Sebuah Perjalanan Kota

“Kadang-kadang yang kau perjuangkan sepenuh hati justru mengajarkanmu arti melepaskan dengan sepenuh ikhlas.”

.

Langit kota hari itu tak begitu cerah. Mendung menggantung, seolah meniru beban di dada Rengganis yang semakin berat. Ia berdiri di pinggir halte dekat Stasiun Sudirman, memeluk map lusuh berisi sepuluh lembar CV yang sudah bertanda lipatan dan titik-titik hujan. Matanya tak lepas dari lalu-lalang kendaraan, tetapi pikirannya jauh mengembara ke hal-hal yang belum pernah terjadi—atau barangkali tak akan pernah terjadi.

Sudah tiga bulan sejak Rengganis berhenti dari pekerjaannya di sebuah hotel butik di bilangan Kemang. Bukan karena tak kompeten, melainkan karena idealisme yang membuatnya memilih pergi. Ia menolak kompromi ketika atasannya meminta “mengakali” review tamu demi kepentingan investor. Ia percaya, kerja di dunia hospitality adalah kejujuran pelayanan, bukan sekadar laporan manis. Tapi siapa peduli? Kini ia pengangguran, sedangkan tagihan listrik dan sewa kamar kos tetap menuntut tanggal jatuh tempo.

Ia menatap gedung-gedung kaca. Permukaan dindingnya memantulkan awan yang tampak seperti kain abu-abu diangkat angin. Dari spiker halte, terdengar pengumuman kereta bandara yang sebentar lagi lewat. Orang-orang bergerak, sebagian mengecek jam tangan; sebagian lain menggulung lengan kemeja. Di ponsel Rengganis, notifikasi grup keluarga muncul: foto keponakan yang baru bisa menyebut namanya: “Nis!” Di bawahnya, pesan ibunya dari Pamekasan: “Nak, jer basuki mawa béya. Sukses itu kudu mbayar. Mbok ya dibayar keringat, tangis, kadang ati sing kroso kesel.”

Ia menarik napas panjang. Aku membayar. Aku membayar, Bu, batinnya.

.

Kota yang Menegangkan, Tapi Menyimpan Harapan

Jakarta sering membuka pintu dengan satu tangan dan menutupnya dengan tangan lain. Di satu sudut ada toko kue artisan berbaris seperti galeri, di sudut lain pedagang asongan mengejar lampu merah; di atas ada rooftop lounge tempat segelas koktail dihargai setara sepekan belanja bahan pokok, di bawah ada lorong basah tempat sepatu menghindari genangan oli. Semua bergerak dengan kadarnya masing-masing, setia pada ritme yang tak pernah menunggu.

Hari itu, Rengganis melamar ke hotel bintang empat yang baru buka di Kuningan. Lobby-nya harum, lantai marmernya mengilap bak es tipis. Ia tahu persaingan tak main-main: lulusan manajemen perhotelan, orang-orang dengan jam terbang event internasional, mereka yang jago presentasi, piawai bercerita. Ia menaruh amplop lamaran di meja resepsionis—sekeping doa yang tak terdengar siapa-siapa kecuali langit. Seperti biasa, sebelum melangkah pergi, ia menunduk sejenak dan berbisik di hati: “Tuhan, aku titip niat baikku. Kalau bukan di sini, tunjukkan di mana.”

Keluar dari gedung, hujan rintik beralih menjadi gerimis. Ia berjalan melewati deretan food truck yang baru merapikan tenda. Lampu-lampu kuning kecil menyala seperti kunang-kunang kota. Di sebuah tikungan, seorang bapak penjual sate Madura menata arang. Asapnya memeluk basah udara, menyeret pulang ingatan akan masa kecil: ayahnya di malam Jumat Legi selalu membeli dua puluh tujuh tusuk sate, angka yang kata ibunya “ben dongo panjeng, ben rezekiné nyambung”—agar doa panjang, rezeki bersambung.

“Mbakyu, berhenti sebentar?” sapa si bapak, suaranya parau. “Panas, ya, hujan-hujan. Cobain satu dua tusuk dulu. Gratis.”

Rengganis tersenyum dan mengangguk. Ia tidak tahu apakah pria itu sedang berpromosi atau bersedekah. Yang ia tahu: rasa hangat di lidah bisa menunda rasa dingin di hati. “Matur nuwun, Pak,” ujarnya perlahan. Si bapak mengangguk, tangannya cekatan membolak-balik sate, suaranya bersiul kecil mengimbangi gemericik hujan.

.

Pertemuan yang Tak Disengaja, Tapi Penuh Arti

Sore itu, setelah gagal wawancara keempat kalinya dalam seminggu, Rengganis singgah ke sebuah warung kopi kecil dekat Blok M. Bukan untuk nongkrong, melainkan untuk menenangkan diri. Ia memesan kopi hitam termurah, duduk di sudut menghadap jendela, lalu mengetik satu kalimat di dokumen kosong di laptop tuanya:

Kenapa aku merasa gagal padahal aku sudah berusaha?

“Kadang yang bikin kita lelah bukan perjuangannya, tapi ekspektasi bahwa hasilnya harus datang sekarang,” terdengar suara dari seberang. Rengganis mendongak. Seorang pria berdiri memegang nampan: wajahnya bersih, rambutnya tersisir rapi, ada senyum lelah yang tetap ramah.

“Labib?” Rengganis setengah berbisik. Dulu—bertahun lalu—Labib adalah senior PR hotel tempat ia pernah magang. Orangnya telaten, suaranya selalu terasa meyakinkan. Mereka berpelukan yang kikuk, seperti dua buku lama yang kebetulan bertemu lagi di rak berbeda.

Percakapan singkat menjelma dua jam curhat. Rengganis bercerita tentang penolakan, tentang prinsip yang membuatnya dikeluarkan, tentang takut miskin. Labib balas bercerita bahwa bahkan ia, yang kini menjadi manajer komunikasi di sebuah grup hotel, pernah ditolak tujuh kali sebelum akhirnya diterima. “Yang kutahu,” ujarnya pelan, “kita tak pernah sendirian meski terasa sendirian.

Di dinding warung kopi, terpajang kutipan tipografi: “Kebahagiaan bukan kunci kesuksesan; mencintai yang kau lakukanlah kunci kebahagiaan.” Rengganis tersenyum getir. “Indah, ya. Tapi tagihan tetap minta dibayar.”

“Indah bukan berarti tak berguna,” jawab Labib. “Kalau kata seorang mentor yang kusuka, ‘Hospitality itu cara menghormati kehidupan.’ Kita bekerja untuk orang lain merasa bernilai—sambil memastikan diri sendiri tetap bernilai.”

Labib lalu memperkenalkan Rengganis pada kawannya, Wira—seorang penggila budaya yang baru membuka boutique homestay berbasis cerita lokal di Cikini. Konsepnya unik: tamu tak hanya membeli kamar, melainkan pengalaman—menyusuri narasi pendek tentang kota, bertemu seniman, belajar menyapa dengan laku ati. Nama usahanya sederhana: Kanduruwan House—meminjam nama tokoh lama yang pernah Wira baca di kisah Menak, kabarnya simbol peramu siasat dan rasa.

“Aku tak bisa janji apa-apa,” kata Labib, “tapi aku bisa mempertemukan.”

.

Jalan yang Tak Lurus, Tapi Menuju Tempat yang Tepat

Pertemuan dengan Wira terjadi di sebuah galeri kecil. Di meja ada peta kota usang, di dinding tergantung foto-foto street life—tukang cukur pinggir jalan, pedagang telor gulung, anak-anak yang naik bajaj seperti naik perahu. Wira—berkaus abu-abu, kacamata bulat—menyambut tanpa basa-basi.

“Aku butuh orang yang paham rasa, bukan cuma bisa tugas,” katanya. “Di sini, menata amenities itu penting, tapi menata nada suara saat menyapa—itu nyawa.”

Ia meminta Rengganis pulang dulu, merenung, kemudian mengirim esai satu halaman: “Melayani adalah Laku Iman.” Rengganis menulis semalaman, menggambar ulang ingatannya: ibunya yang selalu membukakan pintu sambil mengucap “monggo”, ayahnya yang mengajari cara menatap mata tanpa mengintimidasi, dan dirinya sendiri yang pernah menangis diam-diam setelah membetulkan selimut tamu lanjut usia.

Seminggu kemudian, ia menerima pesan: “Datanglah. Kita belajar bersama.” Gajinya tak besar, bahkan di bawah standar teman-teman kuliahnya yang masuk perusahaan multinasional. Tapi di sana, ia merasa pulang. Setiap pagi, sebelum check-in, mereka membaca pitutur yang ditempel pada staff board:

“Sugeng rawuh. Ojo lali, ning omah iki, tamu iku titipan.”

Wira melatih mereka menyusun sapaan seperti musik: jeda, intonasi, tulisan tangan, aroma kayu manis di lobi. Ia percaya, pengalaman yang baik adalah komposisi. “Kotak tisu di pojok itu tak sekadar kotak,” katanya suatu sore, “itu penawaran halus: aku mendengar napasmu.”

Rengganis seperti menemukan kembali dirinya: tangan yang cekatan mengatur waktu, telinga yang peka pada kekhawatiran tamu, dan mulut yang tak lagi memalsu senyum karena senyum kembali tumbuh dari rasa.

.

Saat Badai Kembali Menerpa

Namun kota selalu menyimpan musim. Tanpa aba-aba, gelombang pandemi kembali. Reservasi membeku, tamu merunduk pada ketakutan lama. Kursi-kursi sarapan kembali kosong, housekeeping menghapus jejak menginap yang tak terjadi. Pada rapat darurat yang sunyi, Wira menatap satu-satu tim kecilnya.

“Aku harus minta kalian cuti sementara. Dua bulan. Bukan karena kalian tak mampu. Justru karena kalian berharga dan kita ingin tetap bertahan,” katanya.

Rengganis mengangguk. Kepalanya memahami, dadanya menolak. Malam itu, ia menulis selembar kertas dan menempelnya di cermin kos: “Jer basuki mawa béya. Aku percaya proses. Aku bayar dengan sabar dan usaha.”

Ia menolak diam. Ia belajar digital marketing dari video-video gratis. Ia membuat akun media sosial Kanduruwan House, memotret sudut-sudut yang tak pernah mereka perhatikan: cahaya sore yang menimang ubin tegel, bunyi cetok-cetok pedagang soto di gang belakang, cerita ibu kos yang suaminya seorang sopir bajaj pensiun. Ia menulis teks pendek: “Kota mengajari kita bahasa sabar.” Lalu menjadwalkannya tiga kali seminggu.

Perlahan, engagement bertambah. Ada DM dari tamu lama di Singapura, menanyakan voucher menginap untuk nanti. Ada komentar dari komunitas pembaca fiksi urban yang ingin membuka book club kecil di lobi. Rengganis merancang virtual tour—mengajak orang melihat kota melalui layar: berkenalan dengan Cakra si peracik kopi yang dulu pernah kerja di kapal pesiar, menjumpai Truno yang jadi frontliner malam dan musisi indie di siang, atau Sakera si driver langganan yang bisa bercerita tentang gang-gang tua tanpa pernah tersesat. Nama-nama itu bukan kebetulan; Rengganis sengaja memilihnya—adaptasi lembut dari kisah yang pernah diceritakan ayahnya saat kecil, tokoh-tokoh Menak Madura yang dibumikan ke abad ini. Ia percaya: nama menyimpan takdir, dan takdir memerlukan panggilan.

Ketika Kanduruwan House kembali buka bertahap, telepon berdering tak henti. Reservasi terisi penuh sebulan. Wira memeluk Rengganis. “Kamu bukan hanya pekerja. Kamu penafsir rasa.”

.

Kejayaan yang Tak Terasa Sebagai Kemenangan Pribadi

Undangan datang dari fakultas pariwisata sebuah universitas swasta: Rengganis diminta berbagi dalam seminar Hospitality as Healing. Ia membeli kebaya abu-abu di Pasar Baru—bekas tapi cantik—dan meminjam bros kecil dari tetangga kos. Di panggung, suaranya sempat bergetar saat memulai, namun tenang ketika bercerita.

“Pelayanan,” ujarnya, “bukan sekadar prosedur, melainkan cara memulihkan martabat—tamu dan diri kita sendiri. Kita bekerja bukan untuk menutupi kekurangan, melainkan menampakkan penghormatan.”

Ia mengakhiri talk dengan kalimat yang selalu diingat dari seorang praktisi yang diam-diam jadi panutannya: “Hospitality is not just a business, it’s a way of honoring life.” Tepuk tangan mengalun seperti hujan merata.

Seusai acara, beberapa mahasiswa menghampiri. “Mbak,” kata seorang mahasiswi berkacamata, “gimana caranya bertahan tanpa kehilangan diri? Dunia kerja kadang kejam.”

Rengganis tersenyum. “Jangan berangkat untuk menang, berangkatlah untuk berarti. Kalau nilai dirimu jelas, tawaran yang mengaburkan akan mudah ditolak. Dan kalau perlu istirahat, istirahatlah—bukan menyerah, tapi mengatur ulang napas.”

.

Luka yang Disembuhkan Kota

Di sela sibuk, hidup tetap menggoda dengan godaan lama. Suatu malam, Kanduruwan House kedatangan influencer yang menuntut fasilitas di luar kesepakatan. Ia menekan suara, merekam sudut kamar yang belum sempat dibereskan housekeeping karena early check-in mendadak, lantas mengunggahnya dengan caption menyudutkan. “Tempat ini overrate,” tulisnya.

Komentar bernada caci datang bertubi-tubi. Wira gelisah. Truno yang biasanya santai jadi pendiam. Cakra marah—“Mas, ini nggak adil.” Rengganis meminta izin menangani.

Malam itu ia menulis tanggapan—pendek, jelas, rendah hati. Ia mengakui kekurangan, menjelaskan kronologi, mengganti kerugian, sekaligus membuka jalur komunikasi pribadi. Ia tidak mengemis maaf, ia menawarkan perbaikan. “Kalau masih berkenan, kami undang kembali untuk melihat standar kami pada hari-hari biasa,” tulisnya. Lalu ia memimpin tim untuk audit kecil: memetakan celah proses, mengubah SOP early check-in, menambah buffer 30 menit antara room turnover.

Dalam dua hari, komentar buruk berhenti. Sebagian malah memuji keterbukaan. Influencer itu tidak datang lagi, tapi itu tidak lagi penting. Penting adalah cara mereka kembali berdiri—tanpa dendam, tanpa meremehkan diri.

Kota tidak selalu menyembuhkanmu,” tulis Rengganis pada catatan pribadinya, “tapi kota selalu memberimu alat untuk menyembuhkan diri.

.

Tak Semua Perjalanan Harus Cepat

Waktu berlari; kalender memantulkan nama-nama bulan seperti deretan pintu yang telah dibuka dan ditutup. Suatu sore, Rengganis kembali ke halte tempat dulu ia menunggu. Mendung tak setebal dulu, tapi angin tetap memeluk bahu. Di tangannya, ada map—bukan berisi CV, melainkan draft naskah buku pertamanya: “Jer Basuki Mawa Béya: Catatan Seorang Pelayan Jiwa.”

Ia duduk. Orang-orang datang dan pergi: pria bersepatu mengilap dengan briefcase kulit; perempuan bergaun krem menatap notifikasi saham; anak SMA tertawa melepas penat. Kota mengalir. Ia merasa tak lagi dikejar, melainkan mengiringi.

Di layar ponsel, pesan ibunya masuk: foto halaman rumah di Pamekasan, pohon belimbing sedang berbuah. “Kapan mudik, Nak?” tanyanya. Rengganis mengetik balasan: “Bulan depan, Bu. Aku bawa oleh-oleh cerita.” Ia menambahkan emoji hati. Ia membayangkan naik bus malam, duduk di kursi dekat jendela, menyaksikan lampu jalan menyalakan kenangan.

Ia paham kini: keadilan tidak selalu turun dari langit; kadang ia lahir dari keputusan sehari-hari—memilih jujur meski mahal, memilih belajar meski capek, memilih menata suara meski tak terdengar siapa-siapa. Dan ikhlas bukan pasrah; ia adalah cara berdamai sambil tetap bergerak.

Hujan datang—tak deras, tapi cukup untuk memaksa orang merapat di bawah atap. Seorang driver ojek berjas hujan biru muda menatap kosong ke jalan, mungkin menghitung jarak di kepala. Seorang pengamen menyetel gitar, menyanyikan lagu lama Iwan Fals yang diseret angin. Rengganis berdiri, merapatkan jaket, menenteng mapnya.

Sebelum melangkah, ia menoleh ke seberang, ke deretan lampu yang menyalakan malam lebih cepat. “Terima kasih, kota,” gumamnya, “kau keras, tapi juga ajaranku paling pengertian.”

.

Solusi Kecil untuk Luka Besar

Di Kanduruwan House, mereka menempel satu kertas baru di staff board. Judulnya: Lima Cara Menjaga Marwah Pelayanan.

  1. Jujur pada data, lembut pada manusia. Jika ada salah, akui, perbaiki, catat.

  2. Rawat jeda. Sapaan yang baik punya ritme—jangan tergesa, jangan bertele-tele.

  3. Peka pada tanda. Isyarat kecil tamu adalah peta kebutuhan.

  4. Belajar terus. Dunia digital adalah etalase kedua. Isi dengan rasa, bukan sekadar promosi.

  5. Ikhlas bukan kalah. Melepaskan yang tak sehat adalah cara mempersilakan yang lebih baik masuk.

Truno menambahkan satu kalimat di bawahnya dengan spidol hitam:
“Hidup bukan menunggu tenang untuk berlayar, tapi melatih kemudi saat ombak datang.”

Cakra tertawa pendek. “Kamu bisa juga, No.”
“Bacaan saku,” jawab Truno. “Dari caption-nya Mbak Nis.”

Wira memotret kertas itu, mengunggahnya sebagai carousel dengan deskripsi ringkas. Sore melar. Hujan menyisakan bau tanah dari pot di depan lobi. Seorang tamu berusia lanjut berhenti di dekat front desk dan berbisik pada Rengganis, “Terima kasih sudah menatap mata saya ketika bicara. Tidak semua tempat mengajarkan itu.” Rengganis menunduk, menahan haru. Bahagia, ternyata, bisa sesederhana merasa dilihat sebagai manusia.

Malamnya, Rengganis menulis satu kalimat penutup di draf bukunya:

“Kota tak harus mengubahmu menjadi orang lain—cukup mengasahmu menjadi dirimu yang bertahan.”

Ia menutup laptop, meniup lilin aroma melati di meja. Di luar, Jakarta meregangkan punggung: lampu kendaraan, pacet hujan di trotoar, ucapan selamat malam yang tak terdengar tapi terasa. Rengganis berbaring dan, untuk pertama kalinya dalam waktu lama, tidur dengan dada yang ringan—seperti kain tipis dijemur angin.

.

.

.

Jember 7 Agustus 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenKompasMinggu #Hospitality #EtikaKerja #KotaJakarta #KelasMenengah #BudayaJawaMadura #DigitalMarketing #PelayananTamu #MotivasiKerja #nJAWAni

.

Kutipan yang Menyulam Cerita

  • “Ikhlas bukan kalah; ia kecakapan berdaulat untuk berhenti di tempat yang salah dan melanjutkan ke tempat yang benar.”

  • “Jujur itu mahal karena ia membayar martabat—dan martabat selalu layak ditabung.”

  • “Pelayanan terbaik dimulai dari telinga yang utuh.”

  • “Tak semua yang kita lepaskan hilang; sebagian kembali dalam bentuk yang lebih matang.”

Leave a Reply