Karena Luka Aku Bertumbuh
“Kadang hidup tidak bertanya apakah kita siap; ia hanya datang dengan luka. Tugas kita bukan mengusirnya, melainkan menenun arti dari perih yang tinggal.”
“Rasa sakitku bukan sia-sia. Ia membentukku, memurnikanku, dan menyingkirkan semua yang palsu. Kini aku berdiri, bukan meskipun karenanya—melainkan justru karena itu.”
.
Namaku Asya. Tidak ada yang istimewa dari namaku, seperti tidak ada yang istimewa dari kisah hidupku—setidaknya begitu pikirku dulu. Aku lahir di Jember, kota yang disebut orang kalau musim panen tembakau tiba, lalu dilupakan saat asap gudang berhenti mengepul. Masa kecilku seperti jalan desa selepas hujan: becek, licin, tapi tetap dilalui.
Ibuku patah hati bukan karena kematian, melainkan karena ditinggal hidup-hidup. Ayah pergi bersama perempuan yang namanya tidak pernah disebut di rumah. Sejak itu, ibuku sering menatap kosong, seolah ada jendela di udara yang hanya ia bisa lihat. Aku belajar dewasa dari punggung ibu yang kurus; dari piring yang kucuci di rumah orang; dari lantai kedai soto yang kulap setiap malam. Aku belajar bahwa berharap bisa jadi kemewahan, dan menunda tangis adalah keahlian.
“Kesepian adalah tempat di mana kita mulai berdialog dengan kekuatan yang selama ini kita kira tidak ada.”
.
Tahun-Tahun yang Hilang
Kelas dua SMP, aku sudah hafal suara ember seng yang ditarik dari sumur dan bunyi kain pel yang keringnya selalu semu. Aku menjaga warung tetangga yang bernama Candra—lelaki paruh baya dengan rambut memutih di pelipis, yang gemar memutar radio dangdut setiap sore. Candra tidak banyak bicara, hanya sesekali menepuk bahuku, “Kamu kuat, Syah.” Julukan itu melekat sampai aku lulus SMA.
Di rumah, ibu tidur seperti orang berlayar. Sesekali ia bangun, wajahnya memucat, lalu menulis sesuatu di kertas sobekan kalender: angka-angka yang tidak kupahami. “Biar ingat,” katanya. Tapi apa yang ingin diingat jika masa depan saja seperti kabar burung? Aku tak bertanya.
Tahun-tahun itu mengajarkanku satu hal yang perih: rasa sakit bisa jadi rumah jika kita terlalu lama tinggal di dalamnya. Tetapi rumah itu, tidak pernah benar-benar memberi kenyamanan. Seperti kita duduk di kursi tamu yang disarungi plastik: takut kotor, takut bergerak, takut meninggalkan bekas.
“Orang yang paling tenang bukan yang tidak punya badai—ia hanya belajar mengikat talinya lebih kuat.”
.
Kota dan Luka yang Baru
Selepas SMA, aku berangkat ke Surabaya dengan koper pinjaman dan alamat kos-kosan dari sepupu jauh. Kota itu tidak memberiku karpet merah; ia menyodorkan trotoar patah, lampu merah yang lama, dan malam-malam yang tidak berjanji apa-apa. Pekerjaan pertamaku: room attendant di hotel bintang tiga di bilangan Embong Malang. Seragam biru tua, sepatu hitam yang terlalu sempit, dan jam tangan digital hadiah lebaran.
Di hotel itu, aku bertemu dengan orang-orang yang namanya seperti diseret dari kisah lama: Inu—Supervisor Front Office bermata jernih yang jarang tersenyum; Sekar—rekan housekeeping yang cekatan; dan seorang manager baru bernama Klana, yang suaranya berat dan matanya selalu menaksir, seolah segala sesuatu bisa ditawar, termasuk harga diri.
Aku sering bertemu tamu yang mengira semua pelayan bisa diperlakukan seperti kain lap. Satu malam, seorang tamu memanggilku dengan jentikan jari. “Mbak, sini. Cepet.” Aku tersenyum sopan, menahan sesuatu yang ingin runtuh dari leher sampai dadaku. Di lift, pantulan diriku di cermin terasa asing. “Kamu kuat,” kataku pelan. Tapi kadang kalimat itu terdengar seperti kebohongan yang harus kuamini supaya aku tidak retak.
“Air mata adalah tinta sunyi dari kisah yang belum selesai ditulis.”
Ada malam-malam ketika aku berdiri di balkon lantai sembilan, memandangi siluet kota. Dari sana, Surabaya seperti peta luka yang telah disetrika: rata, licin, tapi bekasnya tetap ada. Di bawah, klakson saling memanggil. Di atas, bintang terlihat pelit.
.
Di Ujung Tanduk
Tahun keempatku di hotel itu, Klana mulai menjadikan shift malam sebagai tempat hukuman. Kesalahan minor—hand towel yang dilipat tidak seratus persen simetris, coaster yang bergeser—bisa berubah jadi omelan panjang. Suatu kali, ia membentakku di depan tamu karena housekeeping cart-ku berhenti sedetik terlalu lama di depan pintu suite. Tamu itu menoleh, menilai, lalu tersenyum tipis pada Klana, bukan padaku. Senyum yang berkata: kuasai situasi, seperti ini.
Aku pulang ke kos dengan bahu yang seperti digantungi ember air. Sekar memelukku sebentar, lalu menaruh roti sisa breakfast buffet. “Makan, Syah. Tidur. Besok kita mulai lagi.” Aku tersenyum seadanya, memikirkan Jember yang seperti memanggil dari jauh. “Pulang saja,” bisik kepala. “Tapi untuk apa kamu berangkat sejauh ini?” tanya hati.
Malam itu, di balkon yang sama, aku memutuskan sesuatu: aku sudah sejauh ini bukan untuk pulang, melainkan untuk pulih. Aku tidak tahu caranya. Tapi aku tahu ‘tidak menyerah’ bukan slogan; ia adalah kebiasaan kecil yang diulang setiap jam. Mulai saat itu, aku menyamakan napasku dengan langkah. Satu-satu. Tidak menoleh terlalu sering ke belakang.
“Bintang terlihat paling terang dari tempat yang paling gelap. Begitu pula harapan.”
.
Aku Memilih Berdiri
Aku mendaftar kursus bahasa Inggris malam hari di sebuah lembaga yang bau spidolnya seperti janji. Guru kami bernama Jingga—anak psikologi yang nyambi mengajar. “Pronunciation bukan kesempurnaan,” katanya. “Itu keberanian.” Kami tertawa, lalu mendengar cara mulutnya menari di atas kata. Aku mencatat, bukan hanya grammar, tapi cara ia memandang murid-muridnya—seperti orang yang bisa.
Siang bekerja, malam belajar. Di sela-selanya, aku menonton video tentang digital marketing, social media copy, fotografi ponsel. Aku menawarkan ke Front Office: “Kalau ada konten yang perlu difoto, aku bisa bantu.” Inu menatapku ragu. “Kamu housekeeping.” Aku tersenyum. “Iya. Tapi seandainya ada kesempatan…” Inu tidak menjawab. Seminggu kemudian, ia memanggilku. “Besok ada tamu corporate, kita butuh dokumentasi breakfast untuk IG. Coba ya.”
Pagi itu, aku memotret pancake yang uapnya seperti doa. Aku menulis caption sederhana: “Pagi yang baik dimulai dari seleramu yang jujur: hangat, ringan, dan tidak berlebihan.” Postingan itu di-repost oleh akun kurasi kuliner. Di pantry, Sekar memelukku, “Kamu bisa, Syah.” Aku tertawa. “Bisa karena ditemani.”
Aku juga mulai menulis cerita-cerita kecil tentang tamu: seorang nenek dari Bawean yang menginap sendirian untuk menemui cucunya wisuda; sepasang pengantin yang menunda marah karena hujan di hari resepsi; seorang bapak sopir truk yang memesan teh hangat tanpa gula, duduk lama, lalu bilang, “Duduknya yang penting, bukan minumnya.” Kisah-kisah itu kuposting di blog dan IG-ku. Kadang dibagikan ulang orang-orang yang tidak kukenal. Mereka menulis di DM: “Aku menangis bacanya.” Saat membaca itu, ada sesuatu yang kembali padaku—kepercayaan bahwa kata bisa jadi tempat pulang.
“Kita tak ditakdirkan untuk membalut luka selamanya, tapi untuk tumbuh darinya.”
.
Kemenangan Kecil yang Tak Kecil
Pekan-pekan berikutnya, aku sering diminta membantu tim promosi. Inu—yang dulu hemat senyum—mulai melepas garis di bibirnya. “Terima kasih,” katanya satu kali, pendek, canggung. Kata itu menyejukkan seperti air yang berhasil menemukan celah kran. Aku tidak lagi hanya ‘room girl’. Aku adalah Asya yang belajar, yang mencoba, yang bertahan.
Suatu sore, PR hotel, orangnya tinggi kurus bernama Wiraraja, mengajakku rapat kecil. “Kamu suka menulis, ya?” tanyanya. Aku mengangguk. “Punya blog?” Aku menunjukkan. Ia membaca beberapa tulisan, lalu menatapku lama. “Kamu mau magang internal di PR? Bantu konten, press release kecil-kecil. Masih tetap housekeeping, tapi kita bagi waktu.” Kalimat itu seperti pintu yang tidak berbunyi saat dibuka—ringan, tidak dramatis. Tapi aku rasakan lututku gemetar.
Begitulah aku mulai belajar dunia yang berbeda: merangkai kalimat untuk siaran pers, menyusun foto-foto agar bercerita, mendengar keluhan netizen tanpa tersinggung, dan menahan diri untuk tidak menjawab semuanya. Malam-malamku bertambah padat. Tapi ada kebahagiaan aneh yang tidak kutemukan saat gajian: kebahagiaan dari sesuatu yang selaras dengan diriku.
“Bahagia bukan melompat setinggi-tingginya; kadang ia sekadar kesadaran bahwa kita sedang melangkah ke arah yang benar.”
.
Runtuh Sekali Lagi
Lalu suatu malam, sesuatu terjadi. Aku baru selesai memotret pastry. Di lorong, Klana menunggu dengan kedua tangan disilangkan. “Kamu sekarang merasa penting, ya?” suaranya tajam. “Kalau IG bagus, terus housekeeping-nya siapa yang beresin?” Aku menatap lantai, menahan tatapan agar tidak patah. “Saya sudah bagi waktu, Pak,” jawabku lirih. “Jangan debat!” Ia meninggi. Tamu dari kamar terdekat keluar melihat, memasang wajah ‘aku melihat tapi aku tidak mau repot’. Setelah itu, Klana menyuruhku push cart sampai pantry sambil menyebut kata-kata yang akan membuat siapa pun ingin menghapus telinganya.
Malam itu, di kos, aku menangis sampai mata kiriku bengkak. Sekar mengusap punggungku. “Kamu boleh marah,” katanya. “Tapi jangan hilang.” Kalimat itu memantul lama di kepalaku. Jangan hilang.
Esoknya, aku menulis surat singkat ke HR, bukan untuk mengadu, tapi untuk meminta kejelasan ubin pijakan: “Saya ingin tetap di housekeeping sambil magang PR sesuai izin yang diberikan. Mohon jadwal yang jelas. Saya tidak ingin menimbulkan masalah.” Aku menakutkan tangga yang mungkin turun menimpaku. Tapi anehnya, HR membalas baik. “Kita atur shift. PR akan membuat surat penugasan.” Inu datang ke pantry, menepuk bahuku. “Maaf ya. Harusnya aku yang maju.” Aku menggeleng. “Kita baik-baik saja.”
Pagi itu, aku membawa room list seperti biasa. Aku rasakan sesuatu yang baru: tulang punggungku seperti diberi nama.
“Keberanian bukan tidak takut—itu memilih berdiri meski lutut gemetar.”
.
Koridor-Koridor Kota
Surabaya membesarkanku dengan cara yang kasar tapi jujur. Dari jembatan merah yang saban minggu kulalui untuk menghemat ongkos, aku belajar bahwa sejarah tidak selalu wangi. Dari penjual semanggi yang masih setia di sudut pasar, aku belajar bahwa kelezatan sering lahir dari kesetiaan. Dari tukang parkir—lelaki tua bernama Sewandana—yang selalu bilang, “Pelan, Mbak. Rezeki tidak lari,” aku belajar menambatkan kecemasan.
Suatu siang, ibu menelepon dari Jember. Suaranya berat, tapi jernih. “Kangarapa, Syah?”—bahasa timur yang jarang ia pakai. “Baik, Bu,” jawabku. Diam sebentar. “Ayahmu sakit. Bukan sakit badan. Sakit kesepian.” Aku tercekat, seperti menelan batu kecil. “Aku harus pulang?” “Tidak,” kata ibu. “Pulanglah jika kamu memaafkan, bukan karena kamu berhutang.” Kami sama-sama diam. Suara TV tetangga masuk ke sela-sela telepon. “Aku sayang Ibu,” kataku akhirnya. “Aku juga,” jawabnya.
Malam itu, aku menulis di blog, tapi tidak mempublikasikan: “Maaf paling jujur adalah perubahan. Dan perubahan paling jujur adalah tidak memaksa orang lain ikut.”
.
Di Ruang Presentasi
Musim penghujan datang. Hotel sibuk oleh rombongan seminar. Wiraraja memintaku menyusun kisah kecil untuk dibacakan di hadapan mahasiswa magang: tentang citra merek dan manusia di baliknya. Aku gemetar saat memegang pointer. Namun ketika kulihat wajah-wajah muda itu—mata yang belum patah, tawa yang mudah—aku mengingat malam-malamku di balkon.
“Aku Asya,” kataku pelan. “Aku housekeeping yang jatuh cinta pada kata.” Mereka tertawa kecil. Aku bercerita tentang meja breakfast yang tidak hanya memajang makanan, tetapi memajang niat baik; tentang caption yang tidak mekar tanpa empati pada dapur; tentang resepsionis yang senyumnya bukan prosedur, melainkan pilihan. Aku bercerita tentang Klana—tanpa menyebut nama—sebagai batu yang membuatku lebih berhati-hati melangkah. Aku bercerita tentang Sekar yang selalu ingat membagi roti. Dan tentang Inu, yang belajar mengatakan terima kasih.
Selesai bicara, tepuk tangan terdengar biasa-biasa saja, tidak heboh. Tapi ada sepasang mata yang berkaca-kaca. Seorang mahasiswi bernama Raras mendekat. “Kak, aku sering merasa kecil. Hari ini aku merasa… cukup.” Aku menahan air mata. “Kamu memang cukup,” jawabku.
“Kadang yang kita perlukan bukan panggung besar, melainkan satu pasang mata yang kembali percaya.”
.
Asal-Usul Kekuatan
Aku suka menyusuri gang-gang kota ketika jam istirahat: membeli es puter yang masih dijual di gerobak, duduk di trotoar, menyalin kalimat dari sepasang muda-mudi yang bertengkar pelan di tangga ruko. Di kepala, aku menampung tampungan: kalimat-kalimat yang tidak sengaja tertangkap, yang suatu waktu bisa menolongku menulis.
Suatu sore, di halte, aku bertemu Jingga. “Kamu berbeda,” katanya, “bukan karena jabatanmu, tapi karena kamu berani jujur pada rasa sakitmu.” Aku tertawa kecil. “Aku masih sering takut.” “Setiap orang takut,” jawabnya, “bedanya ada yang berjalan bersama takut itu, ada yang berhenti untuk memaki.”
Malamnya, aku menulis lagi: “Kekuatan bukan datang dari jalan lapang. Ia datang dari kaki yang menolak berhenti menjejak.”
.
Surat yang Tak Pernah Kukirim
Desember, atap kota menunduk oleh awan. Dari HR, aku menerima penawaran resmi: rotasi internal ke Public Relations Officer. Gajiku naik sedikit. Seragamku berganti. Aku pulang ke kos, meletakkan secarik kertas itu di meja. Sekar memelukku lama. “Kamu pantas, Syah.” Aku tersenyum, lalu mendadak ingin menangis. Bukan karena bahagia saja. Ada sesuatu yang mengaduk: rasa bersalah pada Asya yang dulu membersihkan kamar-kamar paling dekat lift agar cepat selesai; pada Asya yang menahan pipis karena tamu memanggil; pada Asya yang pernah berdiri di depan cermin lift, meyakinkan diri dengan kalimat yang nyaris tidak dipercaya.
Aku menulis surat untuk ayah. “Aku harap Ayah baik. Aku bekerja di hotel. Sekarang aku pindah bagian. Aku tidak benci. Aku hanya sedang belajar lupa—bukan melupakan orangnya, tapi melupakan cara bencinya.” Surat itu kulipat, kumasukkan ke amplop, tetapi tidak pernah kukirim. Aku tahu, beberapa surat lebih berfaedah jika disimpan sebagai museum perasaan.
“Tidak semua yang pecah harus dilem. Ada yang cukup diakui retaknya, agar kita berhenti mengiris jari di tepinya.”
.
Orang-Orang yang Menjaga
Aku ingin menyebut nama-nama yang menolongku tanpa suara. Rawi—security yang setiap pagi menyapaku “Semangat, Mbak Asya”; Panji—chef pastry yang memberi tips “foto jangan melawan cahaya”; Taji—bellman yang cekikikan tiap kali aku gagap di depan kamera; dan ada seorang bapak tamu langganan bernama Kertapati yang selalu memesan kopi hitam dengan gula terpisah, lalu berkata, “Kalau pahit, jangan buru-buru menambah gula. Aduk dulu. Biar rasa lamanya naik.”
Mereka seperti tokoh-tokoh dari kisah Menak yang terseret ke kota, kehilangan gelar, tetapi tetap memegang sesuatu yang agung: kesetiaan pada peran, bagaimana pun kecilnya. Aku belajar dari mereka bahwa kota bukan hanya gedung, melainkan orang-orang yang rela menjadi batu pijakan.
.
Hari Ketika Hujan Jatuh Seperti Alat Musik
Suatu sore, hujan turun rapat seperti kain renda. Di lobby, AC mendengung rendah. Seorang perempuan paruh baya masuk dengan kaki gemetar. “Saya cari kamar yang murah,” katanya. Bajunya basah. Aku mendekat. “Ibu sendirian?” “Iya.” Aku menggiringnya ke sofa, menawarkan handuk kecil. Ia menatapku lama. “Kamu mirip anak saya,” katanya. Aku tersenyum, tidak bertanya. Kami diam sebentar. Wiraraja menghampiri, memberi diskon tanpa banyak bicara. Perempuan itu akhirnya menginap satu malam. Besok paginya, ia meninggalkan catatan di meja resepsionis: “Terima kasih. Saya tidak sendirian semalam.” Catatan itu kulipat kecil, kumasukkan ke dompet. Sampai kini, kertasnya menjadi rapuh karena sering kubaca.
“Baik adalah bahasa yang dimengerti siapa pun, bahkan ketika bibir memilih diam.”
.
Panggung Kecil yang Cukup
Beberapa bulan setelah aku resmi di PR, kampus kecil di Surabaya mengundangku untuk berbagi tentang perjalanan karier. Aku tertawa waktu membaca emailnya—namaku disejajarkan dengan para praktisi besar. Tapi aku setuju. Aku datang dengan baju rapi yang kupinjam dari teman.
Di depan kelas, aku tidak memberikan formula ajaib. Aku hanya membentangkan kisah: Jember, ibu, wajan soto, Surabaya, Klana, Sekar, Inu, malam-malam balkon, IG hotel yang pelan-pelan ramai, surat untuk HR, surat yang tak pernah kukirim pada ayah. Aku menutup dengan kalimat yang sudah lama mengantri di tenggorokanku: “Aku berdiri hari ini bukan meskipun aku terluka, melainkan karena aku pernah terluka.”
Seusai sesi, seorang mahasiswa laki-laki bernama Sewaka mendekat. “Kak, aku anak perantau. Kadang malu sama pekerjaan sambilan.” Aku menatapnya, melihat diriku yang dulu. “Pekerjaanmu bukan kamu, tapi cara kamu mengerjakannya adalah dirimu.” Ia mengangguk, menelan air liur. Kurasa seseorang baru saja menjaga sesuatu dalam dirinya.
“Percayalah, pilihan yang kita buat dengan jujur akan membawa kita ke tempat yang tepat. Walau awalnya pahit, waktu akan meramunya menjadi kenangan yang manis.”
.
Telepon yang Kuterima dan Tidak Kutelepon Balik
Suatu malam, ayah menelpon dari nomor yang tidak kusimpan. Suaranya tua. “Asya?” Aku diam setengah detik. “Iya.” Ia bicara tentang hujan di Jember, tentang radio yang sering berisik, tentang tembakau yang katanya tahun ini kurang bagus. Ia tidak menyebut kata maaf. Aku juga tidak memintanya. “Kapan pulang?” “Kalau waktunya tepat.” Kami menutup telepon dengan hening yang tidak lagi merobek.
Aku menatap jendela. Ada pantulan wajah ibu di ingatanku: perempuan yang dulu menatap kosong, tetapi diam-diam menambal perahu rumah agar aku tidak tenggelam. Aku mengirim uang bulanan, lebih besar dari biasanya. Ibu membalas pesan: “Syukurlah.”
.
Kembali ke Balkon
Aku masih suka berdiri di balkon lantai sembilan, kebiasaan lama yang susah gugur. Kota di bawah seperti papan catur yang cahayanya sibuk. Di ujung menara, lampu kedap-kedip seolah mengirim sandi. Aku menarik napas panjang, mengingat kalimat yang dulu kuucap di cermin lift: “Kamu kuat.” Kini, aku menambahinya: “Kamu juga lembut. Dan keduanya boleh tinggal di tubuh yang sama.”
Malam itu, aku menulis satu paragraf di ponsel: “Hidup membesarkan kita dengan cara yang kadang kita benci. Tapi suatu saat, ketika kita menoleh, kita sadar: tidak ada satu pun yang benar-benar sia-sia. Bahkan rasa sakit punya profesinya sendiri.”
Aku menutup catatan, bersandar pada dinding yang dinginnya seperti teman lama. Hujan berhenti. Jalanan menampakkan pantulan lampu seperti selendang yang diseret malam. Aku tersenyum pada diriku sendiri, pada kota, pada orang-orang yang diam-diam menjadi pilar: Sekar, Inu, Jingga, Wiraraja, Candra yang memutarkan radio dangdut, Sewandana tukang parkir, Panji, Taji, Kertapati dengan kopi gulanya yang terpisah. Juga pada Klana—batu yang membuatku belajar melangkah lebih hati-hati. Barangkali begitulah cara hidup mengajar: tidak dengan papan tulis, melainkan dengan trotoar yang kadang retak.
Aku pulang ke kamar, menyelimuti tubuh, menaruh telapak tangan di dada—merasa detak yang kini tidak terburu-buru. Besok pagi, aku akan menulis press release tentang program CSR hotel: kelas literasi untuk anak-anak kampung sekitar. Aku akan menyelipkan kalimat yang sederhana: “Setiap anak berhak memiliki halaman kosong yang boleh ia tulis sendiri.” Dan mungkin, sesekali, aku akan bertemu Asya kecil di mata anak-anak itu—sementara aku, Asya yang hari ini, akan berdiri di belakang mereka, menahan angin agar tidak terlalu kencang.
My pain had purpose.
Dan jika ada yang bertanya mengapa aku yakin: karena luka mengajariku memilih berdiri.
.
.
.
Jember, 23 Juni 2025
.
.
#CerpenIndonesia #KisahUrban #Surabaya #Jember #HospitalityLife #TransformasiDiri #LiterasiEmosi #MyPainHadPurpose #KarenaLukaAkuBertumbuh
.
Kutipan-kutipan
“Jangan buru-buru menambah gula pada pahit. Aduk dulu. Sering kali, yang pahit hanya belum bercampur dengan baik.”
“Kerja keras menggerakkan kaki; harapan menggerakkan hati. Kita butuh keduanya untuk pulang.”
“Maaf paling jujur bukan kata-kata; ia adalah arah baru yang kita tempuh.”
“Menang bukan berarti tidak pernah jatuh—menang adalah selesai menata napas setiap kali kita bangkit.”
“Jika kamu ingin melihat masa depan, dengarkan cara hatimu memanggil namamu saat kamu hampir menyerah.”