Yang Mengerti Akan Menjauh Tanpa Membenci

“Yang paling sulit bukan melepaskan orang yang melukai kita,
melainkan melepaskan harapan bahwa suatu hari mereka akan memahami cara mencintai dengan benar.”

“Niat baikmu jangan dihilangkan. Cukup hilangkan saja orang-orang yang tidak menghargai kebaikanmu.”

.

Kota ini mengajarkan dua hal pada Jagat: bagaimana berjalan cepat di trotoar yang dirampas parkir motor, dan bagaimana menertawakan berita “viral” yang dingin esok pagi seperti sisa kopi plastik di tong sampah Sudirman. Ia tinggal di gang Tebet, gang yang setiap sore mengirim aroma gorengan dan angin dari rel, mengguncang kaca tipis rumah petaknya. Lemari kayu tuanya menguarkan wangi kapur barus. Di dinding, kalender lembaga sosial bergambar anak-anak bersepatu karet menatap kamera.

Hidup Jagat mapan tanpa pamer. Siang, ia menegosiasikan strategi CSR dengan direksi perusahaan multinasional; malam, ia mencatat kebutuhan posyandu: timbangan bayi, box ASI, poster cuci tangan. Di kota ini, ia percaya pada jembatan—antara rapat berbahasa Inggris dan salam-salaman di musala kampung. Ia seorang anggota klub relawan kemanusiaan dunia yang ramai di kota-kota besar. Ia menyumbang dana, pikiran, waktu—dan lupa mencatat namanya sendiri.

Di klub itulah Jagat bertemu Rana—nama lengkapnya Ranggana, tetapi semua memanggilnya dengan vokal yang ringan seperti lagu radio pagi. Rana selalu membawa dua ponsel, keduanya menyala, keduanya memantulkan wajah yang pandai tersenyum. Ia eksekutif agensi komunikasi; di gala dinner ia berdiri tepat di kerucut lampu; di ruang rapat pengurus, ia magnet, menggandeng pengusaha, arsitek, dokter subspesialis. Ia menjahit kata “impact” pada setiap kalimat, menambahkan “kolaborasi lintas-sektor” sebagai kancing.

“Satu gerakan, dua dunia,” kata Rana di pertemuan pertama mereka di co-working space bertingkat tiga puluh, kaca menjuntaikan kota. “Dunia idealisme relawan, dan dunia profesional yang menuntut hasil. Kalau bisa dicocokkan, kenapa pilih salah satu?”

Jagat menatap selimut awan yang tergilas helikopter penukik. “Kita jembatani,” ujarnya. Dan benar: pagi ia berbicara tentang penghitung dampak dan pengendalian risiko; sore ia duduk di tikar plastik, menyimak ibu-ibu bercerita tentang air keruh dan anak batuk di malam lembap.

.

Pintu pertama terbuka di ruang rapat perusahaan minuman. Pendingin udara menajamkan tulang pipi. Jagat memaparkan grafik kualitas air dan rencana edukasi warga. Rana menutup presentasi dengan kalimat yang menghantam tepat tengah dahi para direksi. “Bayangkan merek Bapak bukan hanya simbol kesegaran, melainkan penyelamat kehidupan kota.”

Tepuk tangan merayap seperti ombak kecil yang konsisten. Di lift, Jagat melihat dirinya—jas sederhana dari penjahit gang, dasi warna abu yang menenangkan. “Kita bisa,” katanya pada pantulan. “Kita bisa,” ulang Rana, setengah menenangkan, setengah menghitung eksposur media.

Pintu kedua terbuka di bantaran sungai. Klub menamainya “Kolaborasi Bermartabat”. Di antara bising cor-coran beton dan teriakan tukang sayur, tim muda—Madi, Maya, Sabrang, Jayeng—mengukur kedalaman air dengan alat murah. Anak-anak memegang ember kecil dan sikat. Jagat mengatur jadwal pembersihan, menulis modul, memesan kaus tanpa sponsor besar di dada—hanya kalimat kecil: “Bersih itu hak.”

Kebaikan Jagat sederhana: membantu cepat, lupa mencatat. Rana tahu.

“Lo punya TOR pelatihan muda?”
“Ada. Gue kirim.”
“Data kualitas air dua tahun terakhir?”
“Ada. Belum rapi. Gue rapikan.”

Esoknya, data itu muncul dalam presentasi sebuah webinar besar tanpa nama penyusun. Modulnya dipakai di pelatihan korporat—di slide pojok bawah, logo agensi Rana. Di media sosial, foto grup menampilkan senyum Rana di tengah. Di belakang, Jagat berdiri separuh terpotong rangka tenda.

Jagat menahan lidahnya. Ia menulis di buku catatan: “Kebaikan adalah arus; jangan berharap namamu menempel di air.” Tapi kota menambah pelajaran ketiga: setiap kebaikan yang tak dicatat akan dikuasai narasi paling keras.

.

“Gue lihat data lo di laporan global grant,” bisik Sabrang, suatu malam, setelah rapat. “Impact-nya disebut inisiatif tim komunikasi.”
Jagat tersenyum yang hanya mengangkat sedikit sudut bibir. “Data kita untuk masyarakat,” katanya. Dalam hati ia ingat malam-malam panjang menyusun modul, menolak pesanan nasi padang untuk menekan biaya, mengganti dengan mi rebus yang ditaburi irisan daun bawang dari pot kecil di teras.

Di kafe elit Setiabudi, Jagat mengajak Rana bicara. Lampu gantung seperti bola-bola madu. Rana datang dua puluh menit terlambat, menenteng dua ponsel.
“Ada beberapa materi munc—”
Rana tertawa pelan, diplomatis. “Ah, biasa. Yang penting dampak. Orang lapangan seperti lo… nama bukan tujuan.”
“Bukan tujuan,” jawab Jagat, “tapi etika.”
“Gampang. Nanti gue ajak lo on stage,” kata Rana, menepuk bahunya. “Kita bagi credit.”

Jagat mengangguk. Percakapan itu, ia tahu, sebenarnya tidak pernah terjadi. Janji di kota kerap lahir dalam format suara, mati dalam format dokumen.

.

Musim rapat yang padat datang seperti hujan yang tak membaca ramalan cuaca. Di ruang pengurus klub—di mana spidol tak pernah punya tutup—Rana mengusulkan kampanye akbar dengan sponsor internasional. “Jagat, lo bikin modul kepemimpinan. Framework lo kemarin laku.”

Maya melirik Jagat, Madi memutar bolpoin, Jayeng menggambar kapal kecil di ujung kertas notulen. Jagat menghela napas yang rasanya rapi. “Terima kasih. Aku memilih bekerja sama dengan pihak yang menghargai timbal balik. Bukan hanya pandai menjual dampak.”

Ruangan hening. Rana tersenyum tanpa mata. “Kita profesional. Jangan baper.”
“Profesional justru tak meminjam kepemilikan,” jawab Jagat. “Profesional mencantumkan sumber.”

Usai rapat, grup WhatsApp klub mendesis dengan stiker-stiker lucu. Jagat keluar dari ruangan dan berhenti di koridor, menatap poster safety induction yang sobek di pojok. Ia menatap ponsel: ada pesan dari koordinator RT bantaran sungai, dari ibu-ibu PKK, dari seorang jurnalis lokal yang ingin menulis tentang “kebaikan yang tidak masuk berita.”

“Mas, kalau tim mundur dari kampanye itu, kita tetap jalan?” tanya Madi ketika menyusul di tangga darurat.
“Kita tetap jalan,” kata Jagat. “Yang berubah hanya kecepatan, bukan tujuan.”
“Mas, kita lebih lambat.”
“Tapi utuh,” kata Jagat. “Kita tidak butuh kamera untuk mengingat.”

.

Kota, klub, dan karier adalah tiga garis yang kerap beririsan di sudut yang memantulkan cahaya. Di gala dinner sebuah hotel bintang lima, Jagat mendapat undangan VIP yang dikirim tanpa nama pengirim. Di panggung, Rana menerima penghargaan dari asosiasi industri: “Tokoh Muda Kolaborasi Sosial”. Tepuk tangan membesar, lampu bergerak seperti meteor. Rana menoleh ke arah meja Jagat—sekilas tatap yang tak sempat menumbuhkan makna.

Di meja bundar itu, di samping piring makan, Jagat melipat serbet membentuk perahu kecil. Di layar LED, terdengar video testimoni warga bantaran sungai. Suara seorang ibu: “Kami tidak kenal namanya, tapi sejak ada program itu, anak-anak kami berhenti gatal.” Video berhenti di wajah anak yang tertawa, giginya hilang satu, mata menutup seperti bulan sabit. Di baris kecil di bawah video, tertera credit: “Produksi: Agensi R.” Tidak ada nama Jagat, tidak ada Madi, tidak ada Maya.

Jagat meneguk air putih. Ia tidak marah. Ia seperti menutup jendela karena hujan miring; bukan marah pada hujan, hanya menjaga agar buku tidak basah.

.

Di Tebet, listrik padam semalam suntuk. Jagat menyalakan lilin. Ia menulis dengan pensil di buku kasar: daftar kebutuhan rumah baca, jadwal pelatihan literasi finansial, target pembuatan bank sampah swadaya. Di halaman kedua, ia menulis tebal: “Lepas tanpa benci.”
Telepon berdering. Nomor tak dikenal.
“Mas Jagat?” Suara seorang perempuan muda terbata. “Saya Maya. Maaf larut. Saya keluar dari proyek besar itu. Saya ikut Mas saja. Saya lelah dibilang idealis ketika menagih atribusi.”
“Minum air dulu,” kata Jagat, refleks. “Tidur yang cukup. Besok kita mulai lagi, kecil dulu. Dari yang bisa kita pegang.”

Keesokan pagi, Jagat, Madi, dan Maya duduk di warung pecel—piring anyam dan kertas minyak, sambal kacang yang hangat. Di atas meja, sketsa jadwal kegiatan warga: pelatihan menulis surat keberatan untuk PDAM, kelas foto produk untuk UMKM rumahan, klinik CV untuk anak-anak SMA kelas akhir. Mereka menamai program itu: “Sekolah Pintu.”
“Kenapa Pintu?” tanya Maya.
“Supaya orang tahu,” jawab Jagat, “bahwa pintu bisa dibuka dari dalam.”

.

Kabar tentang “pemisahan jalan” menyebar dengan berbagai versi. Di kanal media sosial, narasi menjadi lomba estetik: siapa paling pandai memilih filter. Sebuah thread menulis: “Ada kader yang baper, tak kuat profesionalisme.” Postingan lain menyindir: “Kebaikan tak perlu stempel.” Ada pula, yang lebih halus, mengutip satu ayat.
Jagat mematikan notifikasi. Ia menyeduh kopi tubruk di dapur kecil. Ditulisnya satu kalimat di kertas cokelat: “Semua orang berhak bertumbuh. Termasuk mereka yang pernah memanfaatkanmu.” Ia tempel di pintu kulkas.

Ia belajar membiarkan sebagian orang lewat di jalan utama sambil melambai. Ia menepi bukan karena kalah, melainkan karena tujuan yang ia pilih tidak berada di sana.

.

Sore suatu Sabtu, Jagat menerima pesan suara dari Hamzah, seorang fotografer yang dulu memotret pembukaan rumah baca.
“Gue dapet job motret kampanye mereka lagi. Lo keberatan?”
“Nggak,” kata Jagat. “Kerjakan dengan baik. Kualitasmu bukan tanggung jawab narasi mereka.”
Hening sejenak.
“Gue bisa sisipin satu frame foto anak-anak di rumah baca, credit buat tim lo.”
“Kalau bisa, bagus. Kalau tidak bisa, nggak apa. Foto bagus selalu menemukan takdirnya,” kata Jagat. Dan ia sungguh percaya.

.

Ada masa ketika Jagat meragukan diri. Setiap malam, ia mengeja ulang alasan. “Apa ini hanya gengsi?” tanyanya pada cermin. “Apa aku sebenarnya butuh panggung?”
Di kamar yang sempit, ia mengingat tangis senyap seorang ayah buruh bongkar muat yang datang ke kelas literasi karena ingin mengajari anaknya menulis alamat lengkap. Ia mengingat sepasang suami istri yang membuka warung nasi uduk setelah paham cara kalkulasi titik impas. Ia mengingat pesan dari puskesmas: “Kasus diare di RW kita turun.”
Hidup memberi jawab tanpa kata. Jagat merapikan napas, menyapu lantai, menyiram pot daun bawang.

.

Suatu pagi di bulan ketika cuaca seperti lupa, klub lama mengirimkan undangan diskusi. Topik: “Etika Atribusi di Dunia Sosial”. Nama pembicara: Rana, seorang akademisi, seorang jurnalis; di akhir daftar, nama Jagat, ditambahi kurung “praktisi lapangan”.

Jagat datang dengan kemeja putih yang ia setrika sendiri. Aula kampus memiliki aroma buku dan plastik baru. Rana menyampaikan paparan yang rapi—tentang pentingnya menyebutkan sumber, tentang kerja tim, tentang standar global. Kata-kata melayang seperti balon helium di langit-langit.

Saat sesi tanya-jawab, seorang mahasiswa bertanya: “Bagaimana praktiknya, jika institusi besar merasa ‘pemilik’ kerja kolektif?”
Rana tersenyum diplomatis. “Kita bangun budaya. Kita tumbuhkan kesadaran.”
Jagat mengangkat tangan. Moderator mengangguk.

“Etika itu bukan hiasan di akhir dokumen,” kata Jagat, suaranya lirih tapi menembus. “Etika itu pagar di awal langkah. Kalau pagar tak dipasang, kebun akan terlihat luas, tetapi jejak kaki orang akan saling menimpa.”
Ruangan diam. Rana menatap Jagat sesaat, lalu menunduk ke catatan. Tepuk tangan pecah—bukan besar, tapi cukup lama untuk menggeser udara.

Usai acara, Rana menepuk lengan Jagat di lorong. “Lo masih sekeras itu ya.”
“Bukan keras,” kata Jagat. “Hanya menolak lunak di tempat yang mestinya padat.”
“Kita tetap teman?” Rana bertanya, entah sungguh-sungguh, entah ritual perpisahan.
“Kita tetap manusia yang lewat di jalan yang sama, kadang berpapasan,” jawab Jagat. “Itu cukup.”

.

Proyek Sekolah Pintu tumbuh. Bank sampah membeli timbangan baru. Rumah baca mengadakan “Malam Bercerita”—anak-anak membaca di bawah lampu garland murah. Madi mengajar akuntansi sederhana untuk usaha rumahan. Maya mengelola media sosial rumah baca dengan foto-foto apa adanya: tangan bertinta, mulut belepotan sirup, tawa jamak.

Satu malam, hujan turun tebal. Atap seng mengetuk-ngetuk seperti jari terburu. Sungai menyentuh bibir jalan. Jagat dan tim mengevakuasi buku-buku ke rak tinggi. Rana mengirim pesan: “Butuh bantuan?”
“Selalu,” balas Jagat. “Bantulah yang dekat denganmu.”
“Gue bisa kirim kru dokumentasi besok pagi.”
“Terima kasih,” jawab Jagat. “Besok pagi kami sudah menjemur buku.”

Di dinding rumah petaknya, Jagat menulis: “Aku tidak marah. Aku menata ulang ruang. Yang tak tahu mengetuk, biarkan belajar di teras.”

.

Beberapa bulan kemudian, di sebuah pertemuan kecil, seorang jurnalis lokal meminta wawancara tentang “kebaikan yang tidak masuk berita.” Jagat mengangguk.
“Kenapa memilih menjauh?” tanya sang jurnalis.
“Karena mendekat membuatku mengurangi diriku sendiri,” jawab Jagat. “Bukan karena mereka jahat; karena aku terlalu berharap mereka berubah menjadi versiku tentang baik.”
“Kalau suatu hari mereka mengakui?”
“Bagus. Kalau tidak pun, tidak apa. Kota ini mengajarkan jalan memutar yang sampai juga.”
“Pesan untuk relawan muda?”
“Jangan menabung kecewa. Tabunglah catatan. Tulis nama orang-orang yang bekerja, bukan untuk pamer—untuk ingatan. Karena suatu hari, ketika bising mereda, yang akan menjadi rujukan adalah arsip yang jujur.”

.

Ada hari-hari kosong. Ada juga hari-hari penuh keajaiban kecil. Seorang anak lelaki di rumah baca menulis pada secarik kertas: “Kalau besar, aku ingin kerja bantu bapak-bapak itu. Yang suka bagi buku.” Anak itu mengembalikan pulpen biru yang hampir habis kepada Jagat, seolah menyerahkan tongkat estafet yang tidak terlihat.

Di halte bus, malam itu, Jagat duduk di bangku besi yang dingin. Lampu kota memantul di aspal basah. Ia memeluk map kertas berisi laporan tipis Sekolah Pintu: angka kecil yang tidak akan masuk headline, tetapi melengkapi mosaik kota.

Seorang lelaki tua duduk di sampingnya, membawa tas belanja. “Anakku di pabrik,” katanya tanpa diminta, menatap sorot lampu merah. “Dia bilang bosnya baik, sering bilang terima kasih.”
“Beruntung,” kata Jagat.
“Bukan,” lelaki itu menggeleng. “Saya kira itu biasa. Tapi sekarang saya tahu, di kota ini, terima kasih adalah barang mahal.”
Jagat tersenyum. “Maka kita bagi saja, Pak. Biar tidak mahal lagi.”

Bus datang. Pintu melipat, lalu membuka. Pintu selalu membuka.

.

Bertahun setelah itu, kota tetap berjalan dengan nafasnya sendiri. Klub lama tetap gemerlap, kampanye berganti tema, panggung bertambah tinggi. Ada yang berkata, Rana akhirnya membuat pedoman atribusi di agensinya; ada yang berkata itu hanya brosur. Kabar di kota selalu datang dengan dua versi dan satu jeda.

Jagat tetap di Tebet, lalu pindah ke rusun sederhana yang lebih dekat dengan perpustakaan umum. Rambutnya mulai beruban. Ia tertawa lebih pelan. Ia menulis lebih sering. Di rak kayu, file-file modulnya tersusun, kini dilisensikan bebas dengan catatan sumber. Siapa pun boleh mengambil, asal menyebut. Ia percaya, menyebut sumber adalah doa paling sederhana bagi pengetahuan.

Di halaman kecil rusun, anak-anak menanam kangkung di ember bekas cat. Madi mengajari mereka menimbang tanah, Maya memotret tanpa meminta mereka berpura-pura. Hamzah datang tiga kali setahun, memotret ulang tempat yang sama dari sudut yang sama—sebuah ritual yang menyimpan perubahan kecil seperti garis tumbuh di pintu.

Suatu sore, Jagat duduk sendirian. Hujan rintik, langit seperti menahan cerita. Ia menulis kalimat penutup sebuah modul: “Kembalikan kebaikan ke habitatnya: keheningan yang bekerja.”
Ponselnya bergetar. Pesan dari nomor lama—Rana.
“Jagat, gue di dekat rusun lo. Bisa ketemu lima menit?”
Jagat menatap tanaman kangkung yang baru berdaun dua.
“Silakan,” balasnya. “Di teras.”

Rana datang dengan kemeja biru muda. Wajahnya lebih dewasa, garis senyum tidak tajam. Ia duduk di kursi plastik, menatap tanaman di ember.
“Gue ngajar kelas etika kampanye di kantor,” kata Rana, suara datar. “Gue pakai beberapa modul lo. Dengan atribusi.”
Jagat mengangguk. “Terima kasih.”
“Gue telat ya?”
“Yang penting sampai,” kata Jagat, tidak menatap jam.
Hening. Hujan menjadi serbuk.
“Lo marah?” tanya Rana akhirnya.
“Aku sudah selesai marah bahkan sebelum sempat marah,” kata Jagat. “Aku hanya menata jarak.”
“Bisa kita mulai ulang?”
“Kita sudah selalu mulai ulang,” jawab Jagat. “Setiap kali kita memilih cara yang lebih benar.”

Rana menatap ember kangkung. “Gue bawa sesuatu.” Ia mengeluarkan amplop. “Bukan uang. Ini daftar atribusi lama. Gue dan tim gue mau memperbaiki arsip. Kalau lo berkenan, cek dan tambahkan.”
Jagat menerima. Amplop itu terasa ringan. “Arsip adalah cara paling lembut meminta maaf,” katanya. Rana mengangguk, pelan, seperti anak yang baru belajar mengetuk pintu.

Rana pamit sebelum magrib. Jagat menatap punggungnya sampai hilang di tikungan. Kota mengirimkan angin yang wajar. Di teras, Jagat menyalakan lampu kecil. Ia membaca daftar nama—miliknya, milik Madi, milik Maya, milik orang-orang yang tak pernah menempatkan diri di depan. Ia membubuhkan koreksi, menambah satu nama yang terlewat: Sabrang—yang dulu paling sering membawakan air mineral.

Di bawah daftar itu, tanpa sadar, ia menulis kalimat kecil yang terasa seperti doa: “Semoga yang dulu bising menjadi sunyi yang paham.”

Jagat menutup map, menatap pintu yang separuh terbuka. Pintu selalu membuka. Yang tidak tahu cara mengetuk, biarkan belajar di teras. Yang mengerti, akan masuk tanpa merusak kusen.

Dan yang mengerti—akan menjauh tanpa membenci.

.

.

Jember, 21 Juli 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenKompasMinggu #KisahUrban #Relawan #Integritas #CSR #Jakarta #Literasi #Atribusi #KebaikanTanpaBenci

Leave a Reply