Tetap Bekerja Tetap Bernapas
“Kadang hidup seperti hujan di kaca mobil: buram tapi tetap melaju. Yang membedakan kita adalah siapa yang berani menyalakan wiper—lagi dan lagi.”
.
Aku pertama kali melihat kalimat itu di dinding fotokopian dekat stasiun: “No results? Keep working. Bad results? Keep working. Great results? Keep working. Consistency is key.” Cetakan hitam di kertas abu-abu, dipotret entah dari buku siapa, ditempel miring dengan selotip bening yang ujungnya menguning. Aku—Umaraya—membacanya sambil menunggu giliran laminating kartu BPJS yang retak di tepi. Di luar, hujan menumbuk kanopi, arus manusia menetes ke trotoar, dan kota menggigil oleh bunyi klakson.
Aku menyimpan foto kalimat itu di ponsel. Entah kenapa terasa menolong, semacam doa alternatif di era pulsa susah: kalau hasil belum ada, kalau hasil buruk, kalau hasil bagus pun, tetap saja bekerja. Bukankah itu hidup kelas menengah mendang-mending? Ditarik ke atas belum sanggup, ditarik ke bawah tidak rela. Kami bukan yang paling miskin, tapi juga bukan yang paling aman. Kami adalah mereka yang menghafal tanggal gajian, sambil menawar waktu dari cicilan, pulsa, token listrik, dan uang sekolah anak.
.
Aku tinggal di gang yang mekar dari jalan utama seperti cabang ukuran sedang. Di ujung gang ada warung kopi milik Zubaida, perempuan kurus dengan senyum yang tidak pernah habis, meski kuketahui suaminya—Umarmadi—kerap menguap di depan TV karena shift malam sebagai satpam gudang. Mereka satu sekolah denganku dulu, SMP di kota kecil di tapal kuda. Kini kami sekota lagi, bedanya sekarang kota ini menelan kami dengan lalu lintasnya yang padat dan janji-janji diskon gajian di aplikasi.
Zubaida menjual kopi tubruk dengan krimer sasetan; di raknya berderet mie instan, roti sobek, dan plastik klip berisi kerupuk. Di dinding warungnya, ada tempelan gambar—persis seperti yang aku foto—“Consistency is key.” Zubaida menempelnya setelah melihat ponselku ketika aku lupa me-lock layar.
“Kalimat itu cocok buatku,” katanya. “Kalau hari ini dagangan sepi, besok buka lagi. Kalau ramai, besok ya buka lagi. Yang penting buka.”
Umarmadi hanya mengangguk, menepuk bahu Zubaida ketika menaruh uang receh hasil mengantar paketan tetangga. Mereka berdua seperti sekrup yang saling mengencangkan: ketika yang satu longgar, yang lain menahan.
Aku bekerja sebagai petugas front office harian di sebuah hotel bisnis bintang tiga dekat kawasan perkantoran. Kata manajer, hotel kami “menjual kenyamanan sederhana yang bersih,” yang artinya tamu jarang mendapat komplimen selain senyum dan proses cek-in yang cepat. Gajiku UMR plus seragam yang harus disetrika sendiri. Jadwal shift bergeser seperti jam pasir—pagi, siang, malam—memeras waktu agar selalu ada yang berjaga di balik meja marmer.
Kota ini memberi kami silabus bertahan hidup: jam enam pagi mengejar bus kota; jam sembilan mengecek aplikasi gaji—biasanya ada notifikasi “menunggu persetujuan keuangan”; jam dua belas membeli makan siang di kantin karyawan dengan menu tetap: sayur lodeh, orek tempe, ayam krispi. Sore, jalan pulang menyeberang bundaran yang lampu merahnya lebih sering rusak daripada berfungsi; malam, menidurkan diri dengan suara kipas angin yang koyak.
Di sela itu semua, aku menabung: bukan uang, tapi kebiasaan kecil. Aku bangun lebih pagi buat membaca tiga halaman buku apa saja—kebanyakan pinjaman dari perpustakaan keliling di alun-alun. Kumasukkan pengetahuan seperti orang menambal lubang genteng: sedikit-sedikit, setetes-setetes, agar bocor tak lagi menetes ke kepala.
.
Suatu sore di bulan yang panas dan rawan padam listrik, datang seorang tamu bernama Jayeng. Namanya membuatku menoleh dua kali, mengingatkan pada cerita lama dari kakek tentang orang-orang yang menyeberangi lautan hanya dengan tekad. Jayeng cek-in dengan ransel lusuh dan senyum yang tegas. “Saya ikut pameran kerja,” katanya ringan. “Bukan pelamar, panitia kecil-kecilan.”
“Semoga acaranya lancar,” kataku sambil menyerahkan kartu kunci.
Dia menatap badge namaku. “Umaraya. Nama yang menyejukkan.”
Aku tertawa canggung. “Biasa, Pak. Nama dari ibu.”
“Jangan panggil saya ‘Pak’. Panggil Jayeng saja,” katanya, lalu berpamitan.
Beberapa hari berikutnya aku beberapa kali bertemu Jayeng di lobi. Ia suka duduk di sofa dekat jendela sambil menandai kertas. Kadang ia menyapa, menanyakan apakah air lemon di dispenser masih diisi rutin. Ia juga menyebut Zubaida karena sempat mampir ke warung itu saat berjalan-jalan pagi. “Kopinya jujur,” komentarnya.
Malam terakhir sebelum ia check-out, Jayeng menghampiri meja resepsionis setelah pukul sebelas. Lobi sepi. Ia menaruh brosur pameran kerja di meja.
“Boleh saya titip sisa brosur untuk staf hotel? Siapa tahu ada yang butuh,” katanya.
Aku menyetujui. Di brosur itu, ada daftar lokakarya gratis: cara membuat CV, simulasi wawancara, hingga kelas menulis untuk pekerja layanan. Aku menatapnya lama-lama. Jayeng memperhatikan tatapanku, lalu bertanya, “Kamu hobi menulis?”
Aku ragu. “Saya suka mencatat. Kadang bikin ringkas-ringkas. Bukan apa-apa.”
“Menulis itu seperti menyalakan wiper,” katanya, menatap ke luar, ke sisa hujan yang merintik di kaca. “Kaca tetap basah, tapi kita bisa melihat jalan. Terus gerakkan wiper itu. Konsisten. Suatu waktu kamu akan paham ke mana mau melaju.”
Kata-kata itu nyaris sama dengan poster yang kusimpan di ponsel. Aku mengangguk, entah pada siapa.
.
Kelas menulis untuk pekerja layanan diadakan Sabtu, di aula kecil dalam gedung bekas bioskop. Aku datang dengan seragam hotel yang kubawa dalam tas—karena shift sore menunggu. Fasilitatornya seorang perempuan berkacamata bernama Rengganis, yang memulai kelas dengan meminta kami menuliskan daftar suara yang mengelilingi kita setiap hari.
Aku menulis: “bunyi ‘ting’ elevator; klik kunci kamar; suara tamu menawar late check-out; dering telepon dari pelanggan yang salah sambung; gesekan map plastik; batuk tertahan ketika mengucapkan ‘selamat malam’; dan pertanyaan yang selalu muncul: ada kamar yang lebih murah?”
Rengganis membaca daftar itu dan mengangguk. “Kamu teliti. Telinga orang layanan memang tajam. Coba tulis satu adegan. Pilih satu suara lalu bangun cerita di sekitarnya.”
Aku menulis tentang suara “ting” elevator yang terdengar seperti gerbang antara dunia tamu dan dunia kami. Aku ceritakan seorang ibu yang datang dengan mata bengkak karena perjalanan, memeluk anaknya di lobi—adegan singkat yang kulihat dua minggu sebelumnya. Ketika kubacakan, aku merasakan sesuatu yang biasanya tidak hadir di hidup harian: semacam kelegaan, seperti membuka jendela kamar setelah AC terlalu dingin.
Selepas kelas, jam di ponsel menunjuk ke angka yang memaksaku bergegas. Aku berlari ke halte bus; di atas bus, aku merekam suara-suara lain: roda metal menggesek rel jembatan layang, pengumuman yang patah di pengeras suara, seorang bapak penjual tisu yang memuji Tuhan di akhir kalimat.
Sore itu, di meja resepsionis, aku bekerja dengan tenang aneh. Ketika seorang tamu marah karena kartu kuncinya tak bisa memanggil lift—karena belum disinkronkan—aku mengulangi kalimat permohonan maaf dengan kata-kata yang kupilih saksama. Entah bagaimana, tamu itu menghela napas dan mengendur. Mungkin pilihan kata bisa sesederhana membiarkan orang lain merasa diakui.
Di sela-sela itu, aku menulis di buku kecil: “No results? Keep working.” Lalu kutambah: “No respect? Keep showing respect.” Seolah diriku sedang memahat ulang mantra di dinding fotokopian.
.
Bulan-bulan berikutnya berlalu dalam putaran jam. Aku ikut kelas-kelas lain yang gratis—sebagian kuminta izin keluar lebih awal dari shift malam, kutukar dengan shift pagi esok hari. Gajiku tak bertambah, tapi ada hal di kepalaku yang bertambah rapih. Aku memposting cerpencerpen pendek di blog gratisan, baru dibaca tiga orang—mungkin salah satunya aku sendiri—namun rasanya seperti mengeluarkan keringat setelah hujan: tubuh tetap basah, tetapi hangat.
Zubaida membacanya diam-diam melalui tautan yang kukirim. “Bahasaku, ya? Warung ini masuk ceritamu,” katanya suatu pagi. “Aku jadi sadar, bahkan panci yang bocel pun punya cerita.”
Umarmadi menambahkan, “Kalau kamu butuh data nyatanya, catat saja utang pelanggan di buku warung. Itu drama yang tak ada habisnya.”
Kami tertawa. Di balik tawa itu, ada kenyataan lain: harga bahan baku naik, listrik prabayar makin cepat habis, dan anak Zubaida, Bocah kecil bernama Maisara, semakin sering batuk karena debu drainase proyek perumahan di belakang gang. Kelas menengah mendang-mending tidak diberi tiket untuk mengeluh berlama-lama. Kami hanya diberi kemampuan menunduk sebentar, lalu menatap lagi ke depan.
Pada suatu malam panjang, kota diserbu banjir kiriman. Lobi hotel jadi tempat darurat; orang-orang berlindung sementara, ada yang sekadar meminjam toilet. Aku dan tim menjejerkan kursi, membagi air mineral yang biasanya untuk tamu. Dari jendela, aku melihat Zubaida dan Umarmadi menggotong galon ke warung; mereka membuka warung seperti posko kecil, membagi gelas-gelas kopi kepada tetangga yang kedinginan.
Di tengah situasi itu, Jayeng muncul lagi—entah dari mana—membawa mantel hujan dan karung berisi pembalut, popok, dan roti. “Logistik,” katanya singkat. Kami bekerja tanpa sempat bertukar kabar. Malam itu, di antara bau anyir dan cahaya lampu darurat, aku merasa kota ini—meski serakah—kadang memberi kami punggung untuk bersandar. Orang-orang kecil menambal luka besar dengan hal-hal kecil.
.
Banjir surut. Kota kembali pada kebiasaan lamanya: macet di jam yang sama, promosi cicilan di tanggal tua, dan berita yang datang bertubi seperti notifikasi tak penting. Aku kembali ke rutinitas resepsionis, kembali menulis di sela-sela waktu.
Sampai suatu hari, manajer memanggilku ke ruang HR. “Umaraya, ada program internal—pelatihan kepemimpinan shift. Tidak ada tambahan gaji, tapi kesempatan bertumbuh,” katanya—kalimat yang terdengar seperti iklan.
Aku menelan ludah. “Boleh saya coba?”
“Boleh. Ada proyek kecil: susun SOP resepsionis untuk tamu-tamu yang datang lewat aplikasi dan bayar di tempat. Selama ini banyak miss.”
SOP. Tiga huruf yang sering membuat kening orang menekuk. Namun entah kenapa, aku antusias. Aku mengingat kelas menulis Rengganis: struktur, detail, suara. SOP pun sejatinya cerita: bagaimana sebuah tindakan dimulai, terjadi, dan diakhiri tanpa merusak martabat siapa pun. Aku mengamati satu per satu rekan kerja: bagaimana Siska yang cekatan memverifikasi angka; bagaimana Bagas yang santun menolak permintaan early check-in tanpa biaya; bagaimana kesalahan kecil tumbuh karena kalimat yang diucapkan terlalu cepat.
Aku menyusun SOP seperti merakit cerpen: pembukaan (sapaan), pengenalan konflik (pesanan belum terdaftar), pengembangan (verifikasi bukti), klimaks (opsi yang bisa dipilih), dan penutup (ucapan terima kasih). Kuletakkan juga catatan pilihan kata: hindari “tidak bisa”, pilih “kami bantu…”. Hindari mengulang “aturan hotel” seperti sebutir batu; pilih “supaya Bapak/Ibu tetap nyaman, kami biasanya…”. Ketika kukumpulkan, manajer memandangnya lama.
“Kamu menyusun ini seperti orang bercerita,” katanya akhirnya.
“Karena tamu juga manusia yang butuh diceritakan tempatnya di sini,” jawabku, pelan.
SOP itu diuji sebulan. Angka komplain turun. Di grup WhatsApp, ada emoji tepuk tangan yang kuterima dengan malu. Zubaida menyuguhkan kopi gratis, menyebutku “penulis SOP”. Umarmadi menyeringai, “Hati-hati, jangan jadi manajer yang lupa beli token listrik.”
.
Di tengah kabar kecil yang baik, kabar kecil yang buruk mencelos dari celah: kontrakan kami dinaikkan sewanya. “Biaya perawatan, Mas,” kata Pakde pemilik rumah, menatap plafon yang justru sudah lama retak. Aku dan istriku—yang hingga kini belum hadir di paragraf karena ia orang yang tidak suka menonjol—menghitung ulang anggaran. Sari bekerja paruh waktu di studio foto, mengejar bayi-bayi yang hendak difoto dengan baju tokoh kartun. Ia saksama seperti tukang jahit, sabar seperti tukang servis kipas.
“Kalau kita pindah agak pinggir?” tanya Sari, malam itu. “Lebih murah, tapi ongkosmu ke hotel jadi lebih mahal.”
“Kalau tetap di sini, listrik kita harus lebih hemat, dan kiriman buat Ibu di kampung terpaksa berkurang,” jawabku.
Kami diam, lalu menatap Maisara yang tertidur—eh, bukan, kami belum punya Maisara; tokoh itu milik Zubaida. Kami menatap kipas angin, bunyinya stabil. “Konsistensi adalah kunci,” kataku setengah bercanda.
Sari tertawa. “Konsistensi belanja bulanan di tanggal yang sama, begitu?”
“Dan konsistensi untuk tidak membeli hal-hal yang hanya karena diskon,” tambahku.
Kami sepakat. Kami tetap di kontrakan yang lama. Kami mengatur ulang, balik lagi ke hal kecil: menyetrika baju sekali seminggu, memasak lebih banyak sup agar sayur bisa bertahan tiga hari, mematikan lampu teras jam sepuluh malam karena gang sudah cukup terang dari warung Zubaida.
Di titik inilah, aku memahami hal yang dulu bagiku terdengar basi: konsistensi tidak selalu heroik. Ia sering kali canggung dan membosankan. Ia bukan lari maraton dengan medali, melainkan berjalan biasa dengan sandal yang sama, menempuh rute yang sama, dan tetap datang tepat waktu.
.
Suatu pagi yang jernih, Jayeng mengirim pesan: “Umaraya, ada kelas menulis untuk publikasi opini. Gratis. Kamu ikut?”
Aku sedang mengepel lantai lobi karena petugas kebersihan terlambat. “Jam berapa?” tanyaku.
“Jam sembilan. Tenang, ada rekaman kalau ketinggalan.”
Aku ikut dari belakang meja resepsionis, memasang earphone, menyapa tamu dengan sopan sambil mencatat di ponsel. Fasilitatornya—Rengganis lagi—membahas latihan “menulis dari benda yang ada di sekitar”. Aku menatap kartu kunci hotel di tanganku. Aku menulis: kartu tipis berchip yang menentukan naik tidaknya seseorang ke lantai tiga belas. Orang-orang percaya pada kartu kecil ini seperti mereka percaya pada takdir yang dikodekan. Kadang kartu ini error. Kadang takdir juga.
Kuhimpun catatan-catatan itu selama seminggu, lalu kukirimkan ke rubrik opini surat kabar lokal. Aku tidak meletakkan harapan besar—bagiku mengirim sudah cukup mewah. Dua minggu kemudian, Zubaida menyodorkanku koran yang sudah disobek rapi: ada namaku di halaman dua belas. Tulisan kecil, diedit singkat, tapi cukup untuk membuatku membeku.
“Masuk, Ray!” Zubaida memekik, matanya berair. “Masuk koran! Ini bukan warung, ini kantor agen kesuksesan!”
Umarmadi menepuk bahuku lebih keras dari biasanya. “Nanti tanda tangan di dinding, ya. Biar warung ini punya galeri.”
Aku menandatangani kertas itu dengan tangan yang sedikit gemetar. Saat itu, aku tidak merasa melonjak ke kelas sosial mana pun. Aku tetap pekerja shift dengan gaji UMR, tetap kontrakan dengan plafon retak. Tapi ada ruang kecil di dadaku yang menjadi terang: ruang yang bilang, “tetap bekerja, tetap bernapas.”
.
Hari-hari berikutnya berjalan. Hotel mengadakan rekrutmen karyawan magang; aku diminta mendampingi. Anakanak muda datang, sebagian memakai jas kebesaran, sebagian meminjam baju batik dari paman. Aku melihat diriku sendiri tiga tahun yang lalu: gugup, ingin dianggap, takut salah menyebut “selamat siang” di waktu yang salah.
Seorang anak bernama Wira mendekat selepas wawancara. “Mas, kalau saya salah menyebut harga kamar tadi, itu fatal ya?”
“Tidak fatal,” jawabku. “Yang fatal itu kalau kamu berhenti belajar setelahnya.”
Wira mengangguk. “Saya bingung soal masa depan. Orang tua saya berharap saya jadi apa saja yang cepat gajian. Saya setuju, tapi juga ingin… entah… ingin ada sesuatu yang saya kerjakan untuk diri sendiri.”
Aku tersenyum, menyodorkan foto poster di ponselku—ya, yang itu. “No results? Keep working,” kubaca keras-keras. “Sementara, kamu bantu jaga konsistensi kecilmu. Datang tepat waktu. Catat. Belajar satu hal setiap hari. Nanti ruangnya akan terbuka.”
Wira menatapku lama, lalu tertawa pendek. “Makanya Mas bisa masuk koran, ya?”
“Masuk koran bukan akhir. Itu cuma lampu hijau di perempatan,” jawabku, dan kami pun melewati hari itu dengan tumpukan kertas lamaran dan kopi sachet.
.
Suatu senja, kota menyalakan lampu-lampunya satu per satu—seperti untaian manik di leher orang kaya. Aku berdiri di atap parkir hotel, memandang ke arah gang tempat warung Zubaida. Dari sini, kota terlihat seperti janji yang belum selesai ditepati. Orang-orang bergerak seperti huruf-huruf yang sedang menyusun kalimat. Aku memikirkan kakek yang bercerita tentang nama-nama lama: Umaraya, Zubaida, Jayeng—nama yang katanya lahir dari kisah perjalanan dan ketabahan. Mungkin kami tak mengarungi lautan seperti pahlawan dalam hikayat, tapi kami menyebrangi bulan demi bulan, banjir demi banjir, shift demi shift.
Ponselku bergetar. Pesan dari Sari: “Aku sudah pulang. Ada sayur bening dan tempe goreng. Kalau kamu pulang terlambat, kuhangatkan. Jangan lupa beli token.”
Aku tersenyum. Menyambar helm, turun lewat tangga darurat, menyapa satpam yang selalu bersiul di jam yang sama. Di lobi, ada tamu bertanya soal rute ke bandara; aku menjawab dengan tenang, menggambar denah kecil di belakang struk kosong. Di pintu keluar, aku melihat poster kecil di dinding belakang meja resepsionis—tempelan baru buatan staf housekeeping, meniru foto ponselku. Tulisannya: “Tidak semua kemenangan berisik. Sebagian lahir dari rutinitas yang kau rawat diam-diam.”
Aku berjalan pulang melewati warung Zubaida. Suara sendok bertemu gelas, bau kopi, tawa kecil. Di atas rak, tempelan “Consistency is key” masih ada, ujungnya tambah menguning. Aku merasa seolah sedang pulang ke sebuah kalimat yang bersedia menampung lelahku.
Kota, dengan semua kebisingan dan tagihan-tagihannya, belajar bersuara lebih lembut malam itu. Mungkin bukan kota yang berubah, tapi telingaku yang lebih siap mendengarkan. Aku mengayuh langkah, memikirkan besok yang akan datang cepat sekali, memikirkan wiper di kaca mobil, memikirkan tangan yang akan tetap menggerakkannya.
Dan ketika sampai di rumah, Sari memelukku. “Yang penting kita masih bisa makan bersama,” katanya. Aku mengangguk. “Dan besok tetap bekerja,” jawabku. Ia tersenyum, menarikku ke meja makan yang kecil. Di luar, lampu-lampu kota berkelip seperti bintang yang sempat ragu, lalu konsisten bersinar.
.
.
.
Jember, 1 Oktober 2025
.
.
#CerpenKompasMinggu #KisahUrban #KelasMenengah #Konsistensi #KerjaHarian #HidupMendangMending #HarapanKecil #IndonesiaKota #LiterasiLayanan #CeritaPengharuBiruan