Saat Aku Tak Peduli Lagi

“Kesetiaan itu tak bersuara. Tapi saat ia pergi, dunia pun ikut sunyi.”

“Kadang, yang paling setia tak bersuara. Ia hanya diam, bertahan, lalu hilang saat waktunya.”

.

Hujan turun perlahan, seperti ragu-ragu hendak membasahi bumi. Di balik kaca tebal lobi sebuah gedung perkantoran di Jakarta Selatan—menjulang dengan nama yang selalu muncul di laporan media bisnis—aku duduk bersama secangkir kopi hitam yang mulai kebiruan. Jam digital di dinding menempelkan angka-angka dingin pada waktu; orang-orang bersetelan wol berjalan cepat sambil menempelkan ponsel ke telinga, seolah seluruh hidupnya tersimpan di dalam layar itu. Barista memanggil nama-nama dengan suara datar, dan aroma arabika menyamarkan jarak di antara kami—para pekerja kantoran yang tertib, namun ringkih.

Namaku Sahlan. Di kartu akses, di surel rapat, di catatan risiko, namaku kecil, tapi persis. Di dunia PT Tirta Nusantara Group—konglomerasi air minum dalam kemasan, pabrik botol, logistik, distribusi—aku dikenal sebagai orang yang mengurus “yang kotor-kotor” agar tampak licin di permukaan. Orang yang datang paling awal, pulang paling akhir, yang namanya mungkin tak disebut di panggung, tapi garis keputusannya menembus dinding-dinding rapat.

Delapan tahun lalu, aku datang sebagai manajer operasional. Tidak lama, tugasku menjalar ke proyek lintas divisi, hingga aku kerap duduk di baris belakang ruang rapat direksi—bukan sebagai penggembira, melainkan saksi. Aku belajar yang paling penting: kepercayaan adalah benda yang tak terlihat, tetapi ketika hilang, semua yang terlihat ikut runtuh.

Di titik itulah aku bertemu Nurjannah.

Ia asisten eksekutif: cekatan, rapi, matanya menatap lurus seolah sudah tahu tempat setiap berkas sebelum sempat ditanyakan. Kami sering menutup rapat paling akhir, menertawakan typo di slide terakhir, menyamakan angka biaya yang meleset pada jam tiga pagi, lalu kembali ke kantor SATPAM pukul tujuh. Ada yang menyebutnya kapabilitas, ada yang menyebutnya kesetiaan. Aku tak menyebutnya apa-apa. Aku hanya bekerja.

“Tak ada yang lebih sunyi dari kepercayaan yang dikhianati secara perlahan.”

Pada tahun keempat, sesuatu berubah. Pada awalnya tidak kentara: akses data yang tiba-tiba membutuhkan otorisasi baru, rapat yang mendadak di-reschedule tanpa menandai namaku, dan proyek besar yang—tanpa penjelasan—dipindahkan ke Arya Kamandaka.

Arya datang dengan reputasi seperti jas linen yang baru diambil dari laundry: licin, wangi, dan tak ada yang berani menyentuh terlalu dekat. Ia lulusan luar negeri, fasih bicara tentang transformasi digital dan supply chain 4.0, lihai mengantarkan presentasi setipis kertas namun berkilau seperti neon. Di balik punggungnya, perlahan terbentuk lingkaran kecil: orang-orang yang paham arah angin, dan suka berada di sisi yang sedang hangat.

Aku tak tahu sejak kapan Nurjannah menjadi bagian darinya.

Aku mulai tidak diajak diskusi. Nomorku tak lagi masuk daftar panggilan siaga. Lalu suatu pagi, undangan rapat direksi tiba, dan aku hanya menjadi optional attendee. Dua minggu kemudian, sebuah memo mutasi menyusul: penugasan strategis ke cabang Jepara.

Tidak ada konferensi pers internal. Tidak ada foto serah terima. Hanya pesan singkat dari HR yang terdengar ramah namun dingin: “Pak Sahlan, selamat bertugas. Ini kesempatan baik.”

“Pengkhianatan di kantor tidak selalu lewat suara keras. Kadang lewat rapat tertutup dan keputusan mendadak.”

Di hari aku pergi, hujan juga turun. Jakarta tampak seperti kota yang sedang menahan napasnya. Di lift, aku berdiri sendirian. Orang-orang yang biasanya menyapaku, menunduk terlalu dalam pada ponselnya. Hanya Harjo, petugas kebersihan senior, yang berani menepuk bahuku. “Yang kuat, Lan,” katanya, memanggil nama kecilku. “Air mengalir, tapi laut tidak pindah.”

Jepara menyambutku dengan udara asin yang lebih jujur dari rapat-rapat. Gudang kami menempel ke kawasan ukir; truk-truk datang dengan bunyi besi yang tulus, bukan dengan catatan CFO yang memantul. Di tepi pantai, nelayan menjemur jaring. Aku duduk di warung kopi pinggir jalan, menandai peta distribusi manual, memotret kerusakan mesin pembotolan dengan ponsel yang kameranya pecah di sudut. Aku bekerja—bukan untuk membalas Jakarta, tetapi untuk memulihkan diriku sendiri.

Aku mulai membangun ulang semua dari dasar: audit alur logistik, menata ulang SOP pabrik, mengganti vendor dengan yang sanggup jujur. Aku mengajak Rengganis, staf QC yang telaten, untuk menginspeksi malam-malam. Aku merekrut Jaya Wirya, sopir truk tua yang tahu jalan tembus ke kecamatan terluar; ia mengajarkan peta yang tidak pernah muncul di Google: peta kesabaran.

Dalam setahun, mesin yang tadinya mati suri menyala seperti menahan tawa. Distribusi yang dulu memantul di antara meja rapat, kini berjalan terus—pelan, tapi pasti. Aku mengusulkan program CSR: pelatihan manajemen keuangan sederhana bagi UMKM kerajinan ukir dan olahan ikan. Kami tidak memiliki anggaran besar, tapi kami punya pengetahuan. Aku membagikan template pembukuan, nomor darurat untuk pengiriman, cara negosiasi harga agar tak terus diperas.

“Kadang, dibuang dari pusat kekuasaan justru membawamu ke pusat kekuatan sejati.”

Nama perusahaan kami mulai disebut bukan karena iklan, melainkan karena manfaat. Ketika kabar itu sampai ke pusat, mereka menamai kinerjaku “contoh implementasi turnaround strategy”. Mereka memintaku menyusun playbook. Mereka menawarkanku jabatan direktur operasional di anak perusahaan hasil merger—jabatan yang di Jakarta dulu tidak pernah mereka tawarkan pulang-pergi rapat.

Aku menerimanya tanpa menoleh ke belakang. Aku tak ingin menang. Aku hanya ingin tahan.

Pada hari pelantikan, orang-orang berpakaian rapi—tapi tidak terlalu rapi—datang. Mereka menyalamiku tanpa skrip. Di mata mereka, aku melihat sesuatu yang di Jakarta jarang kulihat: kepercayaan tanpa syarat.

“Waktu akan membawa kembali mereka yang pernah pergi. Tapi tak menjanjikan posisi yang sama.”

Suatu pagi, tiga tahun setelah aku pindah, seorang resepsionis mengetuk pintu.

“Pak, ada tamu mencari Bapak. Namanya Nurjannah.”

Aku hanya menatap meja selama beberapa detik, lalu mengangguk.

Ia masuk dengan wajah yang tidak lagi kubaca sama. Pipi yang dulu penuh ambisi kini menurun seperti garis di spreadsheet bulan rugi. Matanya mengembun, bukan karena riasan. Tasnya tidak lagi berlogo berkilau. Ia duduk perlahan, dan untuk pertama kalinya aku mendengar suaranya tanpa agenda.

“Aku dipecat,” katanya. “Audit internal menemukan dokumen perjalanan fiktif. Ada tanda tanganku di situ.”

Aku diam.

“Aku pikir itu prosedur biasa, Sahlan. Mereka bilang itu pengalihan biaya. Aku sudah bilang aku tidak nyaman, tapi rapat memutuskan. Aku… aku takut jadi musuh. Aku ikut saja.”

“Siapa mereka?” tanyaku.

Ia menyebut nama-nama yang dulu hanya kutebak. Di antaranya, Arya—yang kini, menurut kabar, sedang sabbatical panjang di luar negeri.

Nurjannah menatapku lama. “Aku tahu aku bagian dari itu. Aku minta maaf.”

“Orang yang pernah disakiti tidak selalu membenci. Tapi mereka belajar mencintai diri sendiri lebih dulu.”

Aku mengajaknya ke ruang pelatihan. Di papan tulis, ada jadwal pendampingan UMKM, pelatihan compliance, dan coaching untuk karyawan baru. Aku menawarinya kursi, air mineral, dan napas panjang.

“Kamu ingin apa sekarang?” kataku.

“Aku ingin mulai dari bawah lagi. Bukan karena jabatan. Karena aku ingin merasa bisa dipercaya—oleh orang lain, terlebih oleh diriku sendiri.”

Aku menghubungkan dia dengan LPK yang kami bina, tempat perempuan-perempuan muda belajar administrasi, akuntansi dasar, dan etik. Aku menulis rekomendasi: jujur dan pendek. Aku tidak menawarkan jabatan di perusahaan. Aku tidak menjanjikan promosi kilat. Aku hanya menawari jalan yang menyembuhkan.

Dua bulan kemudian, ia mengirim pesan: diterima sebagai staf administrasi di koperasi pesisir. Gajinya tak besar, tetapi matanya kembali memantulkan cahaya yang dulu hilang.

“Never push a loyal person to the point where they don’t care anymore. Karena saat ia tak peduli, bukan berarti ia benci. Tapi ia akhirnya mencintai dirinya sendiri.”

Aku berjalan di dermaga sore itu. Angin dari laut mengibaskan ujung kemejaku. Di kejauhan, kapal kayu memantulkan cahaya seperti lembaran logam. Aku menatap garis cakrawala, dan untuk pertama kali, aku tahu aku tak sedang menunggu kapal mana pun.

.

Jakarta tetap ada, dengan gedung yang tak pernah kehabisan lampu di malam hari. Sesekali aku ke sana untuk rapat pemegang saham. Orang-orang baru menyebut namaku dengan hormat yang rapi. Di lift, aku kembali bertemu bayanganku sendiri. Aku tersenyum.

Di rooftop sebuah hotel, aku bertemu Rengganis yang kini memimpin tim audit internal kami. Ia bercerita tentang temuan kecil yang mencegah kerugian besar, tentang rem yang ia pasang agar truk kami tak lagi melaju tanpa rem tangan, tentang sistem pelaporan yang bisa dibuat sederhana dan jujur.

“Yang membuat sistem berjalan bukan software,” katanya. “Tetapi orang-orang yang berani berkata tidak.”

Aku mengangguk. Di bawah sana, kota mengembuskan napas panjang. Lampu-lampu jalan seperti garis di selembar kertas yang bersih.

Suatu malam, pesan dari nomor tak dikenal masuk.

Arya.

“Bolehkah kita bertemu, Lan?”

Aku menatap layar ponsel, lalu mematikannya. Bukan karena benci. Karena selesai.

“Memaafkan bukan berarti kembali. Kadang memaafkan justru berarti berjalan terus tanpa menoleh.”

.

Beberapa bulan setelah itu, Nurjannah mengirimkan foto: ia berdiri di depan papan tulis, mengajar adik-adik fresh graduate tentang administrasi yang sederhana—cara menamai berkas, cara menyusun bukti, cara berkata tidak dengan sopan. Di bawahnya, caption pendek:

“Aku belajar, kesetiaan pertama adalah kepada nurani sendiri.”

Aku membaca dan menutup mata.

Mungkin beginilah ending yang jarang ditulis di press release: bukan tentang siapa yang menang, melainkan tentang siapa yang utuh.

.

“Di mana kepercayaan tumbuh, laba adalah bonus.”
“Tujuan rapat adalah keputusan, bukan ilusi kebersamaan.”
“Kesetiaan paling jujur kadang memilih pergi.”

.

Secangkir Kopi, Sekarang Hangat

Aku kembali ke kedai kopi tempat dulu aku duduk sendirian. Hujan masih bisa ragu, orang-orang masih bisa cepat, barista masih bisa datar. Bedanya, kopi di depanku kini hangat, bukan karena suhu, tapi karena tanganku tidak lagi menggigil.

Di layar ponselku, ada kalender pelatihan untuk UMKM baru di kepulauan sebelah. Ada rencana sekolah kejuruan logistik yang ingin kami dirikan dengan kurikulum yang tidak bertele-tele. Ada modul anti-fraud sederhana yang kami tulis dengan bahasa yang mudah.

Dan ada pesan dari Harjo: foto anaknya yang lulus SMK, memegang ijazah dengan bangga. “Terima kasih, Pak Lan,” tulisnya. “Bapak bilang, laut tidak pindah. Ternyata benar. Yang bergeser hanya keberanian kami untuk berlayar.”

Aku membalas dengan kalimat pendek: “Jaga angin, jaga arah.”

Aku menatap hujan yang makin rapat. Di jalan, taksi biru berhenti, seorang perempuan berpayung melambai; dunia bergerak seperti biasa, tapi aku tidak lagi sama. Di hati, ada ruang yang dahulu penuh nama-nama jabatan; kini diisi tenang: kehendak untuk baik.

Aku berdiri, membayar kopi, dan turun ke lobi. Pintu otomatis membuka tanpa suara. Udara Jakarta menyambut, panas dan jujur. Di saku, kartu akses baru menunggu rapat esok hari. Di kepala, langkah-langkah kecil untuk mengajarkan berani berkata tidak.

Aku tak menunggu siapa-siapa. Aku menunggu diriku sendiri, yang akhirnya datang.

Dan pada akhirnya, saat aku tak peduli lagi, itu bukan karena aku kekurangan hati—melainkan karena aku ingin menjaga yang tersisa.

“Kesetiaan yang sehat bukan tuli terhadap salah; ia mendengar, menimbang, lalu memilih pulang kepada nurani.”

.

Refleksi Praktis (yang Kugunakan untuk Bangkit)

  1. Tandai batas integritas. Catat hal-hal yang tak akan kaulakukan bahkan jika semua orang melakukannya. Batas yang jelas mengurangi bimbang.

  2. Bangun sistem sederhana. SOP yang manusiawi memudahkan orang jujur untuk menang.

  3. Pelihara komunitas kecil yang berani berkata tidak. Kesetiaan pada nurani butuh saksi.

  4. Belajar ulang dari bawah. Keahlian yang dipakai bukan sekadar skill, tetapi ketahanan.

  5. Bagi manfaat, bukan hanya laba. Ketika orang sekitar naik kelas, kita ikut terangkat.

“Hidup bukan soal balas dendam, melainkan balas budi kepada masa depan.”

Aku tersenyum kecil. Di keningku, hujan menepuk pelan, seperti mengucapkan selamat datang pada seseorang yang baru pulang dari perjalanan jauh—aku sendiri.

.

.

.

Jember, 6 Juli 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenKompasMinggu #FiksiUrban #Integritas #EtikaKerja #Jepara #JakartaSelatan #Kepemimpinan #UMKM #SelfHealing #StorytellingIndonesia

Leave a Reply