Diam yang Membebaskan

“Menjadi diam bukan berarti kalah. Kadang, itu adalah bentuk tertinggi dari keberanian: melepaskan tanpa dendam, dan pergi tanpa gaduh.”

.

Sasmita Sang Raden—yang akhirnya melepaskan sebutan apa pun

Pamanukan selalu lengang di pagi hari, apalagi setelah hujan semalam turun tanpa suara. Kabut belum benar-benar terangkat dari dedaunan jati dan sawah, dan embun masih menggantung di ujung ilalang. Di belakang sebuah rumah kayu tua peninggalan kolonial, duduk seorang pria bersarung batik, dengan mata yang tak lagi mencari pujian.

Namanya Sasmita. Usianya belum genap empat puluh, tapi gurat di wajahnya seolah melampaui umur. Dahulu, ia dosen hukum adat di sebuah universitas ternama di Bandung. Kini, ia tinggal di rumah tua milik Galuh—eyang yang mengajarinya cara bertahan tanpa mengeras—membesarkan jagung, merawat ketela, dan menulis puisi-puisi sunyi yang ia sisipkan ke dalam buku-buku bekas untuk siapa saja yang ingin membacanya. Ia memilih diam, bukan karena kalah, tapi karena tahu, tak semua pertempuran layak dimenangkan.

Di kota, nama yang disembah adalah kecepatan. Di desa, yang dihormati adalah ketepatan: saat menanam, saat menunggu, saat memanen. Sasmita mulai mengerti, ada ilmu yang tak diajarkan kelas-kelas pascasarjana—ilmu menata ulang diri.

.

Menara yang Retak

Hidupnya dulu seperti menara bata yang ditata rapi oleh mimpi: akademisi, aktivis hukum adat, kekasih dari Rengganis—perempuan berambut sebahu yang matanya selalu berbicara lebih dulu daripada bibirnya. Dari luar, hidupnya tampak utuh. Namun batu bata rahasia memang pandai menyamar.

Badai datang tanpa aba-aba. Di semester ganjil itu, laporan pendanaan penelitian adat masuk ke akun bendahara bersama memo-memo yang tampak biasa. Sasmita—yang mengajar etika dan hukum adat—mendapati sebaris angka tak seharusnya ada: dana pendampingan masyarakat diubah menjadi “penguatan hubungan”. Ia tahu kata-kata bisa menjernihkan, juga menyamarkan. Ia laporkan temuan itu lewat saluran resmi, memegang teguh keyakinan bahwa sistem akan membersihkan dirinya sendiri.

Sistem, ternyata, lebih sibuk membersihkan jejak. Ia dipanggil dewan etik, ditanya seolah dialah perusuh yang merusak harmoni. Ia menjadi terdakwa yang tak pernah mendakwa siapa pun. Rengganis menatapnya di lorong fakultas, mata yang dulu hangat itu kini bergetar seperti lampu tua di ruang arsip. “Aku… butuh waktu,” katanya. Waktu, rupanya, sempit jika harus diisi oleh keberanian.

.

Pergi Tanpa Gaduh

Sidang internal digelar singkat dan rapih—rapih seperti kemeja putih yang tak pernah menyentuh lumpur. Kalimat-kalimat disusun bak pasal-pasal. Nama-nama besar disebut tanpa suara. Sasmita diberi kesempatan bicara, ia bisa mendebat satu per satu, mengungkap detail, membuka percakapan panjang dengan data. Tapi ia berdiri, menyapu ruangan dengan pandangannya yang jernih, lalu menundukkan kepala.

“Aku pergi,” katanya.

Tak ada pintu yang dibanting. Tak ada mikrofon yang dicabut. Ia hanya melipat kertas-kertas, mematikan ponsel, dan berjalan keluar. Di halaman kampus, daun angsana seperti menepuk pundaknya, “Kamu sudah cukup.”

Ia menjual motor, melepaskan kontrak apartemen, dan menumpang bus menuju Subang. Pada sore yang basah, Pamanukan menyambutnya dengan bau tanah dan suara burung yang tak tahu apa itu reputasi.

.

Jakarta yang Mengeras, Bandung yang Mengambang

Beberapa minggu kemudian, ia datang ke kota—bertandang ke seorang sahabat lama, Pragalba, yang dulu merantau dari Sumenep dan kini memimpin kantor konsultan di Kuningan. Pragalba gemar memanggil dirinya “Jokotole kelas presentasi”—kelakar khas Madura—karena baginya, hidup di Jakarta adalah adu ketangkasan.

“Kau bisa mulai lagi di sini,” kata Pragalba, di sebuah kafe yang temboknya seperti peta dunia. “Kau pintar, kau rapi, kau… bersih. Tapi, Sas, kau harus belajar berdamai dengan abu-abu.”

“Berdamai bukan berarti menutup mata,” jawab Sasmita. “Aku hanya tak mau lagi ikut pawai kebisingan.”

Di kereta cepat yang melesat kembali, ia melihat bayangan sendiri di kaca, bergantian dengan siluet gedung-gedung: SCBD, Sudirman, Rasuna, lalu mengecil dan hilang. Bandung menyambut dengan gerimis halus. Di Dago, ia mampir membeli buku bekas. Di halaman pertama sebuah buku sosiologi tua, ia menulis: “Kemenangan paling sunyi adalah saat kau tidak perlu lagi menjelaskan mengapa kau memilih pulang.”

.

Bale Literasi, Klinik Hukum, dan Nomor Darurat

Sunyi bukan kehampaan. Sunyi adalah ruang yang longgar. Di halaman rumah tua, ia membangun bale literasi dari papan bekas, menyusun rak sederhana untuk buku, membuka kelas membaca sore tiga kali seminggu. Murid-muridnya bukan mahasiswa yang mengejar indeks prestasi, melainkan anak-anak petani, tukang tambal ban, pedagang ikan asin, sampai pengemudi ojek yang ingin lulus paket C.

Dari literasi, ia merintis klinik hukum adat. Ongkosnya: doa ibu-ibu pasar, seikat sayur, atau sekadar janji untuk tidak menyalahkan diri sendiri terlalu sering. Ia tulis di papan tulis: Nomor Darurat Martabat—deret angka ponselnya sendiri—untuk siapa pun yang takut menelpon polisi, tapi juga takut pada suami.

Ia meminjam nama dari legenda Tanah Garam: Wiraraja—pemimpin yang masyhur karena kecermatannya—untuk menamai program pendampingan: Program Wiraraja: Warga Rasa Jaga. Dari Menak Madura ia juga memungut satu nama lagi: Retna Kencana—bukan sebagai putri yang menunggu diselamatkan, melainkan kelompok perempuan yang belajar menyelamatkan diri dan anak-anaknya lebih dulu.

“Kalau kamu harus memilih,” kata Sasmita pada pertemuan perdana, “pilihlah yang membuatmu tetap manusia.”

.

Rengganis Datang dengan Mata yang Berenang

Tiga bulan setelah ia pergi dari kampus, sebuah mobil berhenti di pelataran rumah. Rengganis turun. Wajahnya tidak semewah dulu. Matanya cekung. Bibirnya gemetar.

“Aku salah, Sas,” suaranya lirih. “Aku diam karena takut kehilangan… tapi dengan diam itu aku kehilangan diriku sendiri.”

Sasmita menyodorkan segelas air putih. Mereka duduk bersebelahan memandang sawah. Tiupan angin membawa suara anak-anak yang tertawa di bale literasi.

“Aku tak minta kembali,” sambung Rengganis. “Aku hanya ingin kau tahu, aku menyesal.”

“Penyesalanmu bukan tanggung jawabku,” ucap Sasmita, tenang. “Tapi kau tetap manusia. Maka kusebut namamu dalam doa, bukan dalam dendam.”

Rengganis menangis tanpa suara—tangis yang orang kota bayar mahal di ruang konseling. “Bolehkah aku ikut mengajar? Aku… masih ingat alfabet.”

“Kau bisa mulai dari menyalin ulang halaman yang paling menyakitkan—bukan untuk dibaca ulang, melainkan untuk dibakar.”

Mereka tertawa kecil. Malam itu, Rengganis menyalin cerita hidupnya ke dalam lembar-lembar kosong, lalu bersama anak-anak bale mereka menyalakan tungku kecil dari tanah liat. Kertas-kertas itu berubah abu, dingin, lalu hilang.

.

Balasan Tanpa Luka

Berita buruk punya kaki, berita baik punya sayap. Yang satu cepat, yang lain ringan. Kabar cepat datang: ayah Rengganis ditangkap KPK karena korupsi dana penelitian. Rengganis ditinggalkan kolega, kehilangan jabatan, dijauhi sahabat-sahabat yang dulu gemar mengirim stiker “proud of you” di grup WhatsApp.

Warga bertanya, apakah Sasmita akan bersuara? “Saya tak melempar garam ke luka yang tak perlu,” katanya. “Biarlah hidup mengajar.”

Di papan tulis bale, ia menulis kalimat yang diulang anak-anak dengan riang:

“Balas dendam paling elegan adalah tetap menjadi orang baik, bahkan pada orang yang pernah menjelekkan kita.”

.

Kota yang Menguji, Desa yang Menguatkan

Program Wiraraja mulai menarik perhatian. Sebuah kantor hukum di Bandung mengundang Sasmita berbagi tentang restorative justice. Aula mewah itu ber-AC dingin; mikrofon dan proyektor seperti perpanjangan tangan para ahli. Ia memulai presentasi dengan satu gambar: peta kecil Pamanukan yang terlihat mungil di layar. “Hukum,” katanya, “tidak boleh lebih sulit dimengerti daripada cara menanam padi.”

Seorang peserta, Adirasa—wartawan yang hobi membuat pertanyaan jadi pisau—angkat tangan. “Mas, diam itu strategi atau pelarian?”

“Diam adalah ruang antara amarah dan tindakan,” jawab Sasmita. “Di ruang itu, kita menata ulang alasan. Setelah itu, jika harus melawan, kita melawan. Jika harus melepaskan, kita melepaskan. Tapi bukan karena takut, melainkan karena tahu mana yang akan menumbuhkan.”

Usai sesi, Adirasa mengajak minum kopi. Ia bercerita tentang ibunya yang digusur oleh proyek kota, tentang surat tanah yang kabur definisinya. “Bolehkah aku datang ke bale?” tanyanya.

“Datanglah,” kata Sasmita, “kita tak menyelesaikan semua, tapi kita bisa mulai.”

.

Jokotole Masa Kini

Pragalba menelepon suatu malam. “Sas, kantor mendapat proyek CSR untuk literasi warga di pesisir Utara. Kita butuh mitra yang tidak sekadar memotret lalu menghilang. Kau di situ. Bagaimana?”

“Kalau literasi hanya poster, jangan ajak aku,” jawab Sasmita. “Kalau literasi adalah kemampuan mengucap ‘tidak’ pada hal yang merendahkan, aku ikut.”

Proyek itu membawa mereka menyusuri jalur Pantura, dari Karawang sampai Indramayu, lalu ke Pamanukan lagi. Mereka mengajak anak muda setempat: Larang yang jago desain, Sagara yang doyan membuat film pendek dengan ponsel, dan Kenongo yang suara nyanyinya bisa membuat ayam tetangga salah jam berkokok. Anak-anak itu menamai tim mereka Jokotole Masa Kini—bukan untuk gagah-gagahan, melainkan mengingat bahwa ketangkasan bisa lahir dari ketulusan.

Mereka membuat modul: “Cara Membaca Surat Tanah, Cara Bertanya di Kantor Desa, Cara Menolak dengan Santun, Cara Mencatat Bully di Sekolah, Cara Menyusun Uang Sekolah Tanpa Utang Rentenir.” Tidak ada huruf kecil untuk harga diri.

.

Kota Dipertemukan, Luka Dilapisi

Retna Kencana—kelompok perempuan yang awalnya hanya lima orang—bertumbuh menjadi dua puluh. Mereka belajar menenun tenang di tengah badai: membuat catatan keuangan warung, menyimpan bukti transaksi, menulis kronologi kejadian rumah tangga yang tak adil, menghafal nomor telepon yang aman. “Kalau kalian takut,” kata Sasmita, “kalian telepon siapa dulu?” Mereka menjawab serempak, “Diri sendiri.”

Di Bandung, Adirasa menulis laporan panjang: “Hukum yang Bertumbuh di Bale”. Tulisan itu ramai dibaca. Ada yang menyebut Sasmita munafik—mengajarkan diam sambil berjejaring proyek. Ada yang menyebutnya pahlawan—tetap baik meski dihancurkan. Sasmita tertawa pendek. “Jangan cepat-cepat menyusun patung,” katanya pada anak-anak bale. “Kalau dipatungkan, kalian nanti lupa menghidupi.”

.

Kepulangan yang Bukan Kalah

Suatu sore, Rengganis mengirim pesan singkat: “Aku menjadi guru honorer. Gajinya kecil, tapi anak-anak memanggilku Bu dengan mata bersinar. Aku belajar memulai ulang.” Sasmita membaca pesan itu seperti membaca doa yang diam-diam ingin didengar langit. Ia membalas: “Teruskan. Jika lelah, istirahat. Jika puas, berbagi.”

Malamnya, Galuh bercerita lirih tentang masa mudanya. “Dulu eyang pernah diam berbulan-bulan, bukan karena tak ada kata, tapi karena terlalu banyak kata yang tak perlu. Waktu itu eyang hanya menyapu rumah, membuat teh, menunggu hujan. Lalu, entah kenapa, hari-hari menjadi ramah.”

“Berarti diam bisa juga menjadi jembatan?” tanya Sasmita.

“Diam adalah kayu penyangga,” jawab Galuh. “Kau yang memilih, akan kaubangun jembatan atau sekadar pagar.”

.

Kota Mengundang, Desa Menjawab

Setahun kemudian, undangan datang dari sebuah universitas swasta di Jakarta. Mereka menggelar konferensi kecil tentang community lawyering. “Kami ingin Anda berbagi,” tulis panitia. “Bukan teori—kisah.”

Di ruang yang mewah dan sejuk, Sasmita membuka dengan video pendek buatan Sagara: wajah-wajah anak bale, ibu-ibu Retna Kencana merapikan kerudung sebelum latihan membaca, Larang menempel poster “Nomor Darurat Martabat”, Kenongo menyanyikan lagu pendek: “Kalau berat, turunkan yang tidak perlu. Kalau ringan, bagilah.” Kalimat yang kemudian mereka tulis di pintu bale dengan cat warna-warni.

Seorang peserta—dosen muda yang mengingatkan Sasmita pada dirinya dulu—bertanya, “Kalau kita bicara, suara kita mungkin tenggelam. Kalau kita diam, siapa yang akan tahu?”

“Bicaralah saat suara menumbuhkan,” jawab Sasmita. “Diamlah saat suara menjadi racun. Dan selalu sisakan ruang untuk berbuat—karena perbuatanlah yang paling keras terdengar.”

.

Hujan yang Menghapus Jejak

Hujan datang malam itu, deras dan lama, seperti seseorang yang akhirnya berani menangis. Sungai naik, halaman becek. Anak-anak bale datang membawa senter, tawa, dan mi instan. Mereka menata tikar, menjemur buku, menghangatkan air. Rengganis membawa selimut. Pragalba mengirim truk kecil dengan bahan bangunan. Adirasa menenteng kamera, tapi lebih sering memeluk anak kecil yang ketakutan.

“Bale kita bisa hanyut,” cemas Kenongo.

“Kalau bale hanyut,” jawab Sasmita, “kita akan dirikan lagi. Bale bukan bangunan. Bale adalah kebiasaan menolong.”

Pagi hari, banjir surut. Lantai bale basah, tapi utuh. Di papan tulis, tulisan kapur memudar. Sasmita menambalnya: “Kita bukan kebetulan. Kita usaha yang diulang-ulang.”

.

Ruang Putih dalam Dada

Di Jakarta, konflik kampus yang dulu menimpa Sasmita memasuki babak baru. Nama-nama lama muncul di berita, perkara yang dulu disapu, kini menempel di layar ponsel semua orang. “Anda menyesal tidak melawan?” tanya seorang wartawan dalam wawancara video.

“Tidak,” jawab Sasmita. “Aku memilih jalanku sendiri. Kadang menang bukan berarti menang di arena yang mereka sediakan. Menang bisa berarti tetap menjadi manusia ketika kesempatan untuk jadi serigala terbuka lebar.”

Rengganis menatapnya dari luar frame, mengangguk kecil. Pragalba mengirim emoji jempol. Adirasa menambahkan satu kalimat di kolom komentar: “Ada ruang putih dalam dada yang hanya bisa diciptakan oleh kejujuran. Di ruang itulah orang pulang.”

.

Ujian Paling Sunyi

Suatu malam, Sasmita berdiri di pematang sawah. Bulan menggantung seperti piring porselen. Angin menggerakkan daun jati, menimbulkan bunyi yang dulu membuatnya kesepian, kini menenangkan. Ia mengingat semua yang telah berlalu—kelas-kelas besar, nilai-nilai A, seminar-seminar, nama yang dahulu berarti sesuatu. Lalu ia mengingat wajah anak-anak bale: Mata berbinar saat bisa mengeja namanya sendiri. Tawa saat mengalahkan rasa takut menulis laporan keuangan sederhana. Pelukan singkat saat mereka berhasil mengatakan “tidak”.

“Kalau begitu,” gumamnya, “diam, ajari aku lagi besok.”

Ia menutup mata, merasakan dadanya lapang. Dalam diamnya, tiba-tiba terdengar suara kecil: terima kasih. Entah dari siapa. Dari dirinya sendiri, mungkin. Dari mereka yang tak sempat menyapa, barangkali.

.

Taman Sasmita Galuh

Tahun keempat, bale itu tumbuh menjadi taman belajar. Anak-anak menamai sendiri: Taman Sasmita Galuh. Bukan sekadar tempat membaca, melainkan tempat pulang. Di temboknya, lukisan mural karya Larang: peta Pamanukan yang bertaut ke Bandung dan Jakarta lewat garis garis tipis—seperti urat nadi.

Sasmita menolak undangan menjadi pejabat program, menolak foto besar di baliho, menolak bros pin yang kilapnya mengalahkan isi. “Kita dikerjakan oleh kerja itu sendiri,” katanya pada anak-anak. “Kalau kalian ingin berterima kasih, kirimkan adik-adik kalian ke sini.”

Malam-malam, ia menulis di buku catatannya:

“Keputusan terbaik dalam hidupku adalah menjadi diam. Bukan karena kalah. Tapi karena tahu, kebisingan hanya memperpanjang luka. Sedangkan diam, membawaku pulang ke diriku sendiri.”

.

Paling Lantang

Jika kelak ada yang bertanya siapa Sasmita itu, mungkin tak banyak yang bisa menjawab. Tapi di Pamanukan, ada anak-anak yang bisa membaca karena seorang lelaki yang memilih diam. Ada ibu-ibu yang berani melapor kekerasan rumah tangga karena lelaki itu mengajari mereka hak. Ada sawah yang kembali hijau karena ia tak pernah mengusik tanah, hanya menjaganya.

Pragalba menyebutnya Jokotole yang menolak panggung. Rengganis menyebutnya rumah yang tidak meminta izin untuk menjadi rumah. Adirasa menuliskan namanya dengan tinta paling hemat—karena tahu, cerita akan mengisi sendiri kekosongan yang perlu.

Dalam diamnya, Sasmita bicara paling lantang.

.

Sasmita Menulis Untuk yang Tak Sempat Datang

Ia menulis sebaris pesan pada papan tulis, untuk siapa pun yang masuk taman belajar dan menatap ragu:

“Jika hidup mengecilkanmu, ikhlaskan namamu membesar di hati orang-orang yang kau bantu. Itulah cara paling sunyi menjadi besar.”

Di sampingnya, kalimat lain—yang kini menjadi kebiasaan—ditulis anak-anak dengan spidol yang hampir habis:

“Kalau berat, turunkan yang tidak perlu. Kalau ringan, bagilah.”

Dan kota—dengan segala gedung, bising, dan kebiasaan berpacu—pelan-pelan belajar dari sebuah bale kecil di halaman rumah tua: bahwa keberanian tidak selalu berteriak; kadang ia duduk bersila, menyeduh teh, dan mendengarkan sampai tamat.

.

.

.

Jember, 15 Juli 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#DiamYangMembebaskan #JokotoleMasaKini #LiterasiWarga #RestorativeJustice #Pamanukan #KotaDanDesa #Martabat #CerpenIndonesia

.

Quotes Tambahan untuk naskah

  1. “Kita tidak selalu harus menang di arena yang disediakan orang lain.”

  2. “Martabat adalah alamat pulang yang tak pernah berubah.”

  3. “Jangan cepat-cepat menyusun patung; hidupkan dulu kebiasaan menolong.”

  4. “Bale bukan bangunan. Bale adalah kebiasaan yang dirawat.”

  5. “Jika suara menjadi racun, diamlah; jika diam menjadi penjara, bicaralah.”

Leave a Reply