Satu Bumi Banyak Langit
“Jangan berlomba di lintasan yang bukan milikmu.
Hidup bukan soal siapa paling cepat sampai,
tapi siapa yang tetap melangkah meski tak ada yang melihat.
Sebab langit tiap orang tak sama,
dan cahaya paling tulus justru lahir dari kesetiaan pada diri sendiri.”
.
Emperan Kekalahan
Langit siang itu terlalu terang bagi seorang Dirga yang duduk di emperan perpustakaan kota, menatap notifikasi penolakan keempat untuk proposal pameran “Hutan dan Kota”. “Tema Anda belum sesuai dengan visi kami tahun ini,” tulisnya—kalimat sopan yang terasa seperti pintu kaca: bening, terlihat dekat, tapi menghalangi.
Jalanan di depannya mengalirkan mobil-mobil SUV, sepatu kulit yang seragam mengilap, tas kerja berlogo kecil yang harganya bisa membayar kontrakan setahun. Kota ini bergerak seperti jam tangan mahal: presisi, dingin, angkuh. Di ransel lusuhnya, kertas sketsa terlipat, kabel charger mengelupas, dan buku catatan bertuliskan, “Setiap goresan adalah pelampiasan. Setiap garis adalah suara hati.” Dua tahun lalu ia menuliskannya dengan dada penuh api. Hari ini, api itu tinggal bara.
Di stasiun busway depan taman, baliho digital menayangkan iklan residensial: “Hidup dengan vista tak terbatas.” Dirga tersenyum miris. Vista tak terbatas, ujung-ujungnya terbatas untuk yang mampu.
Seorang penjaja minuman—Madi—menawarkan es jeruk. “Mukanya jangan keruh begitu, Mas. Siang panas, hati jangan.” Dirga membeli segelas; manisnya terasa seperti jeda yang tidak mengubah apa-apa, tapi menahan runtuh sebentar.
.
Puncak yang Sunyi
Di lantai 23 sebuah menara, Raras menatap grafik engagement. Ia baru selesai pitching untuk lima perusahaan besar; ruang rapat memantulkan wajah-wajah yang puas pada data. Tapi setelah tepuk tangan, ada hening yang menyelusup di antara paru-paru—sunyi yang tidak bisa dinyatakan dalam KPI.
Raras pernah viral karena utas panjang tentang strategi brand kopi lokal. Namanya naik, undangan datang, honor meningkat. Ia belajar bicara cepat, menjawab tuntas, tersenyum tepat. Tetapi dalam pantulan kaca, matanya seperti aquascape tanpa ikan: indah dan dingin.
“Kalau berhenti, semua ini hilang,” gumamnya. Kalimat itu seperti pagar tak terlihat. Ia berdiri di balkon, melihat kota bertopi awan. Lalu menunduk pada notifikasi ponsel: Jayeng—kawan lama, kurator ruang seni independen—menyebutnya di Instagram, mengundangnya mampir ke ruang komunitas “Kelaswara” di Gang Sawo. “Datanglah bukan sebagai pembicara. Datang saja sebagai manusia,” tulisnya.
.
Titik Silang Tanpa Skenario
Pemerintah kota mengadakan forum kreatif lintas generasi. Raras diundang sebagai pembicara tentang personal branding dan market positioning. Dirga—didftarkan temannya Ragil tanpa bertanya—hadir sebagai peserta, duduk di baris tengah, mengenakan kemeja polos yang sudah agak pudar.
Materi Raras rapi: slide dengan font bersih, video testimoni, studi kasus. Semua terukur, semua benar. Lalu sesi tanya-jawab. Tangan Dirga terangkat.
“Kalau semua orang mengejar viralisasi,” tanyanya, “bagaimana nasib karya kecil yang tak ingin viral? Yang cuma ingin didengar satu dua orang—tapi sungguh-sungguh?”
Ruangan sempat menahan napas. Raras menatap pemuda berkemeja pudar itu, merasakan sesuatu mengatup di dadanya. Ia menatap jam dinding, lalu kembali ke mikrofon.
“Tidak semua orang ditakdirkan untuk panggung besar,” katanya pelan. “Tapi panggung kecil yang jujur bisa menyelamatkan lebih banyak jiwa daripada panggung megah yang palsu.”
Sejenak hening. Lalu tepuk tangan. Ada yang berbeda pada tepuk tangan itu: lebih hangat, kurang formal. Dirga menunduk, seperti seseorang yang baru saja diizinkan bernapas dengan caranya sendiri.
.
Menamai Luka, Merawat Langkah
Malamnya, Dirga berjalan pulang melewati jembatan flyover. Kota tampak seperti rangkaian bintang yang jatuh ke bumi dan disolder ulang menjadi kaca-kaca gedung. Ia membuka akun kecilnya yang nyaris tak bertumbuh, menamai ulang: Seketika Jadi Waras. Ia memutuskan untuk berhenti mengejar tema yang disukai juri. Ia menggambar hal-hal kecil: ibu-ibu yang menjemur kasur di balkon apartemen, tukang ojek menepikan motor untuk memberi makan kucing, ayah muda mendorong stroller di taman sambil membaca chat grup kantor. Setiap gambar diunggah dengan catatan pendek: “Waras bukan berarti tak pernah lelah; waras adalah tahu kapan berhenti dan minum air.”
Di sisi lain, Raras membuka lembar baru di laptopnya—bukan deck presentasi, melainkan paragraf-paragraf ringkas tentang perasaannya sendiri. Ia menamai dokumen itu Langitku Bukan Langitmu. Isinya bukan rumus, melainkan pengakuan: bahwa ia kerap takut pada senyap, bahwa ia mengukur diri dengan angka, bahwa ia pernah menertawakan panggung kecil tanpa sadar. Ia menulis semalaman, seperti seseorang yang memindahkan beban dari bahu ke huruf.
.
Ruang Kelaswara
Gang Sawo menyembunyikan ruang komunitas kecil: Kelaswara. Dindingnya dipenuhi poster gig lama, kalender posyandu, dan sisa cat mural yang mengelupas membentuk peta benua yang tak ada dalam atlas. Umaraya, barista merangkap penjaga ruang, menyiapkan kopi tubruk dengan ritme seperti doa.
Raras datang tanpa pengawal, tanpa mic. Jayeng menyambut dengan peluk; di sudut ruangan, ada kursi kosong, selain gitar akustik. “Bacalah,” kata Jayeng. “Bukan karena kamu Raras yang terkenal. Bacalah karena kamu Raras yang letih.”
Raras membaca esai pendeknya. Suaranya retak di kalimat kedua. Tapi tidak ada kamera yang men-zoom. Yang ada hanya tiga puluh pasang mata yang jernih. Usai membaca, seorang ibu—Kelasih, pedagang sayur dari Pasar Pagi—mengangkat tangan. “Mbak, saya juga capek, tapi tetap jualan. Kalau Mbak capek, istirahat. Nanti jualan lagi,” katanya, sederhana. Ruang itu mekar oleh tawa. Raras tertawa paling lama.
.
Kota dengan Dua Jam
Waktu berjalan seperti memiliki dua jam. Di jam pertama, kota masih berlari: rapat, tenggat, undangan, handshake. Di jam kedua, waktu berputar lebih lambat: Dirga mengajar sketsa gratis di emperan perpustakaan setiap Sabtu sore; Raras mengisi kelas menulis di Kelaswara selasa malam—bukan “kelas”, lebih tepatnya sesi menamai perasaan.
Pengikut Dirga tidak tiba-tiba meledak. Namun setiap pekan, ada satu dua pesan: “Kak, gambar ini menyelamatkan aku.” Atau, “Aku berhenti membandingkan diri setelah baca captionmu.” Itu cukup. Ia mulai dibayar bukan dengan viralitas, melainkan dengan kebersambungan.
Buku kecil Raras dicetak sederhana, dijual lewat DM. Ia mengunjungi kampus swasta di pinggiran, ruang baca kelurahan, komunitas ibu muda. Honornya jauh dari rate talkshow TV, tapi ia pulang dengan sesuatu yang tak pernah bisa dibeli: rasa hadir.
.
Ragil dan Cermin Kota
Ragil, sahabat Dirga, bekerja di firma arsitektur—kelas menengah atas dengan office pantry yang selalu terisi sparkling water. Ragil hidup rapi, target jelas, tabungan stabil. Tapi setiap kali pulang malam, ia merasa terjerat cermin-cermin kota: lift lobi, dinding lobby, kaca kantor, layar ponsel—semuanya menuntut pantulan dari versi “berhasil.” Ia menyukai Dirga karena temannya itu berani menjadi tampilan yang kusam tapi jujur.
Suatu malam, Ragil memotret Dirga yang sedang mengajarkan anak SMP memegang pensil. “Senyum kalian seperti lampu jalan,” tulisnya di caption. Foto itu mendapat ratusan likes. Ragil menatap angka-angka itu dengan ranum, lalu menurunkannya kembali: ini bukan tentang validasi, ini tentang mengingat bahwa ada cahaya yang tidak butuh sorot.
.
Ulang Tahun yang Tak Dirayakan
Raras melewati ulang tahunnya tanpa pesta. Ia memberi kado pada diri sendiri: mematikan notifikasi 24 jam. Di pagi harinya, ia berjalan kaki menyusuri boulevard kota yang biasanya ia lewati dengan mobil. Pohon tabebuya sedang mekar; daun-daun jatuh seperti surat-surat kecil yang tidak ditujukan kepada siapa pun.
Di ujung boulevard, ia bertemu Jayeng yang membawa poster pameran mini. “Kita bikin apa yang kamu sebut tadi: panggung kecil yang jujur,” kata Jayeng. “Kita undang Dirga untuk mengisi dinding dengan Hutan dan Kota versinya. Aku kurasi; kamu moderasi—bukan sebagai yang tahu, tapi sebagai yang ingin tahu.”
Raras tertawa. “Aku mau. Tapi syaratnya satu: tidak ada live streaming.”
“Setuju,” kata Jayeng. “Biar kejadian paling jujur tetap tinggal di kepala orang yang hadir.”
.
Hutan di Dalam Kota, Kota di Dalam Hutan
Pengumuman pameran mini “Hutan di Dalam Kota, Kota di Dalam Hutan” hanya disebar lewat poster kertas. Malam pembukaan, Kelaswara penuh: arsitek, pegawai bank, ibu pasar, mahasiswa, pengemudi ojol, anak-anak, dan sepasang warga perumahan mewah yang datang karena penasaran. Dinding menampilkan ilustrasi Dirga: hutan yang tumbuh di mantel warga kantor, gedung-gedung yang memelihara burung di lantai-lantai kosongnya, trotoar sebagai sungai yang mengalirkan langkah-langkah.
Raras berdiri di sisi, menjadi “moderator diam”—menyimak lebih banyak daripada menyimpulkan. Umaraya mengedarkan kopi dalam gelas kertas tanpa logo. Seorang pengunjung—Wirapati, banker yang sibuk—berhenti lama di depan gambar seorang petugas kebersihan yang memeluk sapu seperti gitar. Ia menitikkan air mata tanpa alasan yang bisa didefinisikan oleh Excel.
“Kenapa saya menangis?” tanyanya pada Dirga.
“Karena Anda ingat sesuatu,” jawab Dirga, pelan.
.
Kabar Buruk dari Sudut Kota
Malam kedua, kabar masuk: Kelaswara terancam ditutup karena lahan akan digusur untuk tempat parkir baru. Surat peringatan ditempel di pintu. Jayeng duduk memegangi kepala. “Kita bukan apa-apa dibandingkan investor,” katanya.
Ruang itu menjadi lebih sesak daripada biasanya. Raras menatap poster yang baru mereka pasang. Dirga menatap langit-langit yang mengelupas. Umaraya membuat kopi lebih kental.
“Kalau panggung kecil hilang, di mana kita belajar menjadi manusia?” kata Kelasih. Pertanyaan itu menggantung seperti lampu neon yang berkedip.
Raras menulis malam itu juga—bukan utas viral, melainkan surat terbuka untuk warga sekitar: penjelasan tentang kenapa ruang kecil seperti Kelaswara adalah paru-paru kota. Ia mencetaknya di kertas HVS, membaginya dari pintu ke pintu; Dirga menggambar poster yang ditempel di gardu listrik: “Ruang Kecil, Nafas Panjang.”
Tidak ada trending topic. Tidak ada talkshow. Tapi RT setempat mengajak warga rembuk. Mereka berkumpul: investor, pengelola gedung, warga, aktivis, petugas satpol, ibu pasar. Raras duduk di belakang, Jayeng bicara tenang, Dirga menyalakan proyektor butut untuk menampilkan foto-foto kegiatan Kelaswara: kursus baca untuk anak, posyandu, pameran mini, latihan gitar. Ketika rapat panjang itu berakhir, keputusan diambil: Kelaswara pindah sementara ke balai warga yang tidak dipakai malam hari, sementara mereka menggalang dana patungan untuk membeli sepetak ruko kecil di ujung gang. Investor setuju memundurkan sebagian pagar parkir.
Keputusan yang tampak kecil; kemenangan yang terasa cukup besar.
.
Jalan Masing-Masing
Waktu seperti mengajari semua orang ritmenya. Dirga tidak viral, tapi jadwal kelas sabtunya semakin ramai. Ia mulai menolak beberapa lomba, bukan karena takut kalah, tapi karena sudah menemukan lintasan sendiri. “Aku bukan lomba, aku perjalanan,” tulisnya di caption.
Raras menerima undangan kampus-kampus kecil. Di setiap pertemuan, ia mengajak peserta menuliskan satu kalimat tentang ketakutan yang tidak perlu. Ia sendiri menulis: “Takut kehilangan pengakuan.” Lalu melipatnya, memasukkan ke kotak yang diletakkan Umaraya di depan pintu dengan tulisan tangan miring: Kotak Ketakutan yang Menyusut Bila Dibagi.
Ragil sesekali datang, duduk di belakang, melepaskan dasi, menukar sparkling water dengan kopi tubruk. Ia memotret momen—bukan untuk diunggah segera, melainkan untuk diingat pelan-pelan.
.
Satu Bumi Banyak Langit
Pada suatu sore setelah hujan tipis, kota seperti baru dicuci. Kaca-kaca gedung memantulkan jingga, trotoar berkilau, helm-helm motor tampak seperti buah-buah yang dilap. Raras berdiri di jendela kecil balai warga, menatap langit berbeda-beda yang menyusun satu senja. Ia menulis di halaman terakhir bukunya: “Satu bumi menampung banyak langit. Kita tidak harus mendaki gunung yang sama. Indahnya hidup bukan karena seragam, melainkan karena beragam.”
Di emperan perpustakaan, Dirga memulai kelas. Seorang anak bertanya, “Mas, cita-cita Mas apa?” Dirga tersenyum. “Bukan jadi siapa-siapa,” jawabnya, “tapi supaya orang lain tahu, jadi diri sendiri itu cukup.”
Di kursi lipat belakang, Jayeng menepuk bahu Raras. “Kamu terlihat ringan,” katanya.
“Aku tidak lagi mengejar panggung orang lain,” jawab Raras. “Aku sedang merawat ruangku.”
Lampu jalan menyala satu per satu, seperti kalimat yang selesai diucapkan. Dari gang sebelah, Umaraya datang membawa termos. “Kopi buat yang terus melangkah,” serunya.
Dan malam itu, di kota yang sama—dengan apartemen mewah, dengan kantor-kantor terang, dengan boulevard rapi dan gang sempit—orang-orang duduk melingkar, menggambar, membaca, tertawa, menangis, saling mengamini. Tidak ada drone shot; tidak ada voice over heroik. Hanya napas yang diselaraskan bersama.
.
Epilog: Di Ruang yang Kita Ciptakan
Bertahun-tahun kelak, orang akan lupa nama-nama penghargaan. Namun anak yang dulu belajar menggambar di emperan itu—Kelasih kecil—menjadi perawat yang membuat sketsa pasien lansia agar mereka punya alasan bercerita. Ragil membuka kelas desain pro bono tiap Jumat malam. Wirapati berhenti mengejek puisi, mulai menggunting berita baik dari koran dan menempelkannya di papan pantry. Madi, penjual es jeruk, memimpin iuran mingguan untuk membelikan kursi lipat baru.
Raras menutup kelas dengan kalimat yang selalu ia ulang, tiap kali ada yang bertanya bagaimana menghadapi kota yang berlomba tanpa henti:
“Hidup bukan tentang menjadi luar biasa di mata dunia,
tapi menjadi luar biasa di dunia kecil tempat kita hadir sepenuh hati.
Jangan kejar panggung orang lain.
Ciptakan ruangmu sendiri. Rawat. Tumbuhkan.
Di sanalah cahaya paling jujur akan menemukanmu.”
Dan Dirga, pada suatu malam, berdiri sendirian di jembatan flyover, memandangi lampu-lampu. Ia teringat hari ketika ia duduk di emperan dan merasa kalah. Ia membuka buku catatan lamanya, menambahkan satu kalimat: “Kesetiaan adalah peta; langkah kecil adalah kompas.” Lalu ia pulang—bukan menuju puncak, melainkan menuju ruang yang ia bangun pelan-pelan, di mana langitnya mungkin kecil, tapi cukup untuk menumbuhkan hutan.
.
.
.
Jember, 19 Juli 2025
.
.
#SatuBumiBanyakLangit #Cerpen #SastraUrban #PanggungKecil #RuangKomunitas #RefleksiHidup #KesehatanMental #Humanisme #JeffreyWibisonoStyle