Lebih dari yang Pernah Aku Dapat

“Pancen kulo tresna, nanging boten ateges kulo saged terus kelangan diri kulo piyambak.”
(Aku memang mencintai, tapi bukan berarti aku harus kehilangan diriku sendiri.)

.

Langit Kota dan Secangkir Teh

Hujan baru saja reda. Langit kota belum benar-benar pulih dari mendung. Di sebuah kedai kecil dekat sudut alun-alun, Rengganis duduk menghadap jendela. Uap teh melati mengepul pelan dari cangkir keramik sederhana—aroma yang selalu mengingatkannya pada sore-sore ketika ibunya merendam bunga dalam botol kaca, menyisakan wangi yang menetap di tirai.

Kursi di seberangnya kosong.

Di depannya, laptop terbuka. Kursor berkedip-kedip, seperti bintang yang menanti nama. Setahun tepat sejak percakapan terakhirnya dengan Wiramenggala—nama yang kini seperti bunyi jauh dari lorong di pusat perbelanjaan: tetap ada, tapi hanya gema.

Di rak kedai, toples gula dan kaleng biskuit berbaris. Di luar, gedung-gedung kaca menampakkan pantulan jalan basah. Kota melanjutkan ritmenya: rapat di lantai dua puluh, pesanan makanan yang tak pernah berhenti, koridor hotel yang mengkilap, foto-foto pesta yang berlomba jadi cerita paling ramai di layar ponsel.

Rengganis tidak lagi menunggu siapa pun. Tapi ia masih ingat bagaimana semuanya bermula.

.

Yang Hadir Tanpa Janji

Semuanya bermula dari naskah setebal dua ratus halaman—datang tanpa perkenalan panjang, menyeruak di meja redaksi tempat Rengganis bekerja sebagai editor. Naskah itu tak rapi: plot melompat, tokoh saling tabrak, dialog ngelangut tanpa jangkar. Namun ada sesuatu di dasar kalimatnya: kejujuran yang belum rapi, rasa yang belum punya sepatu, tapi ingin berjalan.

Nama penulisnya Wiramenggala. Ia datang dengan kemeja yang digosok seadanya, membawa map cokelat dan tatapan yang menolak dikasihani. Dalam pertemuan pertama di ruang kaca yang menghadap pohon flamboyan, Wiramenggala mengucapkan kalimat yang tak lazim untuk kehangatan kota besar.

“Kalau naskah ini gagal,” katanya pelan, “mungkin aku juga ikut hilang.”

Rengganis tidak menjawab. Di benaknya, sesuatu mengatup seperti buku yang akhirnya menemukan pembatasnya. Ia mengangguk, tak berjanji apa-apa, lalu membawa pulang naskah itu. Malamnya, ia membaca tanpa henti. Di tepi halaman, ia menulis catatan kecil: ‘Seseorang ini sedang meminta untuk dipercaya.’

Keesokan paginya, ia mengetik:
“Struktur utama perlu kita tata ulang. Tapi suaramu… tolong jangan kau padamkan.”

.

Perhatian yang Tak Dikenali

Hari-hari berikutnya, naskah menjadi jembatan di antara dua kota yang tampak serupa namun tak pernah berpapasan: dunia Rengganis yang teratur—email tersusun, agenda padat, rapat tepat waktu—dan dunia Wiramenggala yang tak menentu—kontrak proyek yang molor, rumah kontrakan dengan atap bocor, dan tabungan yang seperti napas menjelang pingsan.

Rengganis menyusun ulang alur, memindah bab, menambal lubang logika, menandai kalimat yang terlalu ingin disukai. Wiramenggala membalas dengan versi baru: masih berantakan, tapi mulai rapi seperti kamar kos setelah orangnya memutuskan membersihkan setengah jam sebelum tamu datang.

Tak sadar kapan mulanya, Rengganis mengirim nasi kotak ke alamat apartemen Wiramenggala ketika hujan tak juga reda. Meninggalkan kertas kecil bertuliskan: “Makan dulu. Bab tiga kita bedah besok.” Ia mengirim tautan beasiswa kursus menulis, menandai beasiswa itu sebagai kesempatan, bukan keselamatan.

Ia tak pernah menyebut kata cinta. Namun pelan-pelan, tubuhnya menjadi ritme yang mengikuti honai kecil milik Wiramenggala: telepon larut malam, pesan pendek saat kepanikan, dan tatapan kosong dari orang yang sulit percayai sayapnya sendiri.

“Tidak semua orang ingin diselamatkan. Kadang mereka hanya ingin ditemukan.”

Kalimat itu Rengganis tulis di jurnalnya, di antara nota belanja dan jadwal terbit.

.

Malam dan Kesunyian yang Menyentuh

Suatu malam, hujan seperti suara tetangga yang menolak tidur. Ponsel Rengganis berdering.

“Rengganis,” suara di seberang lirih, “kamu bisa ke sini?”

Ia tidak bertanya untuk apa. Ia datang. Lampu-lampu kota memantul di kaca mobilnya, menorehkan garis-garis cahaya pada jalan basah.

Di balkon apartemen mungil itu, mereka duduk di kursi plastik. Bau tanah dan suara ban kendaraan dari jalan layang menjadi latar yang pas untuk pembicaraan yang tak punya rencana.

“Aku benci diriku sendiri,” kata Wiramenggala sambil menatap langit kelabu, “karena setiap kali ada yang tulus, aku curigai.”

Rengganis diam, seperti tebing yang tak menawarkan tangga. Ia hanya mengulurkan tangan, menggenggamnya sebentar. Bahu mereka tak bersentuh. Keduanya duduk seperti patung yang disapa angin. Baru kali itu Rengganis sadar: keheningan bisa lebih jujur daripada pengakuan.

“Kesepian adalah kota tanpa peta; kamu bisa hidup di dalamnya bertahun-tahun, tetap saja tersesat.”

.

Ulang Tahun dan Kursi Kosong

Sore ulang tahun Rengganis, langit merona seperti pipi anak sekolah yang ketahuan mencontek. Ia memasak sendiri: sayur asem yang asamnya disetel dengan tomat, tempe goreng yang renyahnya seperti tawa sahabat, ayam panggang madu yang aromanya mengingatkan halaman rumah lama. Di playlist, lagu-lagu akustik berputar, mengukur jarak antara hati dan percakapan.

Teman-teman datang membawa tawa. Wandansari, sahabatnya, menyelipkan buku catatan bersampul hitam: “Untuk ide-ide yang tak sempat kamu restui.” Gunungsari—rekan kerja yang selalu teliti—membawakan lilin angka tiga dan lima, “Biar kamu ingat bahwa kita bertambah versi, bukan umur.”

Satu nama tak muncul. Jam sembilan malam, ponsel tetap sunyi. Rengganis menahan diri untuk tidak memeriksa media sosial—kesalahan umum orang yang sedang menunggu. Tapi rasa ingin tahu terkadang lebih tangguh daripada tekad.

Di sebuah story seorang kenalan, ada wajah Wiramenggala di tengah lampu pesta kota: tertawa lepas, gelas beradu, kue ulang tahun orang lain di meja.

Kursi di meja makan Rengganis tetap kosong, lilin padam sendiri.

“Harapan adalah tamu: sopan ketika datang, menyakitkan ketika pulang diam-diam.”

.

Bab Terakhir

Esok paginya, Rengganis datang lebih pagi dari matahari yang bisa dilihat. Ia membuka naskah yang hampir rampung. Di halaman terakhir, ia menambahkan kalimat yang mengikat semua kisah: ‘Orang yang kamu selamatkan mungkin bukan orang yang akan mengingat namamu.’

Ia mengetik email singkat:

Subjek: Naskah rampung
Naskah sudah selesai. Selamat atas bukunya. Semoga sukses.
—Rengganis

Tak ada pamit. Tak ada penjelasan. Ia menonaktifkan notifikasi, memesan kursi dekat jendela di kereta menuju Mataram. Bukan untuk lari, melainkan untuk duduk dengan diri sendiri tanpa interupsi kota.

.

Mataram: Tempat untuk Mengerti

Di losmen kayu yang menghadap kebun lontar, Rengganis belajar kembali kepada yang sederhana: menulis hanya untuk menyimak napas sendiri, minum teh tanpa mengecek timeline, berjalan kaki tanpa alasan. Di meja, ia menulis kalimat pertama buku barunya:

“Aku tidak sedang patah hati; aku sedang kembali ke tubuhku, setelah terlalu lama tinggal di tubuh orang lain.”

Siang hari, ia menyewa motor, menyusuri jalanan yang menyapanya dengan salam yang bersahaja. Malam tiba dengan suara jangkrik dan lampu minyak di warung pinggir gang. Di sela lelap, Rengganis memahami sesuatu: ketulusan tanpa batas seringkali hanya menemukan jurang. Ia menulis:

“Cinta yang sehat mengenal pagar. Bukan untuk menjauh, tapi untuk pulang.”

Ia menyusun outline: bukan novel, melainkan catatan-catatan pendek yang jernih; bukan tentang Wiramenggala, melainkan tentang perempuan yang tak lagi ragu menempatkan dirinya di kursi utama hidupnya. Ia ingin menulis buku yang bisa dibaca sambil menunggu MRT, atau di sela rapat, atau di malam yang tak ingin berisik—buku yang memulangkan orang kepada dirinya sendiri.

.

Dua Tahun dan Sebuah Buku

Dua tahun kemudian, buku itu terbit: Lebih dari yang Pernah Aku Dapat. Sampulnya putih bersih dengan ilustrasi kursi kosong menghadap jendela. Tak ada nama tokoh. Tak ada pengakuan. Namun pembaca merasa disapa. Di platform digital, buku itu dibaca jutaan kali. Di sesi diskusi literasi, kalimat-kalimatnya disalin ke catatan ponsel: tanda bahwa orang ingin mengingat.

Di panggung diskusi, moderator bertanya, “Apakah ini kisah nyata?”

Rengganis tersenyum, menatap audiens yang membawa harapan seperti payung. “Yang nyata adalah rasa sakitnya,” jawabnya, “dan cara kita memilih sembuh.”

Wandansari memegang mikrofon, menatap sahabatnya bangga. Gunungsari mengirim pesan: ‘Kamu menulis seperti orang yang menyalakan lampu jalan.’

Sore-sore kota berubah pelan. Di kafe-kafe, orang menyebut namanya dengan suara rendah—bukan sebagai gosip, melainkan sebagai ajakan untuk menguat. Di kantor-kantor, dinding open space menyimpan poster kecil berisi kalimat dari bukunya: “Aku hadir sepenuhnya untuk diriku sendiri.”

.

Surat dari Orang yang Dulu Pernah Dihidupi

Suatu malam, di sela email pekerjaan, Rengganis menemukan satu pesan baru.

Dari: wiramenggala@email.com
Subjek: Terima kasih

Rengganis,
Aku membaca bukumu. Lama untuk bisa menuliskan ini, tapi aku harus bilang: kamu pernah menyelamatkanku.
Maaf, karena aku tak pernah memberimu hal yang sama.
—W

Ia membacanya tanpa bergetar. Bukan karena hatinya beku, melainkan karena ia telah selesai. Ia mematikan layar, menyandarkan punggung, dan menatap jendela: pohon ketapang menggoyang-goyangkan helai yang tinggal separuh. Musim memang selalu punya rencana.

“Maaf bisa jadi jembatan. Tapi tak semua jembatan perlu kita lewati kembali.”

.

Kota Melanjutkan Detaknya

Kota tetap sibuk memantulkan dirinya pada kaca gedung. Di distrik bisnis, rapat terus digelar di ruang kaca yang membuat orang tampak lebih transparan dari hatinya. Di restoran di atap bangunan, lampu-lampu kota menggambar peta impian yang tampak mungkin. Di ruang-ruang kelas coworking, anak-anak muda mencatat mimpi seperti katalog—product launch, funding, personal growth, self-love.

Rengganis kembali ke rutinitas: mengedit naskah, menyusun program pendampingan penulis muda, membuka kelas kecil tentang etika berkarya. Sekali sebulan, ia menjadi relawan untuk sesi membaca di rumah singgah: suaranya menenun kalimat-kalimat yang bersahabat, seperti selimut tipis untuk malam yang genting.

Dalam kelasnya, ia menulis empat kalimat di papan tulis:

  1. Tulus, tanpa bodoh.

  2. Memberi, tanpa mengosongkan diri.

  3. Percaya, tanpa menukar harga diri.

  4. Pergi, ketika dirimu sudah tidak punya kursi.

Para peserta memotret. Sebagian menahan air mata yang malas pergi.

.

Yang Tumbuh dari Sisa

Di rumah, Rengganis merasa tenang merapikan hal-hal kecil: mengganti sarung bantal, menyiram tanaman lidah mertua yang bandel, menempelkan kutipan baru di lemari es: “Menjadi baik tak selalu berarti tinggal.” Ia belajar mengukur ulang jarak: antara keinginan membantu dan izin untuk tidak harus selalu hadir.

Suatu akhir pekan, ia berjalan menyusuri pameran seni rupa. Di sebuah instalasi, ada kursi dari serpihan kaca yang direkatkan menjadi bentuk utuh. Di sampingnya tertulis: ‘Kursi untuk orang yang belajar duduk di dirinya.’ Rengganis tersenyum. Kita semua sedang belajar duduk dengan benar, pikirnya—di hati sendiri.

Di luar galeri, ia bertemu Jayengrana, penulis muda dari kelasnya, yang sering kali mengirim draf berani namun keliru. “Mbak,” katanya tergesa, “aku hampir saja mengorbankan semua waktuku untuk proyek orang lain, karena katanya kesempatan tak datang dua kali.”

“Kesempatan datang berkali-kali pada orang yang siap,” jawab Rengganis, “dan kesiapan lahir dari kemampuan bilang ‘tidak’ ketika memang tidak.” Jayengrana menunduk, merekam kalimat itu di benaknya.

.

Hari Ini, Dalam Cahaya yang Baru

Hujan kembali reda. Di kafe kecil dekat alun-alun, Rengganis duduk di kursi yang dulu pernah membiarkannya sendirian. Di hadapannya, outline buku keduanya: tentang batas, tentang pulang, tentang perempuan yang memilih diri.

Pelayan datang membawa teh melati. “Seperti biasa?”
“Seperti biasa,” jawabnya. Ia menunggu uap menggulung, lalu menyesapnya pelan. Rasa pahit-manis menyeberangi lidah, seperti sisa-sisa masa lalu yang memilih berjalan, bukan berlari.

Kursi di seberang tetap kosong. Hanya saja, kekosongan itu bukan lagi pengumuman kehilangan. Ia berubah menjadi ruang: tempat pikiran duduk, tempat hati merapikan baju, tempat nafas beristirahat tanpa harus menjelaskan.

“Aku pernah hadir penuh untuk seseorang yang bahkan tak sadar aku ada. Kini, aku hadir sepenuhnya untuk diriku sendiri.”

Di layar, kursor bergerak. Kalimat-kalimat baru menemukan rumahnya.

.

Mata yang Kembali

Malam, Rengganis menutup jendela. Suara kota merendah, seperti lagu yang enggan selesai. Ia menyentuh punggung buku Lebih dari yang Pernah Aku Dapat, tersenyum kecil. Di rak, ada ruang kosong untuk buku berikutnya—ruang yang tidak lagi ia paksakan terisi.

Di meja, secarik kertas dengan tulisan tangan sendiri:

“Bahagia bukan hanya tentang siapa yang duduk di hadapanmu,
melainkan seberapa tegak kamu duduk di kursimu.”

Lampu dipadamkan. Kota tidur dengan janji baru. Besok, ia akan bangun, menyeduh teh, menulis, mengajar, tersenyum pada cermin. Bukan karena tak lagi sakit, melainkan karena ia sudah berdamai: lebih dari yang pernah ia dapat, ia sekarang memberi, pertama-tama, kepada dirinya sendiri.

.

.

.

Jember, 13 Juli 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenMinggu #SastraUrban #SelfRespect #BatasSehat #LiterasiPerempuan #KotaDanHati #MenakAdaptasi #JeffreyWibisonoVStyle

.

Kutipan-Kutipan dari Naskah

  • “Cinta yang sehat mengenal pagar: bukan untuk menjauh, tapi untuk pulang.”

  • “Maaf bisa jadi jembatan; tak semua jembatan perlu kita lewati kembali.”

  • “Kesepian adalah kota tanpa peta; kamu bisa hidup di dalamnya bertahun-tahun, tetap saja tersesat.”

  • “Harapan adalah tamu: sopan ketika datang, menyakitkan ketika pulang diam-diam.”

  • “Kesempatan datang berkali-kali pada orang yang siap; kesiapan lahir dari kemampuan bilang ‘tidak’.”

 

Leave a Reply