Diam yang Telah Pergi Sebelum Dirindukan
“Tidak semua yang diam itu rela; sebagian adalah doa yang kelelahan mencari pintu.”
“Beberapa kepergian tidak meninggalkan suara. Ia hanya lenyap sebelum kau sempat menyadari bahwa ia sedang memeluk keheningan.”
.
Langit malam di Jember tampak biru kehitam, berpendar samar oleh lampu-lampu jalan yang menyepuh daun waru dengan cahaya yang tidak pernah benar-benar hangat. Dari jendela rumah kontrakan dua petak, Meilan duduk bersandar pada dinding, memeluk lutut, menatap jam dinding yang jarumnya bersuara terlalu pelan untuk menandingi sorak motor yang melewati gang.
Tak ada air mata. Tak ada isak. Di dalamnya, hanya ada hutan kering yang terbakar tanpa suara. Api merambat akar-akar ragu yang lama, menjilat kenangan receh: meja makan kecil, piring dengan sisa sambal terasi, telepon yang selalu berdering untuk alasan “rapat mendadak,” “tamu VIP dari Jakarta,” “maaf ya, nanti.”
“Aku diam bukan karena tak mampu bicara,” tulisnya di catatan ponsel, “tapi karena tahu, di rumah ini, suara kalah oleh janji-janji yang dibiarkan jadi debu.”
Kholis pulang lewat tengah malam lagi. Wangi lobi hotel ikut menempel pada bajunya—campuran kopi robusta, parfum maskulin, dan AC yang selalu disetel terlalu dingin. Ia menatap meja makan: sayur bening mengepulkan uap tipis, telur dadar yang mengeras di tepi. Meilan tertidur—atau pura-pura tidur—dengan lampu temaram yang menyisakan bayang tipis di dahi.
“Maaf,” katanya, terlalu pelan untuk mengalahkan jarak.
.
Kepada seorang laki-laki bernama Hamzah—teman lama yang kini menjadi barista di salah satu kafe dekat kampus—Meilan pernah berkata, “Aku tak ingin menjadi cerita sedih siapa pun, Zah.”
Hamzah tertawa mepet pahit. “Semua orang adalah cerita sedih seseorang, Lan. Bedanya hanya, ada yang laku dibaca, ada yang disimpan di laci.”
“Kalau aku?” tanya Meilan.
Hamzah menatapnya, melewati uap kopi. “Kamu buku yang dipinjam lama, dikembalikan tanpa dicatat tanggalnya.”
Meilan tersenyum, lalu membayangkan hari-hari mereka yang awalnya seperti pejalan kaki di trotoar baru—rata, lapang, dengan marka yang jelas: pagi pesan “sudah sarapan?”, siang “hati-hati di jalan”, malam “telepon aku sampai kamu pulang.” Lalu hidup menua—bukan dengan usia, tapi dengan kewajiban yang tumbuh bagai akar pohon di bawah aspal. Trotoar retak, orang-orang melompatinya, rambu menjadi sekadar hiasan kota.
Kholis mencintai pekerjaannya di hotel bintang empat di tengah kota: logbook, occupancy, average daily rate, keluhan tamu yang harus diubah jadi senyum. Ia selalu mengucapkan “Maaf ya, besok aku tebus,” seperti kunci cadangan yang dipakai terlalu sering sampai geriginya tumpul.
“Kalau kamu lelah, cerita ke aku,” katanya suatu malam sambil mengikat dasi.
“Lelahnya bukan karena dunia, Lis,” Meilan hendak berkata. “Lelahnya karena menunggu kata ‘nanti’ sampai terasa seperti alamat palsu.”
Tapi kata-kata itu duduk di tenggorokan, memeluk lutut seperti dirinya sekarang.
.
Pagi-pagi sebelum matahari tegak, Meilan menanak nasi. Ia menyusun piring: telur dadar tipis, sayur bening bayam, sambal yang pedasnya disesuaikan dengan kadar kangen yang tidak pernah sempat diukur. Jam dinding memotong waktu seperti pisau tumpul: lambat, tapi tetap melukai.
“Kita jalan-jalan ya, minggu depan,” kata Kholis semalam.
“Ke mana?” Meilan bertanya pelan.
“Ke mana pun. Yang dekat-dekat saja. Puncak Rembangan, atau cuma muter alun-alun sambil makan rujak cingur.”
“Kapan?”
“Besok-besok.”
Besok-besok selalu tampak seperti peron tanpa kereta. Orang-orang menunggu sesuatu yang diumumkan terlambat, lalu pulang membawa dengung pengeras suara di telinga.
Meilan menyimpan janji-janji itu seperti menyelipkan bunga kering di antara halaman buku: rapuh, tapi wangi. Ia menulisnya di buku harian kecil berwarna biru laut:
– “Besok aku temani kamu ke dokter.”
– “Aku mau belajar jadi pendengar yang baik.”
– “Kita cari kos yang jendelanya menghadap timur, biar bangun dengan cahaya.”
Yang tertulis tidak pernah hidup. Yang hidup tidak pernah ditulis.
“Aku mengecilkan diriku, agar tidak mengganggumu. Sampai akhirnya aku tak terlihat sama sekali.”
.
Di hotel, Kholis seperti garis lurus dalam sistem yang meminta semuanya terukur. Ia hafal nama tamu langganan, ingat latte tanpa gula untuk Adaninggar yang selalu check-in sebelum subuh, tahu bahwa Ratna dari bagian reservasi suka mengganti lipstik saat sedang khawatir—warna lebih gelap menandai hari yang lebih berat. Ia manusia yang berguna, seperti garpu di sebelah sendok: tidak selalu dicari, tapi ketika dibutuhkan harus ada.
Jayengrana—dipanggil Jaya—teman seangkatan yang kini memegang sales dan marketing, menyentil bahunya. “Lis, hidupmu tinggal di lobby ya?”
Kholis tersenyum. “Kamu pikir hidupmu bukan brosur?”
Mereka tertawa, dua laki-laki yang lupa pulang tepat waktu karena dunia mengukur nilai mereka dari jumlah pintu yang bisa mereka buka dengan senyum.
Di sore yang memantulkan aspal basah, seorang tamu komplain di meja depan karena air panas mati. Kholis turun ke ruang mesin, meminjam kunci dari teknisi, ikut memutar katup. Ada sesuatu yang memuaskan dari memperbaiki. Sesuatu yang konkret. Sesuatu yang bisa dipegang hasilnya.
Di rumah, ia lupa: hati tidak punya katup yang bisa dibuka-tutup dengan putaran seperempat lingkaran.
.
Malam-malam berikutnya, Meilan makan sendiri. Ia memotong telur dadar, menyendok sayur bening, menatap kursi di seberang yang seperti menatap baliknya: kosong yang sabar. Di TV, berita menayangkan banjir di salah satu kota. Ia mengecilkan volume, karena di kepalanya, suaranya sendiri lebih berisik.
Ia membuka ponsel, menulis pesan:
“Aku rindu kamu makan di rumah.”
Lalu menghapusnya.
“Kalau selesai rapat, tolong kabari ya.”
Menghapusnya lagi.
“Kamu pulang jam berapa?”
Menghapus lagi.
“Kata-katamu tetap hangat,” pikir Meilan, “meski tubuhmu sering tak pulang.”
Hamzah mengirim foto cappuccino dengan art berbentuk daun. “Datang sebentar? Aku simpan kursi di pojok, tempat kamu bisa melihat hujan tanpa perlu menunggu siapa pun.”
Meilan mengetik: “Nanti.” Lalu menutup chat seperti menutup jendela di malam yang terlalu dingin untuk dihadapi.
.
Suatu siang yang kosong, Meilan menemukan kembali buku Norwegian Wood—hadiah untuk Kholis di ulang tahun pertama mereka. Di halaman 72, ia menyelipkan selembar kertas. Tangannya tidak gemetar. Ia menulis seperti orang memasak resep yang dihafal berdasar bunyi: tanpa ragu, tanpa menakar.
“Lis,
Mungkin aku bukan perempuan yang pandai bicara. Aku ingin kau tahu, aku pernah berjuang diam-diam agar ‘kita’ tetap utuh—dengan caraku yang sering kamu tidak lihat. Jika suatu saat kamu merindukanku, jangan cari aku di tempat kita biasa bertemu. Aku telah pergi, sebelum kamu sempat merindukan. Jangan salahkan dirimu, jangan salahkan aku. Kita hanya saling diam terlalu lama.
—M.”
Di bawahnya: “Aku tidak sedang pergi; aku pulang pada diriku yang sempat lama hilang.”
Ia menutup buku itu, memasaknya kembali ke dalam rak, di antara laporan keuangan yang kadang dibawa Kholis untuk ditandatangani di rumah.
Pagi itu juga, Meilan melipat beberapa pakaian, memasukkan buku harian, sisir, dan sebuah foto kecil mereka berdua di alun-alun. Ia memanggil ojek online, memberikan alamat rumah indekos di ujung kota—kamar sempit dengan jendela yang menghadap selokan kecil, tapi melewati itu, matahari timur yang diinginkannya dulu akan mengetuk setiap pagi.
“Jangan menangis,” katanya ke dirinya sendiri di kaca spion motor. “Bukan karena kuat, tapi karena sudah cukup.”
.
Dua minggu berlalu. Kholis mengira Meilan menginap di rumah Nuraini—teman kerja lamanya. Rumah masih rapi karena Meilan selalu rapi. Makanan di kulkas masih ada karena Meilan selalu menyiapkan lebih dari satu porsi untuk “jaga-jaga.” Ia hidup dalam skenario yang disuntikkan oleh kebiasaan: bangun, mandi, kerja, pulang, tidur. Di antaranya, ia menumpuk “nanti”—seperti prangko yang sudah tak lagi bisa ditempel karena lemnya mengering.
Minggu ketiga, Kholis mencari novel itu—entah bagaimana, malam itu ia ingin menyentuh sesuatu yang bukan laporan, bukan kartu komplain tamu. Di halaman 72, napasnya patah. Kertas putih itu seperti lift yang berhenti di lantai kosong. Udara di kamar mengental. Suara dari luar berlari memasuki telinga, lalu tertahan—menjadi denging.
Ia membaca sekali. Dua kali. Tiga kali.
“Kepergianmu bukan badai,” ia bergumam, “ia lebih ke listrik mati senyap. Baru sadar gelap ketika tangan meraba saklar.”
Ia mencoba menghubungi Meilan. Nomor aktif, tapi tidak diangkat. Ia mengirim pesan. Tidak centang biru. Ia datang ke Hamzah di kafe.
“Kamu tahu Meilan?” tanyanya, membuat tatapan Hamzah seperti hujan yang tiba-tiba.
Hamzah tidak berbohong. “Aku tahu dia pergi. Aku tidak diizinkan memberitahu ke mana.”
“Kau temannya atau payungnya?”
“Keduanya,” jawab Hamzah, tak bergurau. “Dan kamu… kamu hujan yang tak selalu sadar tempat jatuhnya.”
Kholis mengangguk. Di gelas kosong, ia melihat wajahnya yang lelah. Ada orang yang terlambat menyesal, ada yang tepat waktu terluka.
“Kepergian paling menyakitkan adalah yang tidak mengabarkan sedihnya.”
.
Di indekos, Meilan belajar mengenal ulang tubuhnya. Ia bangun lebih pagi dari matahari, merapikan seprai, menanak nasi, membuat kopi. Ia menatap jendela timur yang tidak terlalu besar, tapi cukup untuk menjalankan cahaya melewati gelas air di meja—menciptakan pelangi kecil di dinding, yang hanya bertahan beberapa menit, tapi setiap hari setia datang.
Ia bekerja sebagai barista—Hamzah yang mengenalkan, tapi ia melamar sendiri. Kafe itu dindingnya bata ekspos, musiknya tidak berisik, pelanggan tetapnya membawa buku, laptop, cerita. Ada Adaninggar yang selalu memesan ristretto, menulis puisi di tengah hari, ada Ratna yang datang hanya untuk meminjam colokan daya dan senyum. Ada anak-anak magang dari kampus yang memanggilnya “Mbak” dengan mata berbinar, menanyakan rahasia latte art.
“Rahasia latte art itu sama seperti rahasia memulai lagi,” kata Meilan pada suatu sore, “suhu susu tidak boleh terlalu panas, tangan harus tenang, dan kamu perlu percaya gambar itu muncul sebelum benar-benar tampak.”
Seorang bapak paruh baya, pelanggan baru, menatap cangkirnya setelah tegukan pertama. “Kopi ini seperti kamu,” katanya sopan, seakan menimbang kata agar tidak menyakiti, “hangatnya tidak menuntut, tapi sampai.”
Meilan tersenyum, bukan untuk menyembunyikan luka, melainkan karena ia tahu lukanya telah tumbuh daun.
“Ada luka yang tidak perlu disembuhkan; ia hanya perlu dirawat agar tumbuh menjadi jalan.”
Malam-malam, ia menulis—bukan pesan, bukan permohonan. Ia menulis daftar kecil: hal-hal yang bisa ia syukuri. Angin yang tembus di sela genteng. Kucing tetangga yang numpang tidur di keset. Pelangi kecil di dinding. Kursi paling pojok—tempatnya menatap hidup tanpa menuntut akhir.
.
Sementara itu, di hotel, Kholis belajar menjadi manusia baru. Ia mulai pulang lebih cepat, lalu membongkar kebiasaan: telepon yang tidak perlu, rapat yang bisa e-mail, makan malam yang mestinya dilakukan dengan seseorang—bukan dengan layar. Di pagi yang berbeda, ia berdiri di rooftop, melempar pandang ke langit yang memerah, mengucapkan nama Meilan dalam hati tanpa menyuruhnya datang.
“Maaf karena aku terlambat mengerti,” katanya ke udara, dan untuk pertama kalinya, kalimat itu tidak ditujukan pada tamu yang marah atau staf yang salah shift; ia mengatakannya pada dirinya sendiri.
Di meja staff, ia mulai mendengar sungguh-sungguh. Ratna bercerita tentang ibunya yang sakit; Kholis menunda rapat untuk mengantar Ratna ke terminal karena tidak ada yang menjemput. Jaya membocorkan promosi yang tak kunjung turun; Kholis menulis surat ke pemilik hotel, memilih kata-kata yang tidak manis tapi tulus.
Setiap sore, ia membereskan meja makan di rumah, menyalakan lampu, seperti menyiapkan panggung untuk seseorang yang ia tahu tidak akan datang. Ia melakukan itu bukan untuk menahan Meilan, melainkan untuk menghormati diam yang pernah mereka jamah bersama.
Kadang ia ke kafe Hamzah, duduk di pojok, memesan cappuccino. Hamzah menaruh cangkir tanpa kata. Ada perjanjian yang tidak diucapkan di antara mereka: kalaupun Meilan duduk di ruangan yang sama, yang harus terjadi bukanlah pertemuan, melainkan penghormatan terhadap jarak.
Kholis tidak melihat Meilan. Tapi di uap kopi yang naik, ia tahu ada seseorang yang pulang pada dirinya, dan itu indah meski tidak melibatkan dirinya.
“Cinta tidak selalu menuntut kembali; sering kali ia hanya meminta kita menaruh topi dan menunduk.”
.
Musim hujan datang seperti orang yang meminta maaf terlalu banyak: kadang deras, kadang ragu, kadang berhenti tanpa alasan. Meilan menggulung celana sampai betis saat pulang melewati gang. Atap seng di indekos berisik oleh gerimis, mengiris malam jadi serpih-serpih sepi yang mudah dikumpulkan.
Suatu Sabtu, ia menerima DM di Instagram dari akun yang tidak pernah ia blokir: Kholis.
“Lan, semua baik?”
Ia membaca, meletakkan ponsel.
“Lan, aku naik ke rooftop tadi, ada angin yang bawa bau kopi. Entah kenapa aku teringat kamu.”
Ia tersenyum kecil, menutup notifikasi.
“Lan, tidak usah balas. Aku… hanya ingin bilang terima kasih.”
Meilan mengetik:
“Terima kasih juga sudah pernah menjadi rumah, meski sebentar.”
Lalu menghapus.
Ia menutup mata, menepuk dada pelan, memastikan ritmenya milik sendiri.
.
Di suatu purnama yang malu-malu tertutup awan, Jember tampak seperti kota kecil yang belajar memahami kecilnya tanpa minder. Lampu-lampu toko memantul di air parit, beberapa reklame padam, beberapa terlalu terang. Dari indekos, Meilan berjalan ke kafe untuk shift malam, bertemu Adaninggar yang membacakan bait baru, Ratna yang tertawa terlalu keras pada hal kecil karena hal besar terlalu berat, Hamzah yang pura-pura sinis padahal hatinya luas seperti cangkir yang tak pernah benar-benar kosong.
Di tempat lain, Kholis menolak lembur. Ia pulang, memasak telur dadar yang sedikit gosong, makan pelan, menatap kursi seberang, lalu menulis catatan di lembar yang ia tempel di kulkas:
– “Pastikan dengar sampai selesai, bahkan jika kamu tidak setuju.”
– “Tetap pulang di jam manusia.”
– “Simpan janji dalam kalender, bukan di mulut.”
– “Kalau rindu, namai saja, jangan memaksa.”
Ia bukan orang yang sama. Ia tak lagi menukar “maaf” dengan “nanti.” Ada tubuh yang mengerti bahwa diam bisa tajam, dan kata bisa menjadi jembatan jika diniatkan untuk sampai.
“Kau pernah jadi diam paling nyaring dalam hidupku.”
.
Suatu siang, seorang pelanggan baru—berumur, wajahnya penuh garis lembut—memesan kopi tubruk. Setelah menyeruput, ia menatap Meilan dan berkata, “Nak, kadang-kadang, satu-satunya cara menolong orang yang kita sayangi adalah dengan tidak jadi beban cerita mereka.”
Meilan tertegun. “Saya… pergi,” katanya. “Bukan untuk membuktikan apa-apa.”
“Pergi itu juga bentuk tinggal,” jawab lelaki itu, “tinggal pada keputusan sendiri.”
Meilan mengangguk. Hujan di luar jatuh rapi, seperti mengetik pesan yang tidak butuh balasan.
“Aku menghilang bukan agar kau mencari; aku memilih tidak hancur lebih dulu saat kau tak melihat.”
.
Waktu, seperti biasa, tidak pernah berubah ritmenya. Kitalah yang akhirnya menyamakan langkah.
Pada suatu pagi yang cerah, Meilan membuka jendela timur. Cahaya menyeberangi kamar seperti seorang tamu yang tahu tata krama—mengetuk dulu, lalu masuk tanpa mengganggu. Di dinding, pelangi kecil itu muncul lagi, lebih jelas dari kemarin, atau mungkin matanya yang lebih jernih.
Di saat yang sama, di rooftop hotel, Kholis menatap langit. Ia menelpon bagian bawah, memastikan housekeeping menambah handuk di kamar 1103, meminta FO memperbaiki nada bicaranya ketika menolak early check-in. Lalu ia berdiri, memegang pagar, membiarkan angin memindahkan rambutnya yang mulai panjang.
Masing-masing tersenyum untuk sesuatu yang tidak bisa mereka jelaskan. Bukan bahagia yang melompat, tapi lega yang duduk.
Khalayak mungkin menuntut reuni. Hidup, kadang, memilih tabik dan jalan masing-masing.
Kalau pun suatu hari, di pasar pagi atau di ujung trotoar depan kafe, mereka berpapasan, mungkin hanya ada anggukan kecil dan kalimat sederhana: “Jaga diri baik-baik.” Mungkin sesudah itu, Meilan membeli bunga kertas untuk vas, Kholis membeli dua roti sobek untuk sarapan staf. Tidak ada musik latar. Tidak ada tepuk tangan. Tidak ada kamera yang mengabadikan.
Hanya hidup, yang akhirnya belajar menghormati diam.
.
Yang kita sebut cinta kadang-kadang bukan untuk memiliki, melainkan untuk menepikan. Yang kita sebut pulih bukan hilangnya luka, melainkan ketika luka menjadi penanda arah pulang—bukan lagi batu yang kita sepeliit di sepatu.
Meilan tidak kembali. Kholis tidak memaksa. Kota melanjutkan lalu-lalangnya. Dan di tengah kebisingan yang tak pernah kehabisan bensin, ada dua manusia yang, setelah letih panjang, berani meletakkan beban di tempat yang benar: bahu sendiri.
Karena sebagian kepergian memang tidak meninggalkan suara, dan itulah pelajarannya: kita jangan menunggu gema untuk percaya pada ruang yang kosong.
Di tempat kopi, Hamzah mengganti lagu, memutar instrumental yang tidak meminjam kata siapa pun. Adaninggar menutup buku. Ratna mengangkat cangkir. Pelangi kecil di dinding bergeser, memendek, lalu lenyap, menyisakan dinding yang biasa.
Biasa bukan berarti buruk. Biasa adalah tanda kita masih hidup.
Dan diam—yang dulu membuat dada sesak—kini menjadi kursi kayu yang tidak menuntut, tempat kita duduk sejenak, sebelum melanjutkan langkah.
.
.
.
Jember 22 Juni 2025
.
.
#Cerpen #KompasMingguVibes #CeritaUrban #Keheningan #Kepergian #Pulih #HubunganDewasa #Jember #Barista #Hotel #Emosional
.
Quotes (tersebar dan relevan):
-
“Tidak semua yang diam itu rela; sebagian adalah doa yang kelelahan mencari pintu.”
-
“Aku mengecilkan diriku, agar tidak mengganggumu. Sampai akhirnya aku tak terlihat sama sekali.”
-
“Kepergian paling menyakitkan adalah yang tidak mengabarkan sedihnya.”
-
“Ada luka yang tidak perlu disembuhkan; ia hanya perlu dirawat agar tumbuh menjadi jalan.”
-
“Cinta tidak selalu menuntut kembali; sering kali ia hanya meminta kita menaruh topi dan menunduk.”
-
“Aku menghilang bukan agar kau mencari; aku memilih tidak hancur lebih dulu saat kau tak melihat.”