Sayap di Langit Senja
“Ada kalanya kita tak perlu membalas. Cukup terbang lebih tinggi, seperti elang yang tak sudi bertarung di tanah berlumpur.” — Catatan Bening Seorang Lelaki Tua
.
Langit Surabaya memerah seperti kelopak flamboyan pada jam pulang kantor. Dari atap-helipad sebuah gedung 50 lantai di tengah distrik bisnis—diapit lampu reklame, kafe ber-terrace, dan arus tol layang—Langlang berdiri memandang barat. Ia membawa kamera tua, segenggam kacang rebus, dan buku catatan kulit warna tanah. Angin laut menyapu ujung jas tipisnya, bergerak-gerak seperti sayap yang disarungkan.
Di bawah sana, jalan arteri tampak seperti sungai lampu. Bunyi klakson dan sirene hanyut menjadi dengung jauh. Di atas, seekor elang bondol berputar-putar, menandai thermal yang naik perlahan dari beton hangat. Langlang mengangkat kameranya, menahan napas, dan memotret dengan hati-hati—seakan yang ia kunci bukan hanya siluet burung, melainkan juga percakapan sunyi dengan diri yang lama.
“Masih mengejar sayap?” suara di belakangnya jernih, dingin, agak lelah.
Langlang menoleh. Ning berdiri di sana, gaun biru tua dengan kancing mutiara. Di genggamannya, lencana akses tamu VIP. Di ujung gaun yang jatuh sederhana, ada cara berjalan yang dulu ia hafal: ragu setengah detik sebelum melangkah, seakan ingin memastikan lantai berikutnya tidak lenyap.
“Bukan mengejar,” jawab Langlang. “Menjaga jarak pandang.”
Ning menghela napas, lalu duduk di bangku semen di tepi helipad. Rambutnya diikat rapi. Dari dekat tampak sisa-sisa malam tanpa tidur—entah panjangnya rapat, entah panjangnya sunyi.
“Kemari,” katanya, “Seseorang ingin bertemu.”
Sosok remaja putri muncul dari pintu logam: Seta—umur tujuh belas, ransel tipis, kemeja putih longgar, mata sebesar keingintahuan. Ia mengulurkan tangan, kaku tapi bersungguh-sungguh.
“Pak Langlang,” katanya, “Saya membaca tulisan Bapak tentang pitutur Jawa dan kota. Tentang cara kota mengasuh warganya. Saya… mau belajar.”
Langlang menatap Ning sekilas. Di mata perempuan itu, ada sesuatu yang lapuk namun jujur—seperti genteng lama yang tetap tahan hujan. Ia mengangguk, lalu menatap Seta.
“Belajar dari burung atau dari manusia?” tanya Langlang.
“Dari cara Bapak memotret senja,” jawab Seta. “Supaya saya mengerti kenapa beberapa orang memilih menatap, bukan membalas.”
.
Dua puluh tahun lalu, Langlang adalah mahasiswa antropologi yang cemerlang; di tangan dan lidahnya, pitutur Jawa menjadi jembatan ke dunia modern. Ia bisa mengajarkan “ajining diri dumunung ana ing lathi” sambil memaparkan algoritma, bisa membahas “ngeli ning ora keli” sambil menulis tentang kota yang adaptif. Sebuah hibah riset internasional hampir turun untuk museum digital kearifan Nusantara—sebuah ruang hidup, bukan hanya ruang pamer: video, suara, cerita lisan yang bisa disentuh, diunduh, ditenun ulang.
Lalu datang rapat yang menukar fakta menjadi prasangka. Sebuah laporan “kemiripan” dipecah-pecah, digeser tanda bacanya, dibalikkan proporsinya. Pria yang memimpin rapat itu bernama Rengga—seangkatan Langlang, kini direktur muda di sebuah grup properti. “Kita harus menjaga standar,” ucapnya waktu itu, seraya merapikan jasnya yang berwarna asap. Nama Langlang digulung di layar presentasi: indikasi plagiarisme. Ia menyangkal dengan bukti, tetapi bukti seakan kehilangan gravitasi.
Ning—kekasih Langlang—tidak hadir dalam rapat itu. Ia sedang menyusun proposal CSR grup Rengga: beasiswa untuk siswa berprestasi, pelatihan kerja bagi difabel. Keduanya pernah bertiga satu meja—tertawa dengan luwes, memetakan masa depan. Siang-siang di kantin kampus, kopi yang pahit mereka bagi dua.
Sore hari setelah rapat, Ning datang ke kos Langlang. Ia meletakkan secarik surat. Isinya pendek, rapi, penuh alasan yang terdengar logis ketika dibaca kencang: “Aku butuh hidup yang tidak diserang rumor. Maafkan aku.”
Langlang tidak memohon. Ia mengembalikan buku-bukunya ke perpustakaan, mengembalikan kunci laboratorium, dan pergi dari peta yang dulu ia gambar sendiri. Ia masuk ke dunia proyek—menjadi konsultan bayangan: menyusun narasi tanpa menaruh nama, menjahit strategi tanpa menuntut kredit.
Di kota, beberapa orang bertahan bukan karena kuat, melainkan karena pandai menutup luka.
.
Kini, di atap gedung yang sama, kota telah berubah: trotoar lebih lebar, jalur sepeda, mural di bawah jembatan, kafe yang menjual roti sourdough dengan dua belas huruf di menunya. Rengga masih ada, lebih tinggi jabatannya, lebih padat kalendernya. Nama Ning muncul di berita: kurator pameran; juru bujuk program literasi; wajah yang mudah disukai kamera.
“Kenapa kau minta aku bertemu Seta?” tanya Langlang ketika matahari turun tepat di antara dua menara.
“Karena ia sepertimu dulu,” jawab Ning. “Percaya dunia bisa diubah dengan kalimat yang pas. Ia anakku.”
Kata terakhir itu jatuh pelan. Langlang menatap lagi. Seta memotret senja dengan ponsel. Dalam diamnya, ada sesuatu yang mengingatkan—bukan pada Ning, bukan pada Langlang—melainkan pada apa yang mereka sempat impikan dan tinggalkan: hidup yang tidak takut berutang pada cahaya.
“Bapaknya?” tanya Langlang.
“Tidak hadir,” kata Ning. “Dengan cara-cara yang akan memakan malam kalau kuceritakan.”
Langlang tidak bertanya lagi.
Di langit, elang bondol turun sedikit, sayapnya memotong lintasan drone yang ragu-ragu. Lampu-lampu kota mulai menyala, satu per satu seperti doa yang disalakan setengah percaya.
“Boleh saya magang?” Seta menghadap Langlang, menahan gugup di paha dengan menekan-nekan kamera pinjaman. “Saya ingin menulis cerita kota. Bukan promosi wisata, bukan brosur glossy, tapi cerita yang membuat orang mengubah cara melangkah. Ibu bilang Bapak tahu caranya.”
Langlang berdehem. “Magang di mana? Aku tak punya kantor, hanya meja dan kursi yang berpindah.”
“Magang di langkah Bapak,” jawab Seta. “Kalau boleh.”
.
Mereka mulai dari hal yang paling sederhana: berjalan. Menyusuri koridor mal yang dingin, lobi kantor yang serupa akuarium elegan, gang kecil di belakang pusat kuliner, jembatan penyeberangan yang menatap pertigaan sungai. Langlang mengajarkan cara mengenali kota dengan pancaindra: menghitung langkah dalam detik, mencatat aroma yang paling jujur (mentega, pipa besi, tanah yang baru dilipat hujan), mendengar nada paling rendah dari mesin yang jarang dibersihkan, meraba tekstur pegangan tangga.
“Menulis kota itu seperti menulis seseorang,” kata Langlang. “Kau harus mengingat bagaimana ia membuatmu menunggu.”
Dalam catatan Seta, kalimat-kalimat pendahuluan mulai menemukan kepala: Pukul 17.49, lobi menara Jagat. Seorang satpam tua menatap layar monitor seperti menonton pertandingan yang tak pernah selesai. Di depannya, anak muda mengetik pesan di ponsel: ‘OTW, stuck di lift.’ Di sini, jam punya dua kecepatan: lambat untuk yang bertugas, cepat untuk yang menunggu.
Seta menulis dengan tangkas; ia meminjam mata Langlang, tetapi suara yang keluar adalah suaranya sendiri. Ia bercerita tentang anak-anak barista yang menempelkan post-it puisi di balik mesin kopi. Ia menulis tentang petugas kebersihan yang menghafal lantai favorit pasangan yang berselingkuh dan memutuskan untuk selalu lebih dulu mengelap lantai itu—bukan demi mereka, melainkan demi alas sepatu orang lain yang sama sekali tidak tahu cerita ini.
“Kenapa mereka berselingkuh?” tanya Seta suatu malam, ketika mereka duduk di food hall yang setengah sepi.
“Karena jujur itu berat,” jawab Langlang. “Dan sebagian orang percaya kegembiraan boleh diambil dari piring siapa pun.”
Seta mendengarkan seperti orang yang sedang memegang gelas panas: tak sabar ingin minum, tapi takut terbakar.
.
Rengga muncul kembali di berita: meresmikan sky garden—kebun bertingkat yang seharusnya menjadi paru-paru kecil di jantung kota. Ada foto-foto: dinding tanaman, air mancur tipis, lampu-lampu LED. Dalam salah satu foto, Ning berdiri di samping Rengga, tersenyum setengah bingung. Di caption tertulis: Program kolaborasi seni-kota: “Langit Hijau, Nafas Baru”.
“Proyek itu pernah menjadi mimpi kita,” kata Ning ketika bertemu Langlang di sebuah ruang pamer kecil. “Kau ingat? Museum hidup. Kita gagal bernapas bersama, tapi kota ini masih butuh paru-paru.”
Langlang menatap instalasi yang berdiri di tengah ruangan: lembar-lembar akrilik bening dengan petikan pitutur yang melayang. Di antara semuanya, ada kalimat yang ia kenal betul: ngeli ning ora keli. Tidak disebutkan sumber.
“Namaku tak apa,” katanya. “Asal yang diingat maknanya.”
Ning memegang lengannya, sepersekian detik yang terasa seperti sepuluh tahun. “Kadang aku berpikir,” katanya pelan, “Balasan paling indah adalah tumbuh diam-diam.”
Langlang tertawa kecil. “Atau terbang lewat di atas kepala orang-orang.”
“Jangan sinis.”
“Aku sedang bersyukur.”
.
Malam Jumat itu, Seta mengirim pesan: Pak, saya di sky garden. Ada elang. Seperti menunggu seseorang.
Langlang membaca pesan itu di kamar kontrakannya yang rapi. Ia turun, mengambil jaket, menutup pintu. Di lift, ia berpapasan dengan ibu-ibu yang membawa kue talam. Bau pandan mengikuti sampai lobi.
Di sky garden, angin dari arah laut bertiup lebih dingin. Lampu-lampu apartemen memaku malam pada tempatnya. Seta menunjuk ke ujung pagar kacanya. Seekor elang bondol benar—menetap di tiang pemancar, menoleh, lalu menutup mata seperti menimbang jarak.
“Burung kota tak selalu tersesat,” kata Langlang pelan. “Kadang ia hanya singgah untuk memahami.”
“Kita bantu apa?” tanya Seta.
“Tidak apa-apa. Ia tahu pulangnya. Tugas kita menjaga agar jalur pulangnya tidak kita bakar.”
Seta menulis kalimat itu. Di sela-sela bunyi exhaust restoran, di sela musik lounge yang diatur agar terdengar seperti kehampaan yang mahal, seorang anak magang menulis tentang pulang.
Malam hampir runtuh ketika suara lain datang—lebih kasar, lebih runcing. Rengga. Ia berjalan cepat, diikuti dua staf, seolah dikejar waktu yang tidak lagi mau duduk. Ia melihat Langlang, berhenti sebentar, lalu tersenyum dengan sopan yang pekat.
“Lang,” sapanya. “Ternyata kau masih suka tempat tinggi.”
“Biar jarak pandang tak terlalu pendek,” jawab Langlang.
Rengga menoleh pada Seta. “Magang?” tanyanya. “Pintar. Belajar dari orang yang tahan lama seperti dia.” Ia tertawa ringan, menepuk bahu Langlang dua kali—gaya lama yang pernah akrab, kini terasanyaris formal.
“Masih ingat rapat dua puluh tahun lalu?” tanya Langlang tiba-tiba, tanpa menatap.
Rengga mengangkat alis. “Seharusnya kau sudah melupakannya.”
“Melupakan bukan sama dengan menghapus,” kata Langlang. “Setiap kali kota ini menyalakan lampu, bayangan juga menyala.”
“Kalau begitu,” Rengga tersenyum kali ini tanpa hangat, “Terbanglah lebih tinggi, supaya bayanganmu sendiri tak membuatmu takut.”
“Terima kasih,” jawab Langlang. “Sudah kupelajari dari orang yang menyalakan lampu di bawah kakiku.”
Di tiang pemancar, elang membuka mata. Ia meluruskan sayap, meloncat ke udara, berputar, lalu melesat ke arah sungai hitam yang berkilat. Malam terasa seperti halaman yang berisik namun bisa dibaca.
Seta menahan napas. “Saya kira tadi elang itu menunggu Bapak.”
Langlang menggeleng. “Ia menunggu angin.”
.
Hari-hari berikutnya bergerak cepat. Tulisan Seta diunggah di blog komunitas kota. Beberapa jurnalis muda menautkannya, membicarakan kalimat-kalimatnya yang tajam, foto-fotonya yang menangkap jeda manusia. Ning mengundang Seta untuk berdiskusi di ruang seni; malam itu, kursi-kursi penuh, cahaya lampu jatuh tepat di halaman-halaman catatan.
Seorang influencer datang terlambat, butuh ruang. Seorang pejabat datang terlalu cepat, butuh tepuk tangan. Di tengah-tengah, ada warga—yang tak butuh apa-apa kecuali kota yang memberi, bukan hanya menjual.
“Bolehkah saya pakai kalimat-kalimat Anda di instalasi berikutnya?” tanya Ning pada Seta. “Tentu dengan nama Anda.”
Di sudut ruangan, Langlang tersenyum. Ia melihat diri yang dulu—yang sempat ditanggalkan—menemukan tubuh baru pada seseorang yang tak ia harapkan. Ini bukan pengganti. Ini kesinambungan.
“Pak,” Seta mendekat ketika acara usai, “Kalau suatu saat tulisan saya diseret orang, atau dipelintir, saya harus bagaimana?”
Langlang memikirkan helipad, kamar kos, rapat yang harum air freshener namun kering hati. Ia memikirkan suara Ning ketika mengucap “maaf” dua puluh tahun yang lalu; memikirkan cara Rengga menepuk bahunya seperti menepuk meja boardroom.
“Kau boleh menjelaskan,” kata Langlang, “Tetapi jangan lepaskan waktu untuk bertumbuh, hanya demi bertarung di tanah yang berlumpur. Ada kalanya kehormatan itu menunggu di ketinggian.”
“Seperti elang?” tanya Seta.
“Seperti manusia yang tak lupa menjadi langit.”
.
Suatu sore Sabtu, kota seperti melipat dirinya untuk pesta: buskers memetik gitar di trotoar, balon-balon berwarna mengikat pergelangan anak-anak, kawat jemuran di gang kecil memamerkan baju kaus tim sepak bola. Langlang mengantar Seta ke rumah Ning. Apartemen itu berada di lantai dua puluh delapan, jendela lebar menghadap barat. Di dapur, aroma sup bening naik pelan—keringat yang damai dari panci.
“Kau tinggal?” tanya Ning, tak memaksa.
Langlang menggeleng. “Ada janji dengan diri sendiri.” Ia memandang Seta yang sudah duduk di meja, mengeluarkan catatan, memotret piring dan bayang-bayang di permadani.
Ning menyerahkan kotak kecil kepada Langlang. “Ini,” katanya. “Kamera analog milik Ayah. Ia dulu memotret madrasah, ladang, wajah-wajah yang tak sempat ke studio. Ambillah. Untukmu. Atau untuk Seta.”
“Terima kasih,” kata Langlang. “Aku jaga.”
Mereka berdiri dekat, tetapi tidak menyeberang jarak. Kadang yang paling benar bukan kembali, melainkan menyadari kita telah sampai.
“Lang,” Ning berbisik, “Aku… maaf.”
“Sudah selesai,” kata Langlang.
“Bagaimana kau bisa selesai? Orang-orang sekuat kau pun biasanya menyisakan dendam kecil untuk membuktikan diri.”
“Karena aku ingin hidup ini menghabiskan tenaganya untuk tumbuh, bukan untuk membalas. Itu saja.”
“Berat.”
“Segala yang ringan biasanya jatuh lebih cepat.”
.
Sebuah kabar datang tanpa mengetuk: Rengga diguncang investigasi internal. Ada tanda tangan yang tertukar, angka-angka yang tidak cocok, proyek yang penuh retak di bawah rumput sintetis. Media sosial mengunyah namanya; headline suka pada kata “skandal” seperti anak kecil suka permen.
Ning menelpon Langlang. “Kau tahu?”
“Aku tak ingin tahu terlalu cepat,” jawab Langlang. “Kota sudah cukup bising.”
“Orang menunggu kau berkomentar.”
“Biarkan kosong. Biarkan senyap menuliskan apa yang tak bisa kita tulis.”
Malam itu, elang bondol kembali ke tiang pemancar. Seta mengirim foto pada Langlang: burung itu menatap lurus, dan di mata hitamnya, lampu-lampu kota memantul seperti koloni bintang. Di bawah foto, Seta mengetik: ‘Jadilah tinggi bukan untuk merendahkan orang lain, tetapi untuk menjaga agar tak mudah direndahkan.’—Catatan Magang, edisi ke-19.
Langlang menatap layar, merasakan sesuatu berlapis-lapis dalam dadanya: masa lalu yang akhirnya tidak memerintahkan masa depan; cinta yang berubah wujud menjadi kemampuan untuk mendoakan dari jauh; dan kota yang, meski rumit, tetap menyediakan sudut-sudut bagi orang untuk menata ulang cara memandang.
.
Pameran “Langit Hijau, Nafas Baru” edisi kedua dibuka tiga bulan kemudian. Di tengah ruang, instalasi utama berdiri seperti altar kecil: kumpulan kaca akrilik bening dengan kalimat-kalimat dari Seta dan potongan catatan Langlang—kali ini dengan nama yang tak dihapus.
“Kita tidak perlu memenangkan pertarungan di tanah berlumpur jika kita punya hak terbang.”
“Jarak pandang adalah seni menjaga jiwa dari keinginan untuk menang kecil-kecilan.”
“Pulang adalah tempat yang kita buat setiap kali menolak untuk menjadi kebencian.”
Ning memeluk Seta dengan bangga. Langlang berdiri agak jauh, menikmati perayaan yang bukan pesta: wajah-wajah yang betah berlama-lama di satu kalimat; orang-orang yang memotret bukan untuk pamer, melainkan untuk menyimpan nasihat.
Di ujung acara, seorang wartawan bertanya pada Langlang: “Apa pesan Anda untuk anak-anak muda kota ini?”
Langlang menatap jendela besar, kota yang berkilauan seperti lempeng logam raksasa.
“Jangan jadi bayangan dari amarah orang lain.” katanya pelan. “Jadilah langit yang memberi alasan bagi sayap untuk pulang.”
Tepuk tangan pelan. Kamera-kamera menurunkan lelahnya.
Di luar gedung, senja meledak. Seekor elang melintas—bukan kebetulan, bukan simbol yang dipanggil, melainkan kebetulan yang tepat: kehidupan yang saling menengok sebentar sebelum melanjutkan.
Langlang menutup buku catatan. Dalam halaman terakhir, ia menulis: Aku tidak lagi menghitung siapa yang mengaku benar. Aku menghitung berapa banyak orang yang memutuskan untuk tidak saling melukai hari ini. Itu cukup.
.
Beberapa tahun setelahnya, Seta merilis buku kecil: “Kota yang Mengajari Kita Terbang”. Di halaman penghargaan, namanya berbaris bersama dua nama lain: Ning—ibunya, dan Langlang. Buku itu tidak laris viral, tetapi menempel di rak-rak orang yang tidak tergesa. Mereka membacanya di kereta menuju kantor, di ruang tunggu klinik gigi, di kursi plastik warung soto. Kalimat-kalimatnya seperti kursi yang ditarik perlahan di tengah kekacauan: duduklah, minum dulu, lajumu tak akan dicuri siapa pun.
Pada malam peluncuran buku, Rengga datang. Ia berdiri di baris belakang, menunduk sebentar, lalu menghampiri Langlang.
“Maaf,” katanya. Satu kata, dua puluh tahun terlambat.
Langlang memandangnya lama-lama. “Terima kasih,” jawabnya.
“Terima kasih?”
“Karena kau mengajarkan satu hal yang tak pernah bisa kuperoleh dari kemenangan: kesanggupan untuk tidak membalas.”
Rengga mengangguk, matanya basah yang tak diakui. “Semoga kau tetap di tempat tinggi.”
Langlang tersenyum. “Tinggi itu bukan tempat. Itu cara memegang hati.”
Di luar, angin malam mengibaskan tirai. Kota mengecil dan membesar sekaligus.
.
Suatu malam tua, helipad terasa asing karena heningnya. Langlang naik sendiri. Di tangan, kamera analog warisan Ayah Ning. Ia tidak lagi mengejar foto yang sempurna; ia hanya ingin satu gambar yang jujur.
Elang tak muncul malam itu. Bukan masalah. Langlang mengarahkan lensa ke horizon yang gelap—jalur tol yang seperti kaligrafi cahaya. Ia memencet tombol, menunggu bunyi kecil yang menandai penangkapan momen.
“Hidup bukan tentang siapa yang paling cepat mengumumkan luka,” tulisnya nanti, “melainkan siapa yang paling gigih merawat sehat setelah luka.”
Ketika turun, ia berpapasan dengan petugas kebersihan yang mendorong troli. “Malam, Pak,” sapa petugas.
“Malam,” jawab Langlang.
“Di atas ada apa, Pak?”
“Langit,” kata Langlang, “Dan kemungkinan untuk pulang tanpa membawa perang dari hari ini.”
Petugas itu tertawa kecil. “Semoga besok tidak hujan.”
“Kalau hujan,” kata Langlang, “Kota kita akan belajar cara lain untuk bernafas.”
Di tangga darurat, lampu-lampu putih meneteskan kelelahan. Langlang mengantongi kacang rebus yang belum sempat dimakan. Ia sadar, akhirnya: Ia tidak lagi menunggu elang untuk mengizinkannya sembuh. Ia sudah sembuh karena memutuskan tidak bertarung di tanah berlumpur.
Kota menjadi gurunya. Ning menjadi cermin yang bersedia memantulkan. Seta menjadi sayap yang tidak minta diwarisi melainkan diiringi. Dan Rengga—ah, bahkan musuh tidak perlu terus diingat ketika memori sudah memaafkan tanpa membuka pintu.
Di pintu keluar, malam terasa ringan. Di kejauhan, muara sungai memantulkan pecahan-pecahan lampu. Langlang melangkah, setenang doa yang sudah menemukan “amin”.
“Kita tidak sedang berlomba. Kita sedang belajar menolong diri sendiri agar tidak melukai orang lain.” — Catatan Langit Kota
.
.
.
Jember, 17 Juli 2025
.
.
#CerpenIndonesia #KotaDanManusia #MemaafkanTanpaMembalas #PituturJawa #KompasMinggu #UrbanStory #SayapDiLangitSenja #JeffreyWibisonoVStyle
.
Kutipan-kutipan yang menyertai cerpen
-
“Ada kalanya kita tak perlu membalas. Cukup terbang lebih tinggi.”
-
“Jarak pandang adalah seni menjaga jiwa dari keinginan untuk menang kecil-kecilan.”
-
“Pulang adalah tempat yang kita buat setiap kali menolak untuk menjadi kebencian.”
-
“Tinggi itu bukan tempat. Itu cara memegang hati.”
-
“Hidup bukan tentang siapa yang paling cepat mengumumkan luka, melainkan siapa yang paling gigih merawat sehat setelah luka.”