Langkah Baru di Balik Panggung

“Berhentilah mempertahankan simpati pada mereka yang tak lagi menghargaimu; hidupmu bukan panggung untuk menyenangkan penonton yang sudah pergi.”

.

Kilau lampu selalu tampak lebih terang dari kejauhan. Dari dekat, ia hanyalah bohlam panas yang membuat dahi berkeringat dan mata perih. Oliver tahu itu. Selama bertahun-tahun ia berdiri di balik panggung, menata ritme langkah, memoles detail lengan yang harus berhenti tepat di bar keempat, dagu yang sedikit diangkat ketika kamera menyorot kanan. Jakarta, Paris, kembali ke Bali. Nama Oliver beredar di grup-grup industri—koreografer yang presisi, tenang, dan sulit dikalahkan oleh panik detik terakhir. Tapi setiap kali lampu padam, ada letih yang merambat seperti air dingin menembus kaus tipis; ada hampa yang menelan sorak-sorai penonton seperti air keruh menelan kertas konfeti.

Malam itu, di ruang rias yang sudah kosong, ia masih bisa mencium wangi hair spray dan alas bedak dari spons-spons kecil yang tergeletak. Ia menatap dirinya di cermin: garis senyum yang dulu nakal kini seperti gurat yang tidak lagi paham arah pulang. Di layar ponsel, muncul pesan dari Hamzah—teman lama yang dulu membawanya menembus pintu-pintu tertutup dunia mode.

Kau terlalu berbakat untuk berhenti, Oliv. Dunia ini punyamu.

Oliver mengetik balasan, menghapusnya, mengetik lagi, mematikan layar, menatap cermin. Ia mencoba menerima pantulan itu seperti menerima seorang tamu yang datang tanpa janji: sabar, tapi jujur. “Kalau dunia itu memang punyaku,” gumamnya pelan, “kenapa rasanya aku tak punya kunci?”

.

Keesokan paginya ia mengetik surat pengunduran diri. Hanya satu halaman, tanpa drama. Terima kasih dan maaf berbagi porsi seimbang, tapi di antara kalimat ringkas itu ada desah panjang yang tidak tertulis. Di lift, dalam perjalanan dari lantai dua belas ke lobi, jarum digital beralih angka dengan lambat; ia menghitung detik, bukan lagi langkah.

Keluar dari gedung, udara Jakarta menyengat seperti panci penggorengan yang baru diangkat. Di pinggir jalan, seorang pedagang mengipas sate, asapnya naik dan berbelok dalam tiupan angin. Oliver memesan tumpangan, membiarkan suara klakson, suara motor, suara pedagang, mengisi lubang-lubang kecil di tubuhnya.

Ia tiba di kamar kos yang telah lama tak ia tinggali—kamar sempit di daerah Karet yang dulu jadi tempat singgah antara satu proyek dan proyek lain. Ia menaruh ransel, menutup pintu, duduk di lantai, dan tertawa kecil. Tawa yang pahit seperti teh dingin yang terlupa. “Sudah,” katanya, entah pada siapa. “Sudah.”

“Kadang, berhenti bukan kalah; itu cara paling jujur untuk menyelamatkan yang tersisa dari dirimu.”

.

Ia terbang ke Denpasar dua hari kemudian. Tegar menjemputnya di bandara—kawan lama yang kini jadi manajer sebuah hotel bintang lima di Ubud. Tegar selalu berjalan seolah ada ritme musik pelan di kepalanya, langkah pasti, napas panjang. Mereka menyusuri jalan yang dipagari sawah; hijau yang lama tak disapa Oliver sejak bertahun-tahun mengejar kota.

“Di sini, orang-orang juga bisa kejam,” kata Tegar, seolah membaca pikiran Oliver. “Tapi hutan selalu mau memeluk.”

“Dan kamu masih percaya pada pelukan?” Oliver mengernyit, separuh bercanda.

“Percaya pada pelukan, enggak,” Tegar nyengir. “Percaya pada gravitasi. Semua yang kamu lepaskan akan jatuh pada tempatnya.”

Malamnya, di lounge terbuka hotel, mereka duduk menghadap gelap yang tenang. Lampu-lampu kecil seperti kunang-kunang buatan. Di kejauhan, suara gamelan dari upacara desa datang seperti mimpi yang tak ingin bangun. Oliver menyesap teh jahe. Di meja lain, sepasang turis lansia berbicara pelan, tertawa pelan, saling menatap pelan—seolah waktu punya kelonggaran untuk cinta.

“Kamu bisa kerja di sini,” ucap Tegar tiba-tiba. “Bukan sebagai koreografer. PR. Wajah depan. Kata dan relasi. Kamu selalu punya bahasa, Oliv. Kamu hanya jarang memakainya untuk dirimu sendiri.”

Oliver tertawa. “Aku pakai bahasaku untuk menyihir panggung. Bukan untuk meyakinkan orang kalau kasurnya empuk.”

“Empuk bukan masalah kasur,” timpal Tegar. “Empuk itu rasa aman.”

Kalimat itu tinggal di kepala Oliver seperti lagu yang hanya dua bar, tapi menolak keluar.

.

Tiga bulan kemudian, Oliver berjalan menyusuri koridor karyawan dengan papan nama plastik kecil di dada: Oliver — Public Relations. Kemejamu putih, celanamu hitam, sepatumu tak boleh bunyi. Di pantry, ia bertemu Maya dari tim pemasaran—rambutnya digelung tinggi, mata cerah yang melihat detail. “Baru ya?” tanyanya.

“Baru berhenti jadi orang lama,” sahut Oliver.

Maya tertawa. “Kalau lapar, warung Bu Muninggar paling aman. Sop buntutnya seperti diceritakan oleh nenek yang sayang cucu. Turun, kiri, belok kanan.”

“Tolong antar aku ke nenek itu,” kata Oliver.

Di ruang rapat kecil, Madi dari dapur menerangkan konsep comfort food untuk paket bulan depan—cerita tentang beras diambil dari petani tetangga, ayam yang tumbuh dengan sabar, sambal yang diracik seperti merangkai doa. “Kalau kamu bisa bikin tamu membaca sambal kita seperti membaca puisi,” kata Madi, “aku traktir kamu sop buntut dua kali.”

“Jangan janji, nanti kamu selamatkan aku dari lapar yang lain,” ujar Oliver.

Ia belajar jadwal liputan wartawan, memetakan influencer yang bukan sekadar angka, menulis press release tanpa bahasa merayu yang berlebihan. Ia menata tur kecil bagi tamu: ikut memetik daun singkong, menumbuk bumbu, menata piring, duduk di bale-bale sambil mendengarkan cerita petani. Segalanya sederhana; justru itu yang membuat sulit. Di panggung, semua dibikin luar biasa; di sini, tugasnya membuat biasa terasa seperti pulang.

“Keramahtamahan bukan teknik; ia adalah cara memandang manusia.”

Saat malam turun dan shift-nya usai, Oliver sering duduk di balkon karyawan yang menghadap hutan. Dari sana ia melihat hotel seperti kapal kayu yang lembut melawan arus. Di bawah, Amir dari keamanan berjalan memutar, mencatat hal-hal kecil yang tak dilihat tamu: lampu taman yang meredup, daun kering yang menghalangi saluran, anak kucing yang sembunyi di bawah kursi. “Pekerjaan kita seperti itu, Mas,” kata Amir suatu malam, “mengurus yang tak terlihat supaya yang terlihat tetap indah.”

Oliver mengangguk. “Di panggung, aku juga mengurus yang tak terlihat.”

“Bedanya?” tanya Amir.

“Di sini, yang tak terlihat itu orang,” jawab Oliver. “Dan aku tak ingin ada yang merasa sendirian.”

.

Hari-hari pertama berantakan: ia salah mengatur jadwal foto, lupa mencantumkan nama sponsor, salah ketik alamat email wartawan senior. Ia meminta maaf dengan mata yang jujur. Beberapa orang—terutama yang masih setia pada cara lama—mengangkat alis melihatnya. “Dari panggung dunia ke sini?” celetuk seseorang. “Kecil sekali.”

Oliver tersenyum. “Kepala kereta juga kecil,” katanya pelan. “Tapi dia yang menentukan arah.”

Bocoran video Your Stay, Your Story—kampanye yang ia gagas bersama Maya—mulai beredar. Bukan potret kasur putih atau kolam renang; melainkan tangan-tangan: tangan Madi meracik bumbu, tangan Amir mengangkat anak kucing dari bawah kursi, tangan seorang tamu lansia memegang tangan pasangannya di bale. Narasi Oliver sederhana: Setiap kita membawa cerita. Biarkan tempat ini menjadi kalimat yang menenangkan di dalamnya.

Video itu tidak meledak. Tapi ia merayap seperti akar di musim hujan—pelan, dalam, dan tiba-tiba terasa kokoh. Satu dua media menulis tentang hotel bukan karena fasilitas, melainkan perasaan yang ia hasilkan. Seorang tamu dari New York menulis ulasan: This place doesn’t feel like a hotel. It feels like someone wrote it just for me.

Oliver membacanya tiga kali, lalu menatap hutan. “Terima kasih,” bisiknya entah pada siapa. Mungkin pada dirinya yang dulu berani menutup pintu.

“Yang menyembuhkan bukan tepuk tangan; yang menyembuhkan adalah rasa diterima tanpa syarat.”

.

Tapi luka tak sepatuh itu. Suatu malam, notifikasi memenuhi ponselnya: pesan dari grup lama, mention dari akun yang seharusnya dilupakan. Hamzah mengirim foto panggung di Paris—siluet model, kabut halus dari mesin asap, cahaya putih mendesak ke arah kamera. Kau di mana, Oliv? Dunia ini masih menunggu bahumu.

Oliver duduk di pantry, kopi mendingin. Dunia kecil, kata seseorang dulu. Dunia kecil. Ia memutar ponsel, menatap plafon. Di ruang sebelah, karyawan tertawa—cerita soal baju yang kebesaran, sepatu yang ketinggalan di mushola. Sederhana, tapi bisa mengisi lubang-lubang di malam.

Ia membalas: Aku di tempat yang membuatku bernapas tanpa terburu-buru, Zah.

Hamzah mengetik, berhenti, mengetik lagi. Kau tahu, dunia ini tidak jahat padamu. Kau saja yang sensitif.

Oliver menutup mata. Ada letupan marah yang hendak menyala, tapi padam oleh lelah. Ia menulis, Mungkin. Tapi aku ingin sensitif pada diriku sendiri dulu.

Pesan itu tak dibalas.

Pagi berikutnya, ia masuk kerja dengan mata yang tak secerah biasanya. Maya mengulurkan roti pisang. “Kalau kamu tak ingin cerita, tak apa. Tapi kamu harus makan,” katanya.

Oliver menggigit perlahan. Roti yang empuk menenangkan rahang, juga kepala. Di mejanya, ia menemukan catatan tempel: tulisan Amir yang rapi, Mas Oliver, tamu kamar 211 menanyakan info workshop menulis. Katanya, tulisan Mas di press release kemarin bikin dia ingin menulis lagi.

Tamu 211 bernama Muninggar—perempuan paruh baya dari Surabaya yang datang sendirian. Di balkon kamarnya, ia memeluk secangkir teh seperti memeluk kenangan. “Saya dulu menulis cerpen untuk koran Minggu,” ujarnya sambil tersenyum malu. “Lalu anak, suami, pekerjaan. Tahu-tahu, saya lupa kalimat pembuka yang paling saya sukai.”

“Kalimat pembuka?” Oliver mencondongkan tubuh.

Muninggar menatap ke hutan. “Perjalanan pulang selalu dimulai dari langkah yang paling kita takutkan.

Oliver menahan napas, merasakan kalimat itu menubruk dadanya dengan lembut. “Itu bisa jadi judul apa pun,” katanya.

“Bisa juga jadi hidup siapa pun,” jawab Muninggar.

Mereka bicara lama. Oliver menawarkan ruang perpustakaan kecil di lobi sebagai tempat Muninggar mulai menulis lagi. Esoknya, Maya bergabung, Madi menyusul membawa kue-kue kecil, Amir datang karena di luar hujan dan ia ingin ikut mendengar. Mereka membuat lingkaran kecil: membaca kalimat pembuka, memperbaiki tanda baca, menertawakan kata-kata yang terlalu ingin dianggap pintar. Your Stay, Your Story menjadi Your Words, Your Return dalam sesi-sesi yang lahir begitu saja.

“Kita berutang pada diri sendiri untuk kembali utuh, meski caranya pelan dan tak terlihat.”

.

Beberapa bulan kemudian, musim liburan datang seperti rombongan kereta panjang: ia berisik, melelahkan, tapi membawa banyak kemungkinan. Oliver mengatur media trip yang menekankan cerita, bukan glamor. Ia menulis undangan yang tak menjanjikan apa pun selain kejujuran: Datanglah dengan sepatu yang bisa kotor dan hati yang mau bersih.

Wartawan yang datang kaget ketika jadwalnya mencantumkan mencabut rumput liar di tegalan pagi-pagi. Tetapi di tengah matahari yang naik dan tanah yang lembab, mereka mendengar cerita petani tentang musim yang bergeser, tentang bibit yang perlu suara. Malamnya, di bale, Madi menaruh mangkuk-mangkuk kecil di tengah tikar: sambal matah, lawar, sup bening. “Silakan menulis rasa,” katanya. “Bukan menulis nama.”

Salah satu wartawan, Jayeng, menatap Oliver dengan mata yang sudah tak capek. “Aku sudah menulis tentang hotel seumur hidupku,” ucapnya, “tapi baru kali ini aku merasa tidak sedang bekerja.”

Oliver ingin menjawab, tapi suara gamelan dari desa tetangga masuk dan mengisi kalimatnya. Ia tersenyum saja.

Di hari terakhir, sepasang lansia dari kamar 306 menunggu di lobi. Mereka pelan, pakaian mereka juga pelan. Si suami mengeluarkan surat kecil—ditulis tangan, hurufnya miring dan tegas. “Terima kasih,” katanya, suaranya serak. “Kami menikah lima puluh tahun. Di sini, kami ingat rasanya menjadi muda dan ceroboh. Itu hadiah ulang tahun kami.”

Surat itu disimpan Oliver di laci meja kerjanya, bersama tiket pesawat lama, kartu akses panggung yang sudah tak berlaku, dan catatan Muninggar tentang kalimat pembuka.

“Kadang yang paling mewah kita beri ke orang lain bukan layanan; melainkan ruang untuk menjadi diri sendiri.”

.

Suatu sore, lampu restoran redup karena hujan. Ada genangan kecil di depan pintu masuk; seorang anak lelaki hampir tergelincir. Amir bergerak cepat, menaruh penanda lantai basah, mengepel, lalu berjongkok menyapa anak itu. Oliver memperhatikan dari jauh: gerakan sederhana, tanpa intensi pamer. Madi membawa keluar semangkuk sup hangat untuk ibu si anak. Maya berkeliling, menaruh payung di tempat strategis.

Oliver merinding. Seluruh hotel bergerak seperti koreografi yang tak ada sutradaranya. Tiba-tiba ia sadar—panggung bukan apa yang ia tinggalkan; panggung adalah apa yang ia temukan: tempat orang-orang menghafal kebaikan satu sama lain, bukan langkah berbaris yang seragam.

Malamnya, ia menulis press release paling pelan sepanjang kariernya. Ia memulai dengan kalimat yang ia curi dari Muninggar, ia tambahkan napas dari Amir, ia beri bumbu dari Madi, ia pasang payung dari Maya. Ia menutup laptop ketika jam dinding di kantor karyawan berdetak jam sebelas lebih sedikit. Dari balkon, hutan basah berkilau seperti kain sutra hitam.

Ponselnya bergetar. Hamzah.

Oliv, maaf untuk kemarin. Aku baru paham. Di sini juga kosong, ternyata. Kalau kau sempat, ajari aku menulis press release yang tidak menipu siapa pun.

Oliver tersenyum. Ia membalas, Datanglah bukan sebagai raja, Zah. Datanglah sebagai manusia. Sisanya kita pelajari sambil minum teh.

.

Ulang tahunnya ke tiga puluh satu datang sunyi. Tegar mengirim kue kecil dengan lilin tunggal; Maya menaruh kartu bergambar hutan, Madi menghadiahkan resep yang ditulis tangan, Amir meninggalkan catatan: Selamat ulang tahun. Terima kasih sudah bikin kita merasa dilihat.

Oliver duduk di kamar staf yang kecil. Lampu neon mendesis halus. Ia membuka laptop. Menulis surat untuk dirinya sendiri—surat yang tak akan dikirim ke mana-mana.

Oliver yang dulu mendefinisikan diri lewat sorot lampu, terima kasih sudah berani mematikan saklar. Terima kasih sudah mau dihitung bukan dari jumlah tepuk tangan, melainkan jumlah napas yang tidak lagi terburu. Kau tak perlu simpati dari tangan yang tidak lagi meraihmu. Kau hanya perlu setia pada tanganmu sendiri.

Ia menutup laptop. Di luar, hujan kembali turun. Udara memeluk. Ia melangkah ke balkon, memandang hutan yang tak pernah meminta pujian tapi selalu layak. Dalam hati, ia mengucap pelan: Aku pulang. Bukan ke tempat, tapi ke cara melihat.

“Panggung paling jujur adalah hati yang berhenti berdusta pada dirinya sendiri.”

.

Musim bergeser. Buah mangga di kebun belakang jatuh satu-satu. Program Your Stay, Your Story yang dulu seperti eksperimen kecil kini menjadi tulang punggung narasi hotel—bukan slogan, melainkan kebiasaan. Di lobi, rak kecil berisi buku catatan tamu penuh tulisan: ada yang menggambar peta pulang; ada yang menulis resep sambal nenek; ada yang mengaku memaafkan masa lalu setelah duduk sendirian di bale selama satu jam.

Pada suatu senja, Oliver melihat Muninggar berdiri di bawah pohon, memotret langit yang oranye. “Cerpen saya dimuat,” katanya, mata berbinar. “Koran Minggu. Bukan yang terbesar, tapi cukup membuat saya menari di dapur.”

Oliver mengangkat tangan seolah memberi aba-aba pada orkestra. “Tari di dapur adalah yang paling berbahaya,” katanya. “Bumbu bisa cemburu.”

Mereka tertawa. Angin lewat, membesarkan tawa itu seperti layar perahu.

Maya datang membawa kabar: media nasional ingin menulis profil Oliver—mantan koreografer yang menjadi PR, begitu judul sementara. Oliver mengangguk, lalu menggeleng. “Kalau bisa, tulis tentang kami, bukan tentang aku.”

“Kenapa?” tanya Maya.

“Karena panggung ini ramai hanya kalau semua orang mau mengambil peran kecilnya.”

“Baiklah,” ucap Maya. “Tapi aku akan tetap menyisipkan kamu. Sedikit. Supaya orang tahu wajah yang menuliskan kita.”

Oliver mendesah, kalah. “Sisipkan juga wajah Amir, tangan Madi, dan mata Tegar yang selalu melihat dari jauh.”

“Dan suaramu yang pelan,” tambah Maya.

“Suara pelan itu hanya terdengar karena yang lain berhenti berteriak,” sahut Oliver.

“Di dunia yang bising, orang yang paling berani adalah yang memilih berbicara secukupnya.”

.

Pada akhirnya, semua yang dilakukan Oliver sederhana saja: membiarkan tempatnya menjadi manusia, bukan museum fasilitas. Namun yang sederhana seringkali butuh keberanian yang paling sulit: keberanian untuk tidak pamer, keberanian untuk tidak balas, keberanian untuk tidak mengejar yang menjauh.

Suatu malam, hotel gelap sesaat. Listrik padam karena gangguan hujan. Tamu-tamu gelisah—beberapa beranjak dari meja, beberapa menyalakan senter ponsel. Dalam gelap, Oliver meraba jalan menuju lobi, menenangkan suara di dadanya. Amir mengatur alur masuk lampu darurat. Madi membawa keluar termos air panas, menyeduh teh untuk siapa pun yang mau. Maya membagi-bagikan lilin kecil.

Gelap mempertemukan mata yang biasanya tak saling melihat. Seorang anak kecil memeluk lilin di telapak tangannya seperti memegang bintang. Seorang pria yang tadi marah karena steak datang terlambat, kini tersenyum pada pelayan. Seorang perempuan yang biasanya sibuk menatap layar, menutup ponselnya dan mendongak ke langit gelap.

Ketika listrik menyala kembali, orang-orang bertepuk tangan—bukan untuk teknisi, bukan untuk manajer, bukan untuk makanan. Untuk rasa bahwa mereka ada bersama. Oliver berdiri di tangga, memandang pemandangan itu seperti seseorang memandang kota dari atap gedung: jauh, utuh, dan membuat ia ingat betapa kecil tapi berarti keberadaannya.

Hamzah mengirim pesan malam itu juga: Aku datang minggu depan. Ajari aku teh pelan itu, dan cara menulis tanpa topeng.

Oliver menjawab: Datanglah. Kita mulai dari kalimat pembuka: perjalanan pulang selalu dimulai dari langkah yang paling kita takutkan.

.

Tidak semua kisah perlu ditutup dengan kembang api. Beberapa cukup ditutup dengan pintu yang rapat dan lampu yang dimatikan. Oliver pulang ke kamar staf, mencuci muka, menatap cermin kecil yang retak di sudut. Retak itu membuat wajahnya berlapis; ia menemukan versi-versi diri yang dulu bersaing ingin diakui. Kini, mereka rukun. Ia tak lagi memaksa siapa pun di dalam cermin untuk berdiri sempurna.

Ia menepuk bahunya sendiri. “Terima kasih,” bisiknya, “sudah berani menjadi biasa.”

Di luar, hutan menghembuskan malam. Di dalam, ia menulis tiga kalimat di buku yang diletakkan selalu di samping tempat tidur:

  1. Aku tak lagi mempertahankan simpati dari tangan yang tak ingin menggenggam.

  2. Aku memilih keberanian yang pelan.

  3. Aku percaya, yang tumbuh paling kuat adalah yang disirami kesabaran.

Lampu padam. Napasnya teratur. Besok pagi ada rombongan baru, ada nama-nama baru, ada kisah-kisah yang minta ditolong menemukan kata. Dan ia siap—bukan karena ia paling cerdas, bukan karena ia paling kuat. Melainkan karena ia akhirnya punya tempat paling penting: dirinya sendiri.

“Berhentilah mempertahankan rasa simpatimu kepada orang-orang yang sudah tidak lagi menghargaimu—agar hatimu punya ruang untuk yang benar-benar tinggal.”

.

.

.

Jember, 20 Juni 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenIndonesia #KompasMingguStyle #Hospitality #PRHotel #Storytelling #SelfHealing #PerjalananPulang #UrbanIndonesia #Bali #Ubud

Leave a Reply