayangan mereka memanjang di dinding, seperti dua orang yang sedang berbaris menunggu giliran dipanggil masa depan.
“Kalau waktu benar-benar bisa diambil kembali,” kata Sifa, “apa yang ingin kamu ulang?”
Wira diam lama. “Telepon terakhir Ayah,” jawabnya akhirnya. “Aku ingin angkat. Sekalipun hanya untuk bilang, ‘Ayah, aku di sini.’”
Sifa menggenggam tangannya. “Kamu sudah mengangkatnya sekarang.”
Jam di pergelangan berdetik; malam menjadi tempat yang tidak menakutkan.
.
Esoknya listrik kembali. Kehidupan meneruskan iramanya. Di papan Kanban, Wira memindah satu sticky note besar dari kolom Lagi Dikerjakan ke Selesai: “Belajar memaafkan diri sendiri—batch harian.” Ia tertawa kecil pada pilihan katanya—memaafkan pun ia batching. Tetapi apa boleh buat; ada kebiasaan yang harus dipermudah agar mau lahir.
.
Wira bukan pahlawan. Ia hanya orang kota yang memutuskan tidak lagi bersekongkol dengan kebingungan. Kalau ia berjalan lebih pelan di trotoar pagi, bukan karena pegal, melainkan karena ingin mengucap terima kasih pada penjual koran yang tersisa. Kalau ia menolak rapat jam delapan malam, bukan karena malas, melainkan karena tahu rumahnya juga kantor bagi hatinya.
Kalimat-kalimat ayahnya kini berpindah tempat: dari beranda kampung ke catatan-catatan kecil yang ia selipkan di dompet, di belakang ponsel, di laci kantor. “Sing penting ngelakoni, ora mung nerangake.” Yang penting menjalankan, bukan hanya menjelaskan. “Wektu kuwi kanca sing setya yen kowe setya.” Waktu adalah kawan yang setia jika engkau setia.
.
Di suatu pagi yang cerah, Wira menatap jam tangan ayahnya. Ia memutar kenop kecil, bukan karena jamnya macet, tetapi karena ia ingin mengingat sensasi memulai: bunyi klik halus, jarum yang bergerak, hati yang ikut beranjak. Ia membayangkan ayah mengangguk di seberang beranda, sambil meneguk teh hangat: “Wis wayahe kerja, Ra. Ojo ngenteni semangat teka, gaweane sing narik semangat.” Sudah waktunya bekerja. Jangan menunggu semangat datang; kerjakan dulu, nanti semangat menyusul.
Wira tersenyum. Ia merenggangkan tubuh, menghela napas. Di luar jendela, Jakarta bersiap menelan dan melahirkan jutaan cerita lagi. Di dalam rumah, jam kecil di pergelangan menepuk pelan nadi Wira, seperti teman lama yang tak pernah benar-benar pergi.
Dan hari itu, seperti hari-hari lainnya, Wira memulai dengan kalimat pendek yang perlahan menjadi doa: “Rebut kembali waktumu, supaya hatimu menemukan jalan pulang.”
.
.
.
Jember, 24 Agustus 2025
.
.
#CerpenIndonesia #Humanisme #PituturJawa #ManajemenWaktu #UrbanLife #Keluarga #Refleksi #Produktivitas