Tentang Luka, Tentang Pulang
“Ada waktunya kita berhenti berbicara, bukan karena kalah, melainkan karena sadar: sebagian telinga memang ditakdirkan tak mau mendengar.”
.
Trotoar Sore dan Sebuah Pilihan
Langit Jayengpura seperti kaca asap yang tak selesai diseka. Gerimis mengirim bunyi-bunyi kecil di atas kanopi ruko dan dedaunan flamboyan yang luruh di trotoar. Lampu-lampu jalan menyalakan cahaya kuning yang memantul di genangan, menggandakan kota; satu di atas aspal, satu lagi di permukaan air.
Retno Mustikaningrum berjalan pelan, mantel tipisnya menampung titik-titik air. Seorang barista di kafe sudut jalan menutup tirai kaca, seorang satpam apartemen premium menyapa dengan senyum hafal—senyum yang dilatih di briefing pagi. Retno membalas seadanya. Wajahnya teduh, tapi dalam matanya ada riuh yang tak bisa disembunyikan: riuh luka yang rapi, seperti kain batik yang disimpan bertahun-tahun tanpa pernah dipamerkan.
Ia cucu dari Menak Jayengrana—bukan raja, melainkan nama yang diabadikan keluarganya sebagai penjaga martabat. Di kartu undangan, di papan nama yayasan, di headline festival kebudayaan, “Jayengrana” adalah tanda seru. Namun sore itu, Retno bukan pewaris apa pun. Ia hanya perempuan yang akhirnya paham: ada pertempuran yang tak perlu dimenangkan—cukuplah ditinggalkan.
“Kadang, yang kita sebut kuat hanyalah kemampuan bertahan di tempat yang salah terlalu lama.”
.
Di Antara Kata dan Luka
Ia bertemu Menak Sarada di sebuah forum diplomasi budaya—hotel bintang lima, dinding kaca, kopi single origin, jamuan yang memanggil kamera. Sarada berbicara seolah panggung ditakar panjang lidahnya. Cerdas, berwibawa, dengan keyakinan yang bisa membuat orang lupa bertanya: “Bagaimana kalau kamu salah?”
Di awal, Sarada bagai oasis. Retno, yang terbiasa menimbang kata, merasa menemukan kawan berpikir. Mereka menyusun rencana untuk kota: festival literasi di kampung padat, galeri mikro untuk perajin, inkubasi usaha kecil yang memberi ruang bagi para ibu yang ditinggal nafkah. Percakapan mereka seperti pijar—membentur malam, membelah gelap.
Namun lambat laun, pijar itu menyisakan gosong. Setiap pendapat Retno dianulir dengan “data” yang dipegang Sarada—data yang tak pernah dibuka. Setiap kegelisahannya dipotong dengan kalimat yang menertawakan perasaan.
“Kamu terlalu lembut,” kata Sarada, suatu malam, di teras apartemen yang menghadap jalan utama. “Dunia ini butuh strategi, bukan simpati.”
Retno diam. Ia bukan tak punya kata, tetapi beberapa cinta, seperti selimut, membuat kita betah dalam dingin yang tak perlu ditahan.
“Di tangan orang yang salah, nasihat bisa berubah jadi palu.”
.
Ketika Hati Menjadi Tembok
Malam itu mereka makan di restoran kolonial yang didandani terang: lantai ubin tua, kipas langit-langit, musik jazz yang tak pernah selesai. Retno bercerita tentang pemuda kampung batik di pinggiran kota—lahan yang hendak digusur, motif yang terancam punah, gengsi yang disisihkan oleh proyek-proyek besar.
Sarada mengangkat gelasnya, menatap jendela. “Kamu terlalu baper,” ucapnya, seakan empati adalah cacat lahir.
Retno menunduk. Di balik meja makan yang elegan, ia merasakan hatinya dipatahkan dengan cara paling rapi: bukan dihina, hanya disepelekan.
Sisa malam jadi museum sunyi. Pelayan datang dan pergi, membawa piring, menukar sendok, menambahkan air—ritual keanggunan yang terasa asing. Di trotoar setelahnya, Jayengpura kembali memantulkan cahaya. Retno melangkah sendirian.
“Tidak semua yang menyala adalah terang; sebagian hanya lampu sorot yang memaksa kita melihat ke arah yang sama.”
.
Nasihat Sang Punakawan
Retno pulang ke desa lereng Pandhalungan beberapa hari setelahnya. Jalan menanjak, kebun tebu, langit yang lebih jujur. Di joglo tua, Ki Semar Gendhong—pamannya, sesepuh yang di keluarganya dipanggil “Semar” bukan karena nama asli, melainkan kualitas sabar—sedang menjemur kain-kain batik yang menggendong motif Madura: pecutan, kembang menur, karapan kecil yang unik.
Ki Semar menyambut dengan teh panas dan tembang lirih. Mereka duduk di ambang pintu, membiarkan angin menyisir rambut.
“Ndok,” ucap Ki Semar, setelah mendengar cerita itu sampai habis, “jangan terus mengetuk pintu yang tak akan pernah dibuka. Pintu yang terkunci dari dalam, tak bisa dibuka dengan cinta, apalagi dengan air mata.”
“Pilihannya cuma dua: pergi dengan martabat, atau tinggal dalam sia-sia.”
Retno menatap ujung kebun, tempat senja mengembunkan warna terakhirnya. Kata-kata itu jatuh seperti hujan kecil—tak deras, tapi menyuburkan.
“Kita tidak lahir untuk jadi juru selamat bagi seseorang yang nyaman hidup sebagai korban.”
.
Malam Terakhir
Dalam kamar kayu, Retno menulis. Kertas-kertasnya penuh coretan: kalimat yang dihapus, diulang, disederhanakan. Tangannya gemetar, bukan karena ragu, tetapi karena setiap kata adalah perpisahan kecil.
“Kadang, yang harus diselamatkan lebih dulu bukan cinta, tapi harga diri,” tulisnya.
Ia menyalakan dupa cendana—wangi yang membawa ingatan pada ibunya. Doanya malam itu singkat: bukan agar Sarada pulang, melainkan agar hatinya paham bahwa pulang tak selalu berarti kembali ke seseorang; pulang seringkali berarti kembali ke diri sendiri.
.
Perjumpaan Terakhir
Mereka bertemu di taman belakang Museum Prawacana. Dulu, tempat itu adalah halaman tawa—piknik kecil, kopi dari termos, cita-cita yang digambar di udara. Kini, pepohonan tampak lebih tinggi, langkah-langkah lebih berat.
“Sarada,” kata Retno, suaranya tenang seperti permukaan danau, “aku mencintaimu. Tapi aku mencintai diriku lebih dari sekadar jadi bayanganmu. Aku ingin hidupku bermakna, bukan hanya sebagai pelengkap narasimu.”
Sarada tersenyum tipis. “Kamu selalu terlalu dalam.”
“Dan kamu selalu terlalu dangkal,” balas Retno tanpa marah.
Tak ada hujan tiba-tiba, tak ada penonton yang bertepuk tangan. Hanya angin yang lewat, membawa daun jatuh ke tanah. Retno berdiri. Tanpa drama, tanpa dendam. Ia melangkah pergi—sebuah gerakan kecil yang, pada akhirnya, menyelamatkan dunianya.
“Pergi bukan berarti menyerah; seringkali itu cara terwaras untuk tetap manusia.”
.
Menanam di Tanah yang Mau Menerima
Waktu beralih seperti kereta. Di Jayengpura, baliho-baliho berganti wajah, proyek-proyek melesat dengan jargon yang makin licin. Di lereng Pandhalungan, Retno membuka rumah belajar batik untuk anak-anak yatim dan para ibu tunggal. Ia menamai tempat itu Pawon Warna—dapur kecil tempat kain, malam, dan kesabaran diterjemahkan jadi motif: kenangan yang bisa dipakai.
Ia menulis buku kecil: Mengetuk Pintu yang Tak Akan Pernah Terbuka. Buku itu sederhana: esai pendek, catatan harian, gambar motif, cuplikan kisah perajin yang bertahan. Tapi ketika seseorang menulis dengan darah, pembaca merasakannya meski hanya menyentuh tinta. Buku itu berpindah tangan, membuat banyak perempuan merasa akhirnya disuarakan, dimanusiakan.
Suatu sore, Adaninggar—sahabat lamanya, jurnalis yang memilih jalan panjang ketimbang klik—datang membawa kamera dan mata yang selalu ingin tahu. “Aku ingin menulis tentang ini,” katanya. “Tentang cara luka bisa ditenun jadi penghidupan.”
Retno tertawa kecil. “Luka jangan ditenun; ia dibiarkan saja jadi tanah. Biar dari situ tumbuh yang baru.”
“Kita tak perlu melupakan luka; kita hanya perlu memberi luka pekerjaan yang lebih mulia.”
.
Kota yang Menguji Hati
Namun Jayengpura memanggil—kota yang menolak diabaikan. Undangan datang dari pemerintah kota untuk menuturkan kisah Pawon Warna di forum CSR—balai kota, lampu sorot, media. Retno kembali, mengenakan kebaya sederhana, rambut disanggul. Ia membawa kain-kain contoh dan satu kalimat yang disiapkan semalaman: “Kami tidak minta kasihan; kami minta kesempatan.”
Di gedung itu, ia melihat Sarada—kemeja putih, jas biru, lencana proyek baru yang ramai dibicarakan. Mereka saling menangkap pandang sekelebat lalu mengalihkan. Kehidupan kelas menengah ke atas punya tata krama khusus untuk menghindari canggung: sapa dari jauh, senyum yang tepat, lengan yang tak berusaha.
Presentasi Retno sederhana, tapi inti. Ia menunjukkan angka: berapa ibu yang kini punya tabungan, berapa anak yang kembali sekolah, berapa motif yang diselamatkan dari museum menjadi kehidupan. Ia tidak mengutip pujangga; ia menyebut nama-nama: Bu Karsih yang kini berani menawar harga, Ratri yang menunda pernikahan untuk kuliah, Wira yang bisa membeli sepeda.
Sarada bertepuk tangan. Usai acara, ia mendekat. “Kamu… berubah,” katanya, dengan nada yang tak jelas isinya: kagum, heran, atau keduanya.
“Aku kembali,” jawab Retno. “Bukan berubah.”
“Kalau… kita memulai lagi?” tanya Sarada, terlalu cepat, seperti orang yang terbiasa menang.
Retno tersenyum, menggeleng pelan. “Pintu itu sudah kututup dari dalam.”
Sarada hendak bicara lagi, tapi protokol memanggil, kamera menanti, mikrofon menyala. Retno pamit. Kadang pulang adalah kemampuan berjalan menjauhi keramaian tanpa merasa sendirian.
“Jangan menawar harga diri seperti menawar barang di pasar malam.”
.
Di Balik Jendela Kota
Malam Jayengpura memperlihatkan wajahnya yang lain: jembatan cahaya, deret apartemen yang memantulkan bintang. Di jendela kamar hotel yang disediakan panitia, Retno duduk sendirian. Ia memikirkan keluarganya yang dulu menitipkan harap pada “Jayengrana”—nama yang menuntut kita tak jatuh pada tawar-menawar murahan. Ia teringat ibu yang mengajarinya membatik: “Tarik garis tidak perlu tergesa. Malam itu setia pada yang sabar.”
Teleponnya bergetar. Pesan dari Ki Semar: “Kabar kota?”
Retno membalas: “Kota baik, Paman. Aku sudah pulang—bahkan ketika aku sedang pergi.”
Ia mematikan lampu. Kota di luar tetap menyala.
.
Tanya yang Menyentuh
Agenda tur kecil buku membuat Retno singgah dari satu komunitas ke komunitas lain: coworking space yang menjual aroma kopi dan mimpi, perpustakaan kampung yang meminjam karpet masjid untuk duduk, aula sekolah swasta yang rapi dengan air purifier di setiap sudut.
Di sebuah diskusi, seorang gadis remaja—seragam sekolahnya rapi, mata yang menahan sesuatu—mengangkat tangan.
“Gusti Retno,” katanya. Nama itu melekat bukan karena bangsawan, tetapi karena hormat. “Kapan kita tahu hubungan harus diakhiri?”
Ruangan hening seperti halaman sebelum azan.
“Ketika kamu merasa bicara pada dinding,” jawab Retno. “Ketika keberadaanmu dianggap gangguan, bukan anugerah. Ketika kamu kehilangan dirimu sendiri. Saat itu, pulanglah. Bahkan jika rumah yang kau tinggalkan sangat mewah, dan rumah yang kau datangi hanya sederhana—asal itu rumahmu.”
Gadis itu mengangguk. Di barisan belakang, Adaninggar menurunkan kameranya. Ki Semar yang duduk di sisi pintu—datang diam-diam—tersenyum lirih. Ia tahu, keponakannya sudah benar-benar pulang.
“Kadang kita perlu kehilangan seseorang untuk menemukan jalan pulang ke diri sendiri.”
.
Hari-Hari yang Pelan
Di Pawon Warna, hari-hari berjalan seperti pola yang tenang. Pagi diisi bel sekolah; siang, bunyi kompor kecil memanaskan malam batik; sore, anak-anak menghafal motif seperti menghafal huruf. Ketika dana dari pembeli menumpuk, Retno tak terburu-buru membesar. Ia memilih membangun pelan: kursi tambahan, lampu yang lebih terang, pelatihan akuntansi sederhana bagi para ibu. Ia tahu, kemiskinan bukan hanya soal kurang uang; ia juga soal kurang pilihan.
Suatu siang, kabar datang: proyek penggusuran yang dulu diceritakan Retno di restoran kolonial itu dihentikan sementara—bukan karena viral, tetapi karena orang-orang di kampung belajar bicara dengan data: luas tanah, sejarah penguasaan, hak penggunaan. Mereka tak lagi memohon; mereka mengajukan. Sarada, lewat sebuah penyataan publik, mengeklaim punya peran dalam “mediasi multipihak.” Retno tersenyum. Ia lelah menghitung siapa berbuat apa; hasil lebih penting.
“Perubahan paling kuat lahir ketika orang kecil berhenti merasa kecil.”
.
Surat yang Tak Dikirim
Di meja kayu, suatu malam, Retno menulis surat pada seseorang yang tak akan pernah menerima.
Sarada,
Terima kasih telah mengajariku bahasa yang tak ingin kupakai.
Terima kasih telah menepuk punggungku sampai aku sadar betapa rapuh punggungku bila kubiarkan orang lain memegangnya.
Tak semua yang kita sebut jodoh adalah pasangan; sebagian adalah pelajaran.
Aku tak ingin menang darimu, tak juga kalah. Aku ingin menang atas diriku sendiri.
Salam pada ambisi—semoga suatu hari ia berteman dengan empati.
Ia melipat kertas itu, memasukkannya ke laci. Ada surat-surat yang cukup dibaca penulisnya.
.
Melepas Luka
Di cermin kayu jati, Retno melihat seseorang yang dulu jarang disapanya. Mata itu masih mata yang sama, tapi kini ada garis halus yang tidak lagi dibenci. Usia tak meminta maaf karena menjadi waktu; kita yang sering-lalu meminta maaf karena tak sanggup menyambutnya.
“Kadang,” bisiknya pada pantulan, “keputusan paling bijak bukan bertahan, melainkan tahu kapan harus selesai. Hari ini, aku memilih waras. Bukan karena tak cinta, tetapi karena aku terlalu berharga untuk terus disakiti.”
Ia mematikan lampu, membiarkan malam berbicara. Di luar, suara jangkrik berbaur dengan deru jalan raya yang jauh—dua dunia saling sapa tanpa saling menelan.
“Kita tak wajib menjadi kisah yang orang lain inginkan; kita hanya wajib jujur pada kisah yang kita jalani.”
.
Tentang Pulang
Pulang, ternyata, bukan alamat. Ia keputusan. Bukan rute di peta, melainkan keberanian menandai titik “Anda di sini” dengan jujur. Dan luka—yang dulu disembunyikan Retno di balik senyum rapih kota—kini menjadi kompas. Bukan untuk kembali pada masa lalu, bukan pula untuk menolak masa depan, tetapi untuk bertahan menjadi manusia di tengah dunia yang sering tergoda menjadi mesin.
Di trotoar Jayengpura, suatu sore yang lain, gerimis masih sama. Lampu jalan kembali menyala. Retno melewati kafe, satpam apartemen melambaikan tangan, tukang parkir memberi ruang. Ia melangkah tanpa beban yang dulu menempel di mata. Di pinggir jalan, seorang bocah memegang kain dengan pola pertamanya; malamnya belum sempurna, garisnya belum lurus—tapi siapa peduli? Di situ ada tawa.
Dan di dalam tawa itu, ada rumah.
“Pergi bukan berarti menyerah. Kadang itu satu-satunya cara untuk tetap waras dan bermartabat.”
.
.
.
Jember, 14 Juli 2025
.
.
#CerpenIndonesia #KompasMingguStyle #UrbanFiction #KelasMenengahKeAtas #BatikPandhalungan #PemberdayaanPerempuan #HargaDiri #TentangPulang #LiterasiEmosi