Seni Membiarkan Lupa

“Ada hal yang tak perlu diingat selamanya. Hati bisa lelah, ingatan bisa rapuh. Tapi melupakan bukan berarti kalah—kadang itu adalah bentuk tertinggi dari keberanian.”

.

Prolog

Langit sore di Surakarta menyimpan semburat jingga pucat. Bayang-bayang trembesi menari lemah diterpa angin selatan, menggeser debu tipis di halaman sebuah paviliun keluarga yang dulu disebut orang-orang sebagai “keraton kecil”—sebuah rumah peninggalan leluhur yang dindingnya masih bernapas batik lawas. Di ruang tamu berhawa nostalgia itu, Jaya duduk diam.

Di hadapannya, laptop berwarna perak terbuka, kursor berdenyut di layar kosong. Ia menatap pen stylus yang belum menyentuh tablet. Sudah satu jam lebih, satu kalimat pun belum lahir.

Padahal, menulis bagi Jaya ibarat zikir harian. Tapi beberapa bulan belakangan, pikirannya seperti benang kusut. Ia kian mudah lupa. Bukan sekadar lupa janji atau waktu, melainkan lupa makna: lupa rasa, lupa bagaimana caranya merasa cukup.

Di luar, suara klakson dan tembang campursari beradu dari kejauhan. Kota bergerak, sementara di balik kaca patri yang memantulkan motif parang, Jaya seperti diam di dalam kabut yang tak kunjung reda.

“Tidak semua sunyi ditaklukkan dengan suara. Ada sunyi yang justru menyembuhkan ketika kita berhenti melawannya.”

.

Lupa Itu Fitrah

Sebulan lalu, dalam rapat dewan kebudayaan di Balaikota, Jaya diminta menyebut tiga penyair yang memengaruhi kurasinya untuk festival sastra urban. Ia dapat dua nama, lalu macet pada yang ketiga. Bibirnya membuka-menutup, udara tersangkut di tenggorokan. Semua menunggu. Nama itu tetap hilang.

Jaya tahu ada yang berbeda dengan dirinya. Kalendernya penuh, tapi ingatannya berlubang. Ia mulai pelupa—dan itu menakutkannya.

Sore itu ia mencari Wira, lelaki separuh baya yang baginya bukan sekadar kurator senior, melainkan penuntun—seseorang yang ia panggil Pakde meski tak sedarah. Orang-orang memanggilnya Wiraraja, karena gaya bicaranya tegas, teguh, dan menenangkan; bagi Jaya, cukup “Wira”.

“Pakde,” katanya di serambi yang menghadap kebun sawo, “kenapa akhir-akhir ini aku sering lupa?”

Wira menatapnya dalam, seperti menimbang riak air. “Karena kamu manusia, Ya. Lupa itu fitrah. Ia datang bukan untuk mempermalukan, melainkan untuk menyadarkan batas.”

Kata-kata itu sederhana, tapi bagi Jaya seperti lampu jalan yang tiba-tiba menyala di senja. Di buku catatannya, ia menulis: Mungkin aku lupa bukan karena aku lemah, tapi karena aku terlalu penuh. Terlalu banyak yang ingin kusimpan sendiri.

“Ketika kepala penuh, hati kehilangan ruang untuk bernapas.”

.

Kelupaan Itu Kelemahan

Sabtu malam, Jaya dijadwalkan membuka sebuah acara literasi di gedung bercermin di Kertajaya, Surabaya. Poster-poster LED memajang namanya, menempel di layar-layar bundar di lobi. Beskap biru dongker sudah ia kenakan—adaptasi identitas, tradisi yang dielus dengan estetika urban. Di atas panggung, lampu sorot seperti matahari buatan.

Ketika musik pengantar menurun, Jaya melangkah ke mimbar. Kalimat pembuka yang sudah ia hafal seminggu lamanya menguap begitu saja. Kosong. Mulutnya terbuka, suaranya tertahan. Ratusan mata menatap. Detik memanjang. Seseorang di panel teknis menurunkan mic pelan.
Malam itu, Jaya gagal.

Ia duduk sendirian di tangga darurat, memandangi sepatu yang tiba-tiba terasa sempit. Wira datang tanpa suara, meletakkan botol air mineral di sampingnya, menepuk punggungnya pendek. Tak ada nasihat, hanya napas yang diatur bersama. Beberapa jam kemudian, Jaya menulis: Kelupaan adalah kelemahan. Namun kelemahan bukanlah cela; ia undangan untuk mengenali diri, dan tidak berlebihan memaksa.

Ia ingat kisah-kisah lama yang dulu diceritakan Wira tentang tokoh-tokoh legenda dari timur laut pulau garam; nama-nama yang kini ia pinjam untuk menamai tim produksi kontennya—Joko, Sembara, dan Ganis—bukan demi romantika, melainkan agar warisan menjejak di tengah hiruk-pikuk kota.

“Kita bukan mesin. Kegagalan kadang hanyalah tubuh yang meminta jeda dengan bahasa yang tak kita mengerti.”

.

Melupakan Itu Keputusan

Nama Ganis hidup di dalam Jaya seperti lampu kecil yang menolak padam. Mereka bertemu di sebuah pameran fotografi kota; Ganis—yang nama lengkapnya Rengganis—mengurasi rangkaian potret gang-gang sempit yang memeluk toko roti, kedai ponsel, dan tukang jahit pinggir jalan. “Lensa itu jendela kedua hati,” katanya waktu itu, sambil tertawa kecil.

Tujuh tahun mereka berjalan bersama, berkongsi karya dan sunyi. Di kafe-kafe dengan sofa hijau lumut, di ruang editing yang tak pernah tidur, di balkon apartemen yang menghadap rel kereta. Ganis bukan sekadar pendamping, ia sahabat membaca, lawan bicara yang membuat Jaya belajar lebih banyak tentang diam yang jernih. Tetapi waktu bukan hanya garis; ia juga tikung.
Ganis memutuskan menerima beasiswa ke Utrecht—sebuah lompatan yang bagi Jaya adalah gerbang ambang. Mereka berdua tahu: ada cinta yang tak selamanya menyeberangkan dua orang ke pulau yang sama.

Sejak itu, Jaya belajar melupakan. Namun melupakan Ganis tidak sesederhana mengganti halaman di dokumen baru. Suatu malam, ia membuka kotak kayu kecil berbau melati kering, mengeluarkan sehelai selendang batik larangan yang Ganis titipkan di hari-hari terakhir. Tangannya gemetar. Selendang itu ibarat peta: setiap motif adalah jejak.

Di sudut jurnalnya, Jaya menulis: Melupakan adalah keputusan. Tapi keputusan tak selalu sekeras yang kita kira. Kadang kita hanya pura-pura lupa, padahal yang kita lakukan adalah belajar berdamai.

“Ada orang yang tidak lagi tinggal bersamamu, tapi selalu tinggal di dalammu.”

.

Dilupakan Itu Kesepian

Jakarta menampung manusia seperti laut menampung arus. Di sana, kesibukan adalah agama kedua. Dari apartemen sewa di kawasan Sudirman, Jaya melihat gedung-gedung memantulkan pagi. Agenda mendesak dan panggilan rapat datang bersusun, tapi beberapa undangan yang dulu selalu menyertakan namanya kini tak lagi mendarat. Grup-grup kerja berubah sunyi. Proyek yang ia mulai bersama Joko dan Sembara diambil alih manajemen baru—struktur berputar, nama-nama digeser, suasana diwarnai istilah yang ia tak ingin hafal.

Ia tidak iri, tidak marah. Tapi ada dingin halus yang merayap pelan dari sela-sela tulang. Kesepian bukan sekadar tidak ada orang; kesepian adalah ketika keberadaanmu tidak lagi ditunggu.

Wira menemuinya suatu malam di warung soto yang menjadi semacam pos istirahat mereka. “Dilupakan itu bukan akhir dari arti,” kata Wira sambil menambahkan jeruk nipis. “Justru ketika dunia lupa, kita punya ruang untuk mengingat diri sendiri.”
Jaya tersenyum pahit. Mengingat diri kadang lebih sulit daripada mengingat orang lain.

Malam itu ia pulang dan duduk di lantai, membiarkan punggungnya bersandar pada ranjang. Menghitung nafas seperti menghitung hujan. Di antara noise kota, ia mendengar bunyi paling pelan: detak jantungnya sendiri.

“Jangan mencurigai sepi; kadang sepi sedang menyiapkan jawaban.”

.

Pelupa Itu Tanda Jiwa Letih

Pagi itu Jaya menyalakan kompor, menyiapkan kopi tubruk. Tiga jam kemudian, ketika ia kembali dari rapat daring, teko di atas api sudah padam—kompornya mati sendiri, syukurlah. Tapi mug yang sudah ia siapkan kosong. Ia tidak ingat kapan meletakkan gula.
Siang, ia mengambil tas kamera. Sesampai di lokasi shooting, kartu memorinya tertinggal. Malam, ia berdiri di dekat jendela, menekan saklar lampu—panaorama kota tidak berubah; ternyata ia berdiri di sisi yang salah.

Tiga kelupaan berturut-turut menggerakkan sesuatu di dalam dirinya: bukan malu, melainkan gentar yang nyata. Rasa takut pelan-pelan—bukan karena penilaian orang, melainkan karena ia seperti sedang menjauh dari dirinya sendiri.

Wira mengantarnya berkonsultasi. Dokter menyebut istilah yang Jaya catat dengan rapi—burnout, kelelahan kognitif, kurang tidur kronis. “Otakseperti otot,” kata dokter. “Ia butuh pendinginan, butuh latihan ulang, dan butuh diskon beban.”
Di lift rumah sakit yang dindingnya cermin, Jaya menatap wajah sendiri yang tampak lebih datar. Ada lingkaran gelap di bawah mata, dan ada sesuatu di matanya yang sulit ia sebut: mungkin sedih, mungkin juga lega—lega karena akhirnya mengakui.

“Pelupa adalah tanda jiwa letih,” ujar Wira, memecah diam. “Bahkan gunung pun butuh jeda agar tidak meletus. Kamu berhak berhenti, Ya.”

“Yang tidak kau beri istirahat akan menagihnya dengan cara yang tak kausukai.”

.

Jakarta, Kota Yang Menguji

Hidup kelas menengah ke atas yang Jaya jalani adalah paradoks: kartu akses apartemen, coworking premium, rapat di lounge hotel, flat white di cangkir keramik mahal, tetapi kesunyian tetap menemukan celahnya.
Ia pernah menang tender kurasi festival desain, menegosiasikan honor tiga digit untuk timnya, menggandeng sponsor dari perusahaan yang merek mobilnya berderet di basement. Namun di malam-malam setelah presentasi, ia pulang sendiri, membuka kulkas, dan memandangi sebatang cokelat yang belum dibuka, seperti menunggu jawaban dari benda yang tak bisa bicara.

Joko, yang dulu memotret di bawahnya, kini memimpin tim produksi baru. Sembara mengurus kanal video yang penontonnya menembus jutaan. Jaya bangga pada mereka, sungguh. Tapi ia juga belajar menyebutkan perasaannya sendiri tanpa malu: “Aku tertinggal.”
Kalimat itu pahit, tapi jujur. Kejujuran—disadari Jaya kemudian—adalah langkah pertama menuju sembuh.

Di malam berangin di rooftop sebuah hotel, Jaya menatap ke bawah. Jalan layang berpendar, angkot melintas seperti kunang-kunang raksasa. Ia mengetik di ponsel: Aku ingin hidup yang lebih sederhana, tapi benar-benar milikku.
Tombol Save berubah biru. Rasanya seperti menutup sebuah pintu tanpa mengunci; siapa tahu suatu saat ingin membukanya lagi.

“Kemenangan kecil: berani mengaku lelah tepat pada waktunya.”

.

Berdamai dengan Lupa

Dengan persetujuan panitia dan sponsor, Jaya mengambil cuti panjang, semacam hiatus resmi dari hiruk kota. Pagi-pagi, ia naik kereta ke timur, menyeberang ke pulau garam. Ia ingin tak sekadar pergi, tapi berziarah—bukan ke makam, melainkan ke dirinya sendiri.

Di sebuah kampung batik di pinggiran Sumenep, ia bertemu Nyi Mentari, pembatik yang jarinya seperti sungai yang hafal muaranya. Setiap garis malam adalah doa, setiap titik cecek adalah jeda yang disadari.
“Garis itu harus berhenti di sini,” ujar Nyi Mentari, menunjuk pertemuan dua motif. “Kalau diteruskan, kain ini berat. Hidup juga begitu.”

Jaya membantu menjemur lembaran kain yang memantulkan biru tua langit. Tiba-tiba ia mengingat Ganis sedang berjalan di kanal kota jauh, memotret bayang-bayang di air. Ia tersenyum. Kenangan tidak lagi menyayat; kini ia seperti aroma daun setelah hujan: ada, halus, menenangkan.

Di beranda kayu, Nyi Mentari bercerita tentang nama-nama lama: Jokotole yang gesit dan berani, Sakera yang keras kepala tapi adil. Jaya mengangguk, membiarkan kisah-kisah itu menubruk masa kini. Ia meminjam nama-nama itu dengan cara lain—untuk menamai langkah-langkah yang ia ambil hari ini: gesit dalam memutuskan, adil pada diri sendiri.

“Ruang kosong di kain,” kata Nyi Mentari sambil menepuk lembut, “itu penting. Tanpa kosong, mata kita lelah. Tanpa kosong, batin kita penuh.”
Jaya menatap lembar kain setengah jadi itu, seperti menatap peta jalan baru. Ia mencatat dalam hati: Lupa tidak selalu buruk. Ia memberi ruang. Untuk sembuh. Untuk memulai. Untuk tidak berat menenteng yang telah lewat.

“Kebahagiaan bukan menimbun. Kebahagiaan adalah keberanian memilih apa yang dibiarkan pergi.”

.

Mengingat yang Penting

Kembali ke Jakarta, Jaya memindahkan hidupnya satu per satu: ia menutup sebagian proyek, menyisakan kurasi yang betul-betul ia cintai. Ia menghapus tiga grup percakapan yang tidak lagi relevan. Ia mengatur ulang ruang apartemen: buku yang tak tersentuh dihibahkan, kamera simpanan dijual. Di dinding, ia pajang satu foto karya Ganis: sudut gang dengan cahaya sore yang jatuh miring.

Ia memilih mengingat hal-hal yang penting saja: tawa Ganis saat mereka berdebat soal kontras; doa Wira setelah Subuh; aroma tembakau wangi di lemari peninggalan ayah. Ia menyusun pagi dengan ritual kecil—membuka jendela, tiga kali tarik nafas, satu cangkir teh.
Di kalender, ia menandai hari istirahat seperti menandai hari penting. Ternyata, keduanya sama pentingnya.

Perlahan, kepala yang dulu seperti gudang penuh barang kini seperti kamar yang jendelanya dibuka. Udara datang. Cahaya jatuh. Benda-benda sederhana—sendok, kain, buku catatan—kembali memiliki nama.

“Mengingat yang penting adalah bentuk lain dari mencintai diri.”

.

Jakarta, Babak Baru

Telepon dari Joko masuk: “Mas, mau jadi pembicara di kelas produksi kami? Bukan keynote, cukup lokakarya.” Nada suaranya tulus. Jaya menoleh pada buku catatan: minggu itu kosong.
“Boleh,” katanya. “Tapi jamnya pagi, ya.”
“Kenapa harus pagi?”
“Agar siang bisa kupakai untuk tidak apa-apa.” Joko tertawa. Jaya juga.

Di kelas itu, Jaya tidak menelanjangi teori dari menara gading. Ia bercerita tentang checklist, tidur yang cukup, cara menamai rasa, dan keberanian mengatakan “tidak” ketika kalender sudah penuh.
Anak-anak muda mendengarkan. Seseorang bertanya, “Mas, bagaimana kalau kita takut dilupakan orang?”
Jaya menghela napas pelan, merasakan kalimatnya lahir dari tempat yang tidak lagi defensif. “Kalau kamu terlalu sibuk memastikan semua orang mengingatmu, kamu yang pertama-tama akan lupa caranya mengingat dirimu. Dan itu kerugian terbesar.”

Lokakarya selesai. Jaya pulang dengan catatan kecil dari peserta: Terima kasih sudah mengizinkan kami mengosongkan. Ternyata kosong juga ilmu.
Jaya menaruh catatan itu di kulkas, di samping foto kecil Wira yang sedang tersenyum.

“Yang paling susah diajarkan adalah cara berhenti sebelum terlambat.”

.

Surat Yang Ditulis, tapi Tak Dikirim

Malam—hujan jatuh seperti jarum-jarum lembut. Jaya duduk di depan laptop, menulis surat untuk Ganis. Ia tidak berniat mengirim, hanya ingin memberi bahasa pada sesuatu yang sudah lama ia biarkan liar.

“Ganis, hari ini aku mengajar dan tidak lupa satu pun nama anak-anak. Aku memaksa ingat? Tidak. Aku mengatur nafas. Aku menaruh telepon di laci. Aku menatap mata mereka satu per satu. Lucu ya, cara-cara sederhana itu yang dulu aku anggap remeh.
Kalau kamu membaca ini—meski mungkin tidak akan pernah—aku ingin kamu tahu: aku berlatih bukan untuk kembali padamu, tapi untuk kembali padaku.”

Ia menutup dokumen, menamai file itu dengan tanggal, lalu memasukkannya ke folder “Surat-Surat yang Baik Dibiarkan”.

“Tidak semua yang jujur harus diumumkan. Beberapa cukup membuat kita bertumbuh.”

.

Epilog

Malam itu, ia membuka jendela. Suara hujan berbaur dengan deru jauh jalan tol. Jakarta seperti menunduk sebentar, mengizinkan penghuninya menghela napas panjang. Jaya mengambil buku catatan dan menulis:

Lupa itu fitrah. Kelupaan adalah kelemahan yang membuat kita rendah hati. Melupakan membutuhkan keberanian. Dilupakan mengajarkan kesepian. Pelupa menuntut jiwa untuk istirahat. Tapi mengingat—mengingat yang sungguh penting—adalah bekal menjadi manusia utuh.

Ia menutup buku. Di cermin, ia melihat wajah yang tak lagi berusaha menang atas dunia, melainkan berdamai dengan ritmenya. Telepon bergetar—pesan dari Wira: Kapan ke Solo lagi? Kebun sawo rindu.
Jaya mengetik: Minggu depan. Aku bawakan teh kesukaan Pakde.

Sejenak kemudian, ia menulis satu kalimat terakhir untuk malam itu:

Setiap orang punya hak untuk lupa. Tetapi jangan pernah lupa: siapa dirimu, dari mana asalmu, dan siapa yang pernah membuat hatimu tumbuh.

Hujan merunduk pelan. Kota kembali menyalakan lampu-lampu kecilnya. Jaya mematikan layar, menyandarkan kepala ke dinding, membiarkan senyap bekerja seperti perawat yang sabar.

“Hidup bukan tentang seberapa kuat kita mengingat, melainkan seberapa bijak kita memilih: apa yang layak dikenang, dan apa yang lebih damai jika dilepaskan.”

.

Catatan Kecil: Jalan Pulang yang Praktis

  • Menamai lelah: tulis tiga hal yang membuat kepalamu berat hari ini. Hapus satu, tunda satu, selesaikan satu.

  • Jeda bernapas: tarik napas 4 detik, tahan 4 detik, hembus 6 detik—ulang tiga kali sebelum memulai tugas.

  • Ritme sederhana: pilih satu ritual pagi (membuka jendela) dan satu penanda malam (mematikan notifikasi pukul 21.00).

  • Ruang kosong: dalam seminggu, sisakan sehari tanpa janji temu. Kosong bukan mubazir; kosong adalah wadah.

  • Ingat yang penting: tulis lima nama yang membuatmu bertumbuh. Letakkan di tempat yang mudah terlihat—agar lupa tahu diri.

“Kita tumbuh bukan karena mengingat segalanya, tetapi karena berani memilih yang menyala paling jujur di dalam dada.”

.

.

.

Jember, 14 Juli 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#SeniMembiarkanLupa #CerpenUrban #BerdamaiDenganLupa #RefleksiHidup #KelasMenengah #JakartaStory #MenataHati #JedaItuPerlu

Leave a Reply