Tak Semua Kata Itu Tulus

“Tidak semua yang manis berniat menyembuhkan.
Di antara janji, ada jeda yang menyadarkan: memilih jarak adalah cara lain dari menjaga diri.”

.

Hujan selalu datang di jam pulang kantor, seperti sengaja memilih saat paling macet untuk menurunkan segala kemungkinan. Dari jendela KRL rute Bogor–Jakarta, Ambyah memandangi kaca yang dipenuhi bintik-bintik air. Kota ini, dengan atap seng berkarat dan neon reklame yang gagah tapi letih, memantulkan wajahnya yang baru saja memulai hidup dari halaman kosong.

Di ujung gerbong, seorang pedagang asongan menutup kantong plastik berisi kacang rebus. Seorang anak berseragam putih biru tertidur menyandarkan kepala pada pundak ibunya. Ambyah menggenggam ponsel yang bergetar oleh pesan yang tidak ia buka. Pesan itu dari Malyek.

Dulu, seorang rekan kerja menyebut Malyek “magnet proyek”. Caranya tertawa seperti iklan radio: penuh efek, penuh gema, membuat orang merasa dekat sekalipun baru berkenalan. Ambyah, anak baru di agensi komunikasi yang menulis siaran pers dan menjawab surel klien hotel, percaya semua orang pada dasarnya sama: ingin bekerja baik, ingin dihargai.

Malyek datang, mengetuk meja cubicle dengan ujung jemari yang selalu wangi pomade, lalu berkata, “Kau menulis seperti orang yang tahu rahasia kota. Sore nanti ikut aku ketemu klien, ya.”

Pertemuan pertama itu di sebuah kafe di Setiabudi yang dindingnya dipenuhi foto gedung-gedung tua. Menghadap mereka, Muninggar—manajer PR sebuah hotel—menyajikan daftar kebutuhan: peluncuran rooftop lounge, kolaborasi komunitas musik, kampanye media. Malyek memotong setiap kalimat dengan “bisa”, “beres”, “tinggal jalan”. Ketika Muninggar bertanya soal anggaran, ia menatap Ambyah dan berkata, “Anak ini yang akan mengatur.”

Ambyah tersenyum gugup, ingin menyanggupi apa pun agar seperti Malyek: gemerlap di mata orang.

Di kantor, Malyek menempelkan post-it kuning di layar Ambyah: “Kerjakan dulu konsep malam ini, jadwal press tour lusa, aku follow-up vendor.” Lalu ia hilang. Nomor teleponnya sulit dihubungi. Vendor yang disebut tak pernah mengirim penawaran. Ambyah menginap di kantor, menambal kebocoran rencana dengan tenaga yang ia pinjam dari besok. Jayengrana, desainer mereka yang sering bercanda pahit, menyerahkan rancangan poster sambil menggumam, “Magnet proyek, ya? Kayaknya magnet kulkas. Nempel, lalu jatuh, lalu hilang.”

Namun Ambyah percaya. Ia menahan kantuk seperti seorang penjaga jembatan menahan arus kendaraan, mengatur kata-kata agar tidak menabrak satu sama lain. Ketika hasil kerja mendapat pujian klien, Malyek menepuk punggung Ambyah di hadapan tim. “Begitulah kalau punya anak buah berkualitas.”

Ambyah tersenyum. Dipuji di hadapan manusia lain selalu terasa seperti hujan pertama setelah kemarau.

.

Beberapa bulan kemudian, mereka mendapat proyek lebih besar: “Festival Teras Kota”—agenda pemerintah berisi pameran UMKM, mural, dan bincang seputar kota hijau. Malyek mempresentasikan proposal dengan slide yang memantulkan kilau di kaca mata pejabat. Ada sketsa panggung, ada rencana live streaming, ada anggaran. Ia merangkul pundak Ambyah. “Belajar, Yah. Dunia ini milik orang berani.”

Ambyah belajar. Bukan pada teknik dan etika kerja, melainkan pada kamus lain: kuitansi yang didobel, vendor yang “teman sendiri”. Ketika Ambyah protes, Malyek tertawa. “Besok kau juga terbiasa. Kita bergerak dalam rawa; sepatu pasti kotor.”

Hari festival tiba. Jakarta membuka tangannya. Trotoar penuh anak-anak yang melukis kotak-kotak kriyik, ibu-ibu menata sambal kemasan dan kain ecoprint. Malyek berkeliling dengan kamera, menyapa pejabat, memanggil media.

Listrik panggung mendadak padam. Vendor sound tidak datang penuh. Anggaran sponsornya belum cair. Muninggar menatap Ambyah dengan wajah tegar. “Bisa diakali?”

Malyek entah di mana. Ambyah bersama Jayengrana dan panitia menggotong genset pinjaman, memindahkan program ke panggung kecil, memangkas jadwal. Festival berlangsung seadanya, tetapi berita di media lumayan baik karena mereka mengalihkan kamera ke sudut paling cantik.

Di akhir hari, Malyek muncul dan menepuk bahu Ambyah keras-keras. “Kau bisa diandalkan!”

Esoknya, rapat evaluasi meledak. Pihak sponsor memprotes. Vendor menagih dana yang tidak pernah mereka terima. Kantor mempertemukan tanda tangan, kuitansi, dan chat. Malyek menuduh, “Ia yang pegang operasional!”

Ruang rapat mendadak dingin. Jantung Ambyah berdetak seperti jam dinding yang baterainya hampir habis. Muninggar menghela napas. “Berkas waktu pengajuan vendor kamu simpan?” Ambyah menggeleng. “Semua aku serahkan ke Malyek,” jawabnya jujur.

Hasilnya: Ambyah dicutikan sementara.

.

Ia berjalan keluar kantor, memeluk ransel yang terasa berat. Di lift, petugas kebersihan menyapa, “Lho, kok siang-siang?” Ambyah tersenyum, “Hu…jan.” Padahal di luar matahari masih terik.

Di rumah petak Bojonggede, ia menerima sepi. Ibunya menelepon dari kampung, menceritakan harga beras naik. Ambyah hanya berkata, “Doakan aku, Bu.” Malam itu, Jayengrana datang membawa gitar butut. Mereka duduk di lantai, minum kopi sachet, mendengarkan hujan.

Jayengrana berkata, “Aku ikut memeriksa invoice. Beberapa tanda tangan dipalsukan. Kau mau menuntut?”

Ambyah diam. Di kepalanya terngiang pitutur bapak: ojo kesusu dadi hakim nalika durung ngerti sakabehe. Jangan buru-buru jadi hakim sebelum tahu semuanya.

Pagi-pagi, Ambyah kembali ke kantor mengambil barang. Muninggar menyusul. Mereka sarapan bubur ayam di kaki lima. Muninggar berkata pelan, “Aku tahu kau bukan penipu. Dunia kerja keras, tapi bukan berarti harus kejam.” Ia memberikan amplop berisi daftar kontak. “Mulailah dari tempat lain.”

Ambyah berterima kasih.

.

Sebulan menganggur, ia menulis catatan di buku saku: Orang baik bukan yang tak pernah salah. Orang baik adalah yang berani bertanggung jawab.

Pesan dari Muninggar datang: “Ada pekerjaan kecil, jujur. Mau?” Ia menerima. Bersama komunitas kecil, Ambyah membuka perpustakaan jalanan di Tanah Abang. Anak-anak berdatangan. Mereka menulis judul buku di papan tulis. Hidup terasa ditambal oleh makna baru.

Suatu sore, Malyek datang dengan jaket lusuh dan wajah muram. “Aku terdesak. Vendor menggugat. Aku… bantu aku.”

Ambyah menatapnya. Semua malam lembur, semua pesan tak terjawab, semua rapat yang menjeratnya kembali hadir. Ia berkata pelan, “Kebaikan tanpa pagar adalah kebun yang siap diinjak.”

Ambyah memberi sejumlah uang kecil. “Tanpa janji pengembalian. Dan soal jaringan—aku hanya bisa mengatakan yang benar. Kesalahanmu, bukan milik orang lain.”

Malyek menunduk, lalu pergi menyusuri gang. Bunyi sepatunya di aspal lebih jujur daripada kata.

.

Perpustakaan jalanan terus tumbuh. Muninggar kerap datang membawa majalah bekas. Dari dia pula Ambyah tahu: Malyek akhirnya diproses hukum. Ambyah mendengar seperti mendengar ramalan cuaca: perlu dicatat, tapi bukan pusat langit.

Di papan tulis, ia menulis:
“Memaafkan bukan berarti membiarkan. Memaafkan adalah memilih tidak hancur oleh yang tidak bisa kita ubah.”

Jakarta tetap Jakarta: banjir tiba-tiba, gedung baru naik seperti jamur, spanduk salah eja berkibar. Tapi Ambyah memandangnya berbeda. Kota bukan lagi arena mengejar kilap, melainkan ruang untuk menyapa dan memberi pagar pada kebun kecil bernama diri.

Suatu sore, di jembatan penyebrangan, Ambyah membuka pesan singkat dari Malyek: “Maaf.”
Ia membalas: “Semoga baik. Terima kasih, kamu sudah mengubah cara pandangku.”

.

.

.

Jember, 22 Agustus 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenKompasMinggu #KotaDanManusia #BelajarMenjagaJarak #SelfWorth #JakartaStories

Leave a Reply