Sampai Hanya Tinggal Dua
“Tidak semua yang ramai itu hangat.
Ada yang hangat justru karena sepi—
tempat dua orang saling menutup pintu dari angin.”“Jangan takut kehilangan yang memang bukan untukmu.
Takutlah kehilangan dirimu sendiri karena terlalu sibuk mempertahankan yang palsu.”
.
Jakarta, pukul delapan lewat sedikit. Lampu-lampu dari jembatan layang di Kuningan membentuk tali cahaya yang bergerak lambat seperti napas raksasa. Di lantai tiga sebuah rumah petak sempit di Tebet, Ray duduk di kursi ergonomi bekas yang suara roda-rodanya sering kali lebih lantang daripada isi hatinya. Ia menatap folder bernama Project Lama—huruf-huruf yang dulu membesarkan dadanya, kini hanya melorot seperti baju kebesaran.
Ponsel di samping cangkir kopi dingin itu tak menyala. Tak ada pesan, tak ada panggilan tak terjawab. Tidak ada ping dari grup yang dulu saban malam mengundangnya bercanda. Heningnya memantul ke dinding, membuat jam dinding berdetak seperti palu kecil memaku sepi di kepalanya.
Dulu, Ray takut jika tak ada yang menyapa. Takut tak diajak nongkrong. Takut jadi rumor, atau lebih buruk: dilupakan tanpa jejak. Kini, setelah dua tahun yang menipiskan lingkaran, ia tahu: yang ia takutkan bukan kehilangan orang, melainkan kehilangan pengakuan. Ada masa ketika ia menunggu-nunggu namanya disebut, tag yang menonjol, sorot kamera, bahu yang ditepuk sambil berkata, “Kerja bagus, Ray.”
Yang membuatnya duduk lebih tegak malam itu adalah satu kalimat di notes laptop: “Kalau disaring sampai akhir, siapa yang masih tinggal?”
.
Siang lain, beberapa bulan sebelum malam itu. Hujan baru berhenti. Jalan H. Agus Salim berkilau, menyimpan bayangan poster film di trotoar. Ray bertemu Ian di kafe kecil di sudut Tebet—kafe tanpa papan nama mewah, hanya pintu kaca dan permainan bayang-bayang daun waru di dinding. Ian, sahabat lama sejak kuliah desain di Bandung, menunggu dengan buku sketsa yang halamannya penuh bekas jari yang tak bersih dari grafit.
“Aku nggak banyak temen, Ray,” kata Ian, tanpa drama, tanpa menatap ponsel. “Tapi yang kupunya, kujaga.”
Ray tertawa hambar. “Dulu kita punya panggung.”
Ian meneguk kopi. “Panggungnya tetap ada. Penontonnya pindah channel.”
Ray menatap ke luar. Orang-orang berlari kecil mengejar ojek online. Di benaknya, nama-nama yang dulu akrab berkelebat: Retna, Umar, Madi, Kelana. Mereka dulu satu lingkaran: orang-orang yang percaya pada kerja sosial, seni yang merangkul, dan rapat-rapat malam yang ujungnya selalu kecapekan bercampur tawa. Lalu pandemi datang, anggaran menyusut, proyek bubar, dan rasa saling jaga menguap seperti kabut dari gelas teh panas.
Di satu rapat yang masih mereka adakan lewat layar, Umar berkata datar, “Ray itu pinter bikin citra organisasi kelihatan berfungsi ke atas. Tapi inti di bawahnya rapuh. Jangan-jangan dia cuma jaga nama kantornya saja.”
Kalimat itu menempel seperti serpih kaca. Ray tak membalas. Retna—yang dulu paling cepat mengirim pesan “Kamu kuat, kan?”—menatap layar tanpa suara. Madi sibuk mematikan mikrofon. Kelana mengalihkan pembicaraan. Setelah rapat, tak ada yang mengetuk pintu ruang bicara Ray.
Sejak itu, grup WhatsApp pelan-pelan jadi museum stiker. Ray mundur selangkah, lalu dua langkah. Ia berhenti hadir di webinar, berhenti mengurusi undangan, berhenti mengetik copy promosi yang meminjam bahasa nurani untuk menutup bolong manajemen. Ia berhenti mengangkat telepon saat jam rapat makan malam, berhenti meladeni perdebatan panjang tentang “dampak” yang tak pernah ditimbang selain pada jumlah like.
Lingkaran menyusut. Notifikasi makin jarang. Nama Ray berkurang disebut. Dan satu sore, ia menghapus empat puluh tujuh grup. Ia menangis tanpa suara. Bukan karena kehilangan suara orang lain, melainkan karena mendengar untuk pertama kalinya suara dirinya sendiri.
.
Ian datang dengan ide—bukan yang besar, justru yang kecil: Lingkaran Dua. Sebuah kanal di Instagram yang menampung ilustrasi dan narasi pendek soal memulihkan diri. Tak ada target engagement, tak ada tenggat selain tenggat hati.
“Kita bikin dari yang kita punya,” kata Ian. “Pensil, kata, napas.”
Ray mengangguk. Ia menggambar kursi kosong di pojok kamar, lampu meja yang menunduk, dan bayangan dua cangkir yang saling menghadap. Ian menulis kalimat-kalimat yang seperti mengetuk pintu: Teman sejati tidak ribut ketika kamu diam. Ia tahu cara duduk di lantai dan menunggumu menamai luka.
Postingan pertama itu tak meledak. Ada tiga puluh like, kebanyakan dari kenalan lama yang masih mau tersenyum. Tapi komentar ketiga puluh satu datang dari akun tanpa foto profil: Mas, saya laki-laki. Saya juga takut. Terima kasih sudah menuliskannya tanpa mempermalukan saya.
Ray menutup ponsel dengan telapak tangan. “Cukup,” katanya. “Kalau kerja kita bisa jadi tempat satu orang duduk, itu cukup.”
Ian menyentuh bahunya. “Sampai hanya tinggal dua, ya.”
Ray tersenyum. “Sampai hanya tinggal dua.”
.
Sore minggu di bulan-bulan berikutnya, mereka bertemu di kafe yang sama. Ian menulis dengan pulpen hitam, Ray mencoret. Mereka mendiskusikan kalimat-kalimat yang di luar terlihat sederhana, tapi di dalam memerlukan keberanian untuk mengaku luka.
“Kalau begini apakah terlalu sentimentil?” tanya Ray.
“Biarkan,” jawab Ian. “Kota ini terlalu pandai pura-pura baik-baik saja. Ada yang harus mengajari kita semua cara menangis tanpa merasa kalah.”
Di luar, Jakarta memeragakan fasihnya bertahan. Orang-orang kembali ke kantor, coworking space laris, ruang rapat penuh lagi, pitch deck bersliweran. Di metro mini yang kini jarang lewat, di KRL yang kembali sesak menjelang sore, Ray melihat mata-mata yang ia kenal: mata yang menahan banyak hal tapi tak punya tempat diletakkan. Ia menggambar mata itu diam-diam; Ian memberi kata: Tidak apa-apa tidak apa-apa—kalimat paling benar yang sering salah dipakai.
Mereka tak bicara lagi soal Umar. Sampai suatu malam, pesan singkat menyelinap: Ray, maaf ya. Waktu itu aku takut proyek berhenti. Aku memilih aman. Kabarin kalau kamu sempat.
Ray menatap layar lama-lama. Ia mengetik: Terima kasih sudah jujur. Aku juga belajar mengakui takutku sendiri. Lalu ia menghapusnya. Ia menulis ulang: Semoga kamu baik-baik saja, Mar. Ia kirim. Tidak ada emotikon. Tidak apa-apa.
.
Cerita lain menyusup dari sudut-sudut kota. Retna, yang dulu paling cepat memeluk dengan kalimat, mengundang Ray ke pembukaan pameran di bilangan Kemang. “Datanglah, hanya kalau kamu mau,” tulisnya.
Ray datang dengan kemeja abu-abu yang kancingnya selalu merasa salah lubang kalau ia gugup. Di ruang galeri ber-AC yang dinginnya seperti ingatan, ia melihat Retna tersenyum kecil. Mereka duduk di anak tangga. Musik pelan, anggur, suara sepatu.
“Aku membaca semua tulisan kalian,” kata Retna. “Ada yang membuatku berhenti menilai diriku dari angka-angka.”
Ray tak menjawab. Ia ingin mengatakan: Kenapa kau diam waktu itu? Ia juga ingin berkata: Aku paham. Siapa pun bisa takut di depan ketidakpastian. Ia tak memilih keduanya. Ia memilih kalimat yang bisa tinggal bersama mereka lebih lama: “Terima kasih sudah hadir.”
Retna tertawa pelan. “Kita ini lucu. Dulu seperti rombongan arak-arakan. Sekarang sunyi. Tapi ternyata sunyi membuatku lebih sanggup melihat wajah orang.”
Ray mengangguk. “Keramaian sering bikin kita salah hitung. Kita pikir banyak itu berarti kuat.”
“Padahal,” sambung Retna, “yang kuat itu bukan penonton, melainkan kawan menutup pintu.”
Mereka pulang terpisah. Di Halte TransJakarta, Ray duduk di kursi plastik yang seolah-olah mengingat semua pantat yang pernah singgah. Di layar ponselnya, notifikasi dari Lingkaran Dua masuk: Kak, aku batal bunuh diri minggu kemarin karena baca postingan kalian tentang cara menunggu diri sendiri. Terima kasih. Ray menyandarkan kepala ke kaca. Lampu-lampu lewat seperti bintang yang terlanjur jatuh. Ia menahan napas lama-lama, bukan untuk kuat, melainkan agar air yang mengumpul di matanya tidak memakan kata.
.
Di tahun kedua Lingkaran Dua, mereka menerima undangan berbicara di sebuah kampus swasta di Grogol. Aula sederhana, spanduk seadanya, dan kursi-kursi lipat yang kira-kira akan menjerit kalau ada tawa yang terlalu besar.
Seorang mahasiswa bertanya, “Bang, gimana caranya menghadapi teman-teman yang menjauh saat kita susah? Kadang aku benci, tapi juga kangen.”
Ian menjawab duluan. “Boleh benci, asal jangan mengikatnya seperti batu di leher.”
Ray menambahkan, “Kita bisa sedih karena kehilangan kebiasaan, bukan orangnya. Kadang yang kita rindukan adalah dirimu yang dulu percaya semua orang akan tinggal.”
Mahasiswa itu mengangguk. Ada tepuk tangan kecil yang terasa tulus. Setelah acara, mereka makan bakmi di warung pinggir jalan. Asap menyelinap ke rambut, ke baju, ke luka yang sudah lebih jinak.
“Ray,” kata Ian tiba-tiba, seolah ingat sesuatu yang ia sembunyikan lama. “Waktu kita pecah dulu, aku juga meloloskan diri ke aman. Aku nggak datang ke rapat terakhir. Aku takut dianggap pilih sisi.”
Ray menatap sahabatnya—mata yang bersih, lelah, jujur. “Kamu datang ke hari-hari yang susah. Itu lebih dari cukup.”
Ian tertawa kecil. “Lalu kita mau mulai bikin buku? Kurasi dari Lingkaran Dua?”
Ray menimbang sebentar. “Kita mulai dari bab paling sederhana: kursi kosong yang akhirnya terisi.”
.
Di tengah semua itu, Umar kembali ke kota setelah berbulan-bulan penugasan di luar. Mereka bertemu tanpa sengaja di trotoar Senayan, di dekat pedagang es krim. Jalanan sore yang agak teduh. Umar tampak lebih kurus; mata yang dulu tajam kini seperti habis menahan angin.
“Ray,” sapa Umar. “Apa kabar?”
“Baik,” jawab Ray. “Kamu?”
Umar menghela napas. “Aku berantakan. Ada banyak yang kupikirkan kembali. Aku minta maaf, ya.”
Ray menatap es krim yang meleleh pelan, menetes ke jari seorang anak kecil yang tertawa tanpa peduli lengket. “Aku juga minta maaf,” katanya, “karena dulu aku ingin dipercaya semua orang.”
Umar mengangguk. “Aku suka Lingkaran Dua. Kalian menulis dengan tidak menyalahkan.”
Ray tersenyum. “Karena kami pun bersalah.”
Mereka berjabat tangan. Tak ada pelukan, tak ada janji temu. Hanya dua orang yang sama-sama menyisakan ruang agar angin bisa lewat di antaranya.
.
Malam ulang tahun Ray ke-35. Hujan tipis seperti kalimat yang ragu-ragu. Di balkon kontrakan, ia menaruh dua cangkir: satu berisi teh jahe, satu kosong—kursi untuk seseorang yang mungkin datang, mungkin tidak.
Ponselnya bergetar. Pesan dari nomor yang disimpannya sebagai Ian: Selamat ulang tahun, Ray. Terima kasih sudah bertahan sejauh ini. Dunia butuh orang yang berani duduk di lantai untuk mendengarkan.
Beberapa menit kemudian, pesan lain masuk dari akun yang sering menulis panjang di DM: Kak, aku selamat dari keputusan terburuk karena membaca kalimat: “Tunggu dirimu di depan pintu, jangan paksa dia berlari.” Selamat ulang tahun, ya. Semoga ada kursi buatku di hari-hari gelapku.
Ray menatap langit yang segan bertabur bintang. Dari jauh, sirene ambulans lewat; dari dekat, suara sandal tetangga menyeret lantai. Di kota seperti ini, kebahagiaan jarang datang seperti musik orkestra. Lebih sering hadir seperti lampu kecil di ujung gang.
Ray memegang cangkir, merasakan panasnya pindah pelan ke telapak tangan. Ia mengirim balasan yang singkat ke Ian: Terima kasih. Sampai hanya tinggal dua. Lalu ia menulis satu jadwal unggahan untuk minggu depan: ilustrasi dua kursi yang saling bersandar, caption: Rumah adalah orang yang tetap tinggal meski tak diminta.
Ia menutup laptop. Di meja, folder Project Lama masih ada, tapi sudah tidak bernyawa. Di sebelahnya, folder baru bernama Lingkaran Dua – Draft Buku. Ia membuka, melihat halaman kosong yang menunggu. Sunyi, ya, tapi bukan sunyi yang menakutkan. Ini sunyi yang mengizinkan.
Ia ingat satu sore ketika Retna bertanya lewat pesan, “Kamu nggak dendam, Ray?”
Ray waktu itu menulis: Dendam adalah cara hati membayar kontrakan di tempat yang sudah kita tinggalkan. Lalu ia tambah: Aku memilih kontrak di tempat baru: tempat dua kursi saling menjaga punggung.
Malam kian dalam. Dari TV tetangga, sinetron berulang-ulang memutar dialog patah hati yang terlalu riuh. Di balkon Ray, tak ada dialog. Hanya napas yang tenang. Hanya dua cangkir. Hanya ia dan seseorang yang—entah sudah hadir atau belum—ia percaya akan menemukan jalan ke sini.
.
Beberapa minggu setelah ulang tahun, Lingkaran Dua mengadakan temu kecil-kecilan di taman kota yang baru direnovasi. Mereka tak sewa panggung. Mereka gelar tikar, bawa bekal, dan menuliskan aturan main di karton bekas: Tidak perlu menceritakan nama. Cukup ceritakan rasa. Saat satu orang bercerita, yang lain menjaga punggungnya.
Delapan orang datang, lalu belasan, lalu dua puluhan. Tidak ramai, tapi hangat. Ray mengingat nama-nama baru yang muncul—Nadia yang baru kehilangan ayah, Niko yang habis dipecat, Sari yang lelah jadi tempat sampah emosi teman-temannya. Mereka duduk membentuk lingkaran, bukan untuk saling mengadili, melainkan untuk saling menyimpan.
Di ujung acara, seorang perempuan dengan kemeja biru mendekati Ray. “Mas,” katanya, “aku dulu satu grup sama kalian. Aku bukan siapa-siapa, cuma penonton di pinggir. Tapi waktu kalian pecah dan aku lihat kalian jadi Lingkaran Dua, aku belajar sesuatu: kelak kalau lingkaranku mengecil, itu bukan karena aku mengecil, tapi karena aku akhirnya pas.”
Ray mengangguk. “Terima kasih sudah datang.”
Perempuan itu tersenyum. “Sampai hanya tinggal dua, ya.”
Ray mengulang, seperti janji yang sudah lama disepakati. “Sampai hanya tinggal dua.”
.
Ada hari-hari mudah setelah itu, ada hari-hari susah. Ada tag job dari klien baru yang mempercayai ilustrasi Ray. Ada honor kecil yang tiba tepat saat kontrakan minta disapa. Ada pagi ketika Ian menatap jauh terlalu lama, ada sore ketika Ray curiga mereka terlalu pelan untuk kota yang berlari. Mereka bertengkar kecil soal diksi—apakah harus tinggal atau tetap tinggal—dan soal garis apakah harus diarsir atau dibiarkan kosong.
Di tiap beda pendapat, mereka ingat sederhananya kompas yang hanya menunjuk satu arah. Arah mereka: yang kebetulan paling jelas bila dipasang pada dua orang yang saling mengingatkan. Bila salah satu goyah, yang lain menahan. Bila salah satu merasa dunia tak adil, yang lain meminjami cara melihat.
Suatu malam, ketika listrik mati di gang mereka, Ray menyalakan lilin. Di meja, dua cangkir tampak lebih jujur dalam cahaya kecil. Ia menulis kalimat yang besok pagi akan menjadi unggahan:
“Kelak kau akan bersyukur pada hari-hari yang membiarkanmu sendirian,
karena di situlah kau belajar menjadi ‘rumah’ sebelum menunggu siapa pun datang.”
Ia menutup buku. Di luar, Jakarta tetap terjaga. Tapi di dalam dirinya, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ada pintu yang bisa ditutup tanpa takut tidak ada yang mengetuk lagi.
Dan jika besok kau bertanya, setelah semua saringan, siapa yang masih tinggal, Ray akan menjawab tanpa ragu: dua. Bukan karena sempit, melainkan karena cukup. Bukan karena menolak dunia, melainkan karena akhirnya tahu dunia mana yang sanggup ditanggung.
.
“Cukup dua yang tinggal—jika dua itu ikhlas.”
“Teman yang benar tidak membuatmu takut menjadi dirimu sendiri.”
“Respek hilang duluan ketika kita sibuk menata citra;
ia kembali ketika kita menata hati.”
“Rumah bukan tempat paling mewah; rumah adalah orang yang menunggu tanpa jam.”
.
.
.
Jember 16 Juni 2025
.
.
#SampaiHanyaTinggalDua #LingkaranDua #CerpenUrban #Persahabatan #Pemulihan #Jakarta #MenemukanDiri #LiterasiEmosi