My Travel My Adventure: Bagaimana Menarik Perhatian Wisatawan?
PASCA pandemi, pembatasan perjalanan di hapus, euphoria wisata balas dendam dan semarak case overtourism di beberapa kawasan dalam dan luar negeri. Lantas, saya mesti refresh, berlibur dimana?
Buat saya, mencari satu destinasi untuk liburan ke luar negeri mirip dengan berkegiatan mencari buku bacaan di toko buku. Sama menariknya. Dari mulai tertarik dengan judul dan gambar di sampul depan, kemudian menelaah rangkuman premis dan diksi dari buku yang sedang saya pegang. Teman-teman percaya toh, kalau ilmu marketing mengatakan people do not buy products, they buy emotions dan ada pengaruh social validation disitu.
Lalu apa yang menarik perhatian saya untuk memutuskan my next holiday destination? You do not attract what you want, you attract what you are! Yang pasti pertanyaan pertama adalah “ada apa disana?”
Traveler lain —menurut saya— melakukan hal yang mirip yaitu mulai dari menyusun top-most-priority untuk dibaca dan dibahas ulang bersama teman perjalanan —bagian dari mematangkan perencanaan dan mem-finalkannya—. Sangat subyektif. Dan kita belum berbicara hal climate change terkait rencana berlibur kita.
Kemudian, kalau kita berhandai-handai sebagai “turis” yang tertarik untuk liburan di Indonesia,—mengusung genre traveler generasi baru yaitu Milenial, iGeneration dan Alpha kelahiran tahun 1990an dan 2000an—, kira-kira apa yang menarik perhatian kita?
Dari total 17.504 pulaunya saja, tidak mungkin kita bisa mengunjungi, menangguk experience kehidupan kepulauan Indonesia, sekalipun menikmatinya menggunakan masa cuti panjang selama 30 hari.
Tetapi –catat– kita bisa mengunjungi wilayah Indonesia ber-ulang-ulang dan mendarat di pulau yang berbeda-beda – island hopping, tergantung tujuan pengalaman yang hendak kita timba.
Dalam pemikiran saya, salah satu pembangkit minat untuk Indonesia menjadi pilihan future travelers melalui people – beragam suku dan budayanya menjadikan Indonesia memiliki potensi destinasi-destinasi tematik. Mampukah Indonesia membangun special interest sesuai karakteristik historis geografis masyarakat dan pulaunya? Bukan melulu eksploitasi alamnya. Sehingga kemudian pangsa pasar niche nya terbentuk, lalu target promosinya jelas dan kuota kunjungan wisatawannya-pun dapat ditentukan.—Tidak perlu terjadi kasus overtourism—Disinilah, kita bisa bicara lebih banyak tentang destinasi dengan quality of tourism nya —didalamnya ada length of stay dan spending power wisatawan yang sedang berkunjung—.
Mari kita coba buka sejarah Nusantara. Harus kita akui, penguasaan bahasa Inggris dan bahasa asing lainnya, bangsa Indonesia kalah jauh dibandingkan beberapa negara anggota ASEAN. Tetapi Indonesia masih bisa unggul apabila dapat mengembangkan experience. Paket bisa dibuat dan itu misalnya Paket Perjalanan Sejarah, Paket Legenda, Paket Arkeologi Antropologi, Paket Keraton, Paket Laboratorium Hidup dan masih banyak lagi. Khusus Paket Laboratorium Hidup saya dapat membandingkan Galapagos di Ekuador dengan Flobamora di NTT (Kepulauan Nusa Tenggara Timur).
Jangan lupa! Saya sedang memikirkan bagaimana menarik minat, perhatian potensi future travelers tersebut. Kuncinya pada penguasaan teknologi, dan jadikan Indonesia sebagai destinasi digital yang handal. Semua paket yang ditawarkan dan dijual harus terintergrasi dapat dipertanggungjawabkan secara etika moral, sosial, hukum dengan aman. Mulai dari beragam tipe akomodasi, destinasi makanan sesuai daerahnya dengan mempromosikan exotic food yang dapat dikonsumsi wisatawan internasional sesuai karakter daerahnya. Jangan lupa ada misi edukasi didalam memberikan experience kepada wisatawan. Salah satunya adalah mengajari wisatawan untuk mendapatkan pengalaman berinteraksi dengan penduduk lokal dengan sarana naik public transportation (angkot) dari satu poin ke poin lainnya, bahkan bisa untuk mengajari memilih angkutan umum antar kota seperti menggunakan bis dan kereta api/listrik.
Bagaimana dengan paket budaya?
Saya sendiri secara pribadi sangat tertarik dengan budaya. Indonesia ini kaya banget!. Setiap daerah memiliki kekuatan masing masing. Dari seni tari, rupa, patung dan lainnya, yang dapat diintegrasikan dalam Paket Sejarah Nusantara —untuk daerah tertentu— atau bahkan Paket Legenda yang di ceritakan dari dongeng rakyat seperti Balingkang Dewi Danu di Kintamani Bali. Untuk mensukseskan semua program wisata ini Indonesia perlu Story Tellers sebagai duta wisata. Dalam hal sales, marketing diperlukan seller, marketer yang menguasai strategi storytelling, didukung tim content creator yang setara. Dan tetap berpedoman pada Kode Etik Pariwisata Global serta kode etik jurnalistik Indonesia —meskipun Anda bukan jurnalis—.
Kita, future travelers perlu akses masuk yang nyaman dan infrastrukturnya.
Suksesnya program satu paket, satu destinasi perlu dukungan masyarakat setempat. Sosialisasi tidak cukup dilakukan oleh pemerintah selaku fasilitator, juga oleh kalangan pelaku bisnis perjalanan wisata. Sosialisi dan pelatihan secara berkesinambungan selayaknya dilakukan stake holder terkait. Ini sebagian pekerjaan pemerintah dengan dukungan swasta untuk implementasi dan mengembangkannya.
What is the destination like? Even though the location is remote, current needs or modernization needs must still be provided. For example, international standard MCK (Bathing Washing Toilet), transportation, convenience stores , non-cash payment tools ( tourist cards and virtual), APPS of the Destination . All travelers need easy mobility with all integrated and accurate information. Maybe someone has been to Singapore and London ? In these two cities I am very comfortable for easy and cheap mobility during my visit.
One more thing, do I have an interest in destinations in Indonesia that implement environmentally friendly actions? Yes, this is a global trend.—green and sustainable tourism—. Of course it would be interesting if there are islands in Indonesia that are ready to demonstrate ” free chemical ” technology for their daily lives. Starting from agriculture, packaging to waste management. I will experience staying a few nights here. There are definitely lessons to take home.
So once again the quality of a product, including tourism products, is very subjective. It all depends on what experience the viewer feels at that time. For a concrete example, let’s go to guest review sites such as Tripadvisor , Google Reviews . Is the content from one review to another the same for the same product with different audiences? So that is evidence of subjectivity.
My written thoughts on how or how to attract the attention of tourists in general are still very “narrow”, compared to Indonesia’s extraordinary potential.
From my slogan My Travel My Adventure there are emotional outbursts that make me interested in visiting a destination. For example, because of the interesting historical story, wanting to get an experience told by other people, rarity/ scarcity or exclusivity, type of tourist, exoticism of local tribes, security guarantee, suitable for taking photos that can be told again, heritage , history, spiritual experience , affordable – fits your budget, lots of time to use including travel time to reach interesting destinations.
In the end, Indonesia must be able to sell by transferring feelings. — storytelling abilities in all dimensions–. Understanding a traveler’s “wants” and needs is like a fiction story that becomes non-fiction, becomes reality. Not just hard sales by highlighting “This is our superior product”.
Of course, fellow readers have different interests than me and want to discuss things . Please. Thank You
Jember , 08 February 202 4
@namakubrandku Telu Learning and Consulting for Hospitality Industry
General Manager Java Lotus Hotel Jember
Also showing on
https://www.beritabali.com/opini/read/bagaimana-menarik-perhatian-wisatawan
My Travel My Adventure, Bagaimana Menarik Perhatian Wisatawan?
MY TRAVEL MY ADVENTURE, NOW HOW TO ATTRACT TOURISTS’ ATTENTION?
My Travel My Adventure Bagaimana Menarik Perhatian Wisatawan?…
My Travel My Adventure : Bagaimana Menarik Perhatian Wisatawan?