Langit Tak Pernah Bertanya

“Jangan minta izin untuk terbang. Jika sayapmu tumbuh, maka langit akan membuka jalan. Terbanglah.”

.

Langit dan Loteng

Nama pemuda itu Umar Maya. Sebuah nama yang, seperti nasib, kerap disalahpahami—seakan “Maya” berarti semu, padahal ia adalah riil yang berkeras hidup. Di rumah kontrakan petak, tepat di bawah genteng bergelombang yang dilapisi lumut, ada loteng reyot tempat Umar menatap langit malam. Langit menjadi pelariannya, bingkai kosong untuk memasang mimpi-mimpi yang belum berani diucapkan. Di sana ia menggambar burung, pesawat, layang-layang—apa pun yang bisa terbang. Bukan karena ingin jadi pilot. Umar cuma ingin bebas.

Ibunya, Dewi Rengganis, menjajakan gorengan dari pagi sampai malam—tangan yang berbau minyak, mata yang selalu menghitung kembalian. Ayahnya, Wiryasari, hanyalah suara dua minggu sekali. Pulsa lima ribu, tanya kabar, janji-janji yang tak pernah menetes seperti hujan. Selebihnya, hidup Umar adalah kesunyian dan mimpi.

Keluarga kecil itu terkurung di perut kota yang namanya luput dari peta wisata: gang sempit, spanduk utang menumpuk, sepeda motor bersuara serak. Di ujung gang, warung milik Kelleng—lelaki Madura tua yang dulu pandai menempa keris—sekarang menekuni kopi. Orang memanggilnya Kelleng saja; dulu ada yang bilang “Empu”, tapi gelar itu sudah lama ia tanggalkan. “Panasnya api sama,” katanya pada Umar, “dulu untuk baja, sekarang untuk biji kopi. Yang membedakan cuma niat.”

Umar menyukai kalimat-kalimat seperti itu. Pendek, tajam, dan mampu menahan lapar sampai jam dua belas malam.

.

Dunia yang Terlalu Nyaring

“Orang seperti kita enggak perlu mimpi yang aneh-aneh,” ujar Durman—tetua kampung yang selalu duduk di kursi plastik hijau. Umar ingat sore itu: hujan baru usai, sandal-sandal meneteskan sisa air, dan bendera kecil yang kusam masih berkibar di tembok. Umar pulang dari sekolah dasar, memeluk buku gambar, bercerita tentang cita-citanya menulis buku dan keliling dunia.

“Yang penting hidup cukup, enggak nyusahin orang tua.”
Itu terdengar seperti nasihat. Padahal, bagi seorang bocah, kalimat itu bisa menjadi palu godam. Dunia sering memberi batasan pada sayap yang bahkan belum tumbuh. Kata-kata Durman mengendap, mengeras menjadi kerikil di sepatu Umar: kerikil kecil yang menyakiti tiap langkah panjang.

Tapi langit… langit tak pernah bertanya dari mana kau datang.

.

Luka-luka Kecil yang Membentuk

Umar tumbuh dalam sunyi yang sibuk. Pagi hingga sore ia mengojek daring, malam kuliah kelas pekerja di jurusan komunikasi. Ia tidur tiga jam, selebihnya meminjam waktu dari hari esok. Di halte busway, di parkiran mal, di pinggir trotoar baru yang basah cat, Umar menulis catatan kecil di ponsel tua. Kisah penumpang yang bercerita tentang keluarga, kesepian, kebanggaan kecil: pegawai salon yang menyekolahkan adik, barista yang diam-diam ingin jadi perawat, satpam yang belajar gitar.

Tulisan-tulisan itu diunggah ke blog murahan dengan tema gratisan. Tak banyak yang membaca. Satu-dua komentar, selebihnya sunyi. Tapi Umar tak peduli. Menulis adalah caranya menyelamatkan hal-hal kecil dari tenggelam.

Suatu malam, ia mengantar penumpang ke sebuah hotel mewah; lampu-lampu atrium menetes seperti kristal, pintu putar mengeluarkan desis mengancam. Dari balik kaca ballroom, suara seorang pembicara terdengar:

“Jangan minta izin untuk terbang. Sayap itu milikmu. Langit itu bukan milik siapa pun. Own your flight!”

Kalimat itu menancap seperti anak panah yang membebaskan. Umar berhenti sejenak, menatap refleksinya yang retak di kaca—jaket hujan, helm dengan stiker terkelupas, wajah capai. Anehnya, ia justru merasa ringan.

Di beranda hotel, seorang lelaki muda berkulit gelap dengan senyum setengah malas berdiri sambil memainkan kamera. “Namaku Jokotole,” katanya ketika mereka sama-sama menyalakan rokok yang tak jadi dihisap. “Aku motret acara. Kau ngojek? Kau juga menulis?”

“Iya.”
“Kalau begitu, kita sama-sama cari cahaya.”

Nama Jokotole, yang akrab disapa Joko, menempel di kepala Umar. Ada sesuatu yang jauh dan purba dari nama itu, seperti riwayat yang melintasi pulau, garam, dan angin kering.

.

Mimpi yang Mulai Menyala

Malam itu, Umar menulis ulang blognya. Lebih jujur, lebih telanjang. Ia menulis tentang takut—takut tak cukup, takut terlalu terlambat, takut dianggap terlalu kecil—dan juga tentang marah yang seharusnya diubah menjadi kerja. Ia menulis, “Siapa pun bisa menabur benih. Tapi menunggu benih tumbuh adalah iman.” Ia menulis, “Kita bukan angka di absen dunia.” Ia menulis sampai loteng reyot mengembuskan udara dingin, sampai lampu di rumah-rumah tetangga padam satu per satu.

Seminggu kemudian, tulisan “Aku Tak Ingin Hanya Menjadi Nama di Absen Dunia” dibagikan seorang jurnalis terkenal. Dalam semalam, blognya diserbu puluhan ribu pembaca. Pagi berikutnya, Umar mendapat surel dari sebuah penerbit nasional. Mengajak bertemu. Mengajak berbicara. Mengajak menerbitkan buku.

Di pangkalan ojek, ponselnya terus bergetar. Pesan-pesan masuk: “Terima kasih sudah menulis.” “Aku merasa dilihat.” “Aku menangis di halte.” Ada juga pesan dari nomor tak dikenal: “Kami dari Cakrawala Media. Bisakah bertemu Kamis, pukul 10.00?”

“Apakah saya pantas?” tanya Umar pada langit. Langit diam—bukan karena tak peduli, tapi karena jawabannya sudah ada di tubuh Umar.
“Jangan minta izin untuk terbang,” ia akhirnya membisikkan kepada dirinya sendiri.

.

Menjadi Suara bagi yang Tak Terdengar

Buku itu lahir setahun kemudian. Sampulnya sederhana: foto aspal basah dengan jejak roda dan lampu kota yang memantul. Judulnya Jarak Antara Berangkat dan Sampai. Umar menolak foto dirinya dipasang di cover. “Biarkan pembaca membayangkan,” katanya pada editor, seorang perempuan berkerudung bernama Maduretna—Madu, sebutannya—yang selalu menatap lurus seperti busur siap lepas.

Peluncuran buku digelar di toko buku yang dulu terasa terlalu mahal untuk dimasuki Umar. Ia datang dengan sepatu pinjaman Joko—masih ada garis lumpur di sisi kanan, tapi terasa pas—serta kemeja putih yang disetrika ibunya semalaman.

Di barisan depan, Rengganis duduk bangga. Matanya merah oleh kantuk—semalam tetap menggoreng, meski Umar sudah bilang tak perlu. Setelah acara, Rengganis memeluk anaknya erat. “Kalau bapakmu datang, mungkin dia akan diam. Tapi Ibu tahu, diam juga bisa berarti bangga.”

Di antrean tanda tangan, seorang anak SMA menghampiri dengan wajah gugup. “Kak Maya… aku pengin jadi penulis, tapi keluargaku nggak setuju. Mereka bilang itu bukan masa depan.”
Umar tersenyum, menemukan bayangannya sendiri dalam mata itu. “Kau tak perlu izin siapa pun untuk bermimpi. Kalau hatimu sudah bicara, bertindaklah. Jangan menunggu semua dunia setuju. Terbang saja.”

Sejak hari itu, Umar mulai berkeliling kampus dan komunitas. Ia bukan motivator. Ia datang sebagai orang yang menolak tunduk pada suara yang mengecilkan. Ia mendengar lebih banyak daripada bicara. Di setiap sesi, Umar menutup dengan kalimat yang sama: “Kalau kau masih ragu, ingat: langit tak pernah bertanya KTP-mu.”

.

Rumah yang Sama, Langit yang Berbeda

Umar tetap tinggal di rumah yang sama. Loteng reyot, genteng berlumut, kipas berdengung. Tapi kini, malam-malamnya tak lagi sepi. Ada tumpukan buku untuk dikirim, catatan pembaca, undangan diskusi, dan—sebuah mimpi baru: membuat ruang belajar gratis di kampungnya. Bukan bimbel mahal, melainkan tempat remaja-remaja setempat menulis, memotret, belajar mengatur uang saku, dan merancang portofolio diri.

“Namanya apa?” tanya Joko, yang kini sering nongkrong di loteng sambil menatap bintang.
“Retna,” ujar Umar sambil melirik Madu yang tertawa kecil. “Singkatan Ruang Etika dan Narasi.”
“Terlihat manis sekali kebetulanmu,” goda Joko.
“Dalam hidup, kebetulan keras kepala adalah doa yang menyaru,” Madu menimpali.

Ruang itu mereka bangun di teras rumah Kelleng. Dindingnya triplek, lantainya keramik sumbangan. Kelleng menyediakan kopi; “Panaskan airnya sampai degupmu tenang,” katanya pada anak-anak yang datang. Di dinding terpasang foto hitam-putih karya Joko: gang sempit, wajah-wajah penuh tekad, tangan-tangan memegang pena.

.

Uang, Batas, dan Jalan Tengah

Tentu, mimpi tak bisa hanya hidup dari niat. Dana menipis. Sumbangan tak selalu datang. Peminjaman proyektor harus bergantian. Saat hendak menyerah, Madu memperkenalkan Umar pada Wiraraja—pengusaha properti yang dikenal dingin, rambut perak disisir rapi, kuku bersih, jam tangan yang menatap waktu seperti majikan. Tanpa gelar. Hanya nama. Wiraraja.

“Kau mau apa?” tanya Wiraraja, menatap Umar seperti menakar bahan bangunan.
“Sederhana,” jawab Umar. “Kami ingin anak-anak di gang ini punya portofolio. Bukan sekadar nilai rapor. Portofolio yang menunjukkan mereka bisa mengerjakan sesuatu.”

“Portofolio?” alis Wiraraja terangkat.
“Karya foto yang bisa dicetak, tulisan yang dimuat, video pendek yang bercerita, rencana usaha kecil yang dihitung dengan benar. Hal-hal yang menunjukkan mereka bisa dipercaya.”

“Dan apa untungnya untukku?”
“Tak ada. Kecuali kalau Bapak—eh, maaf… kecuali kalau Anda percaya bahwa kota ini lebih aman jika anak-anaknya punya masa depan.”

Wiraraja menahan senyum yang nyaris tak terlihat. “Kau menolak menyebutku bapak?”
“Karena saya minta kita bicara setara.”
Hening sebentar. Lalu Wiraraja melirik Madu. “Berapa angka yang kau butuhkan?”

Umar menyebut angka yang menurutnya wajar.
Wiraraja mengangguk. “Kau datang dengan mimpi yang terukur. Kutebus mimpimu dengan syarat: laporkan setiap rupiah. Transparan. Ajak anak-anak magang di salah satu proyek sosialku. Dan satu lagi—jangan jadikan fotomu di spanduk lebih besar dari hasil kerja.”

Umar mengangguk. “Sepakat.”

.

Ayah Pulang sebagai Hujan

Suatu senja, saat Umar mengepel lantai Retna, pintu berderit. Seorang laki-laki berbau rokok, bersepatu kulit retak, berdiri dengan wajah tak yakin. “Aku Wiryasari,” katanya pelan, “bolehkah… melihat—”

Umar tak tahu harus menyusun perasaan. Marah yang lama, rindu yang malu, dan hormat yang enggan bertemu. Hujan turun tiba-tiba, seperti skenario yang terlalu pencolotan, tapi begitulah kenyataan: kadang realita tak peduli pada selera estetika.

“Masuk,” kata Umar. Ia menyodorkan kursi plastik. “Ini Retna. Tempat anak-anak menulis, memotret, dan merancang.”
Wiryasari menatap dinding penuh foto. Ada gambar Rengganis berdiri di depan wajan penggorengan; ada Joko memotret anak kecil yang tersenyum tanpa gigi; ada Madu memandangi kertas jadwal kelas.

“Aku membaca bukumu,” ucap Wiryasari, suaranya bergetar. “Di halaman 73, kau menulis: ‘Diam juga bisa berarti bangga.’ Aku… terlalu banyak diam.”

Umar menatap hujan. “Hujan juga adalah diam yang jatuh.”

Mereka tak membahas masa lalu panjang-panjang. Yang patah tak akan kembali utuh hanya karena ditatap lebih lama. Tapi mereka menyusun ulang cara berjalan. Wiryasari mulai mengantar minyak, tepung, dan bahan-bahan yang dibutuhkan ibunya. Ia tak menjanjikan banyak. Ia hadir. Terkadang, kehadiran adalah paragraf terpanjang yang dibutuhkan kisah keluarga.

.

Krisis yang Mengajari Tumbuh

Kota bergerak. Harga sewa melonjak. Proyek sosial dipotong. Bantuan berkurang. Sementara Retna makin ramai. Umar memutuskan menerapkan sistem berbayar suka rela untuk kelas-kelas tertentu, dengan beasiswa silang. Ia menjelaskan ke anak-anak: “Menerima bayaran bukan keangkuhan, tetapi cara supaya api tetap hidup.” Joko menambahkan kelas fotografi komersial yang hasilnya menutup sewa. Madu membuka pelatihan copywriting untuk UMKM tetangga.

Konflik pun datang—tak semua tetangga senang. Ada yang bilang Retna menimbulkan keramaian, ada yang sinis: “Mentang-mentang sekarang terkenal, lupa asal!” Ada yang memfitnah: uang bantuan diselewengkan. Umar didera cemas. “Bagaimana cara meyakinkan yang tak mau diyakinkan?”

Kelleng, sembari menakar kopi, berkata: “Kau tak perlu meyakinkan semua orang. Kau hanya perlu terus menerangi. Gelap tidak pernah menang debat. Ia hanya menunggu lampu padam.”

Umar pulang malam itu, naik ke loteng. Angin mendorong genteng, gemeretak seperti buku yang terlalu sering dibuka. Ia menulis daftar hal yang bisa diperbaiki: jadwal lebih rapi, laporan keuangan ditempel di dinding, komunikasi ke warga melalui grup RT, sesi dengar keluhan tiap Jumat, jaring kolaborasi dengan kampus terdekat. Langkah-langkah kecil yang membuat mimpi bersandar pada kenyataan.

.

Cinta yang Mengajarkan Rendah Hati

Umar jatuh cinta pada Madu bukan karena wajahnya menyejukkan, melainkan karena cara ia menutup laptop ketika seorang anak datang tanpa janji. “Cerita dulu,” selalu katanya, “deadline bisa menunggu napasmu.” Mereka tak pernah menyebut tanggal pernikahan. Mereka menabung kepercayaan.

Di sebuah malam listrik padam, mereka duduk di teras Retna ditemani lampu minyak. Joko memainkan gitar butut, suara falsnya menertawakan diri sendiri. Rengganis membagi gorengan yang terlalu gurih. Wiryasari memperbaiki engsel pintu. Wiraraja—percaya atau tidak—datang tanpa mobil, tanpa jam tangan mewah, hanya membawa tumpukan kertas yang berisi peluang magang.

“Kadang,” kata Madu, meletakkan kepala di bahu Umar, “kita sibuk mengejar kota. Padahal, kota yang membuat kita adalah momen-momen kecil seperti ini.”

Umar memandang langit yang kehilangan bintang, tapi tak kehilangan kedalaman. “Langit tak pernah bertanya dari mana kita datang,” gumamnya. “Ia juga tak bertanya ke mana kita akan pulang.”

.

Mereka yang Datang dan Pergi

Waktu mengalir. Beberapa anak lulusan Retna diterima kerja: ada yang menjadi junior copywriter, ada yang menjadi asisten fotografer, ada yang membuka thrift shop dengan manajemen stok rapi. Seseorang, Retno—gadis pemalu dengan tulisan yang tajam—menembus lomba esai nasional. Ia menelepon Umar sambil menangis. “Aku tak percaya kalimat bisa membuka pintu sebanyak ini.”

Ada juga yang gagal: Ros, yang sempat berhenti kelas karena harus menjaga adik; Sabil, yang motornya disita leasing; Dani, yang kembali ke kebiasaan buruk. Umar tak menutupi yang gagal dalam rapat bulanan. Ia menulis: “Tumbuh bukan garis lurus. Tapi setiap belokan bisa dibaca.”

Ketika seorang pejabat kota datang meninjau, kameranya merekam sudut-sudut yang paling rapi. “Ini keren ya,” katanya. “Bisa jadi role model.”
Umar tersenyum sopan, lalu menunjuk dinding laporan yang menampilkan angka-angka merah. “Yang ini juga role model, Pak. Kegagalan yang bisa dipelajari.”

.

Jalan Panjang Kembali ke Rumah

Pada akhirnya, Umar bukan lagi sekadar penulis yang menolak mengecil. Ia menjadi penata jalan kecil yang mengantarkan orang lain melangkah. Ia belajar bahwa kemewahan kelas menengah ke atas bukan hanya restoran mahal dan tiket konser, tetapi kemampuan membiayai mimpi orang lain tanpa merasa kehilangan. Beberapa pembaca bukunya—eksekutif muda, pemilik usaha, arsitek—datang ke Retna, duduk tanpa memotret, dan bertanya: “Apa yang bisa kami bantu?”

Umar menjawab dengan daftar yang tidak heroik: bayar gaji tutor, beli kamera bekas, tambah rak buku, kursus akuntansi untuk UMKM tetangga. Ia percaya kebaikan yang membumi lebih bisa terbang jauh. Karena kebaikan seperti itu punya sayap sendiri.

.

Langit, Akhir, dan Awal

Malam-malam kembali ke loteng. Umar menatap langit yang selalu sama dan selalu baru. Kota mendesah seperti mesin yang tak pernah mati. Ia teringat kalimat di ballroom bertahun lalu—kalimat yang dulu memantul di kaca hotel, menancap di hati, dan menumbuhkan sayapnya sendiri.

“Jangan minta izin untuk terbang. Jika sayapmu tumbuh, maka langit akan membuka jalan. Terbanglah.”

Umar menutup mata, mendengar suara ibunya di dapur, bunyi kunci kecil yang diletakkan Wiryasari di paku dekat pintu, langkah Madu menapaki anak tangga dengan hati-hati agar tak membangunkan siapapun, suara Joko tertawa di telepon ketika memamerkan foto yang terlalu gelap tapi jujur.

Langit tidak pernah bertanya. Langit membuka.
Maka Umar melompat, lagi dan lagi, dari tepi yang sama—dengan cara yang setiap hari berbeda.

.

Catatan untuk yang Membaca

Jika kau merasa kecil, ingatlah: ukuran mimpi tidak mengikuti ukuran kamarmu. Ia mengikuti ukuran keberanianmu. Bila tidak ada ruang, buatlah. Bila suara orang-orang di sekitarmu terlalu nyaring, belajarlah memilah mana kritik dan mana ketakutan yang menyaru kepedulian. Bila uang tidak cukup, tulislah angkamu seterang mungkin dan ajak orang baik menilai. Bila gagal, tempelkan kegagalanmu di dinding. Jangan malu; jadikan ia peta.

Karena nyatanya, yang memerdekakan bukan tepuk tangan gedung besar, melainkan keputusanmu untuk tidak lagi meminta izin menjadi dirimu sendiri. Sayapmu mungkin tumbuh pelan. Tapi langit, percaya saja, selalu menunggu.

.

.

.

Jember, 1 Juli 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#LangitTakPernahBertanya #CerpenKompasMinggu #UrbanStory #MotivasiHidup #LiterasiAnakKota #CommunityBuilding #MaduraEthos #OwnYourFlight

.

Kutipan-kutipan dari Cerita

  • “Diam juga bisa berarti bangga; hujan adalah diam yang jatuh.”

  • “Tumbuh bukan garis lurus. Tapi setiap belokan bisa dibaca.”

  • “Kebaikan yang membumi punya sayap sendiri.”

  • “Kau tak perlu meyakinkan semua orang; teruslah menerangi.”

Leave a Reply