Senyum yang Menyembelih
“Kepercayaan adalah daging paling mahal: sekali disayat, harganya tak pernah kembali utuh.”
.
Malam Kota
Malam menetes perlahan dari bibir langit Jakarta seperti kopi pekat yang lupa diaduk. Lampu-lampu gedung memantul di kaca-kaca kantor, membentuk rasi bintang palsu di tengah kota yang tak pernah rampung menakar ambisi. Dari jembatan penyeberangan yang memeluk tubuh Sudirman, arus kendaraan menyerupai ular logam yang tak lelah berganti kulit.
Di sinilah Azhar berjalan pelan, memeluk jaket tua, seperti seseorang yang baru saja kehilangan sesuatu yang tak terlihat tapi beratnya merubuhkan.
Azhar bukan orang Jakarta sejak lahir. Ia datang dari Sumenep, diantarkan kisah-kisah lisan yang disulam kakeknya: tentang Kadir yang jujur dan teguh, Basya yang cerdik sekaligus rapuh, Umar yang tegap tetapi terlalu mudah memaafkan. Nama-nama itu tumbuh di dalam Azhar seperti tiga suara yang berebut tongkat komando. Kota mengajari Azhar satu suara lagi: sunyi.
Sunyi itu mengintai di apartemen 24 meter persegi di Karet, di mana panci kecil, sepasang cangkir, dan foto berbingkai istrinya berdiri layu di atas rak kayu. Dini—nama yang kini tinggal pada selembar senyum di kaca—pergi tiga tahun lalu. Lila, anak semata wayang, bekerja di Surabaya. Sejak itu, Azhar belajar menghitung menit melalui notifikasi ponsel. Di balik layar kecil itu, ia berharap ada yang mengetuk: menanyakan kabar, bertanya sudah makan atau belum, atau sekadar mengirim emoji yang biji matanya berkilap seperti permata.
.
Pesan Pertama
Pada suatu malam, ponsel bergetar. Pesan dari nomor tak dikenal menyapa sopan, ditulis dengan bahasa Indonesia yang rapi namun menyisakan aroma aslinya yang tak seluruhnya lokal.
“Selamat malam, boleh kenalan? Saya Mei.”
Azhar menatap layar beberapa detik lebih lama dari biasanya. Ia ingin menghapus. Jari-jarinya justru mengetik, “Malam. Silakan.”
Percakapan mengalir ringan, seperti anak sungai yang mulai meraba batu-batu besar di hulunya. Mei bercerita tentang kesehariannya di Singapura: apartemen kecil dengan jendela yang menghadap ke laut, pekerjaan freelance yang membuatnya bebas, hobi masak sup jagung. Lalu topik berbelok, ke peluang. “Bapak pernah dengar token biru? Naiknya stabil,” tulisnya. “Saya bisa ajari sedikit-sedikit, asal Bapak sabar.”
Azhar tak pernah main kripto. Gaji logistiknya teratur, cukup untuk listrik, air, beras, cicilan kulkas, dan sedikit tabungan. Tetapi cara Mei bertanya, cara ia menyisipkan jeda, cara ia mengulum emoji—ada sesuatu di sana yang tidak sekadar menggoda. Ada sejenis perhatian yang manis seperti teh tubruk yang diracik tepat. Seperti ada seseorang duduk bersisian dengannya di bangku panjang, mendengar tanpa ingin mendahului.
.
Mimpi yang Dibisikkan
Malam berganti malam. Cerita berganti cerita. Foto sup jagung, foto pemandangan laut dari balik jendela, foto sepasang sepatu yang katanya baru dibeli dari hasil trading hari itu. “Saya ingin beli rumah di pinggiran kota yang tenang,” tulis Mei. “Bapak juga harus punya mimpi.”
Azhar menelan ludah. “Mimpiku sederhana. Aku ingin Lila kuliah lagi. Dan… ingin bisa tersenyum tanpa merasa seperti berbohong pada diri sendiri.”
“Akan sampai, Pak,” balas Mei. “Pelan. Kita mulai dari seratus ribu, ya?”
Seratus ribu. Azhar mencoba. Aplikasi yang diunduhnya memamerkan grafik-grafik hijau yang memanjat, angka-angka yang mengecil ketika ia membeli, membengkak ketika ia duduk diam. Dalam beberapa jam, seratus ribu menjadi seratus tiga puluh ribu. “Bapak pintar,” puji Mei. “Insting Bapak terasa halus. Kita tambah sedikit?”
Satu juta. Lima juta. Sepuluh. Ledakan kecil kebahagiaan mekar di dada Azhar setiap kali grafik merayap. Ia memfoto tangkapan layar, mengirim ke Mei. Di setiap gambar, Mei membalas dengan kalimat-kalimat yang rasanya seperti tangan mengusap rambut di puncak kepala. “Hebat,” “Konsisten,” “Aku bangga.”
.
Pisau yang Tersembunyi
Pada suatu pagi yang putus-putus oleh gerimis, Azhar mencoba menarik dana. Tampil peringatan. “Akun Bapak belum terverifikasi. Agar dana bisa cair, perlu deposit biaya admin sementara.” Mei, seolah kebetulan, mengirim pesan, “Ini hal kecil, sistemnya memang begitu. Saya bantu pantau.”
Hal kecil itu menelan dua puluh juta. Lalu ada lagi “pajak penarikan” yang katanya bisa dikembalikan setelah cair. Ada “biaya anti pencucian uang” untuk “sementara”. Ada “verifikasi wajah tingkat dua” yang butuh “jaminan saldo beku”. Azhar membayar. Tubuhnya terbiasa percaya. Kakinya terbiasa melangkah.
Suatu malam, di warung kopi dekat stasiun Sudirman yang selalu menaburkan serbuk cokelat berlebihan di atas cappuccino, Azhar bertemu Kamil. Teman lama itu menatap layar ponsel Azhar seperti dokter bedah menatap hasil rontgen.
“Zhar,” kata Kamil perlahan, “ini pig butchering.”
Azhar mengernyit. “Menyembelih babi?” Ia tertawa kecil, sejenak merasa kata-kata itu keterlaluan, seolah ada godaan untuk percaya bahwa hidup tidak sedang begitu jahat.
“Ya, begitu namanya. Sindikat. Mereka pelihara babi dulu—maaf istilahnya—dengan pakan perhatian, obrolan, keuntungan kecil-kecil. Saat gemuk, disembelih. Dagingnya dikelupas pelan-pelan dalam bentuk ‘biaya’ ini itu. Kamu memegang kepercayaanmu, mereka memegang pisaunya.”
Cangkir di tangan Azhar bergetar. Di luar, gerimis berhenti. Jalan basah memantulkan neon merah batu bata dari warung ramen di seberang.
“Mengapa rasanya seperti aku yang salah?” tanya Azhar, lirih.
“Jangan buru-buru menyebut dirimu bodoh; bisa jadi kamu hanya terlalu ingin dicintai.”
Malam itu, Azhar pulang dengan kepala berat. Di apartemen, ia menyalakan lampu kecil di samping foto Dini. Piawai air di matanya jatuh tanpa suara.
.
Jejak Menak Madura
Keesokan harinya, Azhar menulis pada Mei, “Aku ingin berhenti. Tarik semua saja.”
Balasan datang dengan cepat—terlalu cepat, seperti kalimat yang sudah dipersiapkan. “Bisa. Selesaikan biaya finalisasi dulu, Pak. Setelah itu cair.”
“Kenapa tidak dipotong dari saldo?”
“Sistem tidak memungkinkan. Ini aturan internasional. Saya juga pernah begitu kok.”
Azhar menatap kaca jendela yang memantulkan wajahnya sendiri. Lelaki paruh baya dengan garis lelah di bawah mata, yang mencoba berdiri tegak di kota yang gemar menggembungkan harap.
“Kota tidak kejam, yang kejam adalah tangan-tangan yang meminjam wajah kota.”
Ia menengok ke lemari, ke map plastik tempat dokumen tabungan Lila diselipkan. Tangannya ragu.
Pada titik itulah cerita Menak Madura bercericit di kepalanya, seperti burung-burung di pohon asam dekat rumah masa kecilnya. Kadir—yang jujur—menepuk bahunya: berhenti. Basya—yang cerdik—berbisik: putar balik, perangkap balik. Umar—yang lapang—mengingatkan: jangan benci, tapi jangan lengah.
.
Luka yang Menjadi Guru
Azhar memilih cerdik yang tenang. Ia mulai memotret semua percakapan, menelisik nama domain aplikasi, memperbesar logo kecil di pojok halaman, menyalin nomor-nomor rekening yang pernah disarankan sebagai “rekening escrow”. Ia menulis surat ke polisi siber, teratur, lengkap, tanpa mengasihani diri sendiri. Ia mengirim email ke bank, bertanya tentang transaksi yang mengalir ke rekening bernama orang yang tak ia kenal. Ia bahkan menulis ke OJK, meski tahu jawabannya akan administratif.
Malam-malam berikutnya, ia tak lagi menunggu pesan Mei dengan harap-harap manis. Ia menunggu tanda. Sebuah pola. Ia menjadi detektif sunyi di tengah kota yang begitu bising.
Di forum kecil literasi digital, Azhar membuat akun: “azhar_sum”. Ia bercerita, jujur, tanpa membungkus malu. “Aku pernah percaya pada seseorang yang tak pernah kukenal,” tulisnya. “Ia mengajariku satu hal: uang yang hilang bisa dicari, tapi waras yang hilang butuh dicari lebih dulu.”
Satu per satu, suara-suara lain bermunculan: Sari dari Depok, Reza dari Makassar, Widya dari Pontianak, bahkan seorang kurir dari Tegal yang menulis dengan ejaan terbata-bata namun lukanya sama merah. Mereka semua punya “Mei” masing-masing.
Suatu malam, ia membaca ulang pesan-pesan lama dari Mei: “Makan malam Bapak apa? Saya sup jagung.” Azhar menatap layar itu, lalu tersenyum pahit.
“Kebenaran tidak selalu manis, tapi manis yang palsu sering kali meminjam pakaian kebenaran.”
.
Senyum yang Mengasah
Hari-hari bergulir. Ketika Mei sadar ia mulai menjauh, nada pesannya berubah.
Ada ancaman halus: “Bapak main-main, ya? Hati-hati. Dana Bapak bisa hangus.” Ada merendahkan: “Bapak yang tak paham prosedur internasional, menyulitkan saya.” Ada memelas: “Kerja saya bisa kena tegur.”
Azhar membaca semuanya dengan napas panjang.
“Hati-hati pada senyum yang tidak lelah; bisa saja ia sedang mengasah.”
Balasannya singkat: “Namamu Mei? Atau bagian dari mesin yang memelihara daging kepercayaan sampai gemuk, lalu menyembelihnya?”
Akun itu sunyi.
.
Pulang ke Dirinya
Azhar tahu uangnya tak akan kembali. Tabungan 200 juta lenyap. Tapi ia mulai menemukan sesuatu yang lebih berharga: kendali. Ia merapikan rumah, menata ulang foto Dini, membersihkan lantai. Ia mulai menulis panjang di forum, bukan lagi sekadar korban, tapi juga peringatan.
“Kalau kamu sudah terlanjur masuk, jangan bina dendam. Bina fakta. Simpan semua bukti, hubungi pihak berwenang, ceritakan ke temanmu, jangan tambah uang sepeser pun. Dan, jangan bunuh dirimu dengan kata ‘bodoh’. Kita tidak bodoh; kita haus. Haus dilayani sebagai manusia. Mereka tahu itu.”
“Bila tak bisa mengembalikan uangmu hari ini, kembalikan dulu dirimu.”
Kata-kata itu ia sisipkan sebagai penutup. Ia tahu, ia sedang berbicara juga pada dirinya.
.
Epilog
Di sebuah seminar literasi digital di balai kota, Azhar duduk di depan puluhan wajah yang masih segar dan beberapa yang sudah dihiasi kerut kecewa. Ia bercerita tanpa gelar, hanya nama kecil. Ia menutup dengan kalimat warisan kakeknya:
“Jangan biarkan dirimu jadi hewan di rumah potong. Ingatlah, kamu datang dengan nama, pulanglah dengan nama yang sama.”
Di luar jendela, hujan turun lagi. Tapi kali ini, Azhar merasa tubuhnya teduh. Ia tahu, luka ini tidak sia-sia. Luka ini sudah berubah menjadi pagar, agar orang lain tak jatuh di lubang yang sama.
.
.
.
Jember, 10 September 2025
.
.
#CerpenIndonesia #SenyumYangMenyembelih #PigButchering #LiterasiDigital #DetektifSunyi #KotaJakarta #CerpenEmosional #KompasMingguStyle