Satu Rumah Seribu Langkah

“Ketika hidup terasa hanya ‘lahir, kerja, mati’, ia menemukan jeda sederhana: rumah yang berdiri di atas seribu langkah cinta dan doa”

“Di pundak yang menua oleh waktu, seorang laki-laki sering menyembunyikan luka dengan senyum. Bukan karena tak sakit, melainkan karena ia tahu rumah butuh cahaya, bukan keluh.”

.

Di kota yang bergerak seperti ban berjalan—gedung tumbuh, kafe berpindah konsep secepat mode rambut—Jokotole memulai pagi dengan mengecek tiga layar sekaligus: dashboard penjualan restoran cloud kitchen-nya di Kemang, grafik retensi pengguna aplikasi edukasi daring milik Rengganis—istrinya—dan notifikasi dari venture partner yang sejak Subuh menagih komitmen untuk putaran investasi berikutnya. Di ujung meja, segelas kopi dingin lupa ia minum. Di sudut rumah, adzan Subuh baru saja berlalu, menyisakan gema samar di antara pohon ketapang tetangga.

Nama Jokotole ia ambil dari cerita yang Wiraraja, ayahnya, sering kisahkan saat kecil: pahlawan Madura yang dikenal karena akal dan tenaganya. “Hidupmu bukan soal gagah,” kata Wiraraja waktu itu, “tapi soal seberapa kuat kau menahan yang tak terlihat—cemas, keputusan, dan kesepian di tengah ramai.”

Kesepian itu, hari ini, tampak pada jendela kaca: bayangan tubuhnya ditemani tiga lampu indikator baterai laptop. Hijau, kuning, merah. Seperti hidup.

Rengganis turun dari kamar sambil merapikan topi lari. “Aku keluar 5K ya. Nanti jam delapan ada Zoom dengan kurator Singapura.”
“Siap,” jawab Jokotole, menutup rapat mantel pikirannya. “Nanti aku antar Tisna sekolah.”
Rengganis menepuk bahunya. “Jangan lupa sarapan. Dan… tatap mataku sebentar.”
Ia menatap.
“Terima kasih,” katanya singkat. Lalu pintu depan menutup.

Terima kasih. Dua kata yang belakangan terasa seperti hibah udara di ruang sempit. Jokotole menyimpannya di saku, bersama tugas-tugas hari ini: meeting operasional di kitchen, mengecek arus kas franchise kopi di Kuningan, menjawab email calon investor dari Dubai, dan menyiapkan presentasi “hospitality as healing” untuk klien hotel di Jember—konsep Rengganis yang belakangan mereka jual sebagai paket bundling: pelatihan staf, storytelling brand, kuliner sehat, dan ruang istirahat mental bagi tamu.

Ia menyalakan mobil. Tisna, anak semata wayang mereka, menyodorkan tugas seni: kolase dari majalah lama, bertuliskan “Satu rumah seribu langkah”.
“Bagus,” puji Jokotole. “Ini maksudnya apa?”
Tisna mengangkat bahu. “Kata Bu Guru, semua orang di rumah harus melangkah biar rumahnya hidup. Ayah juga melangkah?”
Pertanyaan itu ia jawab dengan tertawa pendek. “Ayah lari.”

Di tol dalam kota, langit menyisakan abu tipis. Billboard digital menayangkan iklan apartemen “work-from-resort”. Jokotole mengingat senarai cicilan: rumah, kantor kecil, kendaraan operasional bisnis kuliner, biaya platform e-learning, dan sebagian dana yang ia alihkan diam-diam ke rekening ibunya di Pamekasan. Bukan karena Rengganis pelit—justru sebaliknya—tetapi karena ia ingin menjadi jembatan sunyi antara masa lalu dan masa depan, sebagaimana Wiraraja dulu menjadi jembatan baginya.

.

Wiraraja bukan orang kota. Ia datang dari pesisir, menyeberang pulau saat usia dua puluh, menjadi mandor proyek jembatan, lalu pengawas kualitas beton, lalu konsultan kecil yang lebih banyak memberi makan warung nasi daripada dirinya sendiri. “Laki-laki,” katanya, “lahir, kerja, mati. Kalau diberi bonus, kita sempat mencinta dan diajari memaafkan. Tapi garis besarnya tiga itu.”

Jokotole mendengar kalimat itu berulang-ulang sejak remaja, mula-mula seperti dogma yang membuatnya ingin kabur, belakangan seperti kompas yang tak bisa ia buang. Di kotak chat keluarga, semalam Wiraraja menulis:
Ada kabar bagus? Aku lihat usahamu di TV lokal. Tapi tolong, jangan lupa tidur.
Jokotole mengetik balasan: Siap. Doakan sehat. Lalu ia hapus. Ia memilih mengirim emoji tangan menangkup. Simbol paling aman untuk laki-laki yang tak ingin ditanya lebih.

.

Di kitchen Kemang, Chef Samaran—teman lama dari komunitas kuliner—menyambutnya dengan daftar komplain: supplier ayam telat, driver ojol mogok, algoritma platform pesan-antar ganti skema komisi. “Aku butuh kepastian,” kata Samaran, setengah berbisik, setengah menggerutu. “Kalau bukan karena proyekmu bikin menu sehat dan porsi jujur, aku sudah balik jadi konsultan hotel.”

“Kita perkuat bundling,” jawab Jokotole. “Tambah paket keluarga, diskon jam sepi. Nanti aku bikinkan narasi comfort food yang benar-benar mengerti lelah.”
“Lelah siapa?”
“Semua.”
Chef tertawa pendek. “Termasuk kamu?”
“Termasuk aku.”

Ia berdiri di belakang garis panas, mengawasi panci mendidih. Aroma jahe, serai, dan santan bersatu seperti doa. Di kepala, suara Rengganis menjadi latar: Hospitality adalah cara menyentuh luka orang lain dengan higienis—tak menambah infeksi, tak juga pura-pura steril. Kalimat itu yang membuat paket pelatihan mereka laris. Di kelas, Jokotole biasa membuka dengan pertanyaan, “Apa yang paling menenangkan dari pulang?” dan selalu ada yang menjawab, “Menjadi diri sendiri tanpa diperiksa.” Ia ingin memberi rasa itu ke tamu, pelanggan, mitra, dan—bolehkah?—ke dirinya.

Pukul sebelas, ia menyelinap ke musala kecil di belakang kulkas beku. Di sana, ia bertemu kurir yang sedang meluruskan punggung. “Mas,” sapa kurir itu, “doakan istriku ya. Hamil tujuh bulan.”
“Nama istri siapa?”
“Rukmini.”
Jokotole mengamini dalam hati. Setelah salam, kurir itu berkata, “Laki-laki ditanya rezeki dari mana, jujur saja, saya sering jawab dari doa. Uang mah lewat saja.”
Jokotole mengangguk. Doa adalah nama lain dari marabahaya yang mau diajak damai.

.

Sore menjelang, presentasi untuk klien hotel di Jember berlangsung lewat layar. Rengganis memimpin paparan; ia lihai memilih kata yang sekaligus lembut dan tajam: No Plus-Plus, Just Pure Comfort. Branding yang menggeser fokus dari sensasi ke ketenteraman. Jokotole menjadi operator data: grafik okupansi, testimoni tamu, potret menu rumahan bersertifikat halal, dan rancangan program workation yang menyisakan jam sunyi untuk berdoa.

“Kita bukan menjual kamar,” tutup Rengganis pada slide terakhir, “kita menukar lelah dengan kemungkinan menjadi manusia lagi.”
Tim hotel bertepuk tangan, beberapa mengangguk lama—seperti baru saja dibacakan puisi yang menyebut nama mereka tanpa menyebut nama mereka. Di akhir, general manager berkata, “Kami butuh materi pelatihan staf tentang emotional labor. Banyak tamu membawa amarah dari kantor.”
“Kami siapkan modulnya,” jawab Jokotole. “Tanpa jargon. Kita mulai dari pernapasan, sapa, dan cara menata cahaya.”

Usai call, Rengganis memandangnya. “Kamu kelihatan pucat.”
“Lampu ring ini terlalu jujur,” selorohnya.
“Kamu baik-baik saja?”
“Definisi baik itu apa?”
Rengganis mendekat. “Kamu boleh lemah di hadapanku. Aku tak akan menagih peta.”
Kalimat itu seperti pintu yang terbuka, namun dari baliknya ada gudang tak tersusun. Ia mendesah. “Masih banyak pembayaran. Investor minta laporan. Samaran butuh kepastian. Dan aku… aku merasa diminta untuk terus kuat bahkan saat sedang belajar patah.”
Rengganis menarik napas. “Kamu bukan sendiri. Kita ini kita. Kalau kamu runtuh, katakan. Aku bukan debu.”
Ia mengangguk. Namun di lehernya, seutas tali tak terlihat sudah lama menggantungi daftar nama: Rengganis, Tisna, Wiraraja, Ibu di Pamekasan, tim kitchen, mitra franchise, murid-murid e-learning yang memanggilnya coach. Semua nama itu ia gantungkan ke satu kata yang selalu membuatnya bangga dan takut: “laki-laki”.

.

Malamnya, setelah Tisna tidur, ponselnya bergetar: nomor tak dikenal. Suara di seberang keruh seperti sungai selepas hujan. “Mas Joko… ini perawat di RS Permata. Bapak Wiraraja… pingsan di masjid habis Isya.”

Waktu adalah lift yang membeku. Rengganis yang pertama kali bergerak: memesan ride, menyiapkan jaket, mengambil map yang selalu ia simpan: fotokopi KTP, kartu asuransi, daftar obat. “Ayo,” katanya. “Aku nyetir.”

Di rumah sakit, Wiraraja sudah sadar, duduk bersandar, oksigen kecil terselip di hidung. “Aku cuma kurang gula,” gurauya. “Masalahnya yang datang bukan permen, tapi infus.”

Dokter memberi kertas hasil pemeriksaan. Tekanan darah naik. Harus kontrol ginjal. “Bapak tetap bisa melakukan aktivitas ringan,” katanya. “Tapi tolong, jangan lagi memikirkan hal berat.”

Wiraraja menatap Jokotole. “Kalimat dokter ini bagus, tapi ambigu. Hidup semua orang kan berat.”
“Bapak yang istirahat,” kata Jokotole. Suaranya bergetar halus. “Yang berat biar aku pikul.”
“Jangan sombong,” sahut Wiraraja, tertawa kecil lalu batuk. “Kau bukan pahlawan. Boleh berbagi beban. Kalau perlu, beri pada Tuhan. Dia suka angkat barang.”

Di lorong, Rengganis memeluk bahu suaminya. “Kamu berhak takut.”
“Aku takut,” akunya. “Takut tak sanggup. Takut gagal memenuhi harapan semua orang.”
“Pilih satu orang saja malam ini,” kata Rengganis. “Penuhi harapan Tisna untuk besok: sarapan telur dadar. Yang lain, mengantre.”
Jokotole tertawa pelan. Air mata—yang selalu ia sogok agar tak keluar—melewati pagar. Ia menyeka cepat, malu pada perawat yang lewat.
Rengganis berbisik, “Air mata bukan pengkhianat. Ia cuma kurir.”

.

Beberapa hari setelahnya, hidup mengerem sendiri. Jokotole membagi jadwal antara kitchen, presentasi, kontrol kesehatan Wiraraja, dan sesi terapi keluarga yang baru mereka mulai—atas ajakan Rengganis—di sebuah klinik kecil yang cat dindingnya warna hijau pupus. Terapis itu, seorang perempuan muda berhijab dengan suara sabar, memulai dengan meminta mereka menuliskan tiga kata tentang “rumah”.

“Teduh, ramai, tanggung jawab,” tulis Jokotole.
“Terang, belajar, pulih,” tulis Rengganis.
“Lapar, tawa, WiFi,” tulis Tisna, membuat mereka berdua tertawa pertama kali setelah seminggu.

“Saya ingin menantang satu kalimat,” kata terapis. “Yang sering beredar: ‘laki-laki lahir, kerja, mati.’
Kalimat itu bisa memadatkan makna hidup dan—maaf—menyiksa. Seakan kebahagiaan milik siapa?
Bagaimana jika kita ubah: ‘Lahir, belajar, berbagi, dan kembali.’ Kerja ada di dalam berbagi, mati ada di dalam kembali. Tapi ada ruang untuk belajar, ada ruang untuk bermain.”

Kata “bermain” membuat Jokotole tersadar: kapan terakhir ia bermain? Bukan gim strategi di ponsel, bukan simulasi excel, bahkan bukan bercanda serius di rapat. Bermain sungguh-sungguh: mengulur jam, kalah, tertawa.

Sore itu, ia pulang lebih cepat. Tinggal bertiga di ruang keluarga, ia mengajak Tisna membangun kota dari kardus bekas. Mereka menamai jalan—Jalan Ikan Asap, Jalan Hujan Halus, Jalan Patah Hati Sembuh—dan menempatkan figurine kecil di setiap sudut. “Ini siapa?” tanya Tisna.
“Kurir yang istrinya bernama Rukmini,” jawab Jokotole. “Ia selalu menepati janji pengiriman doa.”
Rengganis tertawa. “Dan ini,” ia menempatkan boneka kertas berhijab, “kurator yang kadang ingin berhenti membagi penilaian karena ingin menilai bintang di langit.”
Malam itu, rumah benar-benar hidup. Satu rumah seribu langkah.

.

Namun beban—kalau ia memang matahari—tak pernah benar-benar terbenam. Suatu pagi, investor dari Dubai mengirim email panjang, mempersoalkan konversi pengguna aplikasi yang stagnan. “Kami perlu jaminan,” tulisnya, “bahwa bulan depan angka naik. Kalau tidak, kita akhiri kerja sama.”

Jokotole menatap layar lama. Ia tahu proposal yang digadang-gadang tak akan memuaskan tanpa injeksi aplikasi gamification dan kampanye kolaborasi dengan influencer edukasi yang tarifnya mahal. Ia pun tahu, tanpa investor ini, R&D modul beasiswa yang Rengganis impikan terancam rehat.

Ia menutup laptop, menatap cermin. Wajahnya pucat menyala—jenis lelah yang tidak memerlukan kata. Di kepala, suara Wiraraja terngiang: Boleh berbagi beban. Kalau perlu, beri pada Tuhan.
Ia mengangkat ponsel dan menghubungi seseorang yang selama ini ia hindari: Arya Wiramarta, teman SMA yang menjadi bankir investasi dengan reputasi nyinyir. “Aku butuh bantuannya,” kata Jokotole, jujur pertama kali setelah lama bermain aman.
Arya tertawa sinis, lalu melembut. “Kita ketemu. Aku suka strategi hospitality as healing mu itu. Boleh jadi jaminan masa depan kalau eksekusinya rapih.”

Pertemuan mereka berlangsung di kafe kecil dekat stasiun MRT. Arya datang tanpa dasi, hanya menenteng tablet. “Aku jelaskan cepat. Diversifikasi kamu menarik: kuliner sehat, pelatihan hospitality, edtech, dan konsultan storytelling. Tapi kamu terlalu memikul semua sendiri. Buat operating system yang bisa dijalankan tim tanpa kamu hadir. Dan untuk investor Dubai itu, tawarkan earn-out—bagian dari laba masa depan sebagai pengganti angka instan. Jika menolak, lepaskan. Kamu bukan pesuruh.”
“Kamu menolong atau meminjamkan?” tanya Jokotole.
“Keduanya,” jawab Arya jujur. “Tapi pertama-tama, aku mau kau baik. Karena aku tahu rasanya jadi laki-laki yang di rumah dipanggil pahlawan dan di kantor dipanggil target.”
Mereka tertawa, tertawa yang mendengar lelah masing-masing.

Sore itu, Jokotole pulang dengan langkah lebih ringan. Ia ceritakan semuanya pada Rengganis. Mereka duduk di serambi. Angin mengusir panas. “Kalau investor lepas, kita mengetatkan ikat pinggang,” kata Rengganis. “Tapi kamu tetap sarapan. Ini hukum.”
“Baik, kuratorku.”
“Dan,” Rengganis memandangnya lama, “kamu akan menjawab pertanyaan Tisna kalau suatu hari dia bertanya: ‘Ayah bahagia atau hanya sibuk?’ Kita berutang kejujuran padanya.”
“Kalau malam ini dia bertanya, jawabanku: aku bahagia karena patahku didengar.”
Rengganis memegang tangannya. “Kita bukan menawar takdir. Kita membentuknya dengan tangan bersih.”

.

Tiga bulan berlalu. Wiraraja semakin disiplin diet dan senam ringan. Tisna menang lomba kolase di sekolah, tulisannya bertambah: “Satu rumah seribu langkah, dua hati satu arah.” Rengganis berhasil mengurus kerja sama pameran kuliner fotografi budaya di Galeri Nasional. Dan Jokotole—dengan tim yang kini lebih mandiri—menutup dua cabang cloud kitchen yang merugi dan menyatukan energinya untuk satu outlet flagship yang juga berfungsi sebagai ruang komunitas.

Pada malam pembukaan, ia mengundang banyak orang: kurir Rukmini yang kini punya anak, Chef Samaran, tim kitchen, para murid e-learning, klien hotel, dan tentu saja Wiraraja yang berjalan pelan dengan tongkat baru. Di panggung kecil, Jokotole membacakan pengantar: “Tempat ini diniatkan bukan hanya menjual makanan, tetapi menukar kisah. Kita akan mengadakan kelas kecil gratis setiap Sabtu: menulis, memasak, berbicara di depan umum, dan—kalau kalian setuju—belajar bernapas.”

Hadirin tertawa kecil. Ia melanjutkan, “Aku tumbuh dari bayang-bayang kalimat: laki-laki lahir, kerja, mati. Malam ini, izinkan aku menambah satu kata: mencinta. Kalau pun khayalanku keliru, biar kota ini yang membetulkan.”

Setelah acara usai, Wiraraja duduk di kursi paling luar, menatap lalu-lalang. “Kau tahu?” katanya lirih. “Dulu aku takut mati bukan karena takut padanya, tapi karena merasa meninggalkan utang tanggung jawab. Tadi, waktu kau bicara, aku mengerti: ternyata tanggung jawab bisa didistribusi. Seperti listrik.”
Jokotole tertawa. “Jadi Bapak sekarang tidak takut?”
“Masih,” jawabnya jujur. “Tapi aku tidak sendirian.”

Malam itu, langit Jakarta bersih seperti kertas baru. Rengganis menggenggam tangan Jokotole. “Mau tarian kecil? Biar Tisna memotret.”
Mereka tertawa malu. Musik pelan menyusup dari speaker. Di luar kaca, lampu-lampu jalan memendarkan doa-doa yang tidak disampaikan dengan kata-kata, melainkan langkah yang lebih pelan dari biasanya.

.

Namun hidup tak menunggu izin untuk mengajarkan bab berikutnya. Suatu subuh, notifikasi dari grup keluarga berdering cepat: sepupu di Madura mengalami kecelakaan kerja di pelabuhan. Jokotole menyeberang bersama Wiraraja. Dalam perjalanan, cerita-cerita lama kembali. Tentang lelaki yang bertahun-tahun jadi tulang punggung, lupa merawat punggungnya sendiri. Tentang istri yang menahan rindu dengan doa, bukan air mata. Tentang anak-anak yang mengerti arti kata “nanti” sebelum bisa mengeja “sekarang”.

Di Pamekasan, setelah prosesi tahlil, seorang paman menepuk bahunya. “Joko, lelaki itu memang harus bertanggung jawab. Tapi jangan sampai merasa Tuhan memilihmu jadi satu-satunya punggung. Peta keluarga itu banyak jalannya.”

Sore itu, di beranda rumah kayu, angin dari selat membawa kabar garam. Jokotole memejamkan mata, mengulang tiga kata: lahir, kerja, mati. Lalu ia menambahkan, dengan suara yang hanya ia dengar sendiri: belajar, berbagi, mencinta, kembali. Ia membayangkan suatu hari nanti, ketika waktunya tiba, ia berdiri di hadapan pintu yang entah cahaya entah kabut, lalu ditanya bukan “berapa banyak kau kuat”, melainkan “berapa sering kau jujur”.

Ketika membuka mata, ia melihat Tisna di halaman, berlari mengejar kupu-kupu. Rengganis memotret dari kejauhan. Wiraraja menatap mereka seperti menatap ulang masa muda yang tak sempat ia simpan. Dan di detik itu, Jokotole mengerti bahwa kebahagiaan bukan hadiah yang diminta, melainkan tata cara menerima yang kita punya—lengkap dengan beban dan jedanya.

Malamnya, ia menulis di catatan ponsel—tempat semua strategi, belanja, dan doa bercampur:
“Laki-laki adalah kata benda yang kadang menyamar sebagai kata kerja. Tugasnya bukan menjadi penjara bagi dirinya, melainkan pelabuhan: tempat pulang, mengisi bahan bakar, dan berangkat lagi.”

Esok harinya, mereka kembali ke Jakarta. Di bandara, Jokotole membaca pesan singkat dari investor Dubai: mereka setuju dengan usulan earn-out, dengan syarat transparansi bulanan. Ia mengirim balasan singkat, kemudian menutup ponsel, memandang Rengganis, Wiraraja, dan Tisna yang sedang memilih roti di etalase kaca. Ia merasa ada ruang baru di dadanya—bukan cuma untuk menampung tanggung jawab, melainkan juga untuk menempatkan tawa.

Di luar kaca besar, pesawat berbaris seperti kalimat yang siap dibaca. Kota menunggu. Hidup menunggu. Dan Jokotole, yang bertahun-tahun berjalan cepat, memutuskan untuk melangkah dengan ritme manusia: bukan mesin, bukan mitos, melainkan seorang yang boleh berhenti, boleh mengaku lelah, dan tetap tak kehilangan cahaya.

Sebelum boarding, ia mengetik pesan pada grup keluarga:
“Bapak, aku ingin mengubah warisan kalimatmu. Lahir, kerja, mati—itu benar. Tapi malam ini aku menuliskan: lahir untuk belajar, kerja untuk berbagi, mati untuk kembali. Di tengahnya kita mencinta. Semoga Allah meridai.”
Tanda centang biru muncul. Balasan dari Wiraraja datang cepat:
“Aku setuju. Dan tambahkan satu lagi: ‘jangan lupa sarapan.’”

Mereka tertawa, seperti anak-anak yang baru saja menemukan alasan paling sederhana untuk terus pulang.

,

.

.

Malang, 7 Oktober 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenIndonesia #KelasMenengahKota #TanggungJawabLelaki #KeluargaModern #HospitalityAsHealing #NamakuBrandku #CeritaJakarta #MenakMadura #MentalHealth

.

Kutipan yang Relate

  1. “Tanggung jawab bukan batu nisan yang kita pikul seumur hidup, melainkan jembatan yang kita bangun bersama.”

  2. “Air mata laki-laki bukan pengkhianat; ia kurir yang mengantar kabar pada diri sendiri.”

  3. “Di antara lahir dan mati, ada belajar, berbagi, dan mencinta—di sanalah rumah berdiri.”

Leave a Reply