Terbaik Bukan Tujuan, Tanggung Jawab adalah Jalan
“Jangan terjebak mengejar mahkota semu. Yang lebih luhur adalah menyalakan pelita kecil di piring orang lain.”
.
Malam itu, Jakarta memantulkan cahaya seperti loyang baru digosok. Gedung-gedung di Sudirman berkedip bagai bintang yang lupa rumah. Di sebuah sudut Senopati, restoran kecil bernama Teras Jayeng bersiap menutup tirai layanan. Jam dinding mendekati sebelas, tapi dapur masih bernafas: desis minyak, ketukan pisau, bau serai yang baru dipipihkan.
Jayengrana menahan telapak di atas panci. Uapnya harum, seperti hujan pertama. Di luar, lonceng pintu berdenting. Zubaidah menyembul dari ruang tamu dengan senyum letih.
“Meja terakhir pulang,” katanya. “Umar Maya minta kita kabari besok soal kolaborasi konten.”
Jayengrana mengangguk. Nama itu sudah jadi mantra di kota: pemilik jutaan pengikut yang bisa membuat antrean menggulung sampai badan jalan. Tarifnya setara kulkas dua pintu, plus suite akhir pekan. Ia tersenyum lelah. “Bilang terima kasih. Kita pikirkan.”
Zubaidah tahu arti “kita pikirkan” di mulut Jayengrana: doa yang tak selalu ingin dijawab.
Di papan tulis dekat pass, Rengganis menulis angka-angka yang tak pandai berbohong: 83 kursi terjual, 2 keluhan (satu soal es batu, satu soal kursi goyang), 0 makanan dikembalikan. Angka itu menenangkan sebagaimana detak jantung yang kembali normal.
“Masih mau coba menu tasting?” tanya Zubaidah.
Jayengrana menutup api. “Aku lebih ingin menanyakan kabar laut ke Adaninggar.”
Adaninggar adalah pemasok ikan mereka dari Puger, Jember. Sejak membuka restoran, Jayengrana berjanji: tak ada cerita palsu. Ia tak akan menulis “laut pagi ini” kalau ikannya tiba dari cold storage dua kota jauhnya.
Telepon tersambung. Suara perempuan di seberang terdengar seperti ombak yang menepi. “Air pasang. Ikan banyak, tapi angin nakal. Kita coba berangkat subuh.”
“Jangan paksa,” kata Jayengrana. “Tidak ada piring seharga nyawa.”
Mereka menutup pembicaraan dengan tawa ringan. Di dinding, bingkai foto hitam putih menggantung: dapur pertama yang mereka sewa bersama, ukuran tiga kali empat meter, kipas dinding yang selalu oleng, dan radio yang hanya punya dua saluran—dangdut atau berita selingan. Dari sanalah Teras Jayeng lahir.
.
Jakarta siang hari tak memberi ruang untuk ragu. Pintu kaca restoran menelan tamu. Umar Maya datang tepat waktu dengan kaus polos—ironis, mengingat hidupnya bertumpu pada pose. Ia berbicara halus, seperti orang menjual bantal paling empuk.
“Konsep kalian cocok buat storytelling, Mas Jayeng,” katanya. “Aku bawa tim. Kita bisa bikin seri lima episode: dapur, kebun, laut, petani, nelayan. Farm to table itu seksi.”
Jayengrana bicara pelan. “Seksi sampai kapan?”
Umar tertawa kecil. “Selama audiens betah. Aku tahu ini ribet. Tapi ini exposure.”
Zubaidah menyela. “Kalau exposure bisa digoreng, kami sudah kenyang.”
Umar menautkan jari, nada suaranya menurun setengah oktaf. “Standar kita sederhana. Dua malam, dua kamar. Makan sepuasnya. Transport tim. Dan, kalau bisa, sedikit honor untuk kru. Kalian tahu sendiri, Jakarta mahal.”
Jayengrana memandang panci yang menghangat di range. Dalam gemeretak panci, ia mendengar pitutur yang pernah ia pelajari dari simbahnya di Jember: sepi ing pamrih, rame ing gawe. Bekerja ramai-ramai, pamrih disimpan.
“Kami usahakan yang adil,” katanya akhirnya. “Tapi ada syarat.”
Umar menaikkan alis.
“Jangan janji hal yang tak kami lakukan. Kami bukan kebun. Kami belanja dari kebun orang yang kami kenal, kami bayar pantas. Kami bukan kapal. Kami menjemput ikan sewaktu nelayan selamat kembali.”
Umar Maya menatapnya, lalu mengangguk, setengah ikhlas. “Kalian idealis, ya.”
Zubaidah tersenyum—senyum seperti benang yang menahan kancing baju supaya tidak copot. “Kami realistis. Idealisme yang tidak bisa bayar gaji, itu drama.”
.
Malamnya, Teras Jayeng penuh. Dua meja dipesan oleh sekelompok anak muda—kosmetik no gender, tato tipis di pergelangan, tertawa dengan takaran tepat. Mereka memotret piring dari atas, dari samping, mengatur sendok seperti penari latar. Satu di antara mereka berbisik, “Kita kirim ke Taste Atlas lokal. Siapa tahu bisa masuk daftar.”
Jayengrana mengangkat alis pada Zubaidah, yang membalas dengan tawa kecil. Daftar. Gelar. Papan nama. Semua itu seperti komet: terang sesaat, lalu dingin. Ia mengingat lagi pitutur simbah: urip iku urup—hidup adalah api. Api yang tak merunduk pada angin.
Di dapur, Umar Madi—wartawan kuliner lama yang setia pada catatan kertas—duduk menghadap pass, menulis sambil mencicipi pelan. Ia bukan kerabat Umar Maya. Namanya kebetulan mirip; sikapnya bertolak belakang.
“Maaf,” kata Umar Madi, “kalian pakai gula aren dari mana?”
“Dari Baros,” jawab Rengganis cepat. “Panennya seminggu sekali. Kadar air stabil.”
Umar Madi menulis. “Keren. Banyak tempat menulis single origin tapi tak pernah tanya suhu simpan.”
Ia mengeluarkan buku kecil. “Aku dulu punya sahabat—almarhum—yang selalu bilang: ‘Makan bukan hanya soal rasa. Ini soal menghormati waktu orang lain yang dititipkan jadi bahan.’” Ia terdiam sejenak. “Bahan itu waktu. Waktu tumbuh, waktu ditanam, waktu ditangkap, waktu diangkut. Rasanya adalah jejak dari semua jam itu.”
Jayengrana menunduk. “Terima kasih, Pak.”
Umar Madi mengangkat tangan. “Jangan panggil aku Pak. Madi saja. Aku penikmat, bukan pejabat.”
Tawa kecil menyebrangi meja. Malam merunduk—tapi sebelum tuntas, telepon Zubaidah bergetar: notifikasi dari akun restoran. Satu unggahan viral: foto piring kosong dengan caption kasar—“Ini best in town? Hambar. Mahal. Cerita doang.”
Komentar meledak seperti petasan. Seseorang menulis, “Aku pernah ke sana. Overrated.” Yang lain membalas, “Biasa aja. Ambience bagus, porsi kecil.” Lini masa, seperti biasa, memeluk kebencian lebih erat daripada pelukan ibu.
Zubaidah menatap Jayengrana. “Kita jawab?”
Jayengrana menghela napas. “Kita jawab dengan layanan besok.”
.
Keesokan paginya, hujan deras menimpa Jakarta seperti wajan menimpa air. Adaninggar mengirim pesan: laut tak ramah. Pasokan ikan mungkin terlambat. Di dapur, Jayengrana merombak menu: menonjolkan sayur dari Lembang, tempe yang baru datang dari Cirebon, dan ayam kampung dari Subang.
“Bisa kita jujur di board?” tanya Rengganis.
“Tulis saja: ‘Menu hari ini menyesuaikan cuaca. Yang tak tersedia diganti peluk hangat dari dapur’.”
Rengganis tertawa. “Baik, Mas.”
Siang, seorang lelaki datang tergesa. Wajahnya seperti orang yang baru saja mengunyah kabar buruk.
“Aku Wiralodra,” katanya. “Investor kecil. Maaf nyelonong. Aku suka tempat ini. Tapi viral negatif bisa bikin cashflow berantakan. Kalian butuh damage control.”
Zubaidah mengangguk sopan. “Kami terbuka sugesti, tapi bukan sensasi.”
“Aku tawarkan paket PR. Ada akses ke media,” kata Wiralodra, menurunkan suara. “Juga ke daftar-daftar penting itu.”
Jayengrana menatap jendela: hujan, lalu mobil-mobil yang mengaku punya urusan mendesak. Ia kembali pada kata yang tadi pagi menahannya di ranjang: laku. Dalam Jawa, laku adalah kelana ke dalam diri; bukan untuk mencari mahkota, melainkan menanggalkan gelanggang.
“Terima kasih, Mas Wiralodra. Boleh kita tahan dulu? Kami mau bicara dengan yang memasak dan yang makan.”
Wiralodra menatap kosong dua detik, lalu berdiri. “Kalian romantis. Aku suka, tapi pasar tidak selalu begitu.”
“Pasar sering ikut yang paling tenang,” jawab Zubaidah.
.
Sore, listrik padam. Kota seperti menahan napas. Dapur diubah jadi panggung darurat: lampu emergency, lilin aman, gas range tetap menyala. Para tamu bertahan. Umar Madi menyodorkan buku catatan pada Rengganis. “Tulis menu malam ini. Blackout supper.”
“Apa itu?”
“Kesempatan menulis sejarah kecil.”
Rengganis tersenyum, menulis cepat. Supper Padam: bubur jagung asap, jamur merang panggang, sambal bawang mentah, ayam kampung rebus dengan kaldu bawang daun. Dikirim ke ruang makan. Tamu-tamu membaca, lalu bertepuk tangan—pendek, tulus.
Di antara tepuk tangan, seseorang berdiri: perempuan yang semalam membuat unggahan kasar. Ia menatap Jayengrana, wajahnya ditelan warna lilin.
“Aku minta maaf,” katanya. “Semalam aku marah karena—entahlah—putus, bos cerewet, rideshare ngebut. Nasib piring kalian jadi sasaran. Aku hapus unggahan itu.”
Jayengrana menatapnya pelan. “Terima kasih sudah datang lagi.”
“Kenapa tidak marah balik?” tanya perempuan itu.
“Karena nasi paling cepat menjadi bubur kalau kita aduk marah.”
Orang-orang tertawa, pelan seperti hujan yang mulai ragu. Perempuan itu menghela napas, menatap piringnya. “Boleh pesanan malam tadi diganti dengan apa pun yang Mas anggap perlu?”
“Tentu,” kata Jayengrana. “Malam ini hanya ada menu yang bisa kita pertanggungjawabkan.”
Ia menyusun piring sederhana, tak ada hiasan yang lebih suka pada kamera daripada mulut. Ia belajar dari simbah: alon-alon asal kelakon. Yang sederhana memang lama, karena butuh menolak tambahan yang tidak jujur.
.
Beberapa minggu setelah malam padam itu, email datang dari panitia sebuah penghargaan kuliner Asia. Teras Jayeng masuk daftar pendek. Logo emas dan pita biru menyertai undangan gala di Singapura.
“Selamat,” kata Zubaidah. “Kita dinominasikan untuk kategori Narrative Dining Experience.”
Jayengrana menatap layar. Kata “narrative” membuatnya geli. Seperti meletakkan kotbah pada piring. Tapi ia tahu timnya bekerja terlalu keras untuk menolak semua hal hanya karena antipatinya pada panggung.
“Kita hadir,” katanya. “Bukan untuk mengejar mahkota. Untuk mengucapkan terima kasih.”
Di malam gala, lampu panggung memukul mata. Nama-nama besar berbaris. Umar Maya melintas dengan jas bling. Umar Madi duduk di pojok, mencatat detail: jemari chef yang gemetar saat membuka amplop, adik kecil yang memeluk ayahnya di baris ketiga, tawa yang terdengar seperti gelas saling bersentuhan. Nama pemenang disebut—bukan Teras Jayeng. Tepuk tangan meriah. Jayengrana bersorak paling keras.
Di luar gedung, angin pesisir Singapura meniupkan asin yang sama seperti di Pelabuhan Tanjung Priok. Zubaidah meraih tangan Jayengrana.
“Kita kalah cantik,” katanya.
“Kita menang tenang,” jawab Jayengrana.
“Kenapa rasanya tetap hangat?”
“Karena api yang kita bawa dari dapur bukan berasal dari panggung.”
Mereka tertawa ringan. Di kejauhan, lampu kapal bergerak seperti kerlip fireflies tersusun rapi. Jayengrana menutup mata, mengucapkan permintaan kecil: semoga setiap piring yang ia kirim ke meja adalah doa yang bisa dipertanggungjawabkan.
.
Di Jakarta, Teras Jayeng membuka kelas mingguan untuk anak-anak muda—dari barista pemula sampai juru masak rumahan yang bermimpi mendirikan warung kecil. Mereka menamainya Klinik Rasa. Biayanya pay-as-you-wish. Pendapatan dari kelas ini membiayai dapur komunitas sekali sebulan: memasak untuk sopir ojek, petugas kebersihan, dan para satpam gedung sekitar.
“Kenapa sekali sebulan?” tanya seorang peserta, laki-laki dua puluhan dengan rambut disemir perak.
“Karena yang kita kejar bukan viral,” jawab Zubaidah. “Yang kita kejar adalah rutinitas yang bisa bertahan.”
Anak muda itu mengangguk, merekam dengan ponsel tapi menaruh ponsel itu di meja saat Zubaidah mulai menguleni dough roti. Di kelas, Umar Madi mengajar sesi singkat: menulis catatan rasa. Ia mengutip sebuah kalimat, bukan dari buku kuliner, melainkan dari seorang filosof yang ia cintai: “We are what we repeatedly do. Excellence, then, is not an act, but a habit.” (Aristotle).
“Menulis rasa juga kebiasaan,” kata Umar Madi. “Jangan menulis untuk menyenangkan orang. Tulis supaya besok kalian bisa memasak lebih bertanggung jawab.”
Seorang remaja putri bertanya, “Mas, gimana menghadapi komentar jahat?”
“Dengan masak lebih baik,” kata Jayengrana, masuk ke ruang kelas sambil membawa panci kecil. “Dan dengan mendengar lebih baik.”
Ia membuka tutup panci—aroma daun jeruk dan kunyit memeluk ruangan. “Hari ini kita belajar menyusun kaldu sabar. Ini kaldu yang tidak keras kepala—ia mendengar air, mendengar bawang, mendengar waktu.”
Tawa mengisi ruang, seperti adonan mengembang.
.
Musim hujan tiba. Adaninggar mengirim kabar: anak buahnya jatuh sakit. Pasokan ikan tersendat. Teras Jayeng tak menulis cerita heroik. Mereka menempel selembar pengumuman di pintu: “Musim adalah guru. Menu kami belajar darinya.” Di dapur, mereka memperkaya piring-piring sayuran, kacang-kacangan, dan jamur, meminjam kearifan dari para ibu di pelosok Jawa yang menanak pangan tanpa hura-hura.
Malam Minggu, Rengganis menemukan selembar surat diselipkan di bawah pintu. Kertas HVS dilipat tiga, tinta hitam, tulisan terburu-buru.
“Mbak, Mas. Aku supir taksi online. Malam padam lampu itu, kalian ngasih sup aku gratis. Aku lupa terima kasih. Minggu lalu, aku ngantar penumpang muter-muter supaya bayar lebih. Setelah minum sup kalian, aku pulang dan malu. Besoknya aku mulai jujur lagi. Hidup memang susah, tapi aku pengin anakku makan dari uang bersih. Terima kasih sudah mengingatkan.”
Surat itu berpindah-pindah tangan di dapur. Tak ada tepuk tangan, hanya hening. Hening yang meletakkan batu candi ke dalam dada masing-masing orang, membangun candi kecil dengan doa: mugi manfaat.
.
Suatu pagi, Umar Maya kembali. Ia lebih tenang, mungkin karena hatinya sendiri baru belajar kalah. “Aku mau bikin seri baru,” katanya. “Tentang tempat-tempat yang menolak menjadi yang terbaik tapi memilih menjadi yang berguna.”
Jayengrana menyeduh teh. “Bagus.”
“Aku tidak minta apa-apa. Kalau laku, kita bagi.”
Zubaidah menimbang. “Boleh. Tapi tolong, jangan buat kami jadi dongeng. Tulis uang listrik yang telat, kompor yang mendadak ngadat, panen daun jeruk yang meleset, karyawan yang butuh cuti untuk mengurus orang tua.”
Umar mengangguk. “Itu justru angle-nya.”
Mereka mulai merekam. Bukan adegan yang biasa jadi poster: bukan plating dengan pinset berkilat, bukan kembang yang mekar di piring. Kamera menatap tangan—tangan yang mengupas bawang, menghitung kembalian, mengangkat galon, memungut sendok yang jatuh. Di layar, kota terlihat seperti ia adanya: lelah dan tetap berjalan. Rame ing gawe.
Seri itu tidak meledak. Tapi ia bertahan. Penontonnya bukan yang paling lantang berkomentar; mereka sibuk, mungkin penjaga malam, mungkin perawat jaga. Mereka menonton di jeda rokok atau di dalam bus yang terus bergoyang. Kadang mereka datang sendiri ke Teras Jayeng, duduk lama tanpa memotret, makan perlahan seperti sedang menolong seseorang di dalam diri.
.
Suatu malam, Jayengrana menjemput Adaninggar di stasiun. Nelayan itu datang ke Jakarta untuk kontrol kesehatan. “Aku kangen rasa garam di bibir,” katanya sambil tertawa.
“Di sini ada garam lain,” jawab Jayengrana. “Garam yang mengendap dari keringat.”
Mereka duduk di bangku trotoar, dekat warung kopi susu yang tidak malu-malu memakai gula pasir. Jalanan berkilau oleh sisa hujan. Di kejauhan, sirene melintas—kota seperti selalu terburu-buru mengejar sesuatu yang tak punya nama. Jayengrana menatap skyline dan mendadak ingin menangis tanpa alasan.
“Kenapa?” tanya Adaninggar.
“Aku takut lupa alasan kita mulai,” jawab Jayengrana.
Adaninggar mencolek pundaknya. “Alasan itu sederhana: maringi—memberi. Di laut, yang kuat bukan kapal terbesar. Yang kuat, kapal yang tahu kapan harus pulang.”
Jayengrana tersenyum. Ojo kagetan, ojo gumunan. Jangan kaget saat diterpa pujian. Jangan takjub pada sorak-sorai. Ia memejamkan mata, membayangkan dapur: panci yang dilap kering, kompor yang istirahat, kursi-kursi yang tidak lagi gelisah. Esok pagi, semuanya akan mulai lagi.
“Besok aku masak bubur jagung,” katanya. “Tambahkan kelapa parut dan sedikit garam.”
“Tambahkan juga doa,” sahut Adaninggar.
“Doa untuk siapa?”
“Untuk kita semua: petani, nelayan, juru masak, pelayan, dan orang-orang yang makan tanpa tahu namaku.”
Mereka tertawa. Jakarta merunduk, seperti ibu yang akhirnya berhasil menidurkan anaknya.
.
Tahun berlalu. Teras Jayeng tidak pernah memenangkan gelar besar. Tapi ia tak pernah sepi pada jam makan siang. Di mesin kasir, angka-angka menari cukup wajar untuk membayar gaji tepat waktu, lunasi cicilan oven, dan memberi bonus kecil tiap Lebaran. Di notice board karyawan, Zubaidah menempel kutipan: “Kindness is a language which the deaf can hear and the blind can see.” — Mark Twain. Di sebelahnya, pitutur Jawa: becik ketitik, olo ketoro—kebaikan akan tampak, keburukan akan tersingkap.
Pada suatu Sabtu, kelas Klinik Rasa membuat proyek kecil: “Pekan Rantang.” Mereka memasak untuk penghuni rusun seberang—menu hemat yang berusaha tetap memuliakan bahan. Umar Madi datang, walau lututnya sering protes. Ia memotret rantang-rantang logam yang dentingnya mengingatkannya pada masa kecil.
“Mas,” panggil seorang anak usia tujuh tahun, “boleh tambah sup?”
“Boleh,” kata Jayengrana. “Sup bukan piala. Ia jadi hangat kalau dibagi.”
Anak itu tertawa. Di matanya, sup mungkin hanya sup. Tapi di mata orang dewasa yang pernah sibuk mengejar mahkota, sup adalah semacam upacara kecil—cara meminta maaf pada waktu yang pernah disia-siakan.
Malam turun. Jayengrana berdiri di dapur yang pelan-pelan berhenti. Ia mengucap kalimat pelan, tak lebih tinggi dari desis terakhir api.
“Terbaik bukan tujuan. Tanggung jawab adalah jalan.”
Di kaca jendela, bayangannya sendiri menatap balik: seorang lelaki yang tangannya kapalan, matanya sering begadang, dan wajahnya belajar tertawa tanpa saran filter. Ia meraih kain lap, mengeringkan satu piring terakhir, dan menaruhnya di rak.
Di luar, Jakarta masih menyala. Di dalam, api di dada orang-orang ini masih lebih lama lagi padam.
.
.
.
Jember, 2 September 2025
.
.
#HospitalityDenganHati #KulinerKota #KearifanJawa #EtosKerja #PariwisataBerkelanjutan #FoodWithIntegrity #DapurKomunitas #UrbanStory #KompasMingguStyle