Dibiasakan Luka, Didewasakan Waktu
“Yang berat bukan melupakan, tapi membiarkan yang tinggal tetap tinggal tanpa menghancurkan yang datang.
Sebab hidup bukan soal menutup luka, melainkan belajar berjalan dengan bekasnya.”“Waktu tidak pernah menawarkan penghapus,
tetapi ia mengajarkan tangan kita untuk lebih kuat menggenggam pena berikutnya.”
.
Ada luka yang tak serta-merta sembuh hanya dengan menangis. Ada kecewa yang tak cukup diredam dengan kata-kata. Dan ada perpisahan yang tak bisa dikejar meski sepenuh hati ingin bertahan.
Namun ada satu hal yang, meskipun tidak menyembuhkan, selalu bekerja dengan setia: waktu.
Bukan penyihir yang menghilangkan rasa sakit. Tapi guru yang pelan-pelan membuat kita… terbiasa.
Dibiasakan. Terbiasa. Sudah biasa. Dan biasalah.
.
Tahun Sunyi Sang Jayengrana
Namanya Jayengrana. Usia 32 nyaris 33. Di sebuah kantor megah di jantung ibu kota, ia menempati ruang kaca menghadap bukit beton yang berderet seperti gigi hiu. Jabatannya manajer pemasaran di perusahaan digital yang mengelola data pelanggan untuk brand-brand prestisius. Gajinya baik. Mobilnya baru. Asuransinya lengkap. Semua tampak seperti papan yang utuh—rapi, mapan, stabil.
Namun retakan bukanlah sesuatu yang selalu tampak.
Delapan tahun hidupnya ditemani Dewi Retna Manggali—kekasih sejak kampus yang tumbuh bersama skripsi, lulus bersama rangkaian wisuda, merayakan kerja pertama, sampai jabatan manajerial yang mereka raih selisih dua tahun. Mereka menganyam rencana, menyusun cicilan, menghitung hari. Lalu semua karam bukan karena pengkhianatan, melainkan restu yang menolak turun. Keluarga Manggali—keturunan pedagang garam Madura yang disegani—punya keyakinan lain tentang jodoh.
Tiga kali lamaran ditunda. Empat kali pertemuan keluarga kandas. Enam kali doa bersama tak juga memantapkan hati yang harusnya tidak diukur beratnya dengan neraca warisan. Maka pada suatu sore mendung, di bawah pohon tabebuya yang baru berhenti menggugurkan bunga, Manggali mengembalikan cincin.
“Kakang… aku capek. Bukan karena tak cinta. Aku lelah melawan arus sendirian,” suaranya temaram, seperti lampu jalan yang redup mendahului malam.
Sepi sesudahnya seperti kertas kosong yang menolak tinta. Jayengrana menyimpan cincin itu di laci meja kerja, menutupnya, memutar kunci. Sejak itu ia jarang tertawa—jika pun tertawa, hanya di sudut bibir, sebagaimana orang tertawa untuk sopan santun.
.
Dipaksa Waktu, Diajari Sabar
Hari-hari setelah perpisahan seperti babak kosong dalam sebuah pementasan. Jayengrana tetap memimpin rapat, mempresentasikan angka pertumbuhan, menyusun strategi retensi pelanggan, mengirim pesan ke grup kantor: noted, good job, let’s iterate. Tapi begitu pintu apartemen tertutup, ia membukanya lagi—pintu yang lain—pintu menuju hening.
Ia menolak ajakan makan malam dari timnya. Menunda futsal. Membiarkan jaket hujan tergantung selama berhari-hari, padahal hujan sudah lama pindah musim.
Satu-satunya orang yang ia izinkan masuk ke sukmanya adalah Murdaningrat—sahabat yang dulu sekampus, kini kepala divisi riset. Orang yang doyan tertawa pada hidup dan serius pada kopi.
Suatu malam di rooftop kantor, angin bertiup dari utara membawa aroma sungai yang sedang mengerahkan sabar menampung sampah kota. Murdaningrat menyerahkan segelas kopi hitam.
“Kakang,” katanya, “kadang luka tidak butuh dilupakan. Ia butuh diakui supaya tidak lagi menyamar jadi amarah. Kalau kau menolak rasa sakit, ia akan mencari jalan lain—jadi sinis, jadi sinyal yang mematikan peka.”
Jayengrana memandangi lampu-lampu kota seperti bintang-bintang yang jatuh dengan sabar. Ia meneguk kopi itu. Pahit yang jujur.
“Aku hanya ingin hari ini berlalu cepat,” jawabnya.
“Boleh,” kata Murdaningrat. “Tapi biarkan juga dirimu berjalan pelan.”
.
Kembalinya Napas Pelan
Waktu memaksa dengan cara lembut. Mula-mula, Jayengrana memaksa bangun, memaksa makan, memaksa mandi, memaksa hidup. Lalu, perlahan, paksaan itu bergeser jadi kebiasaan.
Ia kembali ke gym pukul tujuh pagi, bukan untuk membentuk dada, melainkan untuk merapikan napas. Ia menata ulang lemari, menyumbangkan kemeja-kemeja yang sudah tidak menghadiri siapa pun. Ia mengikuti webinar tentang behavioral economics, menjadi moderator, mengulas jawaban narasumber dengan tenang. Di dalam tas, ia menyelipkan buku tipis yang dulu dibeli berdua dengan Manggali: kumpulan esai filsafat populer, penuh garis-garis stabilo.
Suatu malam, saat menata laci, secarik kertas kecil terselip antara polis asuransi dan karcis parkir lama. Tulisan tangan Manggali: “Hidup tidak harus selalu menang. Kadang cukup kuat untuk bertahan.”
Dulu, kalimat itu mengundang banjir di mata. Malam ini, hanya riak kecil: senyum yang memantul di kaca jendela. Ada jarak baru antara ia dan rasa sakitnya. Jarak yang tidak dingin, tapi dewasa.
.
Pertemuan yang Membuka Luka
Pada sebuah pameran inovasi teknologi, hall besar itu riuh rendah oleh langkah sepatu kulit dan wewangian mahal. Di tengah anjungan yang memamerkan kecerdasan buatan untuk memetakan selera, Jayengrana berpapasan dengan Dewi Retna Manggali.
Masih sama anggunnya, dengan kebaya modern warna pualam. Di sampingnya berdiri pria bersorban biru laut: Arya Sela Lodra—wajahnya teduh, senyumnya mudah, tatapannya matang. Suami Manggali.
“Kakang Jayengrana… kabar baik?” suara Manggali tenang, tidak lagi tergesa seperti dulu.
“Alhamdulillah,” jawab Jayengrana. “Panjenengan?”
Manggali mengangguk. “Baik. Terima kasih untuk semua yang pernah kau perjuangkan.”
Kalimat itu menelusup seperti angin dari celah jendela. Tidak menusuk, tapi membuat bulu kuduk berdiri. Mereka berbincang sebentar tentang proyek, perjalanan dinas, menu katering di stan pojok yang kebanyakan asin.
Malamnya, Jayengrana menyusuri jembatan layang dekat rumah. Lampu kendaraan menulis garis-garis cahaya yang cepat hilang. Ada luka yang membuka diri seperti buku lama. Tapi ia tidak jatuh. Kakinya tidak gemetar. Ia berbisik pada angin: “Aku tidak lagi ingin menaklukkan masa lalu. Aku ingin menatanya seperti meletakkan foto di album—ada halamannya, ada tempatnya.”
.
Kota yang Mengajari Pelan-pelan
Kota ini keras, tapi juga ramah pada orang yang mau belajar. Pada hari-hari kerja, Jayengrana naik MRT, menyimak wajah-wajah yang membawa harapan di tas punggung. Ia belajar memandang bukan untuk membandingkan, melainkan memahami.
Di kantor, ia memulai kebiasaan one-on-one mingguan dengan anggota tim: bukan untuk memeriksa KPI semata, tapi bertanya apa yang membuat mereka hidup. Dini, analis muda yang baru kehilangan ayah, bercerita sambil memperbaiki kacamata. Kiran, desainer yang senyumnya tak pernah tuntas, mengaku takut salah sehingga menunda mengajukan ide.
Jayengrana menulis di papan putih: Kita tidak dibayar untuk selalu benar. Kita dibayar untuk bersedia diperbaiki.
Ia tahu kalimat itu bukan hanya untuk orang lain. Itu untuk dirinya juga.
.
Kepergian yang Membuat Tumbuh
Menulis menjadi jalannya menuju waras. Jurnalnya tidak heroik; ia menulis hal-hal biasa: cara menanak nasi tanpa menatap jam, menyiram tanaman tanpa menghitung tetes, mencuci piring sampai bunyi gesekan busa terdengar seperti ritme. Di sela-sela, ia menulis kalimat-kalimat yang kelak ia baca ulang pada saat genting:
-
Luka tidak bisa diburu-buru sembuhnya; ia punya SOP sendiri.
-
Kesedihan yang diakui kehilangan daya untuk menguasai.
-
Maaf itu kadang bukan untuk orang lain; maaf itu kursi kosong agar kita bisa duduk tanpa berdesakan.
Undangan demi undangan datang untuk berbicara di komunitas profesional muda: tentang resilience, tentang burnout, tentang seni bertahan di kota yang berjalan lebih cepat dari jam dindingmu. Ia tidak tampil sebagai motivator, melainkan sebagai orang yang sedang memperbaiki diri dan mengajak orang lain bersama-sama.
“Kadang yang mendewasakan kita bukan usia,” katanya dalam sebuah forum, “melainkan luka yang kita lewati dengan gentleness. Ia dibayar dengan air mata, tetapi juga dengan bangga: kita masih di sini, menatap hari besok.”
Orang-orang menyebutnya inspiratif. Padahal ia hanya belajar diam yang aktif: diam yang memilih, bukan diam yang menyerah.
.
Di Tepi Pantai Waktu
Setahun setelah perpisahan, Murdaningrat mengajak tim ke pantai selatan: short retreat yang ditunda tiga kali karena tender dan tenggat. Pasir putih itu seperti halaman buku raksasa yang siap menerima cerita baru. Angin menaburkan garam tipis di kulit. Debur ombak menyapu sisa-sisa kalimat yang ingin jadi penyesalan.
“Kakang,” Murdaningrat menepuk bahunya, “kenapa melamun? Kangen Manggali?”
Jayengrana tertawa kecil. “Aku bersyukur. Ternyata waktu memang bukan penyembuh. Tapi ia guru yang sabar. Ia membuat kita biasa berjalan sambil membawa nyeri, tanpa menempelkan nyeri itu ke orang lain.”
“Dibiasakan, terbiasa, sudah biasa, dan….”
“Biasalah,” sambung Jayengrana. Mereka tertawa. Tawa yang utuh.
Sore itu, matahari turun pelan, seolah enggan mengakhiri shift. Jayengrana berdiri dan menatap garis cakrawala yang memerah, mengingat dirinya setahun lalu yang meringkuk di sudut kamar. Ia mengeluarkan ponsel, membuka catatan, menulis:
Terima kasih, Jay, versi lama. Kau sudah mengantarkanku sejauh ini. Izinkan aku melanjutkan sisanya.
.
Arya Sela Lodra dan Jalan yang Berbeda
Hidup menyimpan kelokan yang adil. Beberapa bulan kemudian, ketika perusahaan menandatangani kolaborasi dengan jaringan koperasi maritim, Jayengrana bertemu lagi dengan Arya Sela Lodra. Pertemuan kerja—formal, profesional. Di ruang rapat dengan kaca setinggi langit-langit, mereka memetakan perilaku belanja nelayan yang kini masuk ke aplikasi.
“Aku mendengar kau aktif membagikan materi resilience,” kata Arya selepas rapat. “Terima kasih—Manggali bilang itu membantu teman-temannya.”
Jayengrana tersenyum. “Terima kasih juga. Semoga pernikahan kalian… bahagia.”
Arya mengangguk, menatap lurus. “Kami juga belajar. Restu itu bukan garis lurus—kadang harus diulang setelah kita menjadi orang yang benar untuk saling mendoakan.”
Ucapan itu menenangkan, tidak menggurui. Jayengrana pulang hari itu tanpa sisa pahit yang biasanya menempel di langit-langit mulut. Ada kedewasaan yang saling menghormati. Ada hal-hal yang selesai bukan karena dimenangkan, melainkan karena dilepas.
.
Kota, Rumah, dan Ruang di Antaranya
Di sebuah Minggu pagi, Jayengrana menata ruang tamu apartemen kecilnya. Ia menggulung karpet tua, mengganti tirai dengan linen tipis, meletakkan tanaman lidah mertua di sudut yang dulu ia isi dengan kardus. Ia memutar lagu-lagu tanpa lirik. Ia menyalakan diffuser dengan aroma kayu manis—wangi yang hangat tanpa menuntut.
Di meja, ia menulis enam hal praktis yang selama setahun menyelamatkan urat sarafnya. Ia menaruhnya di papan gabus, untuk diingat setiap kali badai mendadak datang:
-
Napas tiga kotak: hitung empat masuk, empat tahan, empat keluar—lakukan tiga set.
-
Siklus cahaya: keluar saat matahari ada, biar tubuh ingat hari.
-
Gerak kecil: cuci piring, lipat baju, siram tanaman—tindakan kecil itu jangkar.
-
Bicara jujur pada satu orang: jangan jadikan medsos sebagai tempat luka mendapat tepuk tangan.
-
Makanan hangat: bukan mahal, yang hangat; sup bening lebih ampuh dari takeaway dingin.
-
Tata uang: pisahkan pos “pemulihan”—buku, terapi, perjalanan singkat; luka juga butuh anggaran.
Ia memotret daftar itu, mengirimkannya ke grup kecil sahabat. Murdaningrat membalas dengan stiker kopi dan kalimat: ini brosur kecil untuk selamat berhari-hari.
.
Sepotong Senja di Balik Kaca
Musim hujan datang lagi. Dari jendela ruang rapat lantai dua puluh, kota tampak seperti akuarium besar. Jayengrana selesai mempresentasikan kampanye retention paruh kedua yang mengandalkan pesan-pesan personal dan kejujuran data—bukan tipu muslihat untuk memaksa orang kembali. Tepuk tangan yang ada tidak riuh, tetapi tulus.
Sepulangnya, ia naik MRT, berdiri dekat pintu. Seorang anak kecil berseragam putih-merah tertidur di bahu ibunya. Ada damai yang sederhana, yang tak dimiliki kartu kredit mana pun.
Di rumah, Jayengrana membuka laci, mengambil kotak cincin lama. Ia menatapnya sebentar, lalu meletakkannya di rak buku—bukan lagi benda rahasia, melainkan artefak. Aku tidak perlu membuangmu untuk bisa berjalan, batinnya. Aku hanya perlu menaruhmu di tempat yang benar.
Malam itu, ia menulis kalimat terakhir untuk bab setahun:
Kedewasaan bukan seberapa panjang umur, tapi seberapa jujur kita membaca luka. Bukan untuk dilupakan, melainkan diakui sebagai penuntun arah.
.
Biasalah
Pada sebuah lokakarya yang diadakan komunitas profesional, seorang peserta bertanya, “Mas Jay, apakah waktu benar-benar menyembuhkan?”
Jayengrana tersenyum. “Tidak. Waktu tidak menyembuhkan. Ia hanya membuat kita cukup terbiasa untuk mengakui rasa sakit tanpa menjadikannya identitas. Ketika tinggal sebagai bekas, ia berhenti memerintah.”
Ia menatap hadirin: orang-orang kota dengan sepatu pantofel dan sepatu kets, dengan target bulanan dan cicilan tahunan, dengan mimpi yang mereka selipkan di antara reminder kalender.
“Kalau pun ada yang menyembuhkan,” lanjutnya, “itu kesediaan kita untuk memaafkan—orang lain, keadaan, dan terutama diri sendiri.”
Di luar, hujan baru turun. Dalam renyai itu, lampu-lampu jalan memantul di aspal seperti serpihan bintang yang turun kelas. Jayengrana melangkah pulang. Tidak lagi menunggu keajaiban, melainkan menempuh kebiasaan.
Dibiasakan. Terbiasa. Sudah biasa. Dan biasalah.
.
.
.
Jember, 3 Juli 2025
.
.
#CerpenKompasMinggu #MenakMadura #Resilience #HealingDewasa #KotaDanKita #LiterasiEmosi #Mentorship #CeritaPerkotaan #IndonesiaModern
.
Kutipan pull-quote
-
“Jangan meminta waktu jadi dokter. Biarkan ia jadi guru—yang sabar mengulang sampai kita paham.”
-
“Kesedihan yang diakui kehilangan daya untuk menguasai.”
-
“Kita tidak dibayar untuk selalu benar. Kita dibayar untuk bersedia diperbaiki.”
-
“Maaf itu kursi kosong agar kita bisa duduk tanpa berdesakan.”