Yang Runtuh Bukan Bangunannya Tapi Hati Kami

“Tak peduli sekeras apa tawa yang dipertontonkan, derita yang disembunyikan selalu lebih nyaring terdengar oleh hati yang tulus.”

.

Senja di Atas Kota

Angin sore dari jendela lantai sembilan menyelinap masuk, membawa aroma aspal basah dan debu metropolitan. Dari rooftop hotel yang berdiri di tengah kota Jakarta Selatan, cahaya jingga memantul di jendela kaca gedung-gedung tinggi yang berdesakan.

Hotel itu berdiri gagah di jalan protokol, dikelilingi hiruk-pikuk lalu lintas, kafe kekinian, dan pusat bisnis yang tak pernah tidur. Tapi siapa sangka, di balik fasad megah dan papan nama bercahaya, bangunan itu tengah terluka, perlahan berdarah dari dalam.

Yudistira, lelaki paruh baya dengan mata sendu dan raut lelah, memeluk map laporan bulanan. Angka-angka itu seperti pisau yang menusuk hatinya—okupansi 83%, revenue masuk. Tapi saldo kas nyaris nihil. Tak ada dana untuk gaji. Tak ada dana untuk mengganti AC rusak. Tak ada dana untuk hidup, meski hotel itu tampak seolah bersinar.

“Kita penuh, tapi kosong,” gumamnya.

.

Tersenyum Dalam Luka

Kresna, sang pemilik, adalah simbol flamboyan dunia bisnis. Ia tak pernah hadir saat anak buahnya menangis, tapi selalu muncul di gala dinner dengan senyum selebar langit. Sambil memegang gelas anggur, ia membanggakan okupansi hotel yang ‘mengagumkan’.

Namun tiap bulan, tangan Kresna menarik 30% dari pendapatan kotor. Bukan untuk hotel, tapi untuk proyek ambisi lain: kafe berantai yang tak pernah buka tepat waktu, koleksi mobil klasik yang hanya diparkir untuk pamer, dan investasi crypto yang menguap seperti debu.

“Pak, AC kamar 306 benar-benar sudah mati. Tamu komplain, dan kita nggak punya unit cadangan,” ucap Nakula, kepala teknik, dengan nada memohon.

Yudistira mengangguk pelan. “Kita pinjam unit dari kamar staf dulu. Kasih kompensasi sarapan gratis. Minta maaf yang tulus.”

Di balik setiap pelayanan sempurna, ada kompromi yang menyakitkan.

.

Darah dari Dalam

Gaji Sadewa, resepsionis paling ramah, terlambat dua minggu. Ia tetap berdiri tegak di balik meja, menyambut tamu dengan senyum yang lebih tulus dari siapapun. Padahal, di balik jasnya yang rapi, dompetnya kosong.

“Bapak tinggal di kamar 702 ya? Selamat ulang tahun, kami sudah siapkan kue kecil,” katanya dengan suara lembut. Ia menghafal nama tamu, tanggal ulang tahun, bahkan minuman favorit mereka. Tapi tak ada yang tahu, malam itu Sadewa tidur dengan perut kosong.

Sangkuni, pria keuangan yang jujur tapi rapuh, menyerahkan laporan yang tak sanggup ia baca.

“Pak, BPJS kita belum dibayar empat bulan. Supplier laundry mau hentikan layanan. Pajak hiburan mulai kenakan denda harian. Brand… sudah kirim surat teguran.”

Yudistira menatap jendela. Di luar, para tamu bersantai di rooftop bar, menyesap mocktail. Mereka tak tahu, bahwa senyum staf hotel adalah pelindung terakhir dari kehancuran.

.

Surat yang Menggores Hati

Pagi itu, email dari brand masuk seperti belati.

“Karena pelanggaran kontrak dan keterlambatan pembayaran manajemen fee selama lebih dari 180 hari, kami menghentikan kerja sama efektif 90 hari sejak surat ini dikirimkan.”

Hotel itu kehilangan identitasnya. Logo internasional dicopot. Brosur dibakar. Seragam berubah. Tapi yang paling menyakitkan: kepercayaan itu pergi.

Kresna tak ada. Ia sedang berada di Dubai, berpose di acara NFT.

.

Yang Tersisa Hanyalah Senyap

Yudistira mengundurkan diri. Diam-diam. Ia pergi tanpa pesta perpisahan. Hanya meninggalkan satu kalimat dalam pesan singkat kepada tim:

“Maaf. Aku sudah mencoba.”

Sadewa kini membuka warung kecil di gang belakang hotel. Nakula pindah ke proyek pembangunan di Bintaro. Sangkuni… kabarnya menjadi konsultan keuangan UMKM.

Dan hotel itu, kini bernama “The Shore Jakarta.” Tak lagi berbintang, tak lagi bersinar.

.

Generasi yang Menebus

Parikesit, keponakan Kresna, datang dengan tekad dan luka warisan. Ia tak ingin mengulang dosa pamannya. Ia membaca laporan-laporan lama. Ia mendengarkan kisah para staf. Ia menatap bangunan dengan mata yang berbeda.

“Hotel bukan mesin uang. Ia adalah rumah. Kalau ingin panjang umur, harus dirawat, bukan diperas.”

Ia mulai dari hal kecil: membayar gaji tepat waktu. Menyicil utang. Memisahkan dana CAPEX. Menyuntik FF&E yang layak. Ia tahu, kepercayaan tak bisa dibeli—harus dibangun dengan peluh.

.

Suara Dalam Angin

Malam itu, angin berhembus lembut ke balkon kamar 306. Di tempat yang dulu jadi saksi tamu marah karena AC mati, kini sudah terpasang pendingin baru. Tapi kenangan tetap tertinggal di sana.

Parikesit duduk sendiri. Ia menggumamkan doa.

“Tuhan, lindungi mereka yang pernah berdiri di sini, tersenyum walau hati berdarah. Ampuni kami yang dulu abai.”

Air matanya jatuh. Tak ada tamu yang melihat. Tapi malam tahu. Kota tahu. Dan hotel itu pun tahu.

.

.

.

Jember, 29 Juli 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenIndonesia #KritikSosial #IndustriHospitality #CeritaKota #BisnisTanpaEtika #CerpenKompasMinggu

Leave a Reply