Langkah Pulang Rukmini
“Beberapa langkah tak membawa kita jauh. Tapi cukup untuk membuat kita kembali menjadi manusia.”
.
Peron yang Tak Lagi Sama
Kereta berhenti dengan dengus pelan, seperti hewan tua yang tahu diri. Asap menggumpal di bawah langit Parakan yang muram, mencoret-coret siang menjadi kelabu. Dari gerbong ketiga, seorang perempuan turun perlahan—langkahnya tenang, tapi dadanya gemuruh seperti gong yang dipukul dari dalam.
Rukmini, empat puluh dua, koreografer yang namanya pernah melanglang benua, berdiri sendirian di stasiun tua kampung halamannya. Tanpa sambutan. Tanpa keramaian. Hanya satu koper marun yang roda-rodanya berderit, dan satu kenangan yang tak mau pergi: pelukan ibu yang pernah ia tolak dua puluh tahun lalu di peron ini juga.
Ia menyusuri gang tanah yang setengah disemen, melewati deretan warung mi ayam, bengkel kecil, dan pos ronda yang cat birunya pudar. Rumah peninggalan ayahnya, Adipati Singalodra—bekas guru praja yang dihormati—menunggu seperti kapal tua di dermaga. Papan nama “Retnaningsih” masih tergantung, huruf-huruf besinya berkarat.
Di ruang tengah, Nyai Retnaningsih terbaring. Udara berbau kayu lapuk dan minyak kayu putih. Jendela menghadap kebun sawo yang lebat, menyaring cahaya menjadi sayatan tipis, seperti tirai panggung menjelang adegan yang menentukan.
“Pulang juga kamu, Nini…” bisiknya.
Rukmini bersimpuh. Jemari ibunya dingin, tulang-tulang menonjol seperti notasi pada partitur yang kosong. Mereka saling memandang, lalu memilih diam. Di antara diam itu, ada kata yang tak pernah sempat diucap: maaf—dan seluruh kalimat panjang yang seharusnya mengiringinya, seperti orkestra yang telat masuk.
Malam turun dengan langkah pelan. Hujan merapatkan genteng. Seperti seseorang menutup selimut pada tubuh yang menggigil—mungkin tubuh rumah, mungkin hati dua perempuan yang kelelahan.
.
Rumah Tua dan Perempuan yang Pernah Pergi
Pagi datang dengan bau kopi tubruk dan tanah basah. Rukmini membuka koper: baju hitam, kaus latihan, selendang putih yang dulu menari di panggung Tokyo dan Rotterdam, sepasang sepatu latihan yang solnya hancur di tepi. Di dinding, foto lama Adipati Singalodra tersenyum tipis—senyum seorang lelaki yang lebih percaya pada disiplin ketimbang nasib.
Rukmini menyeka debu pada piano tua di sudut ruang. Tutsnya menguning. Ia menekan satu nada. Sunyi memantul. Ia tertawa samar: di Jakarta, ia mengajar koreografi untuk perusahaan kreatif, menata gerak untuk iklan dan konser. Hidupnya berputar cepat seperti turntable seorang DJ. Di Parakan, jam bergerak dengan bunyi ayam, bakul sayur, dan adzan. Keheningan di sini punya warna yang lain—bukan kosong, melainkan penuh.
Jayeng Sekar, adik tirinya, masuk tanpa mengetuk. Dahi Jayeng selalu seperti garis lurus: jarang membuat lengkung senyum.
“Aku nggak tahu untuk apa kamu kembali,” katanya sambil mengangkat ember ke dapur.
“Aku juga nggak tahu,” sahut Rukmini, “tapi aku harus.”
“Selalu begitu,” gumam Jayeng, “kamu datang membawa bagasi yang berat, dan kami yang memindahkannya.”
Rukmini menoleh. “Bayangan tetap hadir meski tak dilihat,” ucapnya pelan, “dan kadang, bayangan yang menjaga arah.”
Jayeng diam. Kata-kata itu bukan ingin menang, melainkan menyisihkan ruang di antara dua hati yang bebal. Malam itu untuk pertama kali mereka duduk di beranda bersama, memandangi bintang yang remang oleh kabut, menimbang suara jangkrik yang seperti mesin jahit masa kecil.
.
Wasitapura: Lelaki yang Tidak Menuntut
Siang hari, Rukmini melangkah ke balai budaya kampung. Plang kayunya miring, huruf-hurufnya dimakan cuaca. Di halaman, ada pohon flamboyan yang baru bersemi, merahnya bagai luka yang ingin sembuh.
Wasitapura berdiri di ambang pintu, bahunya agak bungkuk, menenteng kamera analog yang bodinya lecet. Dulu ia menunggu Rukmini. Kini ia mengawasi balai, merawat buku inventaris, menyapu lantai sesudah hujan.
“Kau masih menari?” tanyanya pelan.
“Tidak,” jawab Rukmini.
“Kau kelihatan lelah.”
“Aku memang lelah.”
Wasitapura tidak bertanya apa pun lagi. Ia duduk di sampingnya. Di kota besar, orang-orang pandai menyusun tanya untuk menggali luka. Di kampung, ada orang-orang yang lebih pandai menjaga, menutup luka dengan kehadiran yang tak berisik.
.
Balik Kota, Balik Tubuh
Malam-malam Rukmini di Jakarta dulu diisi ruang latihan dengan cermin tinggi, suara metronom, dan manajer yang telaten menawar sponsor. Jadwalnya rapat, tubuhnya selalu dipacu. Kini, di Parakan, ia bangun lebih pagi, menyapu halaman, menanak nasi, merebus jahe untuk ibu. Tubuhnya tidak lagi didorong ambisi, melainkan ditarik pulang oleh sebab-sebab yang sederhana: napas ibu yang semakin pendek, dan rasa bersalah yang akhirnya berani punya nama.
Di balai budaya, ia mulai mengajar anak-anak desa menari. Gerak dasar. Langkah-langkah kecil. Tangan membuka seperti kelopak. Ia menamai tempat itu: Sanggar Langkah Pulang. Lantai balai berdebu, kipas angin berderik, namun tawa anak-anak menyapu semuanya.
Wasitapura memotret dari jauh, tanpa flash. Ia bukan kolektor gambar, melainkan penjaga waktu; setiap jepretan adalah cara mengingat: “Hari ini kita bernapas, dan itu cukup.”
Kabar tentang sanggar menyebar. Orangtua datang menjemput dengan sepeda motor, membawa bekal pisang rebus. Donasi cat tembok datang dari alumni sekolah dasar, kursi bekas dari kantor kelurahan, gulungan karpet dari mushala. Di kota, Rukmini terbiasa menyewa panggung. Di kampung, panggungnya tumbuh dari tangan-tangan yang tak menyebut nama.
.
Jayeng Sekar dan Luka yang Tidak Pernah Dibahas
Jayeng pandai mengatur logistik. Ia menyusun roster jaga, menulis jadwal kelas, membuat grup WhatsApp wali murid—hal-hal yang dulu tidak pernah dipikirkan Rukmini karena selalu ada manajer. Namun di antara daftar hadir dan nota cat, ada sesuatu yang menolak rapi: masa kecil mereka.
“Apa kamu ingat hari saat Bapak meninggal?” tanya Jayeng suatu siang, ketika mereka mengecat dinding balai.
“Tentu,” kata Rukmini, berhenti menggulung roller.
“Kamu pergi ke Jakarta keesokan harinya, tanpa menoleh.”
“Aku takut.”
“Kamu selalu berani di panggung, tapi tidak pada kenyataan,” ujar Jayeng, suaranya datar.
Rukmini meletakkan roller. “Kali ini aku menoleh. Dan kalau kamu mau, kita bisa lihat bersama.”
Di kejujuran itu, dinding hati yang retak menerima plester pertama. Tidak rapat, belum. Tapi udara baru mulai bisa lewat.
.
Pertemuan yang Sunyi
Dua minggu kemudian, Farrel datang dari Jakarta. Remaja tujuh belas tahun itu tinggi dengan rambut yang seperti selalu baru bangun tidur. Kaos hitam, sepatu putih, cara berdiri yang tidak ingin menunjukkan apakah ia ingin pergi atau tinggal.
“Ayah bilang kamu mau bicara,” ujarnya.
“Iya,” Rukmini menatapnya, “Aku tidak pernah berhenti jadi ibumu. Aku cuma… terlalu sering berdiri jauh dari diriku sendiri.”
Farrel duduk. “Aku nggak marah. Cuma bingung harus mulai dari mana.”
“Mulai dari duduk di sini sudah cukup,” kata Rukmini.
Mereka makan malam dengan sup sayur dan tempe goreng. Kata-kata belum nyaman. Sendok beradu piring. Tetapi ada kejujuran yang hangat, seperti kuah yang sederhana namun tak hambar.
Farrel menggeser piring. “Aku bawa gitar. Boleh main di sanggar?”
Rukmini tertawa. “Boleh. Tapi kamu harus ikut bantu ngecat.”
“Tawar-menawar yang sehat,” seloroh Farrel. Malam itu, ia memainkan akord pelan. Anak-anak yang belum pulang duduk di lantai, mendengarkan. Musik mengganti jeda yang takut diisi.
.
Malam Ruwatan dan Tari yang Terakhir
Kesehatan Nyai Retnaningsih menurun. Warga mengadakan ruwatan kecil. Mereka meminta Rukmini menari—bukan sebagai koreografer, melainkan sebagai anak. Ia menolak, tapi ibunya memegang jemarinya.
“Menarilah, Nini. Ibu ingin melihatmu satu kali lagi. Bukan sebagai tamu, tapi sebagai darah Ibu sendiri.”
Malam itu, halaman balai budaya menjadi panggung. Lampu-lampu bohlam digantung pada kabel yang ditautkan di dua pohon mangga. Angin meraba-raba selendang putih. Gamelan tua dipukul pelan. Rukmini berdiri di tengah lingkaran warga, menunduk pada tanah yang dulu ia tinggalkan.
Ia memulai dengan langkah dasar: ngabdho—membuka lengan seperti membuka hati. Napasnya disamakan dengan dengus angin, jemarinya menutup ketika menyebut nama-nama yang pernah ia sakiti: ibunya, Jayeng, Farrel, dirinya sendiri.
Wasitapura memotret dari jauh. Gurat wajahnya bening, seolah cahaya lampu bohlam menata ulang jam di matanya. Dalam tiga belas menit tari itu usai. Air mata tidak jatuh, sebab tubuh yang menari telah meneteskan air mata dengan cara lain: mengganti gerak jadi pengakuan.
Keesokan paginya, Nyai Retnaningsih mengembuskan napas terakhir. Parakan seperti menahan bunyi. Setelah dzuhur, warga mengantar ke pemakaman. Tanah memeluk dengan sabar. Rukmini duduk paling belakang, memegang selendang putih.
“Selendang ini sekarang jadi milik siapa?” tanya Farrel.
“Jadi milik kita,” jawab Rukmini. “Untuk menutup hal-hal yang tidak sempat kita katakan, dan membuka yang harus kita jalani.”
.
Kota yang Menyisakan Jejak
Setelah tahlil ketiga malam, Rukmini mendapat pesan dari manajernya di Jakarta: tawaran proyek besar—tur Asia dengan sponsor yang selama ini ia perjuangkan. Uang, nama, panggung. Semua kembali melambai.
Malam itu ia berjalan sendiri menyusuri jalan kota. Toko-toko tutup, plang “Dijual” di satu ruko baru dipasang. Di perempatan, baliho estate menampilkan keluarga yang selalu tertawa. Rukmini menatapnya lama-lama—iklan itu mengingatkan pada koreografi yang sering ia ciptakan untuk menjual mimpi.
Di jembatan kecil, ia berhenti. Sungai memantulkan lampu warung kopi. Di kota, ia sering pulang saat subuh, melempar tubuh ke kasur hotel, memaksakan tidur. Di kampung, pulang artinya menyusun kembali napas—bukan untuk lari, melainkan untuk menetap.
Ia menulis pesan singkat pada manajernya: Terima kasih. Aku tidak bisa. Suatu hari nanti, mungkin.
Tidak ada fanfare. Hanya desahan panjang yang akhirnya jadi keputusan.
.
Cinta yang Tak Selesai, Tapi Penuh
Bulan berganti. Sanggar Langkah Pulang ramai. Jadwal kelas menari menumpuk di papan tulis: dasar, lanjutan, persiapan festival kampung. Jayeng mengatur kas kecil, menyusun daftar donatur tetap. Farrel membuat sesi musik: pengantar ritme, cara mendengar tubuh.
Suatu sore, hujan turun deras. Anak-anak tertahan. Rukmini mengajak mereka membuat soto di dapur balai. Bahu-bahu kecil sibuk memotong daun bawang, menyalakan kompor, menakar garam. “Gerak itu bukan hanya di panggung,” kata Rukmini, “gerak juga merapikan sayur, menunggu air mendidih, menyendok dengan sabar.” Anak-anak tertawa. Perut kenyang. Hujan berhenti.
Wasitapura pulang paling akhir. “Kenapa kamu tidak pernah minta aku menunggu?” tanya Rukmini pada laki-laki yang memasang matahari di setiap kalimatnya.
“Karena menunggu tanpa diminta lebih menyenangkan,” jawabnya. “Tidak seperti lembar kontrak. Tidak seperti jam kantor. Ia tumbuh.”
Mereka tidak menikah, tidak berjanji ke pendopo atau pengadilan. Tetapi pagi-pagi mereka akrab dengan ritus yang kecil dan cukup: menjemur selendang, menyapu halaman, menandai jadwal latihan, menuliskan daftar belanja, menyelipkan doa pada telapak tangan sebelum kelas dimulai.
.
Kelas Orangtua: Edukasi yang Tekun
Rukmini mengangkat satu program baru: Kelas Orangtua. Seminggu sekali, selepas magrib, orangtua murid duduk lesehan di balai. Tema berganti-ganti: mendengar anak tanpa menyela, memisahkan ambisi orangtua dari minat anak, cara mengatakan “tidak” yang tidak mematahkan pertumbuhan rasa percaya diri.
Jayeng memandu diskusi; Farrel menyiapkan lembar ringkas—lembar kecil berisi tiga hal praktis yang bisa dibawa pulang: (1) Dua menit mendengar tanpa gadget; (2) Satu pujian spesifik setiap hari; (3) Satu rutinitas kecil bersama.
Seorang ayah berdiri, suaranya bergetar. “Saya kerja di kota, macet, pulang capek. Tapi saya coba dua menit mendengar itu. Anak saya cerita tentang temannya yang suka mengambil bekal orang lain. Saya hampir marah, tapi saya dengarkan dulu. Lalu kami cari cara bersama. Dua menit itu… membuat saya jadi manusia lagi.”
Balai hening. Hening yang sarat.
.
Festival, Kamera, dan Luka yang Menutup
Tiga bulan kemudian, festival seni kampung digelar. Stand kuliner menebarkan bau satai ayam. Panggung dibuat dari papan bekas, dihias kain warna-warni. Sore itu, matahari turun seperti permen jeruk—manis, lengket.
Anak-anak Sanggar Langkah Pulang tampil. Gerak mereka tidak sempurna, tetapi ada kecermatan yang tumbuh: menyapukan pandang ke kanan, menjaga jarak antar tubuh, mengingatkan pasangan menari bila salah langkah, tersenyum pada penonton meski suara gamelan terlambat satu ketuk.
Usai pementasan, panitia meminta Rukmini memberi sambutan. Ia menatap warga yang duduk di kursi plastik. “Di kota, saya diajar bekerja cepat,” katanya pelan, “di sini, kalian mengajar saya sabar. Kita tidak perlu panggung megah untuk menjadi manusia. Cukup saling hadir.”
Tepuk tangan pecah. Wasitapura tidak memotret. Ia menatap, menyimpan gambar itu ke dalam dadanya—tempat paling aman untuk hal-hal yang tidak boleh bocor.
Di tepi panggung, Jayeng mendekat. “Kamu tahu,” katanya, “aku memaafkanmu bukan karena kamu layak dimaafkan, tapi karena aku lelah membawa yang berat.”
Rukmini mengangguk. “Aku pun begitu.”
Mereka berpelukan cepat, canggung. Tetapi canggung adalah bentuk pertama dari nyaman yang sedang tumbuh.
.
Tawaran Baru: Kota yang Memanggil, Kampung yang Memeluk
Sebuah yayasan seni kota besar menghubungi: residensi tiga bulan, studio lengkap, gaji layak, kesempatan pameran. Suratnya rapi, logonya bergengsi.
“Pergilah,” kata Wasitapura ketika Rukmini bimbang. “Aku jaga sanggar.”
“Bagaimana anak-anak?”
“Anak-anak butuh tahu bahwa guru mereka juga murid dari dunia.”
“Bagaimana kamu?”
“Aku lelaki kampung, Nini. Aku pandai menunggu tanpa jam.”
Rukmini tertawa. Ia menolak pelan tawaran itu. Bukan karena takut, melainkan karena untuk pertama kali ia tahu apa yang sedang ia kerjakan: bukan menghindari panggung besar, melainkan memilih panggung yang tepat ukurannya bagi jiwa.
.
Peron yang Kini Berbeda
Suatu pagi, Rukmini kembali berdiri di peron. Kali ini untuk melepas Farrel yang akan kembali ke Jakarta. Koper hitam ditarik, tiket disimpan di dompet. Mereka berdua berdiri seperti dua penjaga gerbang.
“Kamu akan sering pulang?” tanya Rukmini.
“Kalau aku tidak pulang, kamu yang datang.”
“Deal.”
Kereta datang, suara besi beradu menyalami udara. Farrel memeluk Rukmini. “Terima kasih sudah memilih tetap di sini lebih dulu,” katanya.
“Terima kasih sudah memilih duduk di sana waktu pertama kali datang,” balas Rukmini.
Kereta bergerak. Rukmini melambai sampai gerbong terakhir lenyap di tikungan. Angin peron mengangkat sedikit ujung selendang yang ia bawa. Ia menatap telapak tangannya—garis-garisnya seperti peta yang tak selesai digambar, tetapi cukup jelas untuk menunjukkan arah pulang.
.
Langkah Pulang
Di halaman sanggar, Rukmini menulis tiga kalimat di papan:
-
Geraklah untuk mengingat, bukan untuk melupakan.
-
Dengarkan agar tubuhmu menemukan rumah.
-
Satu langkah kecil hari ini lebih kuat daripada seribu rencana besok.
Anak-anak membaca. Mereka menari. Tawa mereka memantul ke tembok, jatuh ke tanah, lalu bangkit lagi. Di beranda, Wasitapura menjerang teh, uapnya membentuk huruf-huruf yang segera hilang—seperti luka-luka yang pelan-pelan tahu cara sembuh.
Sore itu, Parakan memantulkan cahaya yang tidak berlebihan. Jalanan macet kecil karena angkot menurunkan penumpang. Seorang ibu menggendong bayi, seorang bapak memegang dua kantong plastik penuh sayur. Dua remaja tertawa di atas motor yang knalpotnya terlalu berisik.
Hidup tidak tiba-tiba menjadi puisi. Tetapi ia bisa dibaca dengan lebih sabar, dibunyikan lebih pelan, dan diingat dengan cara-cara yang manusiawi.
Rukmini menatap sekeliling. Ia pikir hidupnya dulu adalah garis lurus: latihan—panggung—aplaus—hotel—bandara—panggung lagi. Kini ia paham hidupnya adalah spiral: kembali ke titik yang sama, tetapi pada ketinggian yang berbeda.
Ia merapikan selendang putih. Di ujung selendang, ada benang yang terurai. Ia tidak memotongnya. Ia membiarkannya menari sedikit ketika angin datang, sebagai pengingat bahwa yang belum selesai pun bisa tetap indah.
Malam turun. Lampu-lampu balai menyala. Anak-anak satu-satu dijemput. Di ambang pintu, Rukmini menutup pintu dengan tangan yang ringan, bukan karena beban berkurang, tapi karena ia sudah berbagi.
Langkahnya menuju rumah tidak panjang—hanya beberapa puluh meter. Tetapi benar kata-kata yang ia tulis di awal: beberapa langkah tidak membawa kita jauh. Namun cukup untuk membuat kita kembali menjadi manusia.
.
.
.
Jember, 12 Juli 2025
.
.
#LangkahPulangRukmini #CerpenKompasMinggu #MenakMadura #KehidupanUrban #SanggarTari #KisahKeluarga #Reflektif #Edukasi #Solutif #Indonesia
.
.
Catatan Penulis
Cerita ini adalah fiksi yang terinspirasi dari nilai-nilai pitutur luhur Jawa dan dinamika kehidupan perempuan profesional yang kembali ke akar tradisinya. Mengangkat tokoh-tokoh dari bayangan kisah Menak Jawa, narasi ini mencoba menjahit kembali luka, keluarga, dan panggilan jiwa melalui tari, sunyi, dan keberanian memulai ulang.