Yang Kecil-Kecil yang Kita Lupa

“Kadang yang paling mewah bukan yang kita kejar, melainkan yang masih bisa kita lakukan: melihat, berjalan, bernapas, dan tidur dengan tenang.”

.

Pada jam-jam ketika kota terasa seperti mesin raksasa yang tak pernah mematikan suaranya, Jayen selalu percaya satu hal: hidup adalah angka.

Angka yang harus naik, grafik yang harus hijau, target yang harus pecah. Angka yang memutuskan apakah seseorang layak duduk di kursi depan, atau cukup berdiri di belakang, menunggu dipanggil.

Pagi itu, Jakarta dibasuh hujan tipis—bukan hujan yang romantis seperti di iklan kopi, melainkan hujan yang menempel di kaca gedung-gedung tinggi, membuat semuanya tampak seperti layar yang diburamkan. Jayen berdiri di depan jendela apartemennya di lantai tiga puluh dua. Di bawah, lampu-lampu merah kendaraan mengular seperti urat nadi kota.

Di meja makan, ponselnya bergetar seperti jantung yang tak mau tenang. Ada notifikasi rapat, surel, pesan singkat dari investor, dan satu panggilan tak terjawab dari nomor rumah.

Jayen menatap layar itu sebentar—lalu meletakkannya terbalik. Bukan karena ia sudah menjadi bijak, melainkan karena ia sedang kehabisan napas.

Di luar sana, ia dikenal sebagai konsultan “penyelamat”—orang yang bisa masuk ke bisnis yang hampir jatuh dan keluar dengan laporan setebal kitab suci, lengkap dengan rencana pemulihan, pivot, dan strategi pemasaran yang terdengar seperti mantra.

Namun di dalam dada, Jayen sering merasa seperti seseorang yang sedang berlari di treadmill: bergerak, berkeringat, tapi tetap di tempat yang sama.

“Mas, mobil sudah di bawah,” suara Maya terdengar dari speaker interkom.

Maya—nama pendek yang dipilihnya dari Umar Maya dalam dongeng Menak yang pernah diceritakan kakeknya di Malang. Kakek Jayen suka bilang, dalam kisah itu, Umar Maya bukan yang paling kuat, tapi paling setia. Yang tahu kapan harus bicara, kapan harus diam, kapan harus menahan.

Jayen tersenyum kecil, tapi senyum itu tidak sampai ke matanya.

Di lobi apartemen, Maya berdiri rapi dengan tablet dan jas yang terlalu pas untuk suasana hujan. Di sebelahnya, sopir lama Jayen, seorang lelaki paruh baya bernama Rengga, memegang payung.

“Mas Jayen,” kata Rengga, mengangguk.

Jayen membalas anggukan itu sekadarnya—seperti kebiasaan orang yang selalu merasa dikejar waktu.

Mereka masuk mobil. Di dalam, aroma kulit jok bercampur parfum mahal, sementara radio memutar berita ekonomi: rupiah, suku bunga, dan lagi-lagi, kata “ketidakpastian”.

“Rapat pertama jam sembilan. Lalu lunch dengan tim venture jam dua belas. Sore, presentasi untuk akuisisi sekolah internasional,” Maya membaca jadwal seperti membacakan doa.

“Aku mau tambah satu,” kata Jayen.

Maya menoleh. “Apa, Mas?”

Jayen ragu sejenak. “Aku mau ke rumah sakit dulu.”

Maya menahan napas, cepat menghitung ulang jadwal di kepalanya. “Ada apa? Anda sakit?”

“Bukan aku,” jawab Jayen pendek. “Ibu.”

Kalimat itu jatuh begitu saja, seperti benda kecil yang terlepas dari tangan. Seperti sendok yang jatuh di lantai restoran—bunyinya sebentar, tapi mengubah suasana.

Maya tidak bertanya lagi. Ia hanya mengangguk pelan. “Saya atur ulang semuanya.”

Mobil bergerak menyusuri jalan yang licin. Di balik kaca, kota melintas seperti film tanpa jeda: billboard, gedung tinggi, orang-orang berpayung, warung kopi yang tetap buka walau hujan, dan motor-motor yang menyelinap seperti ikan di arus deras.

Jayen memandangi semua itu, tapi pikirannya ada di tempat lain.

Ibunya, Muning, perempuan yang membesarkannya sendirian setelah ayahnya pergi terlalu cepat, belakangan sering batuk. Pada awalnya Jayen menganggap itu biasa—usia, cuaca, kelelahan. Ia membelikan humidifier, vitamin mahal, bahkan menawarkan dokter langganan, tetapi ibunya selalu tertawa.

“Le, ibu ini cuma batuk,” kata Muning suatu malam lewat telepon. “Kamu itu yang batuknya di kepala. Kebanyakan mikir.”

Jayen tertawa waktu itu. Tapi pagi ini, nada dokter semalam tidak terdengar seperti batuk biasa.

Di rumah sakit, udara terasa seperti lembaran dingin yang ditempelkan ke wajah. Jayen berjalan cepat melewati koridor, Maya mengikuti dengan langkah terukur, sementara Rengga menunggu di parkiran.

Di depan ruang rawat, Jayen melihat Kinasih—seorang perempuan berkerudung lembut, dengan mata yang tidak tergesa-gesa. Ia berdiri sambil memegang map pasien.

“Mas Jayen?” suara itu menahan laju langkah Jayen.

Jayen berhenti. “Mbak… Kinasih?”

Kinasih dulu teman SMA-nya di Malang. Mereka pernah duduk satu bangku saat ujian matematika, Jayen yang panik, Kinasih yang tenang. Mereka pernah tertawa di warung bakso setelah pulang les. Lalu hidup memisahkan: Jayen ke Jakarta, mengejar gedung tinggi; Kinasih memilih menjadi perawat—katanya, ia ingin berada dekat dengan napas manusia.

“Bu Muning dirawat di sini,” kata Kinasih pelan. “Saya yang jaga shift pagi.”

Jayen menatapnya seperti menatap sesuatu yang pernah hilang lalu tiba-tiba muncul di depan mata. Ia ingin bertanya banyak hal—bagaimana kabarmu, kenapa di sini, sejak kapan—tapi yang keluar hanya satu:

“Ibu aku gimana?”

Kinasih menahan ekspresi profesionalnya sebentar, lalu berkata, “Masuk saja. Tapi… pelan-pelan.”

Di dalam, Muning tampak lebih kecil dari ingatan Jayen. Tubuhnya terbaring dengan selang oksigen. Kulitnya pucat, tapi matanya masih memancarkan sesuatu yang sama: keteguhan.

Jayen mendekat, duduk, memegang tangan ibunya. Tangan itu dingin—tapi genggamannya masih ada.

“Le…” suara Muning serak, nyaris seperti bisikan.

Jayen menunduk, ingin mendengar lebih jelas, seperti anak kecil yang takut kehilangan kata-kata.

“Kamu… jangan marah sama hidup, ya.”

Jayen tertegun. “Ibu ngomong apa…”

Muning tersenyum. “Kamu itu… sukses, tapi wajahmu… seperti orang dikejar.”

Jayen ingin tertawa, tapi tenggorokannya seperti tertutup.

Muning melanjutkan, “Yang kamu kejar itu… penting. Tapi jangan lupa yang kamu punya. Kamu masih bisa lihat, kan? Masih bisa jalan? Masih bisa tidur tanpa takut?”

Kata-kata itu membuat dada Jayen seperti diseret ke bawah. Ia mendadak ingat gambar yang pernah ia lihat entah di mana—tentang hal-hal kecil yang sering dilupa. Tentang bernapas tanpa bantuan, tentang berjalan tanpa tongkat, tentang tidur tanpa kecemasan.

Ia menatap selang oksigen itu. Mendadak, napasnya sendiri terasa bukan miliknya, melainkan pinjaman.

Di luar ruang rawat, Maya berbicara dengan dokter. Jayen berdiri di koridor, menempelkan punggungnya ke dinding, seperti orang yang baru keluar dari ring tinju.

Kinasih menghampiri. “Mas Jayen… saya turut…”

Jayen menggeleng. “Aku… merasa bodoh. Aku pikir aku bisa urus semuanya dengan uang.”

Kinasih menatapnya tanpa menghakimi. “Uang bisa beli kamar VIP. Tapi tidak bisa beli satu napas.”

Kalimat itu sederhana, tapi menampar pelan.

Jayen menghela napas. Ia baru sadar—menghela napas pun bisa terasa mewah, jika suatu saat kita harus meminjamnya dari mesin.

Sore itu, setelah dokter menjelaskan kondisi Muning yang membutuhkan perawatan panjang, Jayen keluar rumah sakit dengan langkah yang lebih lambat. Hujan masih turun. Maya menawarkan payung, tapi Jayen menolak.

“Aku mau kena hujan sebentar,” katanya.

Maya tampak bingung, tapi tidak protes. Ia hanya berdiri di samping, membiarkan Jayen merasakan dinginnya air menempel di kulit—dingin yang membuatnya sadar bahwa ia masih hidup.

Di parkiran, Rengga membuka pintu mobil. Namun Jayen melihat sesuatu yang berbeda: tangan Rengga gemetar halus saat menarik gagang pintu. Wajahnya berkeringat, matanya sayu.

“Kamu gak apa-apa, Rengga?” tanya Jayen.

Rengga tersenyum tipis. “Gak apa-apa, Mas. Cuma… belakangan kepala sering pusing.”

Maya menoleh cepat. “Pak Rengga sudah periksa?”

Rengga menggeleng. “Nanti aja. Saya masih kuat.”

Jayen menatapnya lama, lalu berkata, “Kuat itu bukan alasan buat menunda.”

Rengga terdiam.

Di mobil, Jayen tidak langsung meminta pulang. Ia malah berkata, “Kita ke klinik.”

“Mas, jadwal…” Maya refleks.

Jayen mengangkat tangan, menghentikan. “Jadwal bisa diatur. Kalau seseorang tiba-tiba jatuh, gak ada yang bisa diatur.”

Maya menelan kata-katanya. Ia mengangguk pelan.

Di klinik, setelah pemeriksaan, dokter menyarankan Rengga untuk rawat jalan intensif. Ada gejala tekanan darah tinggi yang berbahaya. Rengga duduk terdiam di kursi, seperti anak kecil yang baru dimarahi hidup.

Jayen menepuk pundaknya. “Aku yang urus. Kamu istirahat.”

Rengga menatap Jayen dengan mata berkaca-kaca. “Mas… saya kerja sama Mas sudah lama. Saya pikir… saya harus selalu siap.”

Jayen menggeleng. “Aku juga pikir aku harus selalu siap. Tapi hari ini aku belajar… siap itu bukan berarti mengorbankan tubuh.”

Malam itu, Jayen pulang bukan ke apartemen, melainkan ke rumah lama ibunya—rumah yang sederhana di pinggiran kota, yang tetap dipertahankan Muning karena katanya, “Rumah ini saksi. Jangan dijual hanya karena kamu sudah punya yang lebih tinggi.”

Jayen duduk di ruang tamu, menatap foto-foto lama: Muning muda, Jayen kecil, dan satu foto keluarga sebelum ayahnya pergi. Di luar, hujan telah reda. Hanya suara katak kecil di selokan, dan sesekali, bunyi kendaraan lewat.

Jayen mengangkat ponselnya, membuka jadwal, lalu mulai menghapus beberapa rapat besok. Tangannya gemetar—bukan karena takut kehilangan uang, tetapi karena baru sadar ia bisa kehilangan sesuatu yang lebih besar: orang-orang yang membuat semua angka itu ada maknanya.

Kinasih mengirim pesan: “Bu Muning tidur. Oksigen stabil.”

Jayen menatap pesan itu lama, lalu membalas: “Terima kasih. Aku baru sadar betapa aku lupa bersyukur.”

Kinasih membalas cepat: “Syukur itu bukan pidato. Kadang cukup: berhenti, melihat, dan bernapas.”

Jayen memejamkan mata. Ia mencoba melakukan itu. Berhenti. Melihat. Bernapas.

Dan tiba-tiba, ia menangis—bukan tangis dramatis seperti di film, melainkan tangis pelan yang selama ini tertahan di sela-sela rapat dan target.

Tangis seorang lelaki yang selama ini mengira ia mengendalikan hidup, padahal ia hanya sedang dikejar ketakutannya sendiri: takut kalah, takut miskin, takut dianggap tidak penting.

Pagi berikutnya, Jayen kembali ke rumah sakit lebih awal. Di koridor, ia melihat seorang pria muda duduk di kursi roda. Kakinya terbalut perban. Di sampingnya, seorang ibu menyuapi bubur. Pria itu menatap jendela dengan mata kosong, seperti seseorang yang kehilangan bukan hanya kaki, tapi juga harapan.

Jayen berjalan pelan melewati mereka. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi ia tahu—kadang, kalimat bukan yang dibutuhkan. Kadang, yang dibutuhkan hanya kehadiran.

Ia masuk ke kamar ibunya. Muning membuka mata, tersenyum tipis.

“Le… kamu… tidur?”

Jayen mengangguk. “Tidur, Bu. Untuk pertama kalinya, aku tidur tanpa mimpi dikejar.”

Muning tertawa kecil, lalu batuk.

Jayen menggenggam tangan ibunya lebih erat.

Di pintu, Kinasih berdiri. Mata mereka bertemu.

Jayen berkata pelan, “Aku mau minta tolong.”

Kinasih mengangguk. “Apa?”

“Ajarin aku… cara hidup yang gak cuma menang.”

Kinasih menatapnya lama, lalu berkata, “Mulai dari yang kecil. Tanyakan tiap hari: apa yang hari ini masih bisa kamu lakukan tanpa bantuan? Lalu rawat itu.”

Jayen mengangguk, menelan sesuatu yang hangat di tenggorokan.

Hari-hari berikutnya, Jayen mulai mengubah banyak hal. Ia tetap bekerja—karena ia tahu tanggung jawab bukan musuh kebijaksanaan. Tapi ia mulai membatasi rapat malam, mulai menolak proyek yang hanya membuatnya kaya tapi mengosongkan, mulai memberi waktu untuk ibunya, dan—yang paling sulit—mulai memberi waktu untuk dirinya sendiri.

Maya, yang awalnya khawatir, perlahan ikut berubah. Ia tidak lagi membaca jadwal seperti doa perang. Ia mulai menyisipkan hal-hal kecil: waktu makan siang tanpa laptop, jeda sepuluh menit untuk jalan kaki, dan pesan pengingat yang sederhana: minum air, Mas.

Rengga, setelah perawatan, belajar berkata “tidak” ketika tubuhnya meminta istirahat. Ia mulai tersenyum lebih sering—senyum yang tidak dibayar target.

Dan Jayen, suatu malam, berdiri lagi di depan jendela apartemennya. Kota masih sama: lampu merah, gedung tinggi, dan deru yang tidak pernah benar-benar padam.

Namun kali ini, Jayen tidak merasa kota itu musuh.

Ia menempelkan telapak tangan ke dada, merasakan napasnya masuk-keluar.

Ia teringat kata-kata ibunya: jangan marah sama hidup.

Di luar sana, banyak hal yang belum ia punya. Tapi di dalam, ia memegang sesuatu yang selama ini ia lupa: kemampuan untuk melihat, berjalan, bernapas, dan tidur dengan tenang.

Dan ia tahu, kemewahan terbesar kadang tidak berbunyi seperti tepuk tangan.

Kemewahan terbesar kadang hanya berupa satu tarikan napas—yang kita sadari sepenuhnya.

.

.

.

Malang, 13 Desember 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#TakAdaAngkaUntukNapas #CerpenKompas #SastraIndonesia #RefleksiHidup #KehidupanPerkotaan

Leave a Reply