Senja di Lantai Tujuh
“Kadang yang kita kelola bukan sekadar bisnis, tapi jiwa yang terluka karena lupa bagaimana caranya beristirahat.”
.
“Yang mengejar angka akan lelah. Yang mengejar makna akan pulang.”
“Di industri layanan, mesin boleh memprediksi; manusia tetap yang memeluk.”
“Ambisi perlu rem, bukan untuk berhenti, tapi agar belokannya selamat.”
Langit Jakarta berlapis kaca, menyiarkan pantulan ambisi. Di lantai tujuh Hotel Adiprana, ruang rapat menyala bahkan ketika matahari malas turun. Dindingnya memantulkan hujan lampu, meja panjangnya menyisakan noda kopi yang lebih jujur daripada notulen, dan proyektor menembakkan angka-angka yang tak peka pada rasa manusia.
Raras duduk di pojok. Wajahnya tampak muda jika lampu difilter senja, tetapi garis di keningnya menyimpan peta badai. Tiga puluh delapan tahun—pernah menggulung handuk tamu, menyiapkan amenities, menahan sesak di lift service—kini ia Vice President of Operations untuk jaringan hotel yang merentang dari Kuta sampai Kertajaya. Tangan yang dulu mengangkat tempat sampah kecil sekarang mendorong strategi besar: otomasi check-in, integrasi CRM-AI, data lake yang berbisik tentang kebiasaan tamu.
Di sisi kanan, Arsa—direktur keuangan yang bicaranya seperti laporan—menayangkan grafik menurun, F&B minus enam persen. “Kalau service model tidak berubah, kita tertinggal,” katanya. Ada sesuatu pada caranya menyebut ‘kita’—bukan kebersamaan, melainkan kewajiban. Di seberang, Kinasih, kepala PR yang senyumnya tahan banting, menimpali, “Kita pulangkan lagi cerita ke manusia. Bukan sekadar menu, tapi pengalaman yang bisa dituturkan.”
Kata ‘pengalaman’ menggetarkan sesuatu yang lama tenggelam di dada Raras. Ia teringat mentor lawas di Bali, Ganda—lelaki yang mengajarinya membentangkan taplak tanpa suara. “Teknologi menyalakan lampu,” kata Ganda dulu, “tapi cahaya sejati hanya lahir dari hati manusia yang ingin melayani.”
Di layar laptopnya, presentasi “AI Integration Plan 2026” berkedip. Kata-kata itu terasa dingin seperti lantai marmer di lobi hotel setelah hujan. Raras mengangguk, menutup rapat, menunda keputusan. Ia tahu, keputusan yang benar membutuhkan bukan hanya akal, melainkan keberanian untuk kehilangan tempo.
.
Kota yang Membesarkan tapi Tak Memeluk
Raras datang ke Jakarta dari Malang, menumpang bus malam yang bau solar dan harap. Ibunya menitipkan doa selembar: “Bekerjalah dengan benar, pulanglah dengan nama baik.” Bertahun kemudian, doa itu berubah menjadi shift malam, jari kapalan, dan catatan kecil tentang permintaan tamu yang tak sempat dipenuhi.
Jakarta memberinya kesempatan dan kesepian dalam paket yang sama. Di Adiprana, sistem AI menganalisis kebiasaan tamu: suhu kamar, bantal favorit, lagu saat mandi. Angka-angka itu memudahkan, tapi diam-diam menipiskan ruang kejutan. “Semakin pintar sistem,” batin Raras, “semakin besar godaan untuk lupa bertanya, ‘Apa kabarmu hari ini?’”
Sore itu selesai rapat, ia naik ke rooftop. Angin selatan membawa kabar dapur: tumisan bawang, wajan panas, tawa singkat steward yang tak tercatat KPI. Kinasih datang membawa dua cangkir kopi hitam. “Kadang aku iri ke tamu,” ucapnya. “Mereka menikmati pemandangan tanpa beban target.”
Raras menatap jalan raya berkilau. “Mereka juga tak tahu pemandangan ini dibangun dari ribuan malam lembur.”
“Dan dari ribuan hati yang menunda pulang,” tambah Kinasih, pelan.
Di bawah sana, Jakarta mendesis seperti panci hotel kitchen yang selalu penuh. Lampu-lampunya berkedip, menawar rasa ragu. Raras memikirkan masa lalu: kamar yang ia pel, seprai yang ia rapikan dengan ujung-ujung jemari, dan tamu yang membahagiakan hanya dengan ucapan terima kasih yang wajar. “Mengapa sekarang rasa ‘cukup’ rasanya mahal?” tanya Raras pada dirinya.
.
Menak Modern: Antara Ambisi dan Nurani
Arsa menyimpan riwayat yang jarang ia ceritakan. Ia cucu pemilik pabrik teh di pinggir Surabaya, keluarga Menak modern yang memuliakan angka. Kakeknya bercerita tentang Wiraraja dan Jayengrana—tokoh-tokoh tua dari kisah Menak yang dibahasakan ulang dalam rapat keluarga: kehormatan, strategi, siasat. Ayah Arsa bangkrut ketika ia kuliah karena rekan bisnis yang culas. Sejak itu Arsa percaya kelembutan adalah peluang untuk dilukai.
Ia memandang hospitality sebagai kalkulasi. Tarif kamar, yield, RevPAR. Semua bisa diseimbangkan selama emosi diabaikan. Tetapi malam ketika server Adiprana diretas, histeria memukul dinding data center. Login macet, PMS membeku, telepon resepsionis berdering menjerit. Raras berjalan ke ruang IT dengan rambut berantakan, mata hitam diserang kurang tidur. Arsa datang membawa teh panas—perbuatan yang lebih jujur daripada semua flash report yang pernah ia kirim.
“Kamu masih percaya semua bisa diatur dengan hati?” Arsa bertanya, tidak mengejek—lebih seperti mengetuk pintu.
“Aku percaya bahkan mesin pun bisa belajar etika kalau manusianya memberi contoh,” jawab Raras. Ia menepuk bahu staf IT yang gemetar, menyuruh FO menulis manual folio seperti zaman sebelum cloud, meminjamkan ponsel pribadinya untuk menenangkan tamu VIP yang tidak bisa akses aplikasi kunci kamar.
Alarm server seperti sirene. Di sela bunyi itu, Arsa melihat sesuatu: ketika Raras memberi instruksi, orang-orang menatapnya bukan karena takut, melainkan karena percaya. “Kepemimpinan bukan sekeras apa kamu menekan,” Raras berkata pelan saat istirahat, “tapi setenang apa kamu di pusat badai.”
Arsa tidak membalas. Tapi ia duduk di sebelah Raras lebih lama daripada biasanya, menandatangani kompensasi tamu tanpa berdebat tentang margin. Malam itu mereka kalah di angka, tapi menang di retensi relasi. Pagi berikutnya, review tamu: “Masalah terjadi, tetapi ditangani dengan manusiawi.” Kata ‘manusiawi’ menempel lama di dinding ruang rapat.
.
Kota, Karier, dan Kesepian
Adiprana merambah Bangkok, Ho Chi Minh, hingga Dubai. Brand guideline diperluas, nada suara distandarkan, palet warna disakralkan. Keberhasilan menuntut homogenitas; manusia meminta ruang untuk berbeda. Kinasih resign lebih dulu. “Aku tidak ingin hidup dari cerita yang tidak sempat kualami,” katanya, tersenyum sendu. Ia pindah ke Bali, membuka studio kecil: mengajar menulis untuk frontliner, mengajari FO merangkai kalimat tulus.
Arsa ditarik ke Singapura. Jabatan barunya panjang dan licin: Chief Financial Strategist, Asia Pacific. Ia pergi dengan koper putih dan tatapan yang tetap menyukai garis lurus. Sementara Raras tinggal di Jakarta: mengawasi, menata ulang, mengajar di universitas pariwisata saban Jumat. Di kelas, ia bercerita tentang housekeeping—bagaimana menyapu tidak sekadar membersihkan, melainkan menghormati ruang tamu dengan cara yang tak terlihat. Mahasiswa menatapnya seperti menatap buku harian nenek yang lapuk tapi hangat.
“Hotel itu seperti manusia,” kata Raras kepada kelas. “Ia hidup dari empati. Jika kamu hanya menjual kamar, kamu pedagang bangunan.”
Seketika kelas hening, seperti lobby menjelang check-out massal. Seorang mahasiswa bernama Anggraeni—yang di rumah membantu ibunya menjual lotek—angkat tangan. “Bu, kalau empati sering bikin kita capek, bagaimana menyeimbangkannya?” Raras tersenyum. “Empati tanpa batas jadi pelarut diri. Pasang batas bukan berarti tidak peduli. Itu cara agar pedulimu panjang usia.”
Malam-malamnya Raras tak selalu pulang. Kadang ia tidur di kamar training, lampu dimatikan setengah. Ia mendengarkan AC bergumam, lift berdenyut, dan langkah security di lorong. Jakarta menguji daya tahannya. Di jendela, lampu-lampu seperti bintang yang lupa cara padam.
.
Luka yang Belajar Menyebut Nama
Pada suatu audit internal, tim HR menemukan pola yang tak kelihatan di dashboard kinerja: skema insentif mendorong jam kerja lebih panjang, menghasilkan burnout senyap. Ada barista yang tersenyum saat menuang latte, tapi menulis status gelap di akun kecil yang tak diikuti siapa-siapa. Ada room attendant yang selalu tepat waktu, tapi punggungnya menyimpan kebisuan nyeri yang tak terukur.
Raras meminta data dianonimkan, lalu mendengarkan satu demi satu rekaman sesi konseling. Kata-kata itu ringkas: “capek”, “takut salah”, “takut dimarahi tamu”, “takut dianggap tak berguna”. Di sela itu ada juga “bangga”—bangga ketika tamu menyapa nama, bangga ketika FO bisa menangani check-in keluarga besar dengan sabar.
Ia memohon agar AI yang direncanakan tak hanya memprediksi upsell, tapi turut menjadi radar kesejahteraan: mendeteksi jam kerja berlebih, memberi sinyal ketika pola interaksi pelanggan meningkat tajam, merekomendasikan jeda. “AI yang beradab,” katanya dalam rapat. Sebagian tertawa kecil—seolah adab bukan ranah software. Arsa mengirim pesan dari Singapura: “Metrik yang manusiawi bisa jadi keunggulan. Kita coba.”
Maka lahirlah modul kecil: SukmaCare. Sistem ini tidak menilai pekerja sebagai variabel biaya, melainkan sebagai manusia dengan napas. Ia mengingatkan manager agar memberi jeda setelah tiga komplain beruntun; ia mengatur rotasi agar steward tak selalu menerima shift terberat; ia menandai FO yang jarang mengambil cuti; ia memunculkan pesan sederhana di ponsel staf: “Hari ini sudah jauh. Terima kasih. Silakan minum air.”
Kedengarannya remeh. Tapi statistik tiga bulan menunjukkan sesuatu yang jarang: turn-over turun, senyum tidak dibuat-buat di depan kamera CCTV, review tamu menyebut “hangat” lebih sering daripada “cepat”.
“Ketika sistem belajar menyebut namamu,” tulis Raras di notulen, “kau akan berhenti merasa sebagai angka.”
“Bekerja tak harus mengorbankan jiwa,” tambahnya di bawah, “tetapi jiwa yang terjaga akan membuat pekerjaan lebih mulia.”
.
Menak di Dalam Diri
Pada sebuah konferensi nasional, Raras diminta berbagi panggung dengan pembicara yang menyebut diri konsultan transformasi—kata-katanya penuh meteor kata kunci. Ia memulai dengan cerita lain: Panji Jayengrana yang tersesat karena menyamar terlalu lama menjadi orang lain, hampir lupa namanya sendiri. “Kita semua Panji,” katanya, “menyamar jadi role yang diminta KPI, mengejar kemenangan yang membuat lupa pulang.”
Ruang ballroom hening. Para hotelier senior menatap, beberapa mengangguk. “Transformasi bukan soal kecepatan adopsi,” Raras menutup, “tetapi keberanian membatasi agar yang manusiawi tak ikut dipangkas.”
Di depan lift, seseorang menghampiri: lelaki paruh baya dengan seragam abu-abu berpeniti nama Pamukan—nama yang mengingatkan Raras pada kisah-kisah Menak. “Bu,” katanya pelan, “saya steward. Terima kasih, Bu. Sistem pengingat minum itu sepele, tapi saya jadi merasa diperhatikan.” Tangan Pamukan penuh bekas deterjen, matanya jernih. Raras menunduk—penghormatan yang jarang ia lakukan untuk panggung sebesar apa pun.
Malamnya ia menulis catatan kepada tim: “Selama kita masih tahu menunduk kepada yang jarang terlihat, kita baik-baik saja.”
.
Senja yang Mengantar Pulang
Tiga tahun berlalu. Adiprana menerima penghargaan Asia’s Most Ethical Hospitality Company. Bukan karena lobby paling instagramable, bukan karena robot room service yang lucu. Juri menyebut: “Kebijakan kesejahteraan yang menggabungkan data dan empati.” Di dashboard, angka yang selama ini menegangkan berbalik jadi menenangkan: tingkat depresi staf turun dua puluh persen, cuti tanpa rencana berkurang, retensi meningkat.
Raras membaca laporan dan—aneh untuk ukuran eksekutif—menangis sendirian di depan layar. Bukan tangis bangga, melainkan rasa lega yang menetes seperti teh panas yang akhirnya tak lagi terlalu panas untuk diminum.
Ia mengirim pesan ke Arsa: “AI kita akhirnya belajar jadi manusia.”
Balasan Arsa singkat, seperti biasa: “Karena manusianya tidak berhenti belajar jadi manusia.”
Lalu menyusul satu pesan lain, lebih jarang: “Terima kasih, Ras.”
Kinasih mengirim voice note dari Bali, suara ombak menyela: “Cerita yang kita rawat ternyata pulang ke kita, ya?”
Raras memutar voice note itu dua kali, menandai bintang, mengarsipkan seperti menyimpan aroma handuk hotel yang baru dijemur matahari.
.
Pensiun Dini dan Rumah yang Bernapas
Kabar baik tak selalu berarti tinggal. Ketika puncak tercapai, Raras memilih turun. Ia mengajukan pensiun dini. Banyak yang protes; lebih banyak yang tak mengerti. “Aku ingin melihat senja tanpa presentasi setelahnya,” jawabnya. Ia kembali ke Malang, menyewa rumah tua di lereng Batu, menyulapnya menjadi homestay kecil bernama Ndalem Sukma.
Konsepnya sederhana dan radikal: check-in lambat, check-out manusiawi, tidak menerima rombongan besar yang mengalahkan ketenangan. Di ruang tamu, ia menempelkan tiga kalimat:
“Melayani bukan pekerjaan; ia jalan pulang ke kemanusiaan.”
“Istirahat adalah bagian dari tanggung jawab, bukan kemewahan.”
“Keramahan dimulai dari cara kita berbicara pada diri sendiri.”
Ia mengundang bekas rekan kerja bergiliran ke Batu—FO yang jarang libur, barista yang terbakar target, supervisor yang kelelahan menggambar jadwal. Mereka bukan tamu; mereka pulang. Di kebun kecil, Raras menanam rosemary dan mint, menamai tiap bedeng sesuai kisah Menak yang ia suka: Anggraeni, Sekartaji, Candra Kirana—nama-nama yang selalu mengingatkannya pada perempuan yang setia pada suara batinnya sendiri.
Tiap sore, Raras mengadakan kelas senja: sesi setengah jam di teras, menulis perasaan di kartu kecil, meneguk teh hangat, membiarkan matahari menuruni pundak Panderman. “Tulis yang jujur,” katanya. “Bukan yang ingin didengar atasan, bukan yang pantas diunggah.”
Pada kelas pertama, seorang mantan steward bernama Pamukan menulis: “Saya kangen diri saya yang dulu suka menyanyi di dapur. Entah kenapa, suara saya hilang.” Raras memintanya menyanyi pelan. Suara itu pecah-pecah, tetapi jujur. Mereka menangis bersama—tangis yang membersihkan, bukan mengasihani.
.
Tamu Spesial dari Kota Kaca
Kinasih datang pertama, membawa pie susu dan tawa yang dewasa. “Aku akhirnya bisa menangis tanpa takut maskara luntur di depan kamera,” katanya sambil memeluk Raras. Beberapa minggu berikutnya, Arsa datang dari Singapura, bersama bocah dua tahun bernama Panji—anak saudara sepupunya yang sementara ia asuh. Panji menyapa semua hal baru dengan satu kata: “Hai!”—dan yang disapa merasa diakui hidupnya.
Mereka duduk di teras, menatap senja berkabut, memandangi Gunung Panderman bergeser warna. Tidak ada presentasi, tidak ada market share, tidak ada wacana pivot.
“Ras,” kata Arsa, “kau tahu? Angka-angka di kantor pusat itu akhirnya punya kursi kosong untuk sesuatu yang tidak bisa dihitung.”
“Apa itu?” tanya Raras.
“Rasa cukup,” jawab Arsa. “Dan kenyang. Kenyang yang benar.”
Kinasih menambahkan: “Aku belajar bahwa storytelling terbaik adalah yang kita jalani sendiri. Tidak perlu tagline baru jika hidupnya sudah bercerita.”
Panji memungut daun jatuh, menunjukkannya ke Raras. “Bunga?” tanyanya.
“Bukan,” jawab Raras, “ini carik senja.” Mereka tertawa. Arsa—yang jarang tertawa tanpa rencana—ikut tertawa. Suara tawa itu seperti pintu yang akhirnya tak dikunci.
Raras menatap senja yang dulu ia lihat dari lantai tujuh—kini tanpa kaca, tanpa rapat, tanpa sorot proyektor. Senja itu mengisi rongga dada yang lama ia kira kosong. Ia mengerti, yang selama ini ia kejar ternyata bukan puncak, melainkan pulang.
.
Surat untuk Mereka yang Masih Bertugas
Malam itu, selepas semua tidur, Raras menulis surat terbuka untuk mereka yang masih berjaga di kota kaca:
“Kawan-kawan hotelier,
Kita bekerja di industri yang menjual istirahat, tetapi sering lupa beristirahat. Kita menjahit kenyamanan orang lain dari sisa waktu kita yang robek-robek.
Tolong, jangan bangga pada biru lebam di bawah mata. Jangan menyebut kelelahan sebagai panggilan. Panggilan sejati membuatmu semakin manusia, bukan semakin habis.
Gunakan teknologi, tetapi jangan memuja. Pakailah angka, tetapi jangan diperbudak. Jadwalkan rapat, tetapi jadwalkan pula memeluk orang-orang yang menunggumu pulang.
Dan jika suatu hari kamu merasa muak, itu bukan tanda kamu lemah. Itu alarm dari jiwa: ‘Ayo, istirahat. Ayo, kembali jadi manusia.’”
Ia menutup laptop, mematikan lampu, membiarkan malam membungkus rumah seperti sprei baru. Dari jendela, ia dapat melihat bayang-bayang Panderman seperti punggung raksasa yang tenang. Di dapur, ketel pelan-pelan mendingin—suara kecil yang mengatakan: semuanya baik.
.
Nama yang Kembali Diucapkan
Esok paginya, beberapa mantan rekan berdatangan. Ada Sekar dari Housekeeping, Jumeneng dari Engineering, Kertala dari Security—nama-nama yang terdengar seperti keluar dari wayang, tetapi keringatnya nyata. Mereka sarapan di teras: singkong rebus, telur orak-arik, sambal tomat yang jujur. Mereka bercerita: tentang tamu yang minta bantal tujuh, tentang VIP yang marah karena view awan tidak bisa dijadwalkan, tentang manager yang akhirnya belajar meminta maaf.
“Bu,” kata Sekar, “saya sering merasa tidak ada yang melihat saya.”
“Sekarang?” tanya Raras.
“Sekarang, ada saya yang melihat saya,” kata Sekar, memegang dadanya sendiri.
Raras mengangguk. Ia menatap Arsa yang mengajari Panji menyusun batu kecil menjadi menara yang tidak terlalu tinggi. “Tinggi tidak selalu lebih baik,” kata Arsa pada Panji. “Yang penting berdiri.” Kata-kata itu memantul ke hati Raras, seperti sinar pertama yang menembus kaca kamar.
Kinasih memotret senja—kali ini untuk dirinya sendiri, bukan untuk kampanye. Di caption pribadinya ia menulis: “Ketika kita berhenti mengejar tepuk tangan, barulah kita benar-benar mendengar detak jantung sendiri.”
Senja turun, kali ini tanpa rapat menyusul. Raras menyadari: yang dulu ia cari di lantai tujuh bukanlah promosi atau validasi, melainkan ruang untuk memanggil kembali namanya sendiri. Di Ndalem Sukma, ia memanggil: Raras. Suara itu menggema pelan, lalu menyatu dengan suara jangkrik, desau daun, dan napas orang-orang yang dicintainya.
Ia tersenyum. Senja yang dulu di atas gedung, kini menetap di dalam dirinya.
.
.
.
Malang, 14 Oktober 2025
.
.
#Hospitality #Perhotelan #Leadership #Empati #BurnoutRecovery #AIForGood #Storytelling #Jakarta #Malang #Batu #WorkLifeBalance
.
Kutipan-kutipan Kunci
-
“Ambisi perlu rem, bukan untuk berhenti, tapi agar belokannya selamat.”
-
“Di industri layanan, mesin boleh memprediksi; manusia tetap yang memeluk.”
-
“Istirahat adalah bagian dari tanggung jawab, bukan kemewahan.”
-
“Ketika sistem belajar menyebut namamu, kau berhenti merasa sebagai angka.”
-
“Yang mengejar angka akan lelah. Yang mengejar makna akan pulang.”
.
Pesan Moral dan Refleksi
Cerita ini adalah metafora tentang industri perhotelan dan pariwisata yang bergerak dari service economy menuju soul economy — dari efisiensi menuju empati.
Bahwa teknologi dan AI hanyalah alat; yang menentukan arah tetaplah rasa kemanusiaan.
Bahwa “perubahan besar” bukan tentang digitalisasi, tapi tentang keberanian untuk tetap beradab di tengah percepatan dunia.