Tawa di Balik Deadline
“Pergaulan sejati bukan tentang siapa yang paling sering bicara, melainkan siapa yang berani mendengarkan.”
“Tawa rekan kerja kadang lebih menyembuhkan daripada terapi yang mahal.”
“Kota bisa keras, tapi persahabatan kecil di ruang kantor bisa melunakkannya.”
.
Gedung Kaca di Jantung Kota
Gedung periklanan itu berdiri seperti menara kaca, menjulang di tengah jalan yang selalu macet. Setiap sore, deretan mobil berhenti seperti barisan pion catur yang tak sabar menunggu giliran. Lampu-lampu kantor menyala hingga larut malam, seolah menjadi bintang buatan bagi kota yang tak lagi punya langit.
Di lantai tujuh, Jayengrana duduk menatap layar komputernya. Mata yang merah akibat revisi tak henti, jari-jarinya mengetik cepat namun pikiran terasa lambat. Layar penuh tanda koreksi berwarna merah—komentar klien yang menuntut perbaikan dari konsep iklan kendaraan listrik.
Di seberang meja, Rengganis sibuk memoles presentasi PowerPoint. Rambutnya diikat seadanya, kacamata hampir merosot. Ia menahan kantuk dengan menyeruput kopi instan yang sudah dingin.
Di sisi lain, Umar Madi tampak santai dengan headset menempel di telinga. Ia mengetik cepat, entah pekerjaan atau sekadar bercanda di grup internal. Sesekali ia menyelipkan komentar kocak: meme receh, candaan soal gaji, atau foto kopi gratis di pantry yang sudah basi.
Suasana kantor itu riuh tapi dingin. Klik mouse, notifikasi rapat daring, bisik-bisik orang yang menyiapkan pitch—semuanya bercampur jadi satu. Namun, di balik semua hiruk-pikuk, ada tatapan singkat yang tak terucap. Jaya menoleh ke Rengganis, Rengganis melirik Umar Madi, Umar Madi melihat Jaya. Hanya sebentar, lalu buru-buru memalingkan wajah.
Bukan karena malu. Tapi karena mereka tahu: di balik wajah itu ada lelah yang sama.
“Kalau kamu lihat aku tiba-tiba bengong,” ujar Jaya, memecah keheningan, “tolong jangan langsung lapor ke HRD. Itu cuma tandanya aku sedang jatuh cinta pada jam tidur.”
Rengganis terkekeh. Umar Madi mengangkat alis, lalu menimpali, “Kalau aku bengong, biasanya sedang menghitung cara menyelamatkan saldo rekening dari cicilan motor.”
Tawa kecil meletup. Ringan, sederhana, tapi tulus. Di ruangan ber-AC yang dinginnya terlalu kaku, tawa itu seperti selimut tipis yang menutup tubuh kelelahan.
.
Tawa yang Membuka Kejujuran
Sore itu hujan deras. Air menetes deras di jendela, membentuk garis-garis tak beraturan. Listrik tiba-tiba padam, meninggalkan kantor hanya dengan lampu darurat yang redup. Sebagian karyawan memilih pulang lebih awal, tapi tiga orang itu masih bertahan di pantry: Jaya, Rengganis, dan Umar Madi.
“Aku suka suasana begini,” kata Rengganis sambil menatap jendela berembun. “Kantor mendadak jujur. Tidak ada cahaya lampu yang menutupi wajah lelah kita.”
“Kalau kantor ini jadi restoran,” canda Umar Madi, “aku pasti jadi satpam. Biar bisa tidur di kursi depan.”
Rengganis menimpali, “Aku kasir. Karena wajahku gampang dimarahi pelanggan.”
Jaya tertawa. “Aku jadi tukang promosi di jalan. Suaraku keras, tapi hatiku lembut.”
Tawa pecah. Bukan tawa sopan khas rapat kantor, melainkan tawa yang mengalir bebas, seolah mereka bertiga kembali jadi mahasiswa yang belum punya cicilan.
Di balik tawa itu, percakapan merayap ke wilayah yang jarang disentuh. Rengganis bercerita tentang ibunya yang sakit di Pamekasan, membuatnya sering merasa bersalah karena merantau. Umar Madi jujur tentang cicilan motor yang menyesakkan, yang membuatnya rela lembur demi tambahan uang transport. Jaya mengaku sering merasa pekerjaannya tak pernah selesai meski jam sudah lewat tengah malam.
Mereka tidak memberi solusi. Mereka hanya mendengar. Kadang menimpali dengan kalimat sederhana, kadang sekadar mengangguk.
“Tawa itu kunci,” gumam Jaya. “Begitu terbuka, kata-kata jujur berani keluar dari pintunya.”
.
Persetujuan yang Didapatkan
Keesokan paginya, suasana berubah. Mereka harus presentasi di depan Umar Maya, direktur kreatif yang terkenal keras. Ide kampanye kendaraan listrik dipertaruhkan.
“Kuncinya,” kata Jaya sebelum masuk ruang rapat, “bukan menjelaskan betapa hebatnya ide kita. Tapi ngomong apa yang penting buat dia.”
Presentasi dimulai. Rengganis tampil dengan slide penuh visual menarik. Umar Madi menambahkan data tren konsumen. Jaya menjadi penutup dengan narasi sederhana.
Umar Maya menyipitkan mata. “Kenapa orang harus peduli dengan kendaraan listrik, selain karena tren?”
Ruangan hening. Jantung semua orang berdegup.
Rengganis memberanikan diri. “Karena orang tidak membeli listrik, Pak. Mereka membeli alasan untuk pulang dengan tenang. Kendaraan listrik bukan sekadar alat, tapi janji untuk sampai ke rumah tanpa beban.”
Umar Maya terdiam. Matanya mengamati satu per satu wajah di depan. Lalu perlahan ia mengangguk. “Jalankan.”
Mereka keluar ruangan dengan langkah ringan. Saling menepuk bahu, saling melempar senyum lega. Persetujuan itu bukan hanya keberhasilan profesional, tapi kemenangan atas cara berpikir bersama.
.
Bicara dengan Diri Sendiri
Malamnya, Jaya berdiri di depan cermin kamar mandi. Wajahnya pucat, mata sembab. Ia menatap dirinya dan berkata lirih, “Jaya, besok kamu akan menghadapi revisi lagi. Jangan panik. Ingat, orang membeli alasan, bukan produk. Kamu masih bernapas. Itu cukup.”
Rengganis punya cara berbeda. Ia menulis catatan kecil di buku harian. Hari ini lelah. Tapi aku tahu, besok aku masih bisa tertawa.
Sementara Umar Madi merekam pesan suara untuk dirinya sendiri. Ia mendengarkan ulang sebelum tidur. Suaranya sendiri membuatnya geli, tapi juga mengingatkan bahwa ia masih punya semangat.
Mereka tahu: berbicara dengan diri sendiri bukan kegilaan. Itu terapi murah yang bisa mengurangi stres dan memunculkan ide baru.
.
Menguap Bersama
Suatu malam, mereka bertiga pulang bersama naik KRL. Gerbong penuh sesak, udara lembap, dan suara pedagang asongan menambah riuh.
Rengganis menguap panjang. Umar Madi refleks ikut menguap. Lalu Jaya pun tak tahan, ikut menguap. Mereka bertiga tertawa.
“Menguap itu tanda kita saling memperhatikan,” celetuk Umar Madi.
“Atau tanda kita semua butuh tidur panjang,” sahut Rengganis.
“Tapi setidaknya kita lelah bareng,” tambah Jaya.
Kereta terus berguncang. Di luar, lampu kota berlari mundur. Kebersamaan kecil itu membuat kota yang keras terasa lebih manusiawi.
.
Ujian Kota
Kebersamaan mereka diuji ketika Sahlan, rekan lama, pindah ke agensi baru. Ia merayu anggota tim untuk ikut, dengan tawaran gaji lebih besar dan fasilitas lebih nyaman.
Rengganis bimbang. Umar Madi tergoda. Jaya resah.
“Aku takut kita tercerai-berai,” kata Jaya di pantry.
Rengganis menatapnya. “Kebersamaan kita bukan ditentukan oleh gedung, tapi oleh cara kita saling mengingatkan. Kalau pun nanti berpisah kantor, kita tetap bisa tertawa di meja kopi yang sama.”
Kata-kata itu seperti jangkar. Mereka sadar: kota bisa memisahkan ruang, tapi tidak selalu bisa memutus pergaulan.
.
Malam di Rumah Sakit
Suatu malam, ibu Rengganis dilarikan ke rumah sakit. Rengganis panik. Tanpa diminta, Jaya dan Umar Madi datang. Mereka duduk di kursi plastik koridor, ditemani bau obat dan suara mesin monitor.
Umar Madi menyiapkan kopi sachet dari vending machine. Jaya meminjamkan jaketnya. Mereka tidak bicara banyak, hanya hadir.
“Aku harus kuat,” gumam Rengganis.
“Kamu boleh lemah sebentar,” jawab Jaya. “Kekuatan itu juga butuh istirahat.”
Air mata jatuh tanpa malu. Malam itu, kebersamaan bukan soal pekerjaan, tapi soal berdiri bersama ketika seseorang hampir roboh.
.
Mural Cermin
Beberapa bulan kemudian, tim mereka mendapat proyek revitalisasi ruang publik kota. Ide lahir dari obrolan panjang di pantry: mural dengan ratusan cermin kecil di dinding gudang tua dekat stasiun.
Ketika lampu-lampu dinyalakan, orang-orang yang lewat melihat bayangan diri mereka. Anak-anak tertawa, ibu-ibu merapikan kerudung, pekerja kantoran berhenti sebentar. Kota yang biasanya keras tiba-tiba memberi ruang untuk bercermin.
Malam itu, Jaya, Rengganis, dan Umar Madi berdiri bersama, memandang hasil kerja mereka. Tidak ada cinta romantis, hanya rasa bangga sebagai rekan kerja yang saling menopang.
“Kota bisa keras,” kata Umar Madi, “tapi persahabatan kecil bisa membuatnya berpendar.”
.
Epilog
Tahun berganti. Ada yang pindah kantor, ada yang tetap bertahan. Ada yang sibuk dengan keluarga, ada yang terus mengejar mimpi di dunia periklanan.
Namun mereka tetap berkawan. Kadang bertemu di kafe, kadang hanya bercanda di grup WhatsApp. Tawa mereka tetap sama, begitu juga obrolan jujur di sela lelah.
Dari kebersamaan itu mereka belajar:
-
Memalingkan wajah kadang bukan tanda cuek, tapi cara menyembunyikan lelah.
-
Tawa bisa membuka ruang kejujuran.
-
Mendengarkan apa yang penting bagi orang lain lebih berarti daripada mengunggulkan diri.
-
Bicara pada diri sendiri adalah terapi murah yang menyelamatkan.
-
Menguap bersama adalah tanda kita masih saling memperhatikan.
“Rekan kerja sejati adalah mereka yang hadir bukan hanya di rapat, tapi juga di ruang-ruang sunyi ketika kita hampir menyerah.”
.
.
.
Jember, 8 September 2025
.
.
#CerpenKota #CeritaKantor #KompasMingguStyle #SastraUrban #CerpenIndonesia #JeffreyWibisonoStyle