Titik Akhir Bernama Tenang
“Tenang bukan berarti kalah. Ia hanya tanda bahwa hati sudah berhenti menawar.”
.
Malam turun di bilik kaca sebuah apartemen di kawasan Rasuna. Dari lantai dua puluh, kota memantulkan jutaan bintang artifisial yang tak pernah padam. Di meja makan yang disulap menjadi meja kerja, Rengganis menata ulang maquette sekolah alam: potongan kayu jati disusun menjadi jembatan kecil, kolam tadah hujan dari kaca akrilik bening, jalur batu kali ditaburkan seperti gelang. Ia meneguk teh yang sudah dingin, menatap ke luar jendela, lalu mematung lama-lama.
Ponselnya bergetar. Pesan dari Kertolo, pemilik grup properti tempat ia tengah mengerjakan proyek hunian premium di pinggiran BSD: “Besok revisi final ya. Kurangi area hijau, tambah dua blok vila. Buyer minta kolam renang ‘instagrammable’. Drainase bisa kita atur.”
Kata “bisa kita atur” mendarat seperti pasir di mata. Mengganggu, kecil, tapi membuat seharian perih. Di benaknya, terlintas banjir setinggi betis di cluster sebelah yang setiap Desember jadi headline warga. Ia tahu hitung-hitungannya, tahu pola rivet drainase yang memaksa aliran air belok. Ia juga tahu komisi yang menanti jika proyek ini tuntas.
Di ambang pintu, Jayeng muncul sambil membawa dua roti isi dari kedai 24 jam. Wajahnya lelah, kausnya basah di punggung, tetapi matanya jernih.
“Ada rapat investor lagi?” tanya Rengganis.
“Baru selesai,” jawab Jayeng, CEO startup pembayaran yang sejak pandemi tumbuh pelan seperti pohon ketapang. “Ada yang mundur karena grafik kita turun setelah aku ganti definisi metrik. Tapi ada juga yang bilang aku gila menyebut kegagalan transaksi sebagai… ya, kegagalan.”
Rengganis tersenyum tipis. “Kegilaan paling lama umurnya biasanya kejujuran.”
Jayeng duduk di depannya, membuka roti, lalu diam. Sunyi di antara mereka bukan jurang, melainkan jembatan yang sudah lama dipakai berjalan bolak-balik.
“Gan,” katanya, “kemarin aku ketemu Umarmadi—dia sedang nulis soal beasiswa fiktif. Redaktur bilang: ‘Hati-hati, itu sponsor kita.’ Dia tertawa, tapi aku tahu tawa orang yang sedang memikirkan jalan pulang.”
“Orang jujur pulangnya paling jauh,” kata Rengganis. “Karena mereka mesti memulung lagi bagian diri yang tercecer di jalan.”
Di ponsel, pesan Kertolo menyala lagi: “Deal ya. Kejar pre-sales.” Rengganis menatap maquette. Ada lengan kecil anak-anak yang seolah menyentuh daun trembesi di kepala maquette. Ia mendesah. Bukan karena marah, bukan karena benci. Hatinya lelah dan netral. Tak ingin berdebat, tak ingin menang. Hanya ingin tidak menyakiti orang yang akan tinggal di salah satu blok vila itu, empat musim kemudian.
.
Di bagian lain kota, Umarmadi duduk di kursi plastik sebuah warung mi Aceh di Rawamangun. Di depannya, kertas-kertas print out: nama penerima beasiswa, alamat yang tumpang tindih, tanda tangan yang sama dari kelurahan berbeda. Ia menandai pola-pola yang berulang, seperti detektif yang menemukan sidik jari di gelas.
“Mas, mau tambah teh tarik?” tanya pemilik warung.
“Boleh, bang,” kata Umarmadi. “Hangat yang banyak busanya.”
Pemilik warung tertawa. “Yang banyak busanya itu narasinya, Mas. Tehnya tetap segini-segini juga.”
Mereka tertawa berdua. Lalu senyap. Di luar, truk sampah lewat, meninggalkan bau yang sekilas saja kemudian hilang tertiup angin. Umarmadi mengecek ponsel. Ada pesan dari Umarmaya, sahabat lama yang kini menjadi konsultan kepemimpinan: “Kita ketemu besok di sekolah alam. Rengganis undang. Katanya mau ‘melakukan sesuatu’.”
Melakukan sesuatu—kalimat yang bisa berarti apa saja sekaligus terlalu serius didengar pada pukul sepuluh malam.
.
Pagi berikutnya, empat nama yang kerap disamakan dengan empat arah mata angin bertemu di halaman sekolah alam di Depok. Ada Rengganis, Jayeng, Umarmadi, dan Umarmaya. Udara pagi meletakkan embun di daun pisang. Anak-anak berlari membawa net kecil untuk menangkap capung. Seorang guru mengajari mereka menghitung umur pohon dari lingkar batang.
“Aku mundur dari proyeknya Kertolo,” kata Rengganis tanpa prolog. “Aku tahu konsekuensinya. Tapi aku memilih yang bisa kutanggung.”
Jayeng menatapnya lama. “Kau tidak marah?”
“Aku berhenti bernegosiasi dengan yang tak perlu,” jawabnya. “Hilang respect adalah titik akhir. Bukan karena benci, bukan karena marah. Hati sudah netral—tak ingin menang, tak ingin kalah. Hanya ingin tidak menambah luka.”
Umarmaya mengangguk. “Netral itu bukan dingin. Netral itu membiarkan hal-hal kembali ke nama aslinya.”
Umarmadi mengeluarkan catatan. “Kalau begitu, mari kita beri nama yang lain juga: aku akan tayangkan liputanku soal beasiswa fiktif. Sponsor mungkin pergi. Tapi anak-anak di Cikarang itu pantas punya sarapan selain janji.”
Di bangku kayu, mereka duduk berderet. Ada kesunyian yang sehat—sejenis doa tanpa kata. Di lapangan, anak-anak memainkan permainan “diam paling lama”. Mereka tertawa sambil menahan gerak. Guru berkata, “Tenang itu seni. Diam itu kekuatan.”
Kalimat itu seperti melompat dari poster motivasi ke udara pagi, lalu mendarat utuh di telinga mereka.
.
Setiap orang lalu bergerak di sumbu masing-masing.
Rengganis mengemas maquette BSD-nya ke dalam kotak. Ia mengirim email pendek: “Terima kasih untuk kesempatan yang telah diberikan. Saya menarik diri dari penugasan ini.” Pengacara proyek membalas dengan bahasa yang lurus sekaligus dingin. Kertolo, beberapa jam kemudian, hanya mengetik: “Sayang sekali. Good luck, Gan.”
Ia menatap layar lama-lama. Ada rasa sedih. Tetapi sedih yang lega, seperti pintu berat yang akhirnya didorong sampai menutup. Siang itu juga, ia mengurus proposal desain untuk memperluas sekolah alam di Depok yang mulai kebanjiran pendaftar. Ia mendesain kelas bunder untuk belajar musik, halaman kecil untuk eksperimen hidroponik, dan—ini favoritnya—lorong gelap berlampu antariksawan tempat anak-anak belajar tentang takut yang boleh dikenali tanpa harus dikuasai.
Jayeng, di kantor yang dindingnya ditempeli post-it warna pastel, memanggil tim. Ia menayangkan grafik baru: lebih rendah, tetapi lebih jujur.
“Mulai hari ini,” katanya, “kita tidak akan mengejar angka untuk menyenangkan deck. Kita akan mengejar angka yang membuat pengguna tinggal. Kita perbaiki kegagalan transaksi, bukan definisi sukses.”
Seorang staf mengangkat tangan, ragu. “Pak, kalau revenue turun?”
“Kita efisiensikan yang bisa,” jawab Jayeng. “Tapi jangan menyuruh dirimu memihak kebohongan kecil. Karena kebohongan kecil itu hobi tumbuh.”
Tawa kecil terdengar. Tegang yang lama menggumpal di sela-sela rapat seperti balon yang akhirnya dipecahkan jarum.
Umarmadi, dengan jaket hitam dan helm half-face, menelusuri tiga lokasi penyalur beasiswa. Ia bertemu seorang ibu yang berkata pelan, “Dulu ada amplop dua bulan, kemudian hilang. Katanya dialihkan ke program makan siang. Tapi anak saya bawa bekal dari rumah. Mungkin bukan rezeki kami.” Ia mencatat kalimat itu persis apa adanya. Malamnya, ia menulis tanpa musik, tanpa notifikasi, tanpa keinginan menonjolkan diri. Hanya menulis karena kalau tidak, ia tidak bisa tidur.
Umarmaya, yang selama ini tampak paling tenang, justru menanggung pekerjaan yang paling tak terlihat: menjaga agar teman-temannya tidak pecah. Ia mengajar kelas “Memimpin Diri” di Sabtu pagi untuk kalangan profesional berbayar, dan kelas “Membaca Hati” di Minggu sore untuk para relawan komunitas. Materinya sederhana, tetapi dibangun dari peristiwa nyata: cara berkata “tidak” tanpa merasa jahat, cara menata ulang target supaya tetap manusiawi, cara bernegosiasi dengan diri yang ingin cepat.
“Pelan juga kecepatan,” kalimatnya seperti rumput liar: ditemukan di mana-mana, tumbuh di sela-sela.
.
Titik balik datang dari arah yang tidak disangka. Sebuah brand nasional menghubungi sekolah alam. Mereka ingin menyalurkan dana CSR secara langsung, transparan, terukur. “Kami baca tulisan bang Umarmadi,” kata mereka kepada kepala sekolah. “Kali ini kami mau rumit demi benar.”
Ketika kabar itu sampai ke telinga Umarmadi, ia tertawa kecil. “Dunia memang suka plot twist.” Ia menoleh ke jendela apartemen kontrakannya yang menghadap rel kereta. Kereta lewat bersuara panjang, menggetarkan gelas di meja. “Kadang ancaman orang-orang yang kita ungkap justru membuka pintu untuk orang-orang yang ingin berbuat baik dengan benar.”
Di sisi lain, startup Jayeng menerima pesan dari sebuah dana ventura kecil milik mantan operator. Mereka tidak menawarkan tiket besar, tetapi menawarkan ruang napas. “Kami invest karena kami percaya pada ritme,” tulis mereka. “Perusahaan ini memegang ritmenya sendiri.” Jayeng membaca berkali-kali seperti orang yang tak percaya mendapat undangan makan malam dari tetangga yang selama ini hanya menyapa dari jauh.
Rengganis, sementara itu, mengawasi pemasangan pipa resapan di halaman belakang sekolah alam yang baru diperluas. Anak-anak berkerumun. Seorang bocah kecil bertanya, “Kak, kenapa airnya harus masuk tanah?”
“Supaya tanah ingat kita rumahnya,” jawab Rengganis. Bocah itu mengangguk, lalu sibuk memainkan lumpur. “Kalau begitu, kalau kita marah, bisa tidak dikubur di tanah?”
“Marah boleh diletakkan di tanah,” kata Rengganis, “supaya tak menenggelamkan yang lain.”
.
Namun kota tak pernah membiarkan satu cerita berakhir tanpa mencoba bab baru. Di awal musim hujan, dua cluster premium di pinggiran BSD tergenang. Videonya beredar: mobil-mobil SUV berbaris ketakutan, pagar kayu terombang-ambing, bak mandi menjadi perahu darurat. Di televisi, Kertolo memberi keterangan pers: curah hujan ekstrem, perubahan iklim, fenomena global. Kalimatnya rapi, faktual, buruk bagi logika tetapi nyaman bagi telinga.
“Gan,” tulisnya malam itu. “Boleh main ke galeri. Kita ngobrol lagi.”
Rengganis memandang layar lama-lama. Ia tidak membenci Kertolo. Ia juga tidak ingin menang. Hatinya netral. Ia membalas: “Baik. Tapi aku tak akan menggambar drainase yang dipangkas.”
“Deal,” balas Kertolo cepat. “Kali ini aku ingin proyek yang memalukan algoritma banjir.”
Di kantor, Jayeng menerima email dari regulator yang meminta audit proses transaksi. Ia menatap tim, menghela napas, lalu tersenyum. “Ini kesempatan untuk merapikan hal-hal yang selama ini kita asumsikan.” Di layar, ia menuliskan daftar: perbaikan infrastruktur, kemampuan rollback, edukasi pengguna tentang keamanan. Mereka bekerja senyap dan rapi. Dua bulan kemudian, laporan audit keluar: rekomendasi ada, pelanggaran tidak. Bagi investor, itu biasa saja. Bagi Jayeng, itu tidur nyenyak.
Umarmadi, yang kini kerap diundang ke seminar, tetap menghindari panggung besar. Ia memilih forum kecil: kelas jurnalisme di kampus swasta, diskusi komunitas di perpustakaan kota, pertemuan warga di taman RW. Ia mengajarkan teknik paling sederhana dan paling sulit: mengajukan pertanyaan yang membuat orang mengingat lagi dirinya. “Karena kita menyuruh fakta bicara,” katanya, “bukan menyuruh fakta memihak.”
Umarmaya merapikan modul kelas-kelasnya, menambahkan satu bab baru: “Hilang Respect dan Kesehatan Mental.” Di situ ia menuliskan latihan-latihan singkat: menulis daftar hal-hal yang tak bisa diubah tanpa rasa bersalah, menetapkan “batas kehadiran” dalam hubungan yang menguras, dan ritual “menutup hari” yang manusiawi: teh hangat, tiga napas panjang, dan satu kalimat kepada diri sendiri: “Terima kasih sudah bertahan.”
.
Pada sebuah petang Jakarta yang menilai diri terlalu lelah untuk hujan, Rengganis dan Jayeng berdiri di balkon apartemen, memandangi kota yang seperti peta bintang. Dari lantai bawah, suara pedagang bakso sayur naik pelan, seolah jarum gramofon yang menyentuh piringan vinil.
“Kalau kita tak jadi kaya?” tanya Rengganis tiba-tiba.
“Kita belajar mencukupkan,” jawab Jayeng, serius tapi hangat. “Karena bahagia bukan eksklusif milik yang berlebih.”
Rengganis tersenyum. “Kadang aku rindu bertengkar. Rasa ingin membuktikan bahwa aku benar.”
“Tenang itu seni,” kata Jayeng, “diam itu kekuatan.” Ia mengulang kalimat guru di sekolah alam. “Kau boleh marah, tapi jangan bernegosiasi dengan damai.”
“Aku simpan sebagai kuotasi favorit,” kata Rengganis. Mereka tertawa.
Malam menebal. Di ruang tamu, maquette sekolah alam dibiarkan tanpa penutup. Di rak buku, buku-buku arsitektur berjejer berdampingan dengan biografi jurnalis dan catatan strategi bisnis. Di atas meja, ada kartu pos bertuliskan tangan Umarmaya: “Kalau kau harus menunda impianmu demi hidup, pastikan hidupmu tidak menghapus impianmu.”
.
Waktu bergerak. Startup Jayeng sampai di titik impas yang diucapkan dengan helaan napas “akhirnya”. Sekolah alam membuka cabang kecil di Kota Batu; Rengganis berminggu-minggu tinggal menyewa kamar homestay, menyaksikan kabut turun pukul empat. Tulisan-tulisan Umarmadi membuat dua lembaga mengubah cara menyalurkan dana; ia dipuji di satu sisi, dibenci di sisi lain, lalu ia memutuskan tidak tinggal di keduanya. Umarmaya—yang disebut orang sebagai “pelatih senyap”—menerima lebih banyak konsultasi privat: eksekutif yang ingin berhenti, pasangan yang ingin berbaik-baik dengan diri sendiri, anak muda yang ingin mengatur ulang peta ambisi.
Suatu Minggu, mereka berempat berkumpul lagi di sekolah alam. Ada pentas kecil. Anak-anak membacakan puisi tentang air, tanah, dan langit. Di akhir acara, kepala sekolah meminta seseorang menuliskan satu kalimat di papan tulis sebagai pengingat tahun ajaran baru. Semua mata menoleh ke mereka.
Rengganis maju. Tangannya sedikit bergetar, tetapi suaranya terang:
“Jaga mentalmu demi dirimu. Sikapmu menentukan damainya harimu. Biarkan yang pergi, berlalu; dan yang menyakitimu, tidak lagi punya kuasa.”
Terdengar tepuk tangan yang jujur—bukan karena kalimat itu keren, melainkan karena kalimat itu menemukan rumah.
Jayeng menambahkan di pojok papan: “Tenang itu seni.”
Umarmadi menggambar garis kecil yang melandai—grafik perasaan yang kembali stabil.
Umarmaya menutup dengan coretan: “Diam itu kekuatan.”
Anak-anak menirukan, menulisnya di kertas. Ada yang salah eja, ada yang kebablasan huruf, ada yang menambah gambar matahari. Mereka tertawa. Mereka bahagia. Mereka—tanpa tahu seluruh cerita orang dewasa—telah memegang kunci yang sama: bahwa keheningan yang benar bukan menyerah, melainkan selesai.
.
Malamnya, di grup pertemanan, Kertolo mengirim foto: halaman cluster barunya di BSD yang ditanami kembali dengan jalur resapan. Ada caption singkat: “Kau benar, Gan. Ternyata pompa hanya menunda.”
Rengganis membalas dengan emotikon daun. Ia tidak menasihati. Tidak menggurui. Tidak perlu menang. Hatinya tetap netral, tetapi netral yang berdaya.
Jayeng, menatap grafik yang perlahan naik dengan alasan yang benar, menulis di jurnalnya: “Tujuan bukan meledak; tujuan bertahan dengan mulia.”
Umarmadi menutup laptopnya usai menulis berita baru tentang puskesmas yang berhasil menyelenggarakan makan siang sehat tanpa spanduk. Ia menyandarkan kepala, tersenyum.
Umarmaya menyiapkan materi kelas esok hari: “Ritme adalah hak asasi.” Ia menulis pembuka: Pelan juga kecepatan, asal arahmu benar.
.
Di balkon apartemen, jelang tengah malam, angin membawa aroma tanah basah—entah dari taman kecil di bawah atau dari pot monstera yang disiram terlalu banyak. Kota bersiap tidur dengan cara yang hanya dimengerti oleh orang yang tinggal terlalu lama di dalamnya: ia tidak pernah benar-benar tidur, tetapi ia memberi kesempatan pada penghuninya untuk istirahat.
Rengganis menyalakan lampu kecil, merapikan maquette. “Kau tahu,” katanya pada Jayeng yang duduk memeriksa email, “kadang aku memikirkan semua yang hilang. Peluang, uang, nama. Dulu itu penting.”
“Sekarang?” tanya Jayeng.
“Sekarang aku ingin menua dengan ringan.” Ia tersenyum. “Dihormati itu menyenangkan, tapi tidak dihina oleh diri sendiri itu menenangkan.”
Jayeng tertawa pelan. “Titik akhir bernama tenang,” katanya, menyebut judul cerita yang sedang ditulis Rengganis untuk blog sekolah. “Aneh ya, kita sampai di sini bukan karena menang berdebat. Kita sampai karena berhenti menawar.”
Rengganis mengangguk. “Kita berhenti meyakinkan orang yang ingin terus salah. Bukan karena kita suci, tapi karena kita ingin sehat.”
Di kejauhan, sirene melolong satu kali, lalu kembali sunyi. Lampu-lampu gedung menjadi bintang yang membuat langit kota punya selera. Angin menggeser tirai tipis. Waktu menaruh selimut hangat di bahu malam.
Mereka tidak merayakan apa-apa. Tidak ada kembang api, tidak ada unggahan panjang. Hanya dua orang yang telah menempuh jalan panjang menuju netralitas, duduk di balkon kecil, menatap kota besar, dan merasa cukup.
Esok hari akan ribut lagi. Orang akan berdebat lagi. Target akan menuntut lagi. Tetapi di dasar dada mereka, ada telaga yang dijaga. Telaga itu tidak besar. Namun cukup untuk menampung sisa-sisa marah, sisa-sisa kecewa, sisa-sisa ingin membuktikan. Di permukaan telaga, bulan seperempat menggambar garis. Angin menulis puisi pendek.
Dan di tepi telaga itu, tanpa tepuk tangan, tanpa saksi, tanpa berat yang mesti menempel, mereka berbisik pada diri masing-masing: “Terima kasih sudah memilih damai.”
.
.
.
Malang, 19 November 2025
.
.
#CerpenMinggu #SastraUrban #TitikAkhirBernamaTenang #Integritas #KesehatanMental #Jakarta #StartupID #Arsitektur #Jurnalisme #SekolahAlam