There is light at the end of the tunnel
Di dalam simpang siur merebaknya wabah COVID-19, kalau terus diikuti beritanya, dunia semakin tidak masuk akal. Kemudian kita diarahkan oleh segala macam media elektronik ke beragam cara dan tempat yang akan kita lakukan untuk menghindarinya. Dalam hitungan detik! Namun, permasalahannya ini adalah jerat hoax yang tersebar tanpa henti begitu intens. Kemudian masuk merasuk mencekik ke dalam kesadaran kita yang walhasil merengkuh rasa ketakutan dan kehilangan.
Ketidak-pastian ini memenjarakan kita dalam kecemasan. Tetapi pastinya kita bisa membebaskan diri dari segala ke-putus-asa-an yang disebabkan oleh sumber yang tidak jelas itu dengan menjaga stamina kesehatan diri sendiri, afirmasi positif, percaya diri, juga menebar kasih terhadap sesama dan makhluk hidup lainnya.
Wabah COVID-19 ini bukanlah akhir segalanya. Saya sendiri percaya ini adalah awal dari semua harapan baru. Mari kita lalui saja. Sepertinya jalannya berliku-liku banyak tikungan, melalui tanjakan dan turunan.
Tulisan saya kali ini akan sedikit lebih panjang, karena dipembukaannya saya sudah sedikit filosofis. Kemudian saya akan masuk ke ide menjalankan bisnis selama wabah COVID-19 ini masih berlangsung dan sampai tuntasnya. Kita semua belum tahu batas waktunya. Jadi ini bahasan saya tentang Shifting dan Transforming, Pergeseran dan Perubahan dalam perilaku bisnis yang berhubungan dengan customer service.
Sistem pembayaran elektronik non-tunai dalam tiga tahun terakhir ini telah memberi kita cara baru untuk membayar. Belum sampai pada tahap keharusan menggantikan pembayaran tunai. Seiring waktu, dalam menghadapi wabah COVID-19 kali ini, transaksi menggunakan sistem pembayaran elektronik virtual yang sudah masuk keseharian kita menggunakan Ovo, Gopay, Sakuku, Linkaja bisa menjadi kebiasaan yang mengurangi kepercayaan publik terhadap penggunaan uang fisik yang dicetak menggunakan kertas dan logam.
Mengapa?
Karena salah satu antisipasi menghindari untuk tertular adalah tidak memegang permukaan-permukaan yang bisa kita curigai sebagai media tempat bersemayamnya sang virus.
Satu acungan jempol terhadap pemerintah Cina PRC untuk aksi mereka yang cepat dan akurat dalam menghadapi wabah ini. Salah satunya adalah peredaran uang tradisional. Bank Sentral China mengumumkan akan menghancurkan uang kertas yang terinfeksi virus korona sebagai tindakan pencegahan penyebaran meluasnya wabah COVID-19. “” lanjut imbauan terkait.
Kemudian apa yang dilakukan pemerintah Indonesia? Tanpa sosialisi yang masif, Bank Indonesia telah meluncurkan sistem pembayaran menggunakan QRIS bersamaan dengan ulang-tahunnya yang ke 74 pada bulan Agustus 2019. Kepanjangannya adalah Quick Response Code Indonesian Standard. QRIS ini adalah standarisasi pembayaran menggunakan metode QR Code dari Bank Indonesia agar proses transaksi dengan QR Code yang kita lakukan lebih mudah, cepat, dan terjaga keamanannya. Jadi sekali lagi ini sistem pembayaran dengan cara elektronik menggunakan handphone pribadi. Sehingga ini juga menjadi salah satu solusi bagi pemerintah Indonesia untuk membatasi peredaran uang fisik di area yang terinfeksi wabah covid-19 ataupun virus-virus lainnya.
Selanjutnya saya masuk ke industri Hospitality. Industri ini merujuk pada hubungan manusia dengan manusia, satu paket utuh sampai termasuk ke perilaku dan emosinya. Pada aktivitas/kegiatan layanan ini banyak menggunakan media kertas untuk mencatat maupun cetakan sebagai bahan informasi dengan target akurasi dalam hal pelayanan dan kenyamanan.
Apakah barang-barang cetakan dengan sampul yang mewah dan mahal seperti Compendium (Daftar Informasi) yang diletakkan di dalam kamar hotel dan Buku Menu di Restoran, Spa, dan semacamnya harus dihilangkan?
Material cetakan ini dibuat untuk disentuh, dibuka dan dibaca oleh customer. Ada nilai marketing teknik promosi dan up-sell nya
Sekitar tujuh (7) tahun lalu, terakhir kali saya menghadiri Bursa Pariwisata tahunan – ITB Berlin di Jerman, beberapa produk digital desain khusus untuk industri hospitality guna meningkatkan kepuasan tamu telah beredar dipasaran. Semua produk itu tujuannya mirip walau nama dan teknologinya ber-beda-beda. Utamanya semua menuju guest loyalty dan customer service-guest engagement. Dalam ilmu digital tahapan nya sudah funneling.
Saat ini telah beredar Digital Concierge sampai Property Management Software berbagai merek di Indonesia. Produk anak negeri bersaing dengan produk luar negeri. Semua teknologinya masih mirip, pengembangan Artificial Intelligence – AI, mulai dari Big Data, Machine Learning, Internet of Thing dan seterusnya. Tinggal kalau menggunakan produk luar negeri wani piro?
Akhirnya, karakteristik traveler juga mengalami perubahan perilaku. Bisa kita analisa mulai smart phone beredar dipasaran bebas sekitar lima (5) tahun yang lalu. Industri hospitality pun dealing dengan tipe-tipe Phubbing dan Smartphone-Zombie, mereka menyelesaikan semua pekerjaannya dan masalahnya secara digital. Kita sekarang masuk ke regenerasi. Traveler jaman now akan didominasi oleh Milenial, iGeneration dan kemudian Alpha Generation. Tiga kareakteristik yang pasti akan berbeda sesuai generasi dan pola asuh orangtuanya. Tetapi sudah bisa dipastikan mereka digital-freak yang akan meng-eksplorasi pengalaman perjalanannya bahkan sebagai solo traveler. Perlengkapan dokumentasi selain handphone dan tongsisnya, sekarang sudah di dukung pula drone yang mini bahkan generasi handphone yang sudah bisa menjadi drone pun ada.
Jadi, dengan adanya beberapa rekomendasi untuk terhindar dari COVID-19 dan mungkin akan muncul virus generasi lainnya, saya pikir para pelaku industri hospitality harus bergeser sampai transformasi melakukan team-work antara SDM – Human Capital dengan robot dalam hal layanan. Mari kita gunakan Digital Concierge untuk Hotel, Restaurant dan industri pendukung pariwisata lainnya. Tambahannya silakan mengecek dari link berikut untuk hal-hal yang berhubungan dengan kesehatan mental selama pandemi COVID-19 berlangsung – A guide about guarding mental health during the COVID-19 pandemic.
Setelah mempelajari beberapa produk, rupanya ada satu produk anak negeri yang mampu bersaing dengan berbagai merek luar negeri dalam hal digital concierge.
Produk luar negeri yang sedang ada di pasaran adalah untuk independent hotel ada Property Management system dengan brand Cloudbeds, Lalu untuk Digital Concierge beragam dengan brand Portier, Oakey, KAI dan beberapa lagi. Sedangkan produk anak negeri yang bisa dengan cepat berinteraksi dan implementasinya di Indonesia adalah DEE-Fi untuk hotel. Spesifik untuk memenuhi digitalisasi restoran adalah deeats yang sudah mampu melakukan closing transaksi tanpa customer menyentuh buku menu dan minta nota. Semua menjadi serba personal dan individual dengan transaksi yang nyaman dan aman dari handphone pribadi dan nota pembelian langsung masuk ke inbox email. Keunggulannya lagi, DEE-Fi dan deeats ini bukan aplikasi, tetapi disebut platform, jadi customer cukup melakukan scan QR Code. Tidak perlu menuh-menuhi memori hape.
Saya teringat dengan satu sesi debat kandidat calon presiden, Sandiaga Uno yang sempat mengatakan “wis wayahe” = sudah waktunya. Jadi saya pikir ini juga momen yang tepat shifting dari omni-era dan tranformasi ke digital-era. Marilah kita berubah menyesuaikan tingkat layanan di industri hospitality dan melakukan team-work dengan robot tanpa mengurangi nilai humanismenya. Tetapi robot ini mempermudah dan mempercepat layanan sesuai tuntutan kesabaran customer.
Sudah siapkah kita melampaui masa susah karena imbas wabah COVID-19 virus korona ? Kemudian bertransformasi – berubah, dalam hal ini adaptasi diri sendiri sebagai pekerja industri hospitality untuk bertranformasi menjadi pekerja yang memberdayakan digital, robot sebagai rekan kerja demi menaikkan tingkat layanan hingga mencapai excellent service?
Bali, 03 Maret 2020
Jeffrey Wibisono V. @namakubrandku
Hospitality Consultant Indonesia in Bali – Telu Learning Consulting – Commercial Writer – Copywriter – Jasa Konsultan Hotel