Di Antara Doa dan Dunia

“Jangan tertipu oleh ibadahmu. Periksalah hatimu—apakah ia sedang mencari wajah-Nya, atau panggung bagi dirimu?”

“Kesalehan tanpa rendah hati hanyalah cermin yang kita suapi pujian.”

.

Cahaya di Ujung Kapel

Langit senja di Desa Ngembat Langit, Jepara, menyapu lembut tanah yang mulai sepi. Dentang lonceng dari kapel kecil menampar hening sore. Di depan pintu, seorang pria lanjut usia berdiri tegap dengan baju koko putih dan celana kain. Namanya Rama Wirakrama—mantan bruder Katolik yang memilih menyepi setelah bertahun-tahun mengajar anak-anak nelayan membaca, menulis, dan berdoa.

Di belakangnya, seorang pemuda berlarik bayang: Jayengrana. Wajahnya tampan, rapi, aroma parfum kantor masih melekat seperti kebiasaan yang terlambat ia tinggalkan. Ia baru pulang dari Jakarta, meninggalkan meja kerja di lantai 27 gedung kaca yang memantulkan seluruh ambisi ibu kota. Di sana ia pernah melesat—marketing multinasional, panggung webinar, konten motivasi religius yang sering viral. Dan di sana pula ia tumbang, diremukkan oleh permainan licik seorang atasan, oleh sahabat yang memilih selamat sendiri.

“Bahkan doa rosario yang panjang pun belum tentu membawa hati kita kepada-Nya, Le,” bisik Rama Wirakrama usai doa petang. “Kadang orang mengira dekat dengan Tuhan karena sering berdoa. Padahal yang mereka doakan cuma urusan dunia.”

Jayengrana menunduk, merasakan berat kata-kata itu di tengkuknya. Di balik lipatan kemeja mahal dan citra anak baik, ia menyimpan nyeri yang tak ingin diakuinya: kesombongan yang tumbuh di tanah amal.

.

Jakarta: Panggung yang Didirikan di Dalam Diri

Di Jakarta, hidup Jayengrana berjalan seperti slide presentasi yang selalu rapi. Ia lulus dengan cumlaude, direkrut cepat, dan dalam tiga tahun telah memimpin tim kampanye digital untuk Asia Tenggara. Ia fasih bicara tentang brand meaning, customer journey, dan conversion; menyelipkan ayat-ayat di caption, menutup webinar dengan doa.

Pagi-pagi sekali ia membagikan nasi bungkus ke kolong jembatan, memotret tangan yang menerima, lalu menuliskan refleksi tentang syukur. Kata-kata baiknya dihujani ‘amin’. Di ruang meeting, setiap selesai rapat, ia mengetik status singkat: “Semoga kita diberi hati yang lapang.” Ia merasa dekat dengan Tuhan, merasa berbeda dari rekan-rekan yang sinis dan letih. Di dalam dirinya, suara kecil berbisik: “Engkau lebih baik dari mereka.”

Ia tertarik pada Adaninggar—rekan kerja yang memimpin riset pasar. Adaninggar cekatan, logis, bicara secukupnya, dan selalu tertawa di ujung kalimat seperti mengembalikan dunia ke ukuran yang proporsional. Mereka sering bertukar artikel tentang ekonomi digital dan menulis rencana kecil untuk membuka kedai roti artisan—rencana yang karena rapat, target, dan lembur, selalu tertunda.

Sampai proyek “Sagara”—kampanye regional paling ambisius kantor—datang. Anggaran menebal, mata atasan berbinar. Jayengrana ditunjuk menjadi lead, timnya gabungan bakat-bakat terbaik. Di papan tulis, ia menulis: “Meaning before metrics.” Ia yakin akan mengubah cara perusahaan berkomunikasi: dari mengejar angka menjadi merawat makna.

Tapi sebuah malam di ruang rapat tanpa jendela, dokumen yang ia susun rapi bergeser arah. Atasan yang fasih tersenyum memerintahkan pivot: “Meaning bagus, Jay, tapi investor mau hasil kuartal ini. Ganti narasi jadi fear-of-missing-out. Main di scarcity.” Jayengrana mencoba mengingatkan risiko reputasi. Atasan mengangguk, lalu menambahkan: “By the way, tolong pastikan semua keputusan ini kamu yang tanda tangani, ya. Biar LUT (line of accountability) jelas.”

Rapat bubar. Ponsel bergetar. Pesan Adaninggar: “Hati-hati. Kamu sedang disiapkan jadi penahan petir.”

Dan benar. Saat kampanye menuai krisis karena promosi yang menyinggung kelompok rentan, semua tanggung jawab diarahkan pada tanda tangan di bawah. Jayengrana diminta mengundurkan diri “demi kebaikan bersama.” Adaninggar menghilang dari chat, memilih diam karena soal kredit rumah yang baru disetujui, karena hidup di Jakarta adalah perhitungan yang tak boleh meleset. Teman-teman rapat menghindar, hanya mengirimkan stiker peluk di grup.

Malam itu, Jayengrana duduk di depan salib kecil yang tergantung di dinding apartemen sewaannya. “Mengapa, ya Tuhan? Bukankah aku selalu menyebut nama-Mu di setiap slide?” Suaranya pecah, bukan karena kehilangan gaji, tetapi karena citra yang ia bangun runtuh sekaligus. Ia tidak merasa hancur—ia merasa dipermalukan.

.

Jepara: Kelahiran yang Dimulai dari Keheningan

Ia pulang. Tiket tanpa rencana pulang. Ngembat Langit menyambutnya dengan angin asin dan suara perahu ditarik ke darat. Rama Wirakrama menaruh panci sop di meja, menyuruhnya makan dulu, lalu tidur.

“Kau tahu, Le,” kata sang paman keesokan pagi, “rasa sakit karena dicopot topeng itu beda dengan rasa sakit karena disayat pisau. Yang pertama membuat kita ingin bersembunyi. Yang kedua memaksa kita berobat.”

Hari-hari awal di desa hanya diisi dengan berjalan—dari kapel ke tambak, dari pasar ke pantai. Di pasar, ia bertemu Yusnia, gadis muda yang menjajakan jajan pasar dengan tatapan berani. Kakinya cepat, suaranya ringan, dan tawanya terdengar seperti peluit kapal.

“Mas Jayeng kok tiap sore duduk di tangga kapel?” tanya Yusnia.

“Lagi belajar meluruskan hati.”

“Kalau hati lurus, doa ringan. Kalau doa ingin dilihat orang, beratnya kayak menggotong bakul jajanku sampai ke Donorojo,” canda Yusnia. Mereka tertawa. Jayengrana merasa kalimat sederhana itu memukul sesuatu yang keras di dalam dadanya.

Ia membantu Rama Wirakrama mengajar anak-anak nelayan membaca peta dan menghitung untung-rugi jual beli ikan. Sepulang mengajar, ia ikut Yusnia berbelanja bahan di pasar: kelapa yang dipilih karena tua muda bisa diendus, gula merah yang retakannya terlihat jujur, tepung beras yang halusnya tak membuat batuk. Di sela tawar-menawar, Yusnia berkata, “Hidup itu kayak bikin ongol-ongol, Mas. Kelihatannya sederhana, tapi butuh sabar supaya gula tidak gosong dan tepung tidak menggumpal. Kalau buru-buru, jadinya anyep.”

.

Kematian yang Mengajari Cara Hidup

Suatu malam, ketika angin menabrak daun kelapa seperti jari-jari raksasa, Rama Wirakrama rebah di lantai kapel. Wajahnya tenang, tangannya menggenggam rosario yang sering ia pinjamkan pada anak-anak. Jayengrana mengguncang bahu yang tua itu, memanggil-manggil. Mata sang paman tinggal memantulkan cahaya lilin.

Di penguburan sederhana, Jayengrana berdiri di samping salib kayu. Suara burung prenjak menyayat pagi. Ia menatap nisan yang hanya bertuliskan nama dan dua tanggal, lalu membisikkan janji: “Aku akan memperbaiki cara hidupku. Bukan hanya lahir, tapi juga batin.”

Malamnya, ia menulis di halaman belakang buku catatan lama: “Doa bukan jalan pintas. Doa adalah jalan pulang.”

.

Padepokan Nurani: Sekolah yang Dimulai dari Dapur

Rumah peninggalan Rama Wirakrama ia ubah menjadi tempat belajar informal: Padepokan Nurani. Kelas beranda dengan bangku panjang; dapur menjadi laboratorium ekonomi rumah tangga; halaman belakang untuk menjemur buku yang baru dijilid. Ia mengajak Yusnia menjadi pengajar “ilmu dapur” dan kearifan lokal. “Aku bisa apa?” tanya Yusnia. “Bisa mengajarkan ketepatan rasa,” jawab Jayengrana. “Dan ketepatan rasa—dalam hidup maupun bisnis—adalah ilmu besar.”

Di papan tulis kapur, ia menulis kurikulum: literasi finansial sederhana, cerita asal-usul tempat, etika kerja, seni menerima kritik. Anak-anak nelayan belajar membuat anggaran belanja. Ibu-ibu belajar merekam pengeluaran tanpa merasa diawasi. Para remaja memotret jajan pasar dan menulis caption yang jujur.

Jayengrana tidak menolak Jakarta; ia mengundang Jakarta untuk datang. Ia meminjam koneksi lama: jurnalis yang masih menyisakan simpati, fotografer teman kuliah, dan seorang mantan klien yang diam-diam menilai pemecatannya dulu tidak adil. Mereka membantu mengemas kisah Padepokan Nurani, bukan dengan gliter, melainkan dengan kejujuran. Tidak ada rating bintang. Tidak ada janji “laku keras.” Hanya ajakan: kalau datang ke Jepara, mampirlah. Kalau membeli, bayarlah secukupnya. Kalau menyumbang, jangan minta diucapkan di spanduk.

Adaninggar membaca salah satu artikel itu, diam lama di depan layar. Ia mengirim pesan pendek setelah berbulan-bulan: “Maaf. Aku tidak berani membelamu saat itu.” Jayengrana membaca pelan, lalu menjawab, “Terima kasih. Semoga kita sama-sama sembuh.”

Beberapa bulan kemudian, Adaninggar datang. Tidak lagi dengan blazer, melainkan kemeja kotak-kotak dan sepatu yang nyaman. Ia menawarkan program riset kecil untuk memetakan potensi kuliner tradisional di desa sekitar—membantu warga mengerti siapa pembeli mereka, bukan sekadar menebak-nebak. “Supaya usaha tidak cuma ikut tren,” katanya, “tapi tahu untuk siapa hadir.”

Padepokan Nurani pelan-pelan jadi lintasan: mahasiswa, vlogger, dan peziarah yang ingin melihat “sekolah hati” dengan mata kepala sendiri. Mereka mendapati dapur hangat, bau kelapa disangrai, dan suara anak-anak tertawa saat ujung lidah terbakar pedas cabai dadakan. Mereka tidak diberi “program perubahan dunia”—mereka diminta mencuci piring, mengupas singkong, dan menulis satu kalimat tentang “apa yang membuatku jujur hari ini.”

.

Doa yang Tidak Mencari Panggung

Suatu pagi, lonceng kapel berbunyi satu kali. Tidak ada misa; hanya napas laut dan serangga. Jayengrana duduk di bangku paling belakang. Doanya pendek, tidak berderai air mata, tidak ingin didengar siapa pun. Ia merasa seperti seseorang yang akhirnya menemukan kunci yang selama ini tergelincir di antara karpet dan sofa.

“Kali ini, aku benar-benar berbicara kepada-Mu,” batinnya. “Bukan kepada citraku.”

Ia ingat malam ketika ia meminta Tuhan memuliakan presentasinya; ia tersenyum kecil, sadar betapa sering ia mengundang Tuhan untuk menonton pertunjukan, bukan untuk mendampingi perjalanan. Ia mengingat atasan yang memainkan kartu akuntabilitas; ia mengingat amarah yang belum tuntas. Di ujung doa, ia memilih melepas: bukan memaafkan karena ia merasa suci, melainkan karena beban di punggungnya memang harus diturunkan agar ia bisa berjalan jauh.

Ia kembali ke halaman. Adaninggar mengatur tripod; Yusnia mengiris daun pandan. Anak-anak berbaris, menenteng buku yang dijilid ulang. Seseorang bertanya, “Mas, mengapa kita harus menulis pengeluaran harian?” Jayengrana menjawab, “Supaya kita tidak merasa miskin, saat sebenarnya hanya lupa mencatat.”

Hari itu mereka memasang papan kecil di gerbang: “Padepokan Nurani—Belajar Hati, Belajar Hidup.” Di bawahnya, tulisan tangan Yusnia: “Buka setiap hari, tutup saat hati butuh diam.”

.

Jakarta Kembali Menyapa

Kabar tentang Padepokan Nurani berkembang bukan karena kampanye, melainkan karena cerita yang dibawa pulang. Beberapa bulan kemudian, undangan datang dari universitas swasta besar di Jakarta: kelas tamu untuk mahasiswa komunikasi. Honor tidak besar, tapi jadwalnya pas. Jayengrana menatap pesan itu lama, takut kotak kaca tua akan kembali memerangkapnya.

“Pergi saja,” kata Adaninggar. “Bawa kopi tubruk dan kue cucur. Mereka butuh rasa yang tidak bisa dibuat di mesin espresso.”

Ia berangkat. Jakarta masih sama: jalan layang yang bertumpuk, reklame menyala, wajah-wajah letih yang digerakkan target. Di kampus, ia bicara bukan tentang “branding suci,” melainkan tentang tanggung jawab di balik kata-kata. “Jangan menepuk dada dengan kalimat ‘kita peduli’, bila sebenarnya kita hanya takut kehilangan pasar. Mulailah dari satu orang: siapa yang benar-benar kamu tolong dengan pekerjaanmu?”

Seorang mahasiswa bertanya, “Mas, jadi kita tidak boleh mencari cuan?” Ia menjawab, “Silakan cari cuan. Tapi pastikan cuanmu tidak merampas rasa laparmu akan integritas.”

Usai kelas, ia berjalan melewati gedung kantor lamanya. Lampu lantai 27 masih menyala. Ia berhenti, mengirimkan doa pendek untuk nama-nama yang pernah menyeberang di hidupnya—bahkan untuk atasan yang menaruhnya di garis tembak. Bukan doa agar mereka jatuh, bukan pula doa agar mereka melihat penyesalan. Hanya doa agar mereka, suatu hari nanti, juga tidak tertipu oleh panggung yang memuja diri mereka sendiri.

.

Solusi Kecil yang Bertahan: Program Lima Butir

Sekembali ke Ngembat Langit, ia merapikan catatan. Ia menyusun “Program Lima Butir”—bukan karena manis di telinga, tapi karena mudah diingat:

  1. Butir Rasa: Latihan membedakan keinginan dan kebutuhan. Setiap keluarga membuat daftar mingguan “yang diperlukan” dan “yang diinginkan,” lalu menakar belanja dengan jujur.

  2. Butir Waktu: Satu jam sunyi tanpa gawai setiap sore—untuk membaca, menulis, atau sekadar memperhatikan suara angin.

  3. Butir Kerja: Setiap usaha rumahan menuliskan SOP sederhana dengan bahasa sendiri—agar kualitas tidak bergantung pada mood.

  4. Butir Uang: Buku kas dua kolom yang diisi setiap malam; anak-anak dilibatkan menghitung.

  5. Butir Doa: Doa pendek sebelum mulai kerja: “Tuhan, lindungi kami dari kesombongan yang halus.”

Program itu tidak membuat media internasional datang, tidak mengundang dana banjir. Tapi di catatan kecil, angka-angka berubah: utang di warung berkurang, perselisihan rumah tangga menurun karena belanja tidak lagi saling menuduh, jajan pasar Yusnia laris dengan antrean yang masih bisa diatur, anak-anak mulai mengerti perbedaan “mau” dan “perlu.” Pelan, konsisten, dan benar-benar hidup.

.

Surat dari Adaninggar

Suatu subuh, paket kecil tiba: roti artisan rasa kayu manis yang dulu mereka impikan, dibungkus sederhana dengan kertas cokelat. Di dalamnya secarik kertas:

Jayeng,
Aku keluar dari kantor. Bukan karena membencinya, tapi karena aku akhirnya paham: aku tak boleh kehilangan diriku untuk menyenangkan target.
Aku sedang bantu UMKM di Tebet memetakan pembeli. Kapan-kapan aku ke Ngembat Langit.
P.S. Roti ini resep gagal nomor 57 yang akhirnya jadi.
– Adaninggar

Jayengrana tersenyum. Ia memotong roti itu bersama anak-anak. Mereka mengunyah pelan, belajar menghargai kerja yang tidak lahir dalam semalam.

.

Pulang, Tanpa Panggung

Sore itu, gerimis menulis aksara halus di kaca jendela. Jayengrana duduk di tangga kapel, memandang jalan yang kembali basah. Bahunya ringan. Padepokan Nurani masih sederhana: cat dinding belum rata, atap dapur sesekali bocor. Tapi di sisi kiri dapur, ada rak baru tempat anak-anak menaruh buku kas. Di sisi kanan, papan kecil berisi kalimat harian murid-muridnya.

“Mas,” panggil Yusnia dari dapur, “coba rasakan bubur sumsumku hari ini. Aku kurangi garamnya.”

Jayengrana mengangguk, mencicipi. “Ini rasanya seperti… tidak ingin pamer.”

Mereka tertawa. Gerimis berlalu. Laut memantulkan cahaya putus-putus, seperti doa yang lama disimpan dan pelan-pelan kembali menemukan alamat.

Di bangku terdepan, Jayengrana berdoa sekali lagi. Tak panjang, tak penuh retorika. Sekadar satu kalimat: “Tuhan, tolong aku agar tidak tertipu oleh ibadahku; ajari aku memeriksa hatiku.” Dan untuk pertama kalinya, ia pulang—tanpa panggung, tanpa penonton, hanya dengan langkah yang tahu arah.

.

“Kadang kita terlalu sibuk berdoa hingga lupa memeriksa: kepada siapa sebenarnya kita berdoa—kepada-Nya, atau kepada bayangan diri kita sendiri?”

.

.

.

Jember, 4 Juli 2025 (hari Jumat pertama)

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenKompasMinggu #DiAntaraDoaDanDunia #MenakMadura #Reflektif #UrbanIndonesia #PadepokanNurani #UMKM #KulinerTradisional #EtikaKerja #ReligiHumanis

Leave a Reply