Kota yang Belajar Memimpin Dirinya

“Di kantor, yang sering saling salah kira bukan niat, melainkan cara.
Yang tua mengira sabar adalah diam, yang muda mengira berani adalah melawan.
Padahal keduanya bisa sama-sama belajar: memimpin diri.”

.

Pagi di Jakarta seperti layar ponsel yang tak pernah tidur: notifikasi, klakson, dan dengung pendingin ruangan menyatu seperti latar musik yang memaksa semua orang bergegas. Di trotoar Sudirman, Samudra—anak rantau dari pesisir—menyelinap di antara kemeja putih dan ransel hitam. Rambutnya pirang pucat, kaosnya kelabu, sepasang earbud meneteskan lagu yang ia pakai untuk menambal rapuh jam tidurnya.

Di lift kaca lantai 23, pantulan wajahnya berlapis-lapis: satu lelah, satu penasaran, satu lagi seperti hendak berkata sesuatu yang tak jadi. “Hari ini tenang, Sam,” katanya pada dirinya sendiri. “Tenang itu juga aksi.”

Kantornya—Menak Digital—perusahaan konsultan merek yang sedang naik daun. Di resepsionis, neon biru menuliskan moto: “Brands that lead themselves lead the market.” Samudra selalu geli: slogan itu terdengar gagah, tapi di lorong-lorongnya, orang sering tak tahu harus memimpin apa, apalagi memimpin diri.

Rapat pagi dimulai. Amir, kepala divisi—wajahnya teduh tapi tatapan tajam—membuka slide. “Angka engagement turun 37% dalam tiga minggu,” katanya. “Kampanye #TetapMudaTetapSadar tidak tembus target.”

Di sudut, Widaningrum dari People & Culture mencatat cepat. Di meja seberang, Jaenal—analis data—menggeser kacamata. Ratnasari—account lead—menghela napas pelan, jemari mengetuk-ngetuk meja, ritme cemas yang ingin disembunyikan.

Samudra mengangkat tangan. “Pak, tren audio di platform X berubah. Hook sekarang harus 0–2 detik, bukan 3–5. Kita perlu format baru: looping micro-story, duet challenge, dan collab dengan niche creator.”

Amir menatap, tenang namun padat. “Kita bukan klub eksperimen. Kita pegang anggaran klien. Buktinya apa? Jangan sekadar rasa-rasa Gen Z.”

Di layar, grafik merah turun seperti hujan sore. Di dada Samudra, sesuatu ikut turun. Bukan hanya karena ditegur, tapi karena merasa tak dipercaya. Di notes ponselnya ia mengetik cepat: Masalah organisasi tentang Gen Z bukan sekadar gap usia—ini tentang cara memimpin diri di ruang yang tak memberi ruang.

.

Malamnya, dari atap kos di Setiabudi, citylight seperti peta saraf raksasa. Samudra membaca ulang pesan dari ibunya: “Nang, ingat, nek wes cape, ojo sak kenemu dibalasi. Wong urip kudu bisa ngelola loro lan bungah.” Di sebelah teks itu, ia menyimpan kutipan yang baru ia temukan: “Sebelum memimpin orang lain, pimpinlah dirimu sendiri.” Ia diam. Kalimat tersebut seperti cermin yang menolak diselimuti kabut. Selama ini ia menunggu organisasi memberi ruang; barangkali ia sendiri belum mencipta ruang di dalam.

Ia menuliskan tiga hal di kertas cokelat bekas bungkus nasi uduk:

  1. Kesadaran diri – apa kekuatanku? apa luka bawaanku?

  2. Pengaturan diri – bagaimana aku mengelola marah, takut, ragu?

  3. Keberanian mengambil keputusan – kapan berhenti meratapi dan mulai mencoba?

Ia teringat kisah lama yang pernah diceritakan kakeknya—tentang Amir, sang kesatria Menak, yang menempuh jauh bukan untuk menaklukkan musuh di luar, melainkan di dalam dada. “Jalan kepemimpinan itu seperti menyeberang kali,” kata kakeknya. “Airnya tak selalu bening, tapi kamu tetap harus memutuskan pijakan.”

Esoknya, ia mempraktikkan pijakan itu.

.

Adegan filmis dimulai dari hal sepele: Samudra datang lima belas menit lebih pagi dari biasanya. Ia menata meja. Di layar, bukan timeline media sosial dahulu yang ia buka, melainkan doc kosong bertajuk “Rencana Eksperimen 14 Hari: #MenakBelajarPimpinDiri”. Ia memetakan: alasan, hipotesis, metrik, skenario buruk. Ia menulis data kecil yang ia curi dari insights gratisan. Ia merekam dua micro-story—satu tentang anak kos merantau, satu tentang pekerja yang menunda mimpi karena cicilan—durasi 12 detik, hook di 1.2 detik, CTA di 10 detik.

Saat rapat siang, ia tidak lagi menyanggah saat Amir memaparkan temuan. Ia menunggu. Lalu dengan tenang mengangkat tangan. “Izin, Pak. Saya tak minta anggaran. Saya minta izin menguji proof of concept di akun dummy. Dua minggu, dua puluh konten. Metriknya jelas. Kalau gagal, saya belajar. Kalau tembus, kita kloning ke klien. Saya siap bertanggung jawab.”

Amir menghela napas. “Kenapa harus kamu?”

“Karena yang paling cerewet harus yang paling duluan bertindak,” jawab Samudra, menahan senyum.

Hening sesaat. Amir mengangguk pelan. “Dua minggu. Dokumenasikan.”

Di wajah Jaenal, ada kilat geli—campuran dukungan dan seloroh. Ratnasari melirik Widaningrum. Di ujung meja, lampu neon memantul di gelas-gelas bening. Hal kecil terjadi: kepercayaan yang tidak diumumkan, hanya dirasakan.

.

Di luar jam kantor, Samudra mengumpulkan beberapa teman—Ninggar, Raras, dan Jayeng—di kafe kecil yang menyetel lagu city pop dari speaker mini. Mereka membangun peer group kecil bernama Komunitas Menak Muda. Ritualnya sederhana: setiap Sabtu sore, satu orang mempresentasikan kegagalan minggu itu, satu orang mempresentasikan kemajuan. Tidak ada tepuk tangan untuk keberhasilan yang kebetulan; tepuk tangan justru untuk keberanian mengakui yang tak berjalan.

“Self-leadership bukan solo show,” kata Widaningrum saat ia bergabung sebagai mentor tamu. “Itu kerja sunyi yang membuatmu sanggup berdiri di tengah ramai.”

Di atas meja kafe, ada sticky notes warna-warni: Trigger marah?—ditolak tanpa penjelasan. Respon sehat?—tanya waktu diskusi, minta kriteria. Langkah 24 jam?—rapikan proposal, sertakan data. Di sudut, cermin kecil memantulkan wajah-wajah yang sedang belajar menjadi dewasa, tanpa kehilangan berani.

.

Di Menak Digital, perubahan Samudra pelan-pelan terlihat. Ia bukan lagi pemuda yang meledak ketika ide dipatahkan. Ia menyalakan layar, menampilkan dashboard kecil. “Ini dummy account yang saya jalankan, Pak,” katanya pada Amir. “Dua puluh konten, CTR rata-rata naik dari 0,7% jadi 2,3%. Completion rate video 12 detik menembus 67%. Komentar organik menyebut ‘terasa dekat’.”

Amir menatap grafik. “Siapa yang mengajarkan kamu merangkum seperti ini?”

“Kesalahanku minggu lalu,” jawab Samudra.

Amir nyengir tipis, nyaris tak terlihat. “Kau tahu, dulu saya juga pernah seperti kamu. Bedanya, kami tak punya dummy. Kami gagal langsung di papan iklan.”

Di momen itu, jarak generasi seperti jalan layang sore hari: ramai tapi menyediakan jalur bertemu.

.

Masalah organisasi tentang Gen Z—begitu judul catatan yang Widaningrum siapkan untuk sesi internal—tidak berhenti pada stereotip. Di ruangan town hall, ia menampilkan beberapa kalimat yang ditulis anggota tim:

  • “Kami benci perintah tanpa konteks.”

  • “Kami butuh tolak ukur yang jelas, bukan ‘pokoknya cepat’.”

  • “Kami siap lembur untuk hal yang kami pahami gunanya.”

Amir maju. “Dari sisi saya,” katanya, “yang membuat saya cemas adalah tanggung jawab yang tidak tuntas, alasan mental health untuk menunda hal yang sebenarnya bisa dipecah kecil-kecil.” Ia berhenti, menatap Samudra. “Tapi saya belajar membedakan: mana yang benar-benar beban kesehatan mental, mana yang kurangnya scoping pekerjaan.”

Di dinding belakang, sinar matahari memantul seperti pita. Seseorang menutup tirai, ruang meredup, ketegangan juga.

“Organisasi,” kata Widaningrum, “adalah gelanggang belajar memimpin diri. Tanpa itu, semua teknologi hanya jadi lampu-lampu tanpa listrik.”

.

Dua minggu berlalu. Eksperimen Samudra mendapat restu kloning. Klien hotel—Lotus Atap—memberi ruang tes di akun samping. Samudra memimpin tim kecil, menamai war room mereka Posko Wira—mengambil spirit nama Amir Hamzah sang Menak yang tangguh. Di papan tulis: Story bank, creator map, komentar paling jujur pelanggan, kata yang mereka pakai ketika senang dan kecewa.

Malam pertama, hujan turun. Di kaca, lampu kota lumer. Jayeng merekam micro-story di lobi hotel: suara kop yang menetes, tawa pelan resepsionis, sepatu basah tamu yang seperti menunggu alasan untuk tinggal. Raras mengetik teks pendek: “Kamu capek? Kami tidak akan menghilangkan lelahmu. Kami hanya ingin menaruhnya sebentar di bantal yang bersih.”

“Jangan melebih-lebihkan,” kata Ratnasari. “Faktual, dekat. Kita bukan menjanjikan langit.”

“Justru,” jawab Samudra. “Kita jujur: hotel tak menyelesaikan hidupmu, tapi bisa menata napasmu.”

Amir berdiri di ambang pintu, memperhatikan tanpa banyak suara. Matanya membaca pola: anak-anak ini tidak sekadar mahir trend, tetapi juga mengelola diri. Ada disiplin baru: standup pagi 9 menit, retrospektif Jumat 20 menit, kartu keputusan siapa melakukan apa—ditandatangani sendiri.

.

Krisis datang bukan sebagai musuh, melainkan ujian. Tiga hari sebelum kampanye utama, sistem iklan salah targeting—biaya membengkak, segmentasi melenceng. Notifikasi memerah. Ratnasari memandang layar seperti menatap jam dinding di ruang tunggu rumah sakit.

“Kita pause dulu,” kata Amir. “Kita bernafas. Lalu kita bertanggung jawab.”

Samudra mengangkat tangan. “Saya minta izin maju dulu ke klien, Pak. Saya yang jelaskan kesalahan, saya yang ajukan perbaikan.” Ia menelan ludah. “Ini kesalahanku.”

Amir menatapnya lama. “Kita maju bersama.”

Di ruang klien, wangi kopi robusta. Manajer pemasaran hotel, Harja, duduk bersedekap. “Kami dikejar availability kamar. Kalau promosi meleset, pick up bisa jebol.”

Amir bicara dulu, jernih dan tidak berputar. “Ada kekeliruan teknis. Kami bertanggung jawab penuh. Ini rencana pemulihan 72 jam, dengan content burst organik yang sudah menunjukkan traction di eksperimen. Kami minta kesempatan memperbaiki.”

Harja diam. “Anak-anakmu siap lembur?”

“Kami tidak menyebutnya lembur. Kami menyebutnya menebus yang kami lewatkan,” sahut Samudra, suara stabil.

Mata Harja bergerak pelan, seperti menilai kerapian setrika di kerah baju orang. “Baik. Tiga hari. Jangan bicara lagi, tunjukkan.”

.

Tiga malam itu, kantor seperti kapal kecil di tengah badai, tapi nakhodanya bukan satu orang. Semua orang memimpin bagiannya. Jaenal merapikan data, Raras menulis ulang copy berdasarkan komentar organik, Jayeng menjaga ritme unggah, Ratnasari mengatur komunikasi klien, Amir mengawal keputusan-keputusan sulit: apa yang dibuang, apa yang dipertahankan.

Di pukul 02.11, Samudra seorang diri di pantry, memandangi lampu kota. Ia mengingat kalimat pembuka yang ia tulis di catatan: “Yang paling cerewet harus paling duluan bertindak.” Ia tersenyum, pahit dan manis bersamaan. Ponselnya bergetar: pesan dari ibunya—foto padi muda, hijau dan sederhana. “Nang, padi nek isi tambah nguntap.” Semakin berisi, semakin menunduk. Ia menunduk pada kopi, lalu kembali ke layar.

Pagi ketiga, dashboard menampilkan sesuatu yang seperti matahari kecil: CTR menanjak, completion rate bertahan, comment organik menyebut kata “jujur”, “dekat”, “kayak diajak ngobrol.” Harja menulis pesan satu kalimat ke grup: “Lanjutkan. Bukan karena paling hebat, tapi karena paling bertanggung jawab.”

Amir menatap Samudra. “Kamu memimpin diri dengan baik,” katanya singkat.

Samudra mengangguk. “Saya hanya menyalakan lampu bagian saya.”

.

Sesi town hall bulan itu berubah menjadi semacam perayaan yang tenang. Di layar, Widaningrum menampilkan poster berjudul Pranatacara Menak—Memimpin Gen Z. Bukan aturan kaku, melainkan undangan cara bersikap:

  1. Berikan konteks, bukan hanya perintah. Anak muda bisa berlari jauh bila tahu arah.

  2. Setel ekspektasi sebagai perjanjian, bukan ancaman. Tulis jelas: siapa melakukan apa, kapan, bagaimana kita tahu selesai.

  3. Rawat ruang umpan balik dua arah. Kritik tanpa menghinakan, mengakui tanpa membebani.

  4. Pisahkan antara beban personal dan kebiasaan menunda. Sediakan dukungan, sekaligus disiplin.

  5. Rayakan tanggung jawab, bukan hanya hasil. Hasil bisa dipengaruhi keberuntungan; tanggung jawab adalah pilihan.

Amir menambahkan dari ujung ruangan, suaranya tidak tinggi, tapi memantul jauh. “Dan dari saya—belajar meminta maaf lebih cepat ketika salah menilai. Ternyata belajar memimpin Gen Z dimulai dari belajar memimpin ego sendiri.”

Di kursi baris kedua, Samudra mencatat tiga hal untuk dirinya sendiri—versi Tiga Kompetensi Inti Self-Leadership yang ia rasa paling menempel:

  • Jernih atas niat. Setiap mengusulkan ide, ia menuliskan niatnya satu kalimat: ‘Agar pelanggan merasa…’ Bukan ‘agar saya terlihat…’

  • Tahan terhadap guncang. Ia memasang jeda 6 napas sebelum membalas pesan yang mengusik.

  • Berani menutup bab. Ia belajar mengatakan selesai meski tidak sempurna, kemudian memperbaiki di iterasi berikut.

.

Kota tidak berubah banyak—macet, awan abu, push notification bersusun. Namun di Menak Digital, ada kebiasaan baru yang pelan dan keras kepala: check-in perasaan di awal rapat (“aku gelisah,” “aku senang,” “aku lelah”), definition of done yang tidak lagi kabur, retrospektif yang memberi ruang “paling ingin diperbaiki oleh diriku sendiri.”

Suatu senja, setelah town hall, Amir berjalan bersama Samudra di trotoar yang dipenuhi pekerja pulang. Warna langit memudar seperti jaket denim usang. Suara azan menyelinap di sela gedung. Mereka berhenti di jembatan penyeberangan; angin tipis, kendaraan mengalir seperti sungai lampu.

“Kamu tahu,” kata Amir, “waktu seumur kamu, saya pikir memimpin itu soal suara paling keras di ruangan.”

“Dan sekarang?” tanya Samudra.

“Sekarang saya tahu suara paling keras adalah yang mampu menenangkan diri dulu. Saya sedang belajar.”

Samudra menatap sungai lampu, lalu berbisik pada dirinya sendiri, “Saya juga.”

Mereka tidak berpelukan, tidak berjanji. Hanya berdiri, dua generasi di satu jembatan, sama-sama menatap kota yang—dengan segala riuhnya—sedang belajar memimpin diri.

.

Beberapa minggu kemudian, Menak Digital membuat program kecil bernama Rembug Menak: pertemuan lintas generasi, tanpa presentasi, tanpa pointer. Hanya cerita-cerita yang mau membuka baju bahunya sendiri. Di pertemuan pertama, Ratnasari berkisah tentang hari ia ingin menyerah; Jaenal bercerita soal ayah yang pensiun dan tiba-tiba kehilangan arah; Widaningrum menuturkan masa ia salah memahami “wellness” sebagai “kemanjaan”; Amir mengakui rasa takutnya pada dunia yang bergerak terlalu cepat.

Giliran Samudra, ia tak bercerita tentang keberhasilan kampanye. Ia menceritakan pagi saat ia ingin meledak, tetapi memilih menulis ulang usulan. “Di hari itu, saya hanya memimpin satu orang,” katanya. “Saya.”

Ruang hening, bukan karena kaku, tapi karena kalimat itu sederhana dan menempel. Di kaca, bayangan mereka tampak seperti satu tubuh panjang dengan banyak kepala—organisasi apa adanya: rapuh, berkembang, ingin berguna.

.

Suatu malam di kos, Samudra menempelkan kertas baru di dinding: Bagaimana Cara Gen Z Mengembangkan Self-Leadership. Bukan teori, melainkan rencana kebiasaan yang ia cincang kecil:

  • Jurnal 5 menit sebelum tidur: “Apa yang sudah aku pimpin hari ini?”

  • Satu keputusan kecil diambil pagi hari: membalas pesan sulit, menyusun to-do 3 item, atau minta umpan balik spesifik.

  • Satu pertemuan peer seminggu sekali: bukan untuk mengeluh, untuk memeriksa.

  • Satu keberanian jujur setiap proyek: mengaku tak paham di awal, bukan di akhir.

  • Satu ritual memaafkan diri: karena yang memimpin pun manusia.

Ia tersenyum pada dinding: sebuah kanban sederhana yang lebih banyak menyelamatkan batin daripada sekadar mengejar angka.

Di bawah daftar, ia menuliskan kutipan miliknya sendiri:

“Self-leadership adalah seni menjaga api kecil agar tidak padam ditiup orang lain, dan tidak membakar rumahmu sendiri.”

.

Beberapa bulan setelah kampanye Lotus Atap, angka rapat bulanan berubah nada: lebih banyak kalimat “aku belajar”, lebih sedikit kalimat “kalian salah”. Klien lain mulai datang bukan karena case study paling gemerlap, melainkan karena mereka mendengar Menak Digital punya cara memimpin proses yang memanusiakan.

Di kafe tempat Komunitas Menak Muda dulu lahir, Samudra, Ninggar, Raras, dan Jayeng duduk di meja yang sama. Di atasnya, sticky notes baru: “Apa yang ingin kita wariskan selain hasil?” Mereka tertawa. Kata “warisan” terasa besar, namun mungkin harus dicoba mulai hari itu juga.

“Warisan kita,” kata Raras, “adalah kebiasaan tidak menjadi korban.”

“Warisan kita,” tambah Jayeng, “adalah cara bicara yang jelas—tanpa melukai.”

“Warisan kita,” sambung Ninggar, “adalah keberanian pulang ke diri sendiri.”

“Warisan kita,” penutup Samudra, “adalah kota yang belajar memimpin dirinya—mulai dari kita yang belajar menenangkan diri, menjelaskan rencana, dan menanggung akibat.”

Di luar kaca, Jakarta tetap gaduh. Namun di dalam, ada sejenis keheningan yang bukan kosong, melainkan ruang. Di ruang itu, manusia bisa bertumbuh.

.

Catatan untuk Amir, untuk Samudra, untuk Kita

“Memimpin Gen Z bukan tentang mengatur lebih keras, tetapi menata lebih jernih: tujuan, peran, ritme, jeda.
Memimpin diri bukan tentang menjadi sempurna, tetapi berani bertanggung jawab.”

Ketika lampu kantor padam, gedung-gedung kembali menjadi siluet. Yang tinggal hanya langkah-langkah kecil pulang. Di langkah-langkah itu, cerita ini ingin tinggal sebentar—mengingatkan bahwa organisasi hidup dari individu-individu yang bersedia mengerjakan pekerjaan tersepi di dunia kerja: memimpin diri.

.

.

.

Jember, 21 Agustus 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenKompasMinggu #GenZ #SelfLeadership #Kepemimpinan #CeritaPerkotaan #SastraIndonesia #BudayaKerja #Mentorship

Leave a Reply