Senyap yang Tak Pernah Mati

“Kita semua adalah pejalan. Di antara lelah dan suka, ada proses yang tak bisa dipercepat. Aku tak tahu bagaimana akhir kisahku nanti. Tapi dalam ikhlas, aku percaya: rencana-Nya selalu lebih luar biasa dari rencanaku sendiri.”

.

Hotel, Hashtag, dan Hampa

Namanya Naya Umarmaya. Di Instagram, ia tampil sebagai @mayanaya.id—sosok elegan dalam dunia konten hospitality. Di balik layar, followers-nya melebihi kapasitas ballroom hotel tempat ia dulu bekerja. Sarapan di ranjang, bathtub dengan kelopak bunga, minibar penuh camilan eksklusif—semua tampak indah dalam bingkai digital.

Namun siapa pun yang pernah merasakan sunyi dalam sorotan kamera tahu satu hal: kesempurnaan seringkali cuma editan. Di balik caption “#GratefulEveryday,” tak pernah ada cerita tentang tubuh lelah dan hati sepi yang tak kunjung reda.

“Kadang, kamar paling mahal tak mampu membeli kenangan. Tapi kamar paling sederhana bisa menumbuhkan cinta yang tidak tergantikan.”

Naya menulis itu tujuh tahun lalu dalam blog lamanya. Kini, ia tak yakin apakah dirinya masih percaya.

.

Adan dan Pertemuan Tanpa Filter

Ia mengenalnya di Yogyakarta. Nama pria itu Adan Menakjingga—General Manager di hotel smart-luxury yang baru buka. Keduanya bertemu saat acara soft opening, ketika Naya datang sebagai tamu influencer.

Berbeda dari GM hotel lain yang sibuk basa-basi dan berlomba memberi gift box, Adan hanya menyuguhkan teh dan bertanya:

“Kamu dulu menulis dengan hati. Sekarang, kamu menulis demi tayangan, ya?”

Naya terdiam. Pertanyaan itu menamparnya diam-diam. Ia tak menjawab, hanya tersenyum kecut, lalu duduk di balkon kamarnya malam itu. Lampu kota menyala seperti cahaya yang salah arah. Mungkin, batinnya mulai lelah berpura-pura.

.

AI Room dan Rasa yang Hilang

Hotel ini bukan hotel biasa. Di kamar, tamu cukup berkata “Nyala lampu hangat” dan ruangan menyesuaikan mood. Alarm suara, aroma therapy berdasarkan ekspresi wajah, bahkan menu sarapan bisa berubah berdasarkan analisa emosional dari nada bicara saat reservasi.

Tapi justru di sinilah, Naya merasa paling kosong.

“Apa jadinya jika keramahan hanya didelegasikan ke mesin?” tanya Naya pada Adan.

Adan tersenyum, lalu menjawab,

“Maka tamu hanya akan pulang dengan kenyamanan, bukan kenangan.”

Dan itu membekas. Lama.

.

Dihancurkan oleh Mesin yang Sama

Konten Naya tentang hotel Adan dijadwalkan tayang minggu depan. Namun secara misterius, video tersebut bocor dan viral. Tapi bukan versinya. Sebuah editan AI yang kejam menyebar lebih dulu: wajahnya dimanipulasi, suaranya direkayasa. Dalam video itu, Naya tampak menyebut staf hotel “lamban” dan menyinggung bahwa “robot lebih bisa kerja daripada manusia Indonesia.”

“Jika pelayanan hanya dijalankan oleh sistem, maka yang hilang bukan hanya senyum, tapi juga perasaan bahwa kita manusia.”

Ironis, karena justru kutipan itu dihapus dari video dan diganti narasi yang menghancurkan reputasinya.

Tagar #CancelMayaNaya membanjiri media sosial. Sponsor menarik kontrak. Agensi putus hubungan. Followers hilang ribuan. Tapi yang paling menyakitkan bukan itu—melainkan diamnya orang-orang yang dulu ia bantu naik.

Adan ingin membantu. Tapi Naya memilih mundur.

“Ini bukan sekadar krisis citra. Ini tentang harga diriku sebagai orang yang mencintai dunia hospitality dengan hati.”

.

Kembali ke Akar

Naya pulang ke Semarang. Ia membantu pamannya mengelola homestay kecil di Kota Lama. Kamar-kamarnya sederhana. Seprai batik, kipas angin, dan senyum tulus dari ibu-ibu dapur. Tidak ada AI. Tidak ada digital concierge.

Setiap malam, ia duduk di teras, menulis dengan pulpen dan buku catatan. Ia menulis tentang resepsionis yang tahu nama anak tamu tetap, tentang petugas keamanan yang menyapa tamu dengan panggilan “Mbak” meski orang itu menginap di kamar ekonomi.

“Tidak semua yang tidak viral itu tidak bermakna. Kadang justru di ruang sepi, kita mendengar suara hati kita sendiri.”

Kutipan itu kini menggantikan bio Instagram lamanya.

.

Undangan yang Mengubah Arah

Setelah enam bulan senyap, Naya menerima undangan dari Adan. Tapi kali ini bukan sebagai influencer. Ia diminta menjadi konsultan Human-Centered Hospitality untuk jaringan hotel tempat Adan bekerja. Bukan demi konten, tapi demi menyelamatkan makna keramahan yang mulai ditelan mesin.

“Kami sudah terlalu sibuk membuat kamar pintar. Sekarang kami butuh manusia yang bijak,” tulis Adan.

Dan Naya datang. Tanpa kamera. Tanpa ring light. Hanya dengan secangkir teh dan jurnal kecil.

Ia mengubah pelatihan resepsionis dari hafalan skrip menjadi sesi mendengarkan empati. Ia ajarkan staf untuk tak hanya menyapa, tapi benar-benar hadir.

.

Lorong yang Tidak Lagi Sepi

Naya kini tak menulis untuk viral. Ia menulis untuk mengenang. Untuk menyadarkan bahwa hospitality adalah seni merawat rasa, bukan sekadar membangun fasilitas.

Suatu malam, Adan bertanya,

“Masihkah kamu ingin kembali terkenal?”

Naya menggeleng,

“Aku ingin jadi berguna. Terkenal atau tidak, Tuhan tahu aku bekerja dengan hati.”

.

Senyap yang Tak Pernah Mati

Suatu sore, Naya membuka DM dari seorang staf hotel kecil di Wonosobo. Isinya:

“Mbak, saya ingat pelatihan dari Mbak. Hari ini, tamu kami menangis karena merasa sangat dihargai. Terima kasih telah mengajarkan saya cara melihat manusia.”

Naya menutup ponselnya. Ia tersenyum kecil. Air matanya jatuh—bukan karena sedih, tapi karena akhirnya, sunyi pun bisa bersuara.

Dan dalam diam itu, ia tahu:
bahwa ikhlas bukan akhir dari ambisi, tapi awal dari kebijaksanaan.

.

.

.

Jember, 29 Juli 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

#KotaLamaSemarang #CerpenIndonesia #CerpenVisual #CeritaNaya #HospitalityTanpaAI
#SepraiBatik #HomestayTradisional #CeritaPulang #HospitalityHati #CerpenEstetik

Leave a Reply